BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Ada amalan-amalan lain yang belum disinggung. Berikut ini akan membahas masalah niat dalam amalan-amalan tersebut secara global (Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 115).

1. JIHAD

Jihad merupakan ibadah yang paling agung. Oleh sebab itu, ia perlu disertai dengan niat yang ikhlas, supaya benar-benar fi sabilillah.

2. WASIAT

Wasiat sama dengan membebaskan budak. Apabila orang yang melakukan wasiat mempunyai niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka dia akan mendapatkan pahala. Jika tidak, maka perbuatannya tetap dianggap sah.

3. WAKAF

Asal wakaf bukanlah ibadah, karena orang kafir boleh melakukan wakaf. Apabila seorang Muslim melakukan wakaf dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka dia mendapat pahala. Apabila tidak ada niat tersebut, maka dia tidak mendapatkan pahala.

4. NIKAH

Nikah merupakan amalan yang dekat dengan amalan ibadah. Bahkan, menikah lebih utama daripada mengalokasikan semua waktu hanya untuk ibadah saja. Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Hanafi, dalam kondisi normal hukum nikah adalah sunnah mu'akkadah. Sehingga untuk membuahkan pahala, ia memerlukan niat. Niatnya adalah untuk menjaga kemuliaan diri, menjaga kehormatan istrinya, dan untuk mendapatkan keturunan. Masalah rujuk dan talak adalah
sama dengan masalah nikah, karena keduaduanya sama mempunyai maksud untuk membangun kekalnya hubungan keluarga. Sehingga apabila orang yang melakukannya menggunakan kata yang jelas, maka ia tidak memerlukan niat. Namun jika dia menggunakan kata sindiran (kinayah), maka ia memerlukan niat.

5, MENETAPKAN HUKUMAN (AL-QADHA')

Al-Qadha' juga termasuk ibadah, sehingga dia memerlukan niat apabila ingin mendapatkan
pahala.

6. HUDUD, TA'ZIR, DAN KETETAPAN-KETETAPAN HAKIM DAN PEMERINTAH

Supaya mendapatkan pahala, maka perlu adanya niat dalam hal-hal tersebut.

7. GANTI RUGI

Membayar ganti rugi tidak memerlukan niat. Orang yang merusak milik orang lain baik sengaja atau tidak wajib membayar ganti rugi. Apakah sesuatu yang diniati dan belum dikerjakan dapat menyebabkan wajibnya membayar ganti rugi? Madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang berihram jika memakai baju (berjahit) kemudian dia melepaskannya, dan sewaktu melepaskannya dia berniat akan memakainya lagi, maka dendanya tidak serta-merta menjadi ganda (hanya dengan niat itu), Namun jika dia berniat tidak akan memakainya lagi, tetapi dia memakai baju itu lagi, maka hukumannya menjadi ganda. Begitu juga orang yang dititipi baju kemudian memakai baju titipan tersebut, dan kemudian melepasnya lagi dan dia berniat akan memakainya lagi, maka dia tetap dibebani tanggungan ganti rugi apabila ada kerusakan.

8. KAFARAT

Supaya kafarat menjadi sah, maka diperlukan niat, baik kafarat itu berbentuk pembebasan
budak, puasa, atau memberi makan fakir miskin.

9, MENYEMBELIH QURBAN

Menyembelih hewan qurban juga memerlukan niat. Tetapi menurut pendapat madzhab Hanafi, niat tersebut dinyatakan ketika membeli, bukannya ketika menyembelih. Apabila ada orang yang sewaktu membeli hewan berniat untuk menjadikannya sebagai hewan qurban, kemudian ada orang lain yang menyembelih hewan tersebut tanpa sepengetahuan dan tanpa izin orang pertama, maka jika orang yang menyembelih itu berniat sebagai wakil dari orang yang memiliki, dia tidak menanggung ganti rugi. Namun jika orang kedua tersebut menyembelih untuk dirinya sendiri, maka apabila orang kedua tersebut tidak mengganti harga hewan itu kepada pemilik pertama, maka qurban mencukupi. Namun apabila yang menyembelih itu mengganti harga hewan tersebut, maka qurban itu belum mencukupi.
Apakah hewan yang sudah diniati untuk qurban harus disembelih sebagai qurban? Madzhab Hanafi menegaskan apabila ada orang miskin membeli hewan dengan maksud untuk qurban, maka dia harus melaksanakannya. Dia tidak boleh menjualnya. Namun apabila orang yang membeli itu kaya, maka niatnya tidak mesti dilaksanakan. Namun, Ibnu Nujaim dalam Al-Asybah menegaskan bahwa niat qurban itu harus dilaksanakan secara mutlak. Adapun pendapat yang shahih menurut selain Ibnu Nujaim, niat tersebut tidak mesti dilaksanakan dan boleh disembelih di selain hari-hari qurban dan kemudian menyedekahkannya.
Madzhab Syafi'i dan satu pendapat dalam madzhab Maliki menegaskan bahwa keharusan melaksanakan qurban bergantung kepada ucapan orang yang membelinya. Apabila dia mengatakan, "ini adalah hewan qurban" atau "aku jadikan hewan ini sebagai hewan qurban," maka dia wajib melaksanakan perkataannya itu. Karena dengan perkataan itu, maka dia sudah tidak mempunyai hak kepemilikan atas hewan tersebut. Menurut madzhab Maliki, keharusan melaksanakan qurban disebabkan niat sebelumnya atau aktivitas penyembelihan, Hal ini bertentangan dengan pendapat yang masuk kategori Al-Madzhab. Adapun menurut pendapat yang mu'tamad dan masyhur dalam madzhab, keharusan melaksanakan qurban hanya disebabkan aktivitas penyembelihan. Dan penyembelihan qurban tidak menjadi wajib karena nadzar.

PENUTUP

Demikianlah pembahasan niat, kepentingannya, dan juga hukum-hukumnya. Ia adalah pekerjaan hati yang mengarahkan seorang Muslim kepada kebaikan atau kejelekan. Ia juga standar bagi penilaian amalan-amalan syara' seperti ibadah, muamalah. Dengan niat, maka bisa ditetapkan mana amalan yang shahih dan mana amalan yang tidak sah dan tidak diakui.
Dengan niat, maka amal seseorang dapat membuahkan pahala atau siksa di akhirat. Jika dalam melakukan amalan seseorang berniat untuk jihad, mencintai sesama mukmin, dan dilaksanakan dengan hati yang bersih, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala. Namun jika amalnya didorong oleh riya’, supaya terkenal atau prestise, maka ia akan menghasilkan siksa.
Barangsiapa niatnya baik maka ia akan mendapatkan kemuliaan, kejayaan, dan kebaikan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa niatnya jelek, maka dia akan mendapatkan kerugian dan kehinaan di dunia dan akhirat.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)