BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Kita telah menerangkan bahwa seseorang tidak wajib konsisten mengikuti suatu madzhab tertentu. Dengan demikian, maka memilih pendapat yang paling mudah (tatabbu' ar-rukhash) dan melakukan talfiq di antara madzhab adalah perkara yang dibolehkan.

(1) TATABBU' AR-RUKHASH

Yang dimaksud dengan tatabbu' ar-rukhash atau ikhtiyar al-aisar adalah ketika seseorang
mengambil pendapat yang dirasa paling ringan dan paling mudah, dari setiap madzhab dalam suatu masalah tertentu.
Dalam menanggapi masalah ini, para pakar ushul fiqih terbagi kepada delapan pendapat. Disini akan diterangkan secara global, kemudian akan diterangkan pendapat mana yang paling kuat (dalam Kitab Irsyad Al-Fuhul halaman 340; Fatawa Asy-Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 71 dan setelahnya).
(a) Sebagian besar ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa setiap orang boleh memilih pendapat yang dikehendaki, karena ada ijma sahabat yang menetapkan bolehnya beramal dengan pendapat ulama yang mafdhul meskipun ada ulama yang afdhal. Pendapat ini dishahihkan oleh Asy-Syairazi, Al-Khathib Al-Baghdadi, Ibnush Shabbagh, Al-Baqilani, dan juga Al-Amidi.
(b) Madzhab Zahiri dan Hambali mengharuskan seseorang mengambil pendapat yang paling kuat dan keras.
(c) Mengambil pendapat yang ringan.
(d) Mencari pendapat yang umum di kalangan para mujtahid, kemudian mengamalkan pendapat tersebut.
(e) Mengambil pendapat ulama yang lebih dulu sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Rauyani.
(f) Mengambil pendapat ulama yang menggunakan dasar-dasar periwayatan (arriwayah) bukan dasar-dasar logika (arra'yu) sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Rafi'i.
(g) Orang tersebut wajib berijtihad dalam memilih pendapat-pendapat yang bertentangan tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh lbnus Sam'ani dan juga Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat. Pendapat ini dekat dengan pendapat Al-Ka'bi.
(h) Jika permasalahan itu berhubungan dengan hak Allah, maka hendaklah mengambil pendapat yang mudah. Namun jika permasalahan itu berhubungan dengan hak sesama hamba, maka hendaknya mengambil pendapat yang sulit, sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Abu Manshur Al-
Maturidi.
Namun dapat juga dikatakan, bahwa dalam masalah ini ada tiga pendapat yang masyhur yang akan kita jadikan objek kajian. Ketiga pendapat tersebut adalah:
(1) Ulama madzhab Hambali (Al-Madkhal ila Madzhab Al-Imam Ahmad halaman 195), ulama madzhab Maliki (menurut pendapat yang paling shahih di antara mereka; Fatawa Asy-Syaikh ‘Ulaisy ma’a At-Tabshirah li Ibni Farhun Al-Maliki jilid 1 halaman 58-60; Al-Qarafi, Al-Ihkam fi Tamyiz Al-Fatawa ‘an Al-Ahkam halaman 79), dan Imam Al-Ghazali (Al-Mustashfa jilid 1 halaman 124) mengatakan bahwa mencari-cari pendapat yang mudah dalam madzhab-madzhab fiqih adalah dilarang. Karena, sikap seperti ini cenderung kepada mengikuti hawa nafsu, dan mengikuti hawa nafsu adalah dilarang oleh syara'. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nisaa ayat 59 yang artinya, "... Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)....". Atas dasar ini, maka kita tidak boleh mencari solusi bagi perbedaan-perbedaan pendapat tersebut dengan cara merujuk kepada hawa nafsu, melainkan hendaklah mengembalikannya kepada ketetapan syariah.
Ibnu Abdil Barr berkata, "ljma ulama mengatakan bahwa orang awam tidak boleh mencari-cari pendapat yang mudah (tatabbu' ar-rukhash)." Ulama madzhab Hambali (Al-Madkhal ila Madzhab Al-Imam Ahmad) juga mengatakan, "Apabila dua orang mujtahid dinilai sama tingkatannya oleh orang yang hendak menanyakan suatu masalah (mustafti), dan jawaban yang diberikan oleh kedua mujtahid tersebut berlainan, maka orang tersebut wajib mengambil pendapat yang berat. Dasarnya adalah hadits riwayat Imam At-Tirmidzi yang bersumber dari Aisyah. Dia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda "Orang yang teguh imannya apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka dia
akan memilih yang paling sukar (asyad' dahuma)." Dalam riwayat lain, "Yang paling benar (arsyadahuma)."
Imam At-Tirmidzi berkata, "lni adalah hadits hasan gharib!' Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Imam An-Nasa'i dan Ibnu Majah.
Dengan mempertimbangkan dua redaksi dalam riwayat dalam hadits tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang benar adalah mengambil pendapat yang sukar (asyadd). Dan yang lebih baik bagi mustafti adalah mempertimbangkan dua pendapat yang bertentangan tersebut, dan kembali menanyakan masalah tersebut kepada ulama yang lain.
Ulama madzhab Maliki (Fatawa Asy-Syaikh ‘Ulaisy halaman 76) juga mengatakan, "Pendapat yang paling shahih adalah tidak boleh melakukan tatabbu' ar-rukhash dalam berbagai madzhab, yaitu mengambil pendapat yang dianggap paling mudah dalam suatu permasalahan. Ada juga dikatakan bahwa tatabbu' ar-rukhash tidaklah dilarang. Namun, ada juga sebagian ulama madzhab Maliki yang menegaskan bahwa orang yang melakukan tatabbu' ar- rukhash dihukumi sebagai orang fasik. Adapun yang lebih baik adalah berhati-hati dengan cara keluar dari perbedaan pendapat yang ada, yaitu dengan mengambil pendapat yang paling kuat dan paling sukar. Karena, orang yang memuliakan agamanya akan mengambil sikap wara'. Adapun orang yang merendahkan agamanya akan melakukan bid'ah.
Adapun perkataan Imam Al-Ghazali (Al-Mustashfa jilid 2 halaman 195) adalah, "Ketika menghadapi satu masalah hukum, orang awam (al-'ami') tidak boleh memilih-milih pendapat yang dirasa enak dari pendapat-pendapat madzhab yang ada, sehingga dia akan berlonggar diri (dalam mengambil pendapat). Melainkan, ia harus melakukan tarjih sebagaimana seorang mufti melakukan tarjih bila menghadapi dua dalil yang bertentangan, yaitu dengan mengikuti dugaan kuatnya ketika melakukan tarjih. Orang awam tersebut juga harus melakukan hal yang serupa." Al-‘Ami dalam istilah ulama ushul fiqh adalah semua orang yang tidak mempunyai kelayakan untuk melakukan ijtihad, meskipun dia ahli dalam satu bidang ilmu selain ilmu menyimpulkan hukum dari sumber-sumber dalilnya.
(2) Imam Al-Qarafi Al-Maliki, sebagian besar ulama madzhab Syafi'i, pendapat yang rajih di kalangan ulama Hanafi -di antaranya adalah lbnul Hummam dan pengarang Musallam Ats-Tsubut- (Musallam Ats-Tsubut jilid 2 halaman 356; Irsyad Al-Fuhul, halaman 240; Syarh Al-Mahalli ‘ala Jam’ Al-Jawami’ jilid 2 halaman 328; Syarh Al-Isnawi jilid 3 halaman 266; Rasm Al-Mufti fi Hasyiyah Ibnu Abidin jilid 1 halaman 69 dan setelahnya; Al-Fawa’id Al-Makkiyah halaman 52) mengatakan bahwa tatabbu' ar-rukhash adalah dibolehkan, karena memang tidak ada aturan syara' yang melarangnya. Manusia hendaklah mencari jalan yang dirasa mudah jika memang hal tersebut dibolehkan, dan hendaknya dia tidak mengambil jalan yang lain. Semua ini berdasarkan kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -baik sunnah fi'li maupun qauli- yang menyatakan bolehnya memilih pendapat yang mudah. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dihadapkan kepada dua pilihan saja, maka beliau akan memilih yang paling mudah selagi tidak menyebabkan dosa (Hadis riwayat Imam Al-Bukhari, Malik dan At-Tirmidzi). Dalam Shahih Al-Bukhari, Aisyah juga meriwayatkan bahwa Nabi suka terhadap perkara yang ringan bagi umatnya.
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Al-Musnad, Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam Ad-Dalimi dalam Musnad Al-Firdaus, "Aku diutus dengan ajaran yang lurus dan toleran." Dalam riwayat Imam Al-Khatib disebutkan, “Barangsiapa tidak sesuai dengan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”
Beliau juga bersabda, "Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Maka, janganlah seseorang mempersulit urusan agamanya. Kalau dia melakukan hal itu, maka dia akan kalah." Hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan An-Nasa’i.
Beliau juga bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan beberapa kewajiban, menetapkan sunnah, menetapkan batasan-batasan, menghalalkan perkara yang dulunya diharamkan, mengharamkan perkara yang dulunya dihalalkan, dan juga telah menetapkan aturan-aturan agama. Dia telah menjadikan aturan itu mudah, toleran, dan luas. Dia tidak membuat aturan itu sempit." Hadis riwayat Imam Ath-Thabari dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari Ibnu Abbas.
Imam Asy-Sya'bi berkata, "Apabila seseorang dihadapkan pada dua perkara, kemudian dia memilih yang paling mudah di antara dua perkara tersebut, maka pilihan itu adalah yang paling disukai oleh Allah."
Imam Al-Qarafi turut berkomentar mengenai masalah ini, tatabbu' ar-rukhash adalah dibolehkan dengan syarat ia tidak menyebabkan kepada mengamalkan perkara yang batil menurut semua madzhab yang ditaklidi. Dengan kata lain, bertaklid kepada madzhab selain madzhab yang
biasa dianut adalah dibolehkan, selagi tidak menimbulkan talfiq yang menyebabkan seseorang melakukan perkara yang disepakati batalnya oleh imam madzhab yang biasa dianutnya, dan iuga oleh imam madzhab yang baru dia ikuti. Umpamanya adalah apabila seseorang bertaklid kepada Imam Malik yang menyatakan bahwa menyentuh wanita tanpa syahwat adalah tidak membatalkan wudhu, dan pada waktu yang sama dia bertaklid kepada Imam Asy-Syafi'i yang tidak mewajibkan menggosok (ad-dalku) anggota wudhu, dan juga tidak mewajibkan mengusap seluruh kepala, maka shalat orang tersebut adalah tidak sah menurut kedua imam tersebul karena, wudhu yang dilakukan tidak sah menurut masing-masing imam tersebut.
Namun apabila kita perhatikan, syarat yang disebut Imam Al-Qarafi; 'asalkan tatabbu' ar-rukhash itu tidak menyebabkan seseorang melakukan perkara yang dianggap batal oleh semua imam yang ditaklidi adalah tidak didukung oleh dalil nash atau ijma, melainkan syarat itu adalah syarat yang ditetapkan oleh ulama yang hidup belakangan (muta'akhkhir), sebagaimana yang ditetapkan oleh Al-Kamal Ibnul Humam dalam Kitab At-Tahrir. Apabila seseorang boleh tidak sependapat dengan seorang mujtahid dalam semua pendapatnya -sebagaimana yang sudah saya terangkan- maka tentunya lebih tepat untuk dikatakan, bahwa dia juga boleh tidak sependapat dengan sebagian pendapat imam tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang Taisir At-Tahrir. Kemudian pengarang tersebut berkata, "Tidak ada dalil dari nash dan juga ijma yang menunjukkan bahwa bolehnya tatabbu' ar-rukhash tersebut apabila memang memenuhi beberapa syarat, sehingga seorang muqallid wajib mengikuti seorang mujtahid tertentu dengan mempertimbangkan syarat-syarat tersebut. Bagi orang yang mengaku ada dalil yang mendukung pendapat ini, hendaklah mengemukakan dalil tersebut.
Adapun informasi yang mengatakan bahwa Imam Ibnu Abdil Barr menetapkan bahwa tidak bolehnya orang awam melakukan tatabbu' ar-rukhash adalah berdasarkan ijma, maka keshahihan informasi tersebut tidak dapat diterima. Kalaupun informasi tersebut memang benar, maka keputusan adanya ijma tersebut tidak dapat diterima. Karena, riwayat Imam Ahmad mengenai fasiknya orang yang melakukan tatabbu' ar-rukhash ada dua pendapat. Sehingga, Al-Qadhi Abu Ya'la menerangkan bahwa riwayat yang menegaskan kefasikan adalah bagi orang yang tidak melakukan ta'wil dan tidak muqallid. lbnu Abi Amir Al-Haji dalam At-Taqrir 'ala At-Tahrir berkata, "Sebagian ulama madzhab Hambali mengatakan, apabila (tatabbu' ar-rukhash) tersebut didasari dengan dalil yang kuat atau orang yang melakukan adalah orang awam, maka orang yang melakukannya tidak dihukumi fasik." Dalam Kitab Ar-Raudhah karya Imam An-Nawawi juga disebutkan bahwa lbnu Abi Hurairah mengatakan (orang tersebut) tidak fasik.
Kesimpulannya adalah prinsip mengambil pendapat yang mudah adalah sesuatu yang dianjurkan (mahbub). Agama Allah adalah mudah, ia tidak dimaksudkan untuk menyulitkan umatnya. Oleh sebab itu, seorang muqallid hendaklah menggunakan tujuan tatabbu' ar-rukhash ini dalam menghadapi beberapa permasalahan saja, bukan dalam menyikapi semua permasalahan yang dihadapinya. Banyak ulama yang mengatakan, "Barangsiapa bertaklid kepada seorang alim, maka dia telah melepaskan diri dari Allah," "Perbedaan ulama adalah rahmat." Bahkan sebagian ulama juga ada yang mengatakan, "Kamu telah mempersulit dan mempersempit perkara yang sebenarnya luas dan longgar!" kepada orang yang konsisten mengamalkan pendapat masyhur dalam setiap tingkah lakunya.
(3) Pendapat Imam Asy-Syathibi. Imam Asy-Syathibi mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Ibnus Sam'ani (dalam Kitab Al-Muwafaqat jilid 4 halaman 132-155), yaitu seorang muqallid wajib melakukan tarjih di antara pendapat-pendapat madzhab, dengan cara mempertimbangkan tingkat keilmuan dan yang lainnya. Kemudian dia memilih pendapat yang lebih kuat. Hal ini karena pendapat-pendapat imam madzhab bagi seorang muqallid bagaikan dalil-dalil yang bertentangan di hadapan seorang mujtahid. Apabila seorang mujtahid wajib melakukan tarjih atau menghentikan proses tarjih (at-tawaqquf) karena dalil dari kedua belah pihak sama kuat, maka seorang muqallid juga wajib melakukan hal yang serupa. Hal ini karena pada kenyataannya, syariah adalah kembali kepada satu pendapat saja. Seorang muqallid tidak dibenarkan memilih pendapat-pendapat tersebut (sesuka hati tanpa didasari proses tarjih). Kalau dia melakukan hal tersebut, maka dia mengikuti hawa nafsu dan kepentingannya. Padahal, Allah Ta’ala melarang seseorang mengikuti hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nisaa ayat 59 yang artinya, "... Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Kemudian Imam Asy-Syathibi menerangkan secara panjang lebar akibat buruk yang ditimbulkan dari prinsip mengambil pendapat yang mudah.
Pertama: menyebabkan sesat dalam berfatwa karena mengkhususkan kawan karib dengan memberinya fatwa berdasarkan tatabbu' ar-rukhash. Ini berarti mengikuti hawa nafsu dan kepentingan.
Kedua: menyebabkan munculnya klaim bahwa perbedaan pendapat dalam suatu perkara merupakan dalil bagi bolehnya perkara tersebut. Hingga masyarakat menjadikan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam suatu masalah, sebagai pegangan untuk menetapkan bahwa sesuatu masalah itu boleh (jawaz/mubah).
Ketiga: menyebabkan seseorang akan mencari-cari pendapat yang mudah di antara berbagai madzhab, dengan hanya berpegang kepada prinsip bolehnya berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain secara keseluruhan, dan juga berpegang kepada prinsip kemudahan yang ada dalam syariat Islam. Padahal, prinsip kelurusan dan kelonggaran (al-hanifiyyah as-samhah) dalam syariat tersebut dibatasi dengan syarat 'apabila memang kemudahan tersebut sesuai dan dibenarkan oleh dasar-dasar syariat,' sehingga tatabbu' ar-rukhash dan proses memilih pendapat tersebut tidak didasari oleh dorongan nafsu yang menyebabkan bertentangan dengan dasar-dasar syara'. Kemudian Imam Asy-Syathibi menyebutkan beberapa akibat buruk menggunakan prinsip mencari-cari kemudahan dalam berbagai madzhab,' di antaranya adalah terlepas dari aturan agama. Karena, seseorang akan meninggalkan prinsip mengedepankan argumen, dan berpegang kepada prinsip 'adanya perbedaan pendapat (menunjukkan kebolehan).' Akibat buruk lainnya adalah, timbulnya sikap mempermudah urusan agama (dalam arti yang negatif), karena tidak ada aturan yang pasti; orang yang belum mengetahui madzhab lain akan meninggalkan pendapat yang sudah diketahui, dan beralih melakukan sesuatu yang baru diketahui; rusaknya undang-undang siyasah syar'iyyah karena standar keadilan akan ditinggalkan oleh banyak orang kekacauan akan merajalela begitu juga kezaliman, pelanggaran hak-hak, pengabaian aturan-aturan Allah (hudud),
orang yang melakukan kerusakan merajalela. Selain itu, sikap tersebut juga akan menyebabkan terjadinya talfiq di antara madzhab, yang akan memunculkan satu pendapat yang akan bertolak belakang dengan ijma semua ulama dan akibat-akibat buruk lainnya yang sangat banyak. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah adalah cara-cara adil yang dapat mengeluarkan kebenaran dari lingkungan kezaliman, dan yang dapat menghalangi berbagai macam kezaliman. Apabila As-Siyasah Asy-Syar’iyyah ini ditinggalkan, maka hak-hak dan aturan-aturan akan terabaikan dan orang-orang yang suka melakukan kerusakan akan merajalela. Termasuk As-Siyasah Asy-Syar’iyyah adalah segala aturan yang ditetapkan untuk mengatur manusia dan menghukum orang yang melakukan kesalahan)
Keempat: menyebabkan seseorang melepaskan diri dari hukum-hukum syara’ bahkan mengabaikannya secara keseluruhan. Karena, dia berpegang kepada prinsip mengambil pendapat yang paling ringan dari dua pendapat yang ada, bukannya mengambil pendapat yang paling berat. Padahal, semua tuntutan agama (at-takalif ad-diniyyah) adalah sukar dan berat.
Kelompok yang membolehkan tatabbu' ar-rukhash dalam beberapa masalah karena darurat atau karena suatu keperluan, berargumen dengan kaidah syar'iyah, "Kondisi darurat menyebabkan bolehnya sesuatu yang asalnya dilarang." Imam Asy-Syathibi menolak argumen mereka ini, karena bagaimanapun sikap tatabbu' ar-rukhash ini sama dengan sikap mengambil pendapat dengan dorongan hawa nafsu dan kondisi darurat serta kondisi perlu yang diklaim tersebut tidak sampai kepada kondisi darurat dan kondisi perlu yang telah ditetapkan oleh syara'. Selain itu, Imam Asy-Syathibi juga menolak orang yang berargumen dengan kaidah menjaga perbedaan pendapat (mura' atul-khilaf) untuk membolehkan mengambil pendapat yang ringan. Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa kaidah mura'atul khilaf ini tidak dapat menggabungkan dua pendapat yang saling bertentangan, dan juga tidak dapat menyebabkan dua pendapat itu dilaksanakan secara bersama-sama.
Menurut pendapat Syeikh Wahbah Zahaili, sebab yang mendorong Imam Asy-Syathibi melarang melakukan tatabbu' ar-rukhash dan talfiq adalah sikap beliau yang sangat menjaga sistem hukum syari'at supaya tidak dilanggar oleh seseorang hanya karena berpegang kepada prinsip "memudahkan untuk manusia". Namun apabila kita perhatikan statemen-statemennya maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa beliau terpengaruh dengan fanatisme madzhab dan khawatir berbeda dengan madzhab Imam Malik meskipun beliau mengamalkan prinsip berpikir bebas. Selain itu beliau juga sangat menganjurkan taklid dan melarang ijtihad.
Kami sependapat dengan Imam Asy-Syathibi dalam sikap berhati-hati dalam menjaga sistem hukum syariat, namun perlu diperhatikan bahwa medan taklid atau talfiq yang dibenarkan, adalah sebatas perkara-perkara yang memang tidak bertentangan dengan aturan yang telah diturunkan Allah Ta’ala, atau dalam masalah yang tidak diketahui secara pasti mana pendapat yang benar dan tidak diketahuinya dalil yang menunjukkan shahihnya pendapat mujtahid yang ditaklidi (dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in, pembahasan bentuk taqlid yang dipuji dan taqlid yang dicela, jilid 2 halaman 168 dan Kitab Tuhfah Ar-Ra’yi As-Sadid karangan Al-Husaini halaman 39).
Atas dasar ini semua maka pendapat Imam Asy-Syathibi tidak mengenai sasaran, karena beliau menekankan kepada pentingnya mengamalkan ajaran dengan menggunakan dalil yang rajih dan menuntut konsisten dengan dasar-dasar syara'. Dan ini semua adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam sikap taklid yang terpuji atau dalam mempraktikkan mengambil pendapat yang mudah di antara pendapat-pendapat madzhab.

(2) TALFIQ

Yang dimaksud dengan talfiq adalah melakukan satu amalan yang tidak ada satu mujtahid
pun yang berpendapat demikian. Dengan kata lain, apabila seseorang melakukan suatu amalan dengan bertaklid kepada dua madzhab atau lebih, kemudian mengakibatkan terbentuknya satu bentuk paket amalan yang tidak ada seorang mujtahid pun -baik imam madzhab yang biasa ia ikuti maupun imam madzhab yang baru dia ikuti- yang mengakui kebenaran bentuk paket amalan tersebut. Bahkan, imam-imam tersebut menetapkan bahwa bentuk amalan campuran itu adalah batal. Hal ini dapat terjadi apabila seorang muqallid menggunakan dua pendapat secara bersamaan dalam melaksanakan satu masalah tertentu.
Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan dengan talfiq adalah menggabungkan praktik taklid kepada dua imam atau lebih dalam mengamalkan suatu perbuatan yang mempunyai beberapa rukun dan beberapa bagian, yang antara satu bagian dengan lainnya saling berkaitan, dan setiap bagian tersebut mempunyai hukum tersendiri secara khusus. Dan dalam menetapkan hukum bagian-bagian tersebut, para ulama berbeda pendapat. Namun, orang yang talfiq bertaklid kepada seorang di antara ulama tersebut dalam hukum satu bagian saja,
sedangkan dalam hukum bagian yang lain dia bertaklid kepada ulama yang lain. Sehingga, bentuk amalan yang dikerjakan itu merupakan gabungan antara dua madzhab atau lebih.
Umpamanya adalah seseorang bertaklid kepada madzhab Syafi'i dalam masalah cukupnya mengusap sebagian kepala saja ketika wudhu, dan pada waktu yang sama dia juga bertaklid kepada madzhab Hanafi atau Maliki dalam hal menyentuh wanita, tanpa ada syahwat dan tanpa ada niat untuk menimbulkan syahwat. Kemudian orang tersebut melakukan shalat. Maka, dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah melakukan talfiq. Hal ini karena tidak ada salah satu pun dari imam-imam madzhab yang diikuti tersebut mengakui sahnya bentuk wudhu yang dilakukan oleh orang tersebut. Imam Asy-Syafi'i menganggap wudhu tersebut batal karena orang tersebut sudah bersentuhan dengan wanita. Sedangkan Abu Hanifah juga menganggap wudhu itu tidak mencukupi karena orang tersebut tidak mengusap seperempat bagian kepala, sedangkan Imam Malik juga tidak mengakui sahnya wudhu tersebut, karena orang tersebut tidak mengusap keseluruhan kepalanya atau tidak menggosok anggota wudhu dan sebagainya.
Contoh lainnya adalah apabila seseorang bertaklid kepada Imam Malik yang menyatakan
bahwa tertawa terbahak-bahak dalam shalat tidak membatalkan wudhu. Dalam waktu yang sama, orang tersebut juga bertaklid kepada Abu Hanifah dalam hal tidak batalnya wudhu seseorang, apabila ia menyentuh zakarnya, kemudian orang tersebut shalat. Maka orang tersebut telah melakukan praktik talfiq, di mana praktik wudhu dan shalatnya tidak sah karena kedua imam tersebut tidak ada yang mengakui keshahihan praktik wudhu dan shalat seperti itu.
Contoh lainnya adalah apabila ada seseorang yang menyewa suatu tempat selama sembilan puluh tahun atau lebih, namun dia belum pernah melihat tempat tersebut. Dalam masalah bolehnya menyewa dalam waktu yang panjang, orang tersebut bertaklid kepada Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, sedangkan dalam masalah bolehnya menyewa barang tanpa melihat barang tersebut terlebih dahulu, orang tersebut bertaklid kepada Imam Abu Hanifah (dalam Kitab Syarh Al-Isnawi ‘ala Minhaj Al-Baidhawi jilid 3 halaman 266 dan Kitab ‘Umduh At-Tahqiq fi At-Taqlid wat-Talfiq karangan Syaikh Muhammad Sa’id Albani halaman 91).
Masalah-masalah yang dibolehkan talfiq adalah sama dengan masalah-masalah yang dibolehkan taklid, yaitu masalah-masalah ijtihadiyyah zhanniyyah (yang berdasarkan dugaan kuat). Adapun taklid dan talfiq dalam keputusan-keputusan aksiomatik dalam masalah hukum agama -yaitu yang disepakati oleh umat Islam bahwa orang yang menentang keputusan itu dihukumi kafir- adalah tidak dibenarkan. Oleh sebab itu, amalan talfiq yang menyebabkan sesuatu yang haram –seperti minuman keras dan zina- dapat berubah menjadi halal adalah tidak dibolehkan.
Sesungguhnya masalah talfiq di antara pendapat madzhab ini dianggap tidak ada oleh ulama muta'akhkhirin setelah abad kesepuluh Hijriyah, dengan alasan bertaklid kepada madzhab selain madzhab yang biasa digunakan adalah boleh. Dan masalah ini tidak pernah dibincangkan sebelum abad ketujuh Hijriyah.
Bolehnya mengamalkan talfiq adalah berdasarkan kepada hal-hal yang telah kita bahas sebelum ini. Di antaranya adalah mengikuti satu madzhab secara konsisten dalam semua masalah bukanlah suatu kewajiban. Oleh sebab itu, orang yang tidak diwajibkan mengikuti satu madzhab berarti dia boleh melakukan talfiq. Kalau seandainya bemadzhab adalah wajib dan talfiq dilarang, maka akan menyebabkan ibadah-ibadah yang dilakukan oleh orang awam menjadi batal. Karena, kebanyakan orang awam tidak mempunyai madzhab, kalaupun dia bermadzhab. Maka, madzhabnya dalam berbagai masalah adalah madzhab orang yang memberinya fatwa. Selain itu,
dengan dibolehkannya talfiq, maka kita telah membuka pintu kemudahan kepada khalayak ramai.
Bertaklid kepada seorang imam dalam satu permasalahan tidaklah menghalangi seseorang
untuk bertaklid kepada imam lain dalam permasalahan yang lain. Kita tidak boleh mengatakan bahwa seorang muqallid mengamalkan satu bentuk amalan yang tidak diakui oleh dua imam mujtahid yang dianutnya itu, melainkan kita semestinya menganggap apa yang dilakukan oleh muqallid itu sama seperti amalan orang yang meminta fatwa (mustafti), yang dalam amalan tersebut terdapat pendapat-pendapat berbagai mufti secara tidak sengaja. Sehingga, prosesnya sama seperti proses berkumpulnya berbagai bahasa dalam lisan orang Arab.
Seorang muqallid tidaklah mengikuti semua imam dalam semua amalannya, melainkan ia mengikuti dua imam dalam satu masalah tertentu, bukan dalam masalah lain yang dia bertaklid kepada selain dua imam tersebut. Adapun keseluruhan amal tidaklah wajib dipertimbangkan baik dalam ijtihad maupun dalam taklid.
Sebagian ulama ada yang mensyaratkan harus menjaga perbedaan pendapat yang ada dalam madzhab (mura'atul-khilaf) untuk membolehkan talfiq. Namun, pendapat ini menyulitkan baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah muamalah. Sikap seperti ini tidak sejalan dengan prinsip kelonggaran, kemudahan syariat, dan juga kesesuaiannya dengan kemaslahatan manusia.
Ada juga yang mengklaim adanya ijma yang menetapkan tidak bolehnya talfiq (seperti yang diutarakan oleh lbnu Hajar dan sebagian ulama Hanafi). Namun, klaim ini memerlukan dalil, dan pada kenyataannya banyak ulama yang berbeda pendapat dalam masalah talfiq ini. Ini merupakan indikasi bahwa ijma tersebut tidaklah wujud.
Imam Asy-Syufsyawani memberi komentar dalam masalah melakukan satu amalan dengan menggabungkan dua madzhab atau lebih. Dia berkata, "Sesungguhnya para pakar ushul fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang benar adalah yang membolehkannya." Ulama-ulama yang dapat dipercaya juga menginformasikan adanya pertentangan pendapat dalam masalah ini, seperti yang diutarakan oleh Al-Amir Al-Fadhil Al-Baijuri. Demikianlah, menurut sebagian besar ulama, klaim ijma yang bersumber dari rangkaian ahad tidak wajib diamalkan. Mungkin yang dimaksud ijma dalam masalah ini adalah kesepakatan sebagian besar ulama, atau
kesepakatan ulama dalam madzhab tertentu saja.
Berikut ini diuraikan oleh Syekh Wahbah Zuhaili mengenai pendapat-pendapat ulama madzhab yang membolehkan talfiq (Rasm al-Mufti, jilid 1 halaman 69; At-Tahrir wa Syarhuhu jilid 1 halaman 350 dan setelahnya; Al-Ihkam fi Tamyiz Al-Fatawa ‘an Al-Ahkam lil-Qarafi halaman 250 dan setelahnya; ‘Umdatut-Tahqiq fit-Taqlid wat-Talfiq lil-Bani halaman 106 dan seterusnya; Muktamar pertama Majma’ Buhuts Al-Islami, Makalah Syaikh As-Sanhuri halaman 83 dan setelahnya dan Makalah Syaikh Abdurrahman Al-Qalhud halaman 95.
(1) Pendapat Ulama Hanafiyah
Al-Kamal ibnul Humam dan juga muridnya Ibnu Amir Al-Hajj dalam kitab At-Tahrir dan juga syarahnya berkata, "Sesungguhnya seorang muqallid boleh bertaklid kepada siapa saja yang ia kehendaki. Apabila seorang awam dalam setiap menghadapi permasalahan mengambil pendapat mujtahid yang dianggap ringan olehnya, maka hal yang demikian itu boleh dan saya tidak menemukan dalil yang melarangnya baik dalil naqli maupun aqli. Apabila ada seseorang yang mencari-cari pendapat yang dirasa ringan dari pendapat para mujtahid yang memang mempunyai kelayakan untuk berijtihad, maka saya tidak menemukan dalil bahwa syara mencela sikap seperti ini. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suka terhadap hal yang memudahkan umatnya."
Dalam kitab Tanqih Al-Fatawa Al-Hamidiyah karya Ibnu Abidin disebutkan bahwa hukum
dapat ditetapkan dari gabungan berbagai pendapat. Al-Qadhi Ath-Thursusi (wafat 758 H) juga membolehkan yang demikian. Mufti Romawi Abus Su'ud Al-Amadi (wafat 983 H) dalam fatwanya juga membolehkan. Ibnu Nujaim Al-Mishri (wafat 970 H) dalam kitab kecilnya, Fi Bai' Al-Waqf bi Ghubnin Fakhisyin juga menegaskan bolehnya talfiq. Dalam Fatawa Al-Bazaziyah juga disebutkan bolehnya talfiq. Amir Bada Syah (wafat 972 H) juga berpendapat bahwa talfiq adalah boleh. Pada tahun 1307 H mufti Nablis, Munib Afandi Al-Hasyimi, mengarang kitab kecil mengenai masalah taqlid, di mana beliau mendukung praktik taqlid secara mutlak. Pakar fiqih yang hidup sezaman dengan mufti Nablis, Syekh Abdumahman Al-Bahrawi mengatakan bahwa, "Sesungguhnya pengarah risalah tersebut telah menerangkan perkara yang haq dengan cara yang benar."
Kesimpulannya adalah keputusan yang menyebar dan masyhur di kalangan masyarakat menyatakan bahwa talfiq tidak boleh. Namun, banyak ulama yang tidak setuju dengan keputusan itu dan menyatakan bahwa talfiq boleh dengan berdasarkan kepada dalil-dalil yang banyak dan shahih.
(2) Pendapat Ulama Malikiyah
Pendapat yang paling shahih dan yang di-rajih-kan oleh ulama Maliki yang hidup belakangan (muta'akhkhirun) adalah pendapat yang menetapkan bahwa talfiq adalah boleh. Ibnu Arafah Al-Maliki dalam Hasyiyah 'ala Asy-Syarh Al-Kabir karya Ad-Dardir menyatakan bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat yang menetapkan bahwa talfiq adalah boleh. Imam Al-Adawi juga memfatwakan bahwa talfiq boleh. Syekh Ad-Dasuqi juga merajihkan pendapat yang menyatakan bahwa talfiq dibolehkan. Al-Amir Al-Kabir juga menginformasikan dari guru-gurunya, bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat yang membolehkan talfiq, dan ini merupakan kelonggaran.
(3) Pendapat Ulama Syafi'iyah
Sebagian ulama Syafi'i melarang berbagai bentuk talfiq, sedangkan sebagian yang lain hanya melarang kasus-kasus talfiq tertentu. Sedangkan sebagian yang lain lagi, membolehkan talfiq asalkan dalam permasalahan yang dihadapi tersebut terkumpul syarat-syarat yang ditetapkan
oleh madzhab-madzhab yang ditaklidi.
(4) Pendapat Ulama Hanabilah
Ath-Thursusi menceritakan bahwa para qadhi madzhab Hambali melaksanakan hukum-hukum yang merupakan produk talfiq.
Demikianlah pendapat-pendapat ulama yang membolehkan talfiq. Saya tidak menyebutkan
pendapat ulama-ulama yang berseberangan dengan ulama di atas, baik dalam masalah mengambil madzhab yang paling mudah atau dalam masalah tatabbu' ar-rukhash, karena dalam pembahasan ini pendapat ulama-ulama yang berseberangan tersebut tidak tepat untuk disebut, dan juga karena
pendapat-pendapat tersebut tidak didukung dengan dalil syara' yang kuat.

BENTUK.BENTUK TALFIQ YANG DILARANG

Pendapat yang mengatakan boleh melakukan talfiq bukanlah mutlak semua bentuk talfiq, melainkan ia dibolehkan dalam batasan-batasan tertentu. Oleh sebab itu, ada juga praktik talfiq yang batal karena eksistensi talfiq itu. Umpamanya apabila praktik talfiq itu menyebabkan kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan seperti khamr, zina, dan semacamnya. Selain itu, ada juga praktik talfiq yang dilarang karena adanya perkara yang menyertainya bukan karena eksistensi talfiq itu sendiri. Talfiq semacam ini ada tiga bentuk (‘Umdatut-Tahqiq fit-Taqlid wat-Talfiq halaman 121; Al-Ihkam fi Tamyiz Al-Fatawa ‘an Al-Ahkam halaman 79; Fatawa Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 68, 71).
Pertama, mencari-cari pendapat yang mudah (tatabbu' ar-rukhash) dengan sengaja. Umpamanya adalah mengambil pendapat yang paling ringan dalam setiap madzhab tidak dalam keadaan darurat dan tanpa ada udzur. Larangan ini untuk mencegah terjadinya mafsadah (sadd li zarai' al-fasad) yang berupa pengabaian tuntutan-tuntutan syara'.        
Kedua, praktik talfiq yang bertentangan dengan keputusan hakim (pemerintah). Hal ini karena maksud utama adanya ketetapan hakim (pemerintah) adalah untuk menghilangkan pertentangan dan perbedaan pendapat, dan supaya tidak ada kekacauan.
Ketiga, talfiq yang menyebabkan seseorang harus membatalkan praktik amalan berdasarkan taklid yang telah dilakukan, atau membatalkan perkara yang disepakati oleh semua ulama, sebagai konsekuensi dari suatu amalan yang dilakukan dengan cara taklid. Syarat ini selain pada masalah ibadah mahdhah. Adapun dalam masalah ibadah mahdhah, maka boleh melakukan talfiq meskipun menyebabkan seseorang harus membatalkan praktik amalan berdasarkan taklid yang telah dilakukan, atau membatalkan perkara yang disepakati oleh semua ulama. Hal itu sebagai konsekuensi dari suatu amalan yang dilakukan dengan cara taklid, selagi praktik talfiq tersebut tidak menyebabkan seseorang keluar dari bingkai tuntutan-tuntutan syara’ atau menyebabkannya menjauh dari hikmah syara' karena dia melakukan propaganda yang bertentangan dengan aturan syariah atau mengabaikan tujuan-tujuan syara'.
Contoh yang pertama, yaitu talfiq yang menyebabkan seseorang harus membatalkan praktik amalan berdasarkan taklid yang telah dilakukan, adalah seperti yang diuraikan dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah: kalau seandainya seorang faqih berkata kepada istrinya, 'Anti thaliqun al-Battah (Kamu adalah wanita yang ditalak sama sekali)," dan faqih tersebut berpendapat bahwa talak yang diucapkannya itu jatuh tiga. Kemudian dia dan istrinya melaksanakan konsekuensi talak tiga tersebut dan sang faqih sudah berkeyakinan bahwa istrinya adalah haram baginya. Namun, setelah itu sang faqih mempunyai pendapat baru yang menetapkan bahwa ucapan talaknya tersebut hanya menyebabkan jatuhnya talak raj'i, maka dia tidak boleh mengembalikan wanita tersebut untuk menjadi istrinya, dengan berdasarkan pendapatnya yang baru tersebut.
Begitu juga apabila sang faqih tersebut pada awalnya menganggap bahwa ucapannya itu menyebabkan jatuhnya talak raj’i dan dia berkeyakinan bahwa wanita itu masih berstatus istrinya. Namun, kemudian dia mempunyai pendapat baru yang menetapkan bahwa ucapannya tersebut menyebabkan jatuh talak tiga, maka wanita tersebut tetap tidak diharamkan baginya.
Apabila kita perhatikan, maka kita temukan ada dua syarat bagi batalnya talfiq model ini. Pertama, praktik amalan yang telah dilakukan masih mempunyai efek. Sehingga apabila dia melakukan pendapat baru, maka hal itu akan menimbulkan pencampuradukan amalan (talfiq) yang tidak diakui oleh imam-imam madzhab yang dianut. Contohnya adalah, apabila seseorang bertaklid kepada madzhab Asy-Syafi'i dalam masalah mengusap sebagian kepala, dan kemudian dia bertaklid kepada Imam Malik yang menyatakan bahwa anjing adalah suci, dan kedua pendapatnya itu dilakukan dalam satu shalat. Begitu juga kalau seandainya seorang mufti yang taklid kepada madzhab Hanafi menetapkan, bahwa talak ba'in yang dijatuhkan oleh seseorang yang terpaksa kepada istrinya adalah sah. Kemudian orang tersebut menikah dengan saudara perempuan istrinya tersebut. Namun, kemudian ada seorang mufti Syafi'i yang memfatwakan bahwa talak orang yang terpaksa tersebut tidaklah berpengaruh apa-apa. Dengan demikian, maka orang tersebut tidak boleh berjimak dengan istri pertamanya, karena dia bertaklid kepada madzhab Hanafi. Dan dia juga tidak boleh berjimak dengan istri keduanya, karena dia bertaklid kepada madzhab Syafi'i. Oleh sebab itu, suatu amalan yang sudah dilaksanakan tidak boleh dibatalkan, sebagaimana putusan qadhi yang sudah ditetapkan juga tidak boleh dibatalkan.
Kedua, talfiq tersebut dilakukan dalam satu kasus permasalahan tertentu, bukan dalam kasus serupa yang berlainan. Umpamanya, seseorang melakukan shalat Zhuhur dengan mengusap seperempat bagian kepala saja karena bertaklid kepada imam Hanafi, maka wudhunya itu tidak menjadi batal apabila kemudian itu dia mempunyai keyakinan wajib mengusap seluruh kepala, karena mengikuti pendapat madzhab Maliki (Rasm Al-Mufti fi Hasyiyah Ibn ‘Abidin jilid 1 halaman 69 dan setelahnya).
Contoh yang kedua yaitu talfiq yang menyebabkan batalnya perkara yang disepakati oleh semua ulama, sebagai konsekuensi dari suatu amalan yang dilakukan dengan cara taklid. Yakni, apabila ada seseorang bertaklid kepada Abu Hanifah dalam masalah akad nikah tanpa wali. Dengan taklidnya ini, maka akad nikah tersebut sah dan mempunyai konsekuensi sahnya talak yang dijatuhkan setelah itu. Karena, semua ulama bersepakat bahwa talak akan wujud apabila akad nikahnya sah. Kalau seandainya orang tersebut telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, namun kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam Asy-Syafi'i dalam hal tidak jatuhnya talak yang
diucapkan karena akad nikah yang dilakukan adalah tanpa wali, maka hal yang seperti itu tidak boleh dilakukan. Karena, hal itu akan menyebabkan batalnya perkara yang disepakati oleh semua ulama (yaitu talak merupakan konsekuensi dari sahnya akad nikah). Ini adalah keputusan yang logis supaya hubungan suami istri yang selama ini terjalin tidak dianggap sebagai hubungan yang haram, dan supaya anaknya tidak dianggap sebagai anak zina. Oleh sebab itu, talfiq tersebut tidak dibenarkan. Begitu juga dengan semua hal yang menyebabkan mempermainkan ajaran agama, menyakiti manusia, atau membuat kerusakan di muka bumi ini.
Di antara contoh bentuk talfiq yang dilarang karena bertentangan dengan ijma adalah apabila ada seseorang menikah dengan wanita tanpa mahar tanpa wali, dan tanpa saksi, karena taklid dan menggabungkan semua madzhab. Namun, semua madzhab itu tidak mengakui bentuk akad nikah yang sedemikian itu. Hal ini iuga merupakan talfiq yang dilarang, karena ia bertentangan dengan ijma dan tidak ada satu imam pun yang membolehkannya (Syarh At-Tanqih lil-Qarafi halaman 386).
Contoh bentuk talfiq yang dilarang lainnya adalah apabila seseorang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, kemudian sang istri menikah dengan anak lelaki berumur sembilan tahun dengan maksud tahlil (supaya wanita tersebut halal menikah dengan suaminya lagi setelah berpisah dengan suami muhallil). Sang anak tersebut taklid kepada madzhab Syafi'i dalam masalah sahnya akad nikah yang seperti itu. Kemudian sang anak tersebut telah melakukan hubungan suami istri dengan wanita tersebut, dan kemudian sang anak bertaklid kepada madzhab Hambali dalam hal menjatuhkan talak dan tidak perlu ada masa 'iddah, lalu seketika itu juga suami pertama wanita tersebut menikah lagi dengan wanita tersebut.
Bentuk talfiq semacam ini dilarang, karena ia akan menyebabkan permasalahan nikah ini dipermainkan. Oleh sebab itu, Asy-Syaikh Al-Ujhuri Asy-Syafi'i berkata, "Bentuk nikah seperti ini pada zaman kita adalah dilarang. Oleh sebab itu, mengamalkan masalah ini adalah tidak sah dan tidak boleh. Madzhab Syafi'i mensyaratkan orang yang menikahkan anak kecil lelaki adalah ayahnya atau kakeknya, dan mereka harus adil. Selain itu, harus dipertimbangkan juga bahwa dalam menikahkan anak tersebut memang ada kemaslahatan bagi sang anak, dan bagi pihak istri yang menikahkan adalah walinya yang adil dan di depan dua saksi yang adil. Apabila ada satu syarat yang tidak terpenuhi, maka praktik nikah tahlil tersebut tidak sah karena termasuk nikah fasid (rusak).

HUKUM TALFIQ DALAM TUNTUNAN-TUNTUNAN SYARA'

Sesungguhnya talfiq dalam takliq terhadap madzhab-madzhab adalah memilih hukum-hukum yang ditetapkan oleh beberapa madzhab fiqhiyyah dengan cara mentaklid madzhab-madzhab tersebut. Cabang-cabang aturan syara' dapat dikelompokkan kepada tiga bagian (‘Umdatut-Tahqiq lil-Bani halaman 127 dan setelahnya):
(1) Aturan-aturan syara' yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelonggaran, sehingga pelaksanaannya berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang yang dituntut.
(2) Aturan syara' yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan wara.
(3) Aturan syara' yang ditetapkan dengan tujuan utama untuk kemaslahatan dan kebahagiaan hamba.
Bentuk pertama, merupakan jenis-jenis ibadah mahdhah. Dalam bentuk pertama ini dibolehkan mempraktikkan talfiq. Karena, tujuan utama ibadah ini adalah melaksanakan perintah Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya, dengan tidak perlu mengambil sikap yang menyulitkan. Oleh sebab itu, hendaklah ibadah semacam ini tidak dipraktikkan secara berlebih-lebihan, karena berlebih-lebihan dalam hal ini akan menyebabkan kerusakan.
Adapun mengamalkan ibadah yang berhubungan dengan harta benda, maka wajib mengambil sikap tegas karena berhati-hati supaya hak-hak fakir miskin tidak terabaikan. OIeh sebab itu, dalam masalah ini tidak tepat apabila kita mengambil pendapat yang lemah atau melakukan talfiq di antara semua madzhab sehingga menghasilkan produk hukum yang memihak kepada kemaslahatan orang yang berkewajiban zakat. Dan pada waktu yang sama, mengabaikan hak fakir miskin. Dengan demikian, dalam masalah ini kita wajib memberi fatwa dengan pendapat yang lebih hati-hati dan lebih memihak kepada kemaslahatan fakir miskin.
Bentuk kedua, adalah aturan-aturan syara' yang berupa larangan. Dalam hal ini, prinsip berhati-hati dan mengambil sakap wara' hendaklah dipertimbangkan semampu mungkin, karena Allah Ta’ala tidaklah melarang sesuatu melainkan ada kemudharatan di dalamnya. Oleh sebab itu, dalam perkara-perkara ini kita tidak boleh mengambil sikap toleran atau mempraktikkan talfiq, kecuali dalam keadaan darurat menurut syara'. Karena, keadaan darurat dapat menyebabkan bolehnya sesuatu yang asalnya dilarang. Dalil bahwa hukum-hukum tersebut dibangun di atas prinsip kehati-hatian adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Tinggalkan apa yang meragukanmu dan lakukanlah apa yang tidak meragukanmu!” juga hadis,"Apabila keharaman dan kehalalan berkumpul, maka keharaman akan mengalahkan kehalalan."
Atas dasar semua itu, maka kita tidak boleh melakukan talfiq dalam masalah larangan-larangan yang berhubungan dengan hak-hak Allah (hak-hak sosial kemasyarakatan) demi terjaganya sistem dan aturan umum syariah dan terbinanya kemaslahatan dalam masyarakat. Begitu juga kita tidak boleh melakukan praktik talfiq dalam masalah larangan-larangan yang berhubungan dengan hak-hak sesama, hamba (hak privat seseorang), demi terlindunginya hak-hak manusia dan supaya mereka tidak terancam oleh marabahaya.
Bagian ketiga adalah hukum-hukum muamalat yang meliputi pengaturan masyarakat sipil (al-mu'amalat al-muduniyyah), hukuman hudud dan ta'zir, membayar sepersepuluh pajak tanaman (al-usyur), pajak tanah (al-kharaj), membayar seperlima dari barang tambang yang ditemukan, aturan ahwal syakhshiyyah, akad pernikahan, dan konsekuensi-konsekuensinya seperti aturan perpisahan antara suami dan istri, yang semuanya harus dibangun di atas prisip menciptakan kebahagiaan di antara suami, istri, dan juga anak. Semuanya itu dapat terjadi apabila hukum-hukum yang ditetapkan dalam masalah keluarga ini menekankan pentingnya ikatan pernikahan, dan mengutamakan terwujudnya kehidupan yang harmonis, sebagaimana telah digariskan oleh Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 229 yang artinya "...Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik...."
Oleh sebab itu, hukum-hukum fiqih yang selaras dengan prinsip-prinsip di atas dapat diamalkan, meskipun menyebabkan adanya talfiq, asalkan talfiq yang dibolehkan. Namun apabila praktik talfiq yang digunakan menjadi pintu bagi orang-orang untuk mempermainkan permasalahan nikah dan talak, maka talfiq seperti ini termasuk talfiq yang tercela dan dilarang. Sikap seperti ini perlu diambil untuk menegaskan, bahwa hukum asal al-abdha adalah haram dan untuk menjaga hak-hak wanita dan juga kehormatan sistem nasab. Al-Abdha adalah bentuk jamak dari kata budh’un yang mempunyai arti alat kelamin perempuan dan juga hubungan suami istri (jima’).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan muamalat, pengaturan harta benda, hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara', hukum qishash, dan sebagainya adalah aturan-aturan yang ditetapkan dengan tuiuan untuk menciptakan kemaslahatan umum dan kemanfaatan di antara manusia. Oleh sebab itu, pendapat-pendapat madzhab yang wajib diambil adalah pendapat-pendapat yang lebih dapat menciptakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, meskipun harus melalui praktik talfiq. Karena, usaha ini adalah untuk mendukung terbinanya kemaslahatan yang merupakan tujuan aturan-aturan syara'. Selain itu, perlu diperhatikan iuga bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah sesuai dengan perubahan masa, adat kebiasaan, dan
perkembangan peradaban dan pembangunan.
Standar kemaslahatan yang dibincangkan dalam pembahasan ini adalah semua perkara yang dapat menjamin terjaga dan terpeliharanya dasar-dasar universal yang berjumlah lima, yaitu [1]. Terpeliharanya agama; [2] Terpeliharanya jiwa; [3] Terpeliharanya akal; [4] Terpeliharanya nasab; [5] Terpeliharanya harta benda. Melindungi kemaslahatan merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh syara', sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an, As-Sunnah, dan juga ijma, yaitu melindungi al-mashlahah al-mursalah al-maqbulah (kemaslahatan yang tidak disebutkan dalam nash-nash agama, namun ia iuga tidak dinafikan oleh nash-nash tersebut).
Setelah menerangkan beberapa cabang dari prinsip-prinsip madzhab, Imam Asy-Syurnubalali Al-Hanafi dalam kitab Al-Aqd Al-Farid menegaskan bahwa talfiq adalah boleh. Dia berkata, "Dari uraian yang telah lalu, maka kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang tidaklah diwajibkan mengikuti satu madzhab tertentu secara konsisten. Oleh sebab itu, dia dibolehkan mengamalkan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diamalkan dalam madzhabnya. Dengan kata lain, dia boleh bertaklid kepada imam selain imam madzhab yang asalnya dia ikuti. Dan dia boleh menggabungkan syarat-syarat yang ada dalam madzhab-madzhab tersebut, sehingga
dia dapat menggabungkan dua amalan yang bertentangan dari dua kasus amalan yang berbeda, yang antara satu dengan lainnya tidak ada hubungannya. Dia juga tidak berhak menyalahkan amalan gabungan yang dilakukannya itu, hanya dengan alasan dia bertaklid kepada imam yang lain. Karena, suatu amalan yang sudah dikerjakan tidak akan gugur sebagaimana putusan hakim yang sudah ditetapkan."
Imam Asy-Syurnubalali juga mengatakan, "Orang tersebut juga boleh bertaklid setelah selesai melakukan suatu amalan. Contohnya adalah apabila ada orang yang telah selesai melakukan shalat, dan dia mempunyai dugaan kuat bahwa shalatnya sah berdasarkan madzhab yang dianutnya. Namun setelah selesai shalat, dia mengetahui bahwa shalatnya tersebut tidak cocok dengan aturan madzhabnya, sehingga tidak sah menurut madzhab tersebut. Namun, bentuk shalat yang dilakukan itu dianggap sah oleh madzhab lain. Maka, orang tersebut boleh bertaklid kepada imam madzhab yang lain tersebut, dan shalatnya pun sudah mencukupi. Dalam Kitab Al-Bazzaziyah disebutkan bahwa ada riwayat yang bersumber dari Abu Yusuf, bahwa dia melakukan
shalat Jumat setelah mandi dari tempat mandi umum (hammam). Setelah selesai shalat, dia diberi tahu bahwa pada tempat mandi umum tersebut ada bangkai tikus, Maka dia pun berkata, 'Kita mengikuti pendapat saudara-saudara kita di Madinah yang mengatakan bahwa apabila ada air sebanyak dua kulah (qullatain), maka ia tidak terpengaruh dengan adanya najis." (dalam Kitab Rasm Al-Mufti fi Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 70)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa standar boleh dan tidaknya melakukan talfiq adalah apabila talfiq tersebut menyebabkan robohnya pilar-pilar syariah dan rusaknya aturan syariah serta hikmahnya, maka ia termasuk talfiq yang dilarang. Terlebih lagi kalau sampai mempraktikkan al-hiyal (mereka-reka bentuk amalan supaya terlepas dari tuntutan yang memberatkan) yang dilarang. Lihat contoh-contohnya dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 3 halaman 255.
Adapun praktik talfiq yang mengakibatkan semakin kokohnya pilar-pilar syariah dan semakin memantapkan aturan-aturan serta hikmahnya, sehingga benar-benar dapat mewujudkan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, seperti memudahkan urusan ibadah dan memelihara kemaslahatan dalam urusan muamalah, maka ia termasuk jenis talfiq yang dibolehkan, bahkan dituntut untuk dilakukan.

MEMILIH PENDAPAT-PENDAPAT YANG MUDAH DALAM PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

Secara hukum syar'i, tidak ada larangan bagi hakim atau pemerintah (waliyul-amr) untuk mengambil pendapat-pendapat madzhab yang paling mudah. Sebab, apa yang dilakukan oleh hakim atau pemerintah ini bukanlah termasuk bentuk talfiq yang dilarang, karena hukum-hukum yang dipilih dari berbagai madzhab tersebut adalah hukum-hukum bagi perkara-perkara yang berlainan, yang antara satu dengan yang lainnya tidak ada hubungannya, sebagaimana yang telah kami terangkan. Jika dalam pelaksanaan hukum-hukum tersebut terjadi praktik talfiq, maka ia terjadi bukan karena disengaja. Sehingga tidak mengapa, seperti pendapat yang mengatakan sahnya akad nikah tanpa wali dan cukup dengan ucapan pihak perempuan saja. Sementara itu, dalam masalah talak ditetapkan bolehnya melangsungkan hubungan pernikahan setelah ada rujuk dari pihak laki-laki yang telah menjatuhkan talak tiga dengan satu kali perkataan. Karena, bentuk ucapan talak yang demikian dianggap talak satu atau talak raj'i. Ini adalah bentuk talfiq yang tidak dilarang, karena terjadinya talfiq tersebut (dalam praktiknya) tidak disengaja.
Dengan demikian, maka pendapat yang menetapkan bolehnya talfiq, secara umum adalah pendapat yang dalilnya lebih kuat apabila dibanding dengan pendapat yang melarang. Apalagi praktik talfiq tersebut dapat merealisasikan kemaslahatan individu dan juga kemaslahatan bersama. Talfiq tersebut sama sekali tidak menyebabkan timbulnya mafsadah yang biasanya ditimbulkan oleh praktik talfiq yang dilarang. Kalaulah kita menetapkan bahwa semua bentuk talfiq adalah dilarang namun kita juga perlu mengingat bahwa pilihan seorang hakim terhadap satu
pendapat-yang kemudian ia menjadikan pendapat itu sebagai undang-undang- dapat menyebabkan pendapat tersebut menjadi kuat. Meskipun, dalam dunia fiqih pendapat itu asalnya adalah pendapat yang dhaif, sebagaimana ditetapkan oleh ulama. Bahkan, mengikuti undang-undang tersebut adalah wajib, selagi ia tidak diyakini secara sebagai bentuk kemaksiatan.
Usaha memilih hukum-hukum dari berbagai madzhab untuk dijadikan undang-undang telah dimulai sejak awal abad kedua puluh. Yaitu, ketika pemerintahan Utsmaniyyah merasa perlu melonggarkan kebebasan transaksi, syarat-syarat transaksi, dan tempat transaksi. Karena, interaksi perdagangan dan industri semakin meningkat, teknik perdagangan dalam dan luar negeri semakin berkembang munculnya bentuk hak-hak baru seperti hak sastra, hak cipta, dan hak penemuan, perlunya transaksi asuransi (at-ta'min) bagi barang-barang impor semakin luasnya medan transaksi perindustrian yang dilakukan oleh industri-industri besar dan juga perlunya bentuk akad untuk mendatangkan barang-barang dan perabot-perabot utama untuk memenuhi keperluan pemerintah,
pabrik, laboratorium, dan juga madrasah.
Atas pertimbangan di atas, maka kekuasaan Utsmaniyah mengubah undang-undang Mahkamah No. 64 tahun 1332 H/1914 M dengan undang-undang baru, yang prinsip-prinsip dasarnya diambil dari madzhab selain madzhab Hanafi, seperti madzhab Hambali dan madzhab Ibnu Syubrumah. Kedua madzhab ini memperlonggar masalah kebebasan penetapan syarat-syarat akad. Sehingga, kedua madzhab ini lebih dekat dengan prinsip Kekuasaan Kehendak Undang-undang (SuIthan Al-Iradah Al-Qanuni), yang menegaskan bahwa transaksi adalah aturan dua belah
pihak orang yang bertransaksi. Selain itu, kedua madzhab tersebut juga membolehkan tiga prinsip yang dicantumkan dalam undang-undang baru tersebut. Tiga prinsip tersebut adalah:
(1) Memperluas perkara-perkara yang dapat diakadi, supaya dapat mencakup semua bentuk akad yang mentradisi dan bentuk-bentuk akad yang muncul kemudian.
(2) Membolehkan semua bentuk kesepakatan dan syarat, selagi tidak bertentangan dengan ketentuan umum, adab, undang-undang khusus, undang-undang harta yang tidak bergerak, undang-undang ahwal syakhshiyyah, dan wakaf. Dengan demikian, maka teori rusaknya akad dalam madzhab Hanafi tidak dipakai, dan syarat jaza'i (janji untuk membayar kerugian finansial sebagai ganti keterlambatan melaksanakan kesepakatan) dibolehkan, karena mengikuti pendapat Al-Qadhi Syuraih.
(3) Menganggap akad adalah sempurna dengan hanya terpenuhinya kesepakatan dalam unsur-unsur yang utama, meskipun unsur-unsur yang terperinci tidak disebut. Dengan prinsip ini, maka ketidaktahuan atas barang yang diakadi tidaklah membahayakan akad. Akad dengan menggunakan
harga pasaran atau harga yang akan stabil pada suatu hari, juga dibolehkan (dalam Kitab Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘Am karangan Musthafa Az-Zahqa halaman 388-392).
Pada tahun 1336 H Pemerintahan Utsmaniyyah mengeluarkan aturan-aturan hak keluarga yang dipraktikkan hingga sekarang. Aturan itu mengambil keputusan-keputusan tiga madzhab selain madzhab Hanafi dan mengambil pendapat-pendapat dhaif yang ada dalam madzhab Hanafi. Pada tahun 1920, kemudian tahun 1929, kemudian tahun 1936, Pemerintah Mesir mengeluarkan undang-undang yang diambil dari keputusan-keputusan madzhab yang berbeda-beda. Hingga sekarang, pemerintah Mesir menggunakan dalam undang-undang tersebut aturan-aturan keluarga
yang ditetapkan oleh Pemerintahan Utsmani. Penentuan undang-undang itu dihadiri oleh ulama-ulama besar dan pakar hukum syar'i dari berbagai madzhab. Dalam membuat keputusan mereka mempertimbangkan perubahan zaman, perkembangan kehidupan sosial, perubahan kemaslahatan dan hajat, dan perubahan situasi dan sistem.
Contoh undang-undang yang dibuat dengan cara talfiq adalah undang-undang Wasiat Wajibah No. 71 pasal 76-79 dalam undang-undang al-ahwal asy-syakhshiyyah Mesir yang dikeluarkan pada tahun 1946. Undang-undang ini dibuat untuk menghadapi masalah bagian waris anak-anak lelaki si mayit dalam keadaan ayah si mayit masih hidup. Undang-undang Syiria tahun 1953 juga mengikuti undang-undang Mesir tersebut, meskipun ada perbedaan antara keduanya. Undang-undang Mesir tidak membedakan antara anak lelaki dan perempuan mayit. Sementara, undang-undang Siria hanya menetapkan anak lelaki saja, adapun anak perempuan mayit dianggap
sebagai dzawil arham yang mendapat bagian warisan. Undang-undang ini diambil dari berbagai pendapat fiqih, seperti pendapat Ibnu Hazm Az-Zahiri, pendapat para tabi'in, salah satu riwayat dalam madzhab Hambali, madzhab Ibadhi, dan tidak membatasi diri pada satu pendapat fiqih tertentu.
Contoh undang-undang yang dibuat dengan cara talfiq antara madzhab empat dan lainnya, dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia adalah: bolehnya memberi wasiat kepada ahli waris tanpa bergantung kepada izin ahli waris yang lain. Keputusan ini terdapat pada Pasal 37 dalam undang-undang wasiat Mesir no. 77 tahun 1946. Keputusan ini diambil dari pendapat sebagian mufassirun, di antaranya adalah Abu Muslim Al-Ashfihani, dan juga sebagian fuqaha selain madzhab empat, seperti sebagian imam Syi'ah Zaidiyah, sebagian imam Syi'ah Imamiyyah
dan Isma'iliyyah.
Contoh lainnya adalah, penetapan diterimanya kesaksian harus disertai dengan bukti-bukti yang kuat seperti tulisan, surat resmi, dll., supaya dapat menghilangkan keraguan karena perubahan zaman dan semakin lemahnya semangat keberagamaan manusia. Begitu juga dengan tidak diterimanya tuduhan/pengakuan setelah lewat lima belas tahun. Kecuali dalam masalah wakaf dan warisan, jika dalam kedua masalah ini, maka jangka waktunya adalah tiga puluh tiga tahun. Aturan ini terdapat dalam undang-undang Mahkamah Syariah Mesir tahun 1880. Begitu juga dengan tidak diterimanya pengakuan pernikahan atau talak setelah meninggalnya salah satu dari suami atau istri. Kecuali jika pengakuan tersebut didukung dengan surat-surat resmi yang dapat menghilangkan keraguan. Aturan ini terdapat pada Pasal 31 tahun 1897 dalam undang-undang Mesir.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)