Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Sebelumnya telah dibahas masalah syarat-syarat niat, tempat, cara,
waktu niat, dan sebagainya. Sehingga, dalam masalah niat sewaktu ibadah kita
hanya akan membahas apakah niat termasuk rukun atau syarat dalam ibadah.
Sebagaimana diketahui, syarat dan rukun adalah sama-sama fardhu, tetapi keduanya
mempunyai perbedaan. Syarat adalah faktor eksternal dari perkara yang
disyarati, seperti bersuci merupakan syarat sah shalat dan dia merupakan faktor
eksternal dari
perbuatan
shalat. Sedangkan rukun -menurut istilah dalam madzhab Hanafi- adalah sesuatu
yang diperlukan oleh kewujudan suatu perkara. Sehingga, ia merupakan bagian sesuatu
dan merupakan unsur internal yang membangun sesuatu tersebut. Sedangkan arti rukun
menurut jumhur ulama adalah, perkara yang menjadi penopang utama kewujudan sesuatu,
baik dia merupakan bagian internal dari sesuatu tersebut maupun dia merupakan unsur
utama bagi sesuatu itu. Rukuk dan sujud merupakan rukun dalam shalat, karena kedua
perbuatan tersebut merupakan bagian dari saslat, Shighat ijab dan qabul
merupakan syarat akad menurut istilah madzhab Hanafi. Selain shighat ijab dan
qabul, dua orang yang melakukan akad, benda yang diakadi dan harga juga
dianggap sebagai rukun akad menurut istilah jumhur ulama.
Namun sebelum membahas secara terperinci masalah hukum niat dalam
ibadah, saya akan uraikan dulu pembahasan yang dilakukan oleh Imam As-Suyuthi
dan Ibnu Nujaim, karena kedua imam ini merupakan wakil representatif bagi dua
kelompok dalam masalah apakah niat itu ruku atau syarat dalam ibadah. Ibnu
Nujaim (Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 5) berkata, "Menurut
madzhab kami, niat adalah syarat dalam semua bentuk ibadah. Ini merupakan
kesepakatan semua ulama madzhab Hanafi. Dia bukan rukun. Perbedaan hanya muncul
dalam masalah takbiratul ihram, namun pendapat yang mu'tamad adalah
takbiratul ihram merupakan syarat sama seperti niat. Namun dikatakan juga
takbiratul ihram adalah rukun. Madzhab Hambali dan Maliki juga mengatakan bahwa
niat adalah syarat dalam ibadah, ia bukan rukun meskipun berada di dalam
ibadah." (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 57; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman
115)
Imam As-Suyuthi mengatakan
bahwa ulama pengikut madzhab Syafi'i berbeda pendapat apakah niat termasuk
rukun atau syarat ibadah. Sebagian besar dari mereka memilih bahwa niat adalah
rukun, karena niat berada di dalam amalan ibadah, dan itu merupakan
karakteristik rukun. Sedangkan syarat, adalah perkara yang mendahului amalan
ibadah dan harus terus-menerus bersambung dengan ibadah.
A.
BERSUCI
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam hal apakah niat wudhu
menjadi syarat atau bukan. Madzhab Hanafi (Al-Bada’i, jilid 1 halaman
17; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 98 dan setelahnya) menyatakan
bahwa orang yang wudhu disunnahkan memulai wudhunya dengan niat supaya
mendapatkan pahala, waktu pelaksanaannya adalah sebelum istinja’,
sehingga semua amal perbuatannya dapat dikategorikan sebagai ibadah untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala.
Caranya adalah dengan niat menghilangkan hadats, niat untuk
melakukan shalat, niat wudhu, atau niat melaksanakan perintah. Tempat niat
adalah hati. Apabila seseorang mengucapkan niatnya dengan lisan dengan tujuan
supaya amalan hati dan lisan berjalan bersama-sama, maka hal tersebut
disunnahkan.
Konsekuensi pendapat yang tidak menganggap niat sebagai fardhu ini
adalah sahnya wudhu orang yang ingin mendapat kesegaran, atau orang yang masuk
ke dalam kolam untuk berenang, untuk membersihkan badan, atau untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam, dan sebagainya. Dalil-dalil mereka adalah
sebagai berikut: [1] Tidak adanya nash dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa
niat adalah fardhu. Ayat wudhu hanya memerintahkan membasuh anggota badan yang
tiga dan mengusap kepala. Penetapan niat sebagai syarat wudhu dengan
menggunakan hadits ahad berarti menambah aturan yang ditetapkan nash Al-Qur'an.
Dan bagi madzhab Hanafi, menambah merupakan salah satu bentuk naskh
(menghapus ketetapan hukum yang sebelumnya), dan naskh tidak boleh
dilakukan dengan menggunakan hadits ahad; [2] Tidak adanya nash sunnah
yang menyatakan bahwa niat adalah fardhu. Nabi juga tidak mengajarkan hal
tersebut kepada orang Arab, padahal mereka adalah orang-orang yang bodoh.
Difardhukannya niat dalam tayamum, adalah karena ia menggunakan debu, dan debu
sebenarnya tidak dapat menghilangkan hadats. Debu hanya sebagai pengganti air;
[3] Qiyas terhadap jenis-jenis thaharah yang lain dan ibadah-ibadah yang
lain. Wudhu adalah bersuci dengan menggunakan air, maka dia tidak disyaratkan
berniat sama seperti menghilangkan najis dengan air. Niat juga bukan termasuk
syarat dalam shalat sama seperti menutup aurat. Wanita dzimmi istri
seorang Muslim yang haidnya berhenti juga tidak diwajibkan mandi; [4] Wudhu
adalah amalan pengantar (wasilah) sebelum shalat. Wudhu bukanlah amalan
yang menjadi tujuan utama. Niat hanya dituntut dalam amalan-amalan yang termasuk
kategori tujuan utama (maqashid) bukan yang masuk kategori wasilah.
Jumhur ulama selain madzhab Hanafi (An-Nawawi, Al-Majmu’
jilid 1, halaman 361 dan setelahnya; Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman
7; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1, halaman 93 dan setelahnya; Mughnil
Muhtaj, jilid 1, halaman 47 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman
110 dan setelahnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 94-101) mengatakan
bahwa niat merupakan amalan fardhu dalam wudhu, supaya amalan-amalan wudhu
benar-benar menjadi amalan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Shalat tidak boleh dilaksanakan dengan amalan wudhu yang tidak dimaksudkan
untuk ibadah, sehingga amalan itu menjadi laksana perbuatan makan, minum,
tidur; dan sebagainya. Dalil yang mereka pakai adalah sebagai berikut.
[1] Sunnah, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i,
dan Ibnu Majah yang bersumber dari sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu, “Innamal
a'maalu bin'niyaat wa innamaa likullimri'in maa nawaa." Maksudnya adalah
amal-amal yang diakui oleh syara' adalah amal-amal yang menggunakan niat. Wudhu
adalah suatu amalan dan ia tidak akan diakui oleh syara' jika tanpa niat; [2] Untuk
merealisasikan ikhlas dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah
Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya, "Padahal mereka hanya diperintah
menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)
agama...” Wudhu adalah ibadah yang diperintah oleh syara'. Ia tidak akan
diakui apabila dijalankan tanpa keikhlasan niat hanya kepada Allah Ta’ala. Ikhlas
adalah perbuatan hati, yaitu niat; [3] Qiyas. Niat disyaratkan dalam amalan
wudhu, sama seperti dalam amalan shalat dan juga sama dengan tayammum yang dikerjakan
dengan maksud supaya boleh malaksanakan shalat; [4] Wudhu adalah pengantar (wasilah)
kepada tujuan utama, yaitu shalat, sehingga ia mempunyai hukum yang sama dengan
tujuan utama tersebut. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah
Al-Maa’idah ayat 6 yang artinya, "Apabila kamu hendak
melaksanakan
shalat, maka basuhlah wajahmu....” Ini menunjukkan bahwa wudhu diperintahkan
ketika hendak melaksanakan shalat dan untuk ibadah shalat. Oleh sebab itu,
sewaktu membasuh anggota wudhu mestinya diniatkan untuk melaksanakan shalat,
dan hal itu akan terjadi hanya dengan niat.
Setelah membandingkan dua dalil yang digunakan dua kelompok yang
berbeda pendapat di atas, maka menurut Syeikh Wahbah Zuhaili, pendapat yang
tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa niat dalam wudhu termasuk fardhu. Karena,
banyak hadits ahad yang menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur'an, bahkan
hadits yang diriwayatkan Umar -meskipun jalur sanad bagian awal termasuk jenis gharib,
tapi jalur sanad bagian akhir termasuk jenis sanad masyhur-, sehingga hadits
tersebut adalah hadits masyhur. Perawi yang meriwayatkan
dari
Umar ada lebih dari dua ratus orang dan kebanyakannya adalah tokoh-tokoh utama,
di antaranya adalah Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Ibnul Mubarak, Al-Laits
bin Sa'd, Hammad bin Zaid, Syu'bah, Ibnu Uyainah, dan lain-lain. Selain itu,
mengalirnya air ke anggota tubuh tanpa disertai niat, atau disertai niat mendapat
kesegaran, bukan dianggap sebagai amalan wudhu. Ia dapat dianggap sebagai wudhu
jika sesuai dengan tuntutan-tuntutan syariah, dan segala amal perbuatan
bergantung kepada tujuan atau niatnya, sebagaimana yang telah disepakati oleh
ulama.
1.
Tayamum
Ulama bersepakat bahwa niat adalah wajib dalam tayamum. Menurut
madzhab Maliki dan Syafi'i, niat dikategorikan sebagai fardhu. Adapun menurut
pendapat madzhab Hanafi dan Hambali (Al-Bada'i' , jilid 1, halaman
45,52; Fathul Qadir jilid 1, halaman 86, 89; Ad-Dardir, Asy-Syarhul
Kabir jilid 1, halaman 154; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 37; Bidayatul
Mujtahid, jilid 1. halaman 64 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1,
halaman 97; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 32; Al-Mughni, jilid
1, halaman 251; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 199 dan setelahnya) yang
mu'tamad, niat merupakan syarat. Dalil mereka bahwa niat dalam tayamum
termasuk syarat adalah hadits "innamal a'maalu bin-niyaat."
Madzhab Maliki juga berargumentasi bahwa debu dapat menyebabkan kotornya
anggota badan. Oleh sebab itu, dia tidak dapat menyucikan jika tanpa niat.
Dengan kata lain, debu bukanlah suci secara hakiki. Ia dihukumi suci karena ada
hajat, dan hajat hanya diketahui dengan niat. Berbeda dengan wudhu yang
merupakan amalan bersuci yang hakiki, maka tidak diperlukan menyatakan hajat
ketika berwudhu sehingga tidak perlu niat.
2.
Mandi
Perbedaan pendapat yang ada dalam mandi sama dengan perbedaan
pendapat yang ada dalam wudhu. Jumhur ulama -selain madzhab Hanafi- menetapkan
kewajiban niat ketika mandi sama seperti ketika wudhu, dengan dasar hadits
"innamal a'maalu bin-niyaat." Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
memulai mandi dengan niat adalah sunnah, supaya mandinya benar-benar menjadi sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga mendapatkan pahala, sama seperti
dalam wudhu (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1, halaman 140 dan setelahnya; Ad-Dardir,
Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 166 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj,
jilid 7, halaman 72 dan setelahnya; Kasysyaful Qina', jilid 1, halaman
173 dan setelahnya; Al-Majmu’ jilid 1, hlm. 370).
Madzhab Hambali juga mensyaratkan niat dalam memandikan mayit,
orang yang memandikan wajib berniat memandikan mayit. Dasarnya adalah hadits
"innamal a'maalu bin-niyaat."
3.
Shalat
Menurut kesepakatan ulama, niat wajib dilakukan sewaktu
melaksanakan shalat, supaya ia menjadi beda dengan adat kebiasaan dan juga
supaya muncul keikhlasan hanya kepada Allah ketika melaksanakan shalat. Shalat adalah
ibadah, dan ibadah adalah ikhlas mengamalkan suatu pekerjaan secara menyeluruh
hanya karena Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Bayyinah ayat
5 yang artinya, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan
ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama....”
Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa orang Arab biasa mengatakan ikhlas
dengan menggunakan kata niat. Hadits "innamal a'maalu bin-niyaat” juga
menunjukkan kepada wajibnya niat, sehingga shalat tanpa niat adalah tidak sah.
Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, niat merupakan salah satu syarat sah shalat,
begitu juga menurut pendapat yang rajih dalam madzhab Maliki. Menurut madzhab
Syafi'i dan sebagian madzhab Malik, niat merupakan salah satu rukun shalat. Karena,
niat wajib dilakukan pada sebagian dari amalan shalat saja, yaitu di awal
shalat, bukan pada seluruh amalan shalat. Sehingga, dia merupakan salah satu
rukun shalat sama seperti takbir dan ruku’.” (Tabyinul Haqa'iq, jilid 1,
halaman 99; Asybah wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, halaman 14; Asy-Syarhul
Kabir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi, jilid 1, halaman 233, 521; Asy-Syarhush Shaghir
jilid 1, halaman 305; Al-Majmu', jilid 1, halaman 148 dan
setelahnya; Al-Asybah wan-Nazha'ir lis-Suyuthi, halaman 11, 38; Mughnil
Muhtaj, jilid 1, halaman 148; Hasyiyah Al-Bajuri, jilid 1, halaman
149; Al-Mughni, jilid 1, halaman 464 dan setelahnya; Ghayatul Muntaha,
jilid 1, halaman 115; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 364 dan
setelahnya)
Apakah seorang imam wajib niat sebagai imam? Sebagian ulama
berpendapat bahwa niat seperti itu tidak wajib. Pendapat ini menjadikan hadits
yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas berdiri di samping Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam setelah beliau memulai shalat sebagai dalil.
Sebagian ulama yang lain mewajibkan niat menjadi imam, karena
seorang imam bertanggung jawab menanggung sebagian amalan-amalan shalat
makmumnya (Al-Asybah wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, halaman 15; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 57, 68 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj, jilid
2, halaman 252-258; Kasysyaful Qina', jilid 1, halaman 565 dan setelahnya.).
Jumhur ulama berpendapat bahwa niat menjadi imam bukan merupakan
syarat, tetapi disunnahkan melakukannya supaya mendapat keutamaan jamaah.
Apabila seorang imam tidak berniat menjadi imam, maka ia tidak mendapatkan
keutamaan jamaah. Karena, seseorang akan mendapatkan pahala amal sesuai dengan
apa yang diniatinya. Madzhab Syafi'i dan Maliki mengecualikan shalat-shalat yang
sahnya hanya dilakukan dengan cara berjamaah seperti shalat Jumat, shalat jamak
karena hujan, shalat khauf, dan istikhlaf, maka imamnya harus
niat sebagai imam.
Madzhab Hanafi mengecualikan orang yang menjadi imam bagi makmum
perempuan, imam tersebut disyaratkan niat menjadi imam supaya ikutnya makmum
wanita kepadanya dalam shalat dapat dianggap sah.
Madzhab Hambali mengatakan bahwa niat menjadi imam adalah syarat
dalam shalat jamaah secara mutlak. Oleh sebab itu, seorang imam harus niat
sebagai imam dan makmum juga harus niat sebagai makmum. Apabila niat itu tidak
dilakukan, maka batallah shalatnya. Namun apabila ada orang yang bertakbiratul ihram
secara sendirian lalu dating orang lain dan melakukan shalat bersamanya, kemudian
orang tersebut niat sebagai imam, maka sahlah niatnya jika shalatnya tersebut adalah
shalat sunnah. Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Abbas yang berkata, “Saya
bermalam di rumah bibiku, Maimunah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bangun tengah malam untuk melakukan shalat malam. Beliau menuju ke tempat
air untuk berwudhu dan kemudian melakukan shalat. Ketika saya melihat
Rasulullah melakukan hal itu, saya pun bangun. Lalu saya mengambil wudhu di
tempat air dan kemudian berdiri di sisi kiri Rasul. Namun, Rasul kemudian
menarik tanganku dan menarikku ke sisi kanannya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Adapun dalam shalat fardhu, apabila ada orang yang melakukan shalat
–umpamanya imam masjid- dan dia menunggu kedatangan orang lain, lalu dia
melakukan takbiratul ihram dulu baru kemudian ada orang yang datang dan shalat
bersamanya, maka menurut madzhab Hambali yang demikian itu boleh. Alasannya
adalah karena Nabi pernah takbiratul ihram sendiri, kemudian Jabir dan Jabarah
datang. Lalu keduanya melakukan takbiratul ihram dan shalat bersama Rasul.
Rasul tidak mengingkari apa yang mereka lakukan. Zahir hadits itu menunjukkan
bahwa shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu, karena mereka sedang dalam
perjalanan. Selain dalam kondisi-kondisi tersebut, maka tidak sah menjadi
makmum kepada orang yang tidak niat menjadi imam.
Adapun niat makmum untuk mengikuti imam adalah syarat, sebagaimana
telah disepakati
oleh
semua madzhab. Oleh sebab itu, seorang makmum yang tidak niat mengikuti imam,
tidak sah ikutnya dengan imam. Caranya adalah sewaktu takbiratul ihram makmum menyatakan
niat mengikuti imam atau niat berjamaah, atau niat menjadi makmum. Apabila dia
meninggalkan niat tersebut atau ragu dan dia mengikuti gerakan imam, maka
shalatnya makmum tersebut batal. Makmum juga tidak perlu menyebut nama imamnya
sewaktu niat. Apabila dia menyebut nama imam dan keliru, maka batallah
shalatnya menurut madzhab Syafi'i. Namun, menentukan orang tertentu untuk
dijadikan imam adalah wajib. Umpamanya adalah ada orang niat mengikuti shalatnya
salah satu orang yang ada di depannya dan dia tidak menentukan yang mana dari dua
orang tersebut, maka tidak sah. Shalatnya menjadi sah apabila dia menentukan
dengan jelas orang yang mana yang ia jadikan imam. Karena, menentukan imam
secara pasti adalah syarat. Bermakmum kepada orang lebih dari satu juga tidak
boleh. Apabila seseorang niat bermakmum kepada dua orang maka tidak sah, karena
dia tidak mungkin mengikuti kedua-duanya secara bersamaan.
Menurut madzhab Syafi'i, syarat niat mengikuti imam (al-iqtida')
adalah dilakukan bersama dengan takbiratul ihram. Menurut madzhab Hanafi, niat
tersebut boleh mendahului takbiratul ihram, dengan syarat di antara niat dan
takbiratul ihram tersebut tidak ada hal asing yang menghalangi. Namun menurut
madzhab Hanafi dan juga madzhab Hambali, yang utama adalah melakukan niat tersebut
bersamaan dengan melakukan takbiratul ihram, supaya terhindar dari perbedaan pendapat
dalam masalah ini, dan keluar dari dilema perbedaan (al-khuruj min al-khilaf)
adalah
disunnahkan.
Madzhab Maliki mensyaratkan niat tersebut dilakukan berbarengan
dengan takbiratul ihram, atau sebelumnya dalam jarak waktu yang dekat, sama
seperti niat shalat yang sudah diterangkan.
Menurut pendapat yang masyhur, adzan tidak memerlukan niat. Namun,
ada yang mengatakan bahwa ia memerlukan niat.
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, niat menyampaikan khatbah
adalah syarat bagi khatbah Jumat. Dalilnya adalah hadits "innamal
a'maalu bin-niyaat.” Kalau seumpamanya khatib menyampaikan khatbah tanpa
niat, maka-menurut mereka, tidak diakui oleh syara'. Madzhab Maliki dan Syafi'i
tidak mensyaratkan niat dalam khatbah Jumat, melainkan mereka mensyaratkan
tidak adanya niat yang menyimpang dari khatbah seperti umpamanya khatib
mengucapkan hamdalah, namun bukan untuk khatbah, tapi untuk mendoakan orang
yang bersin. Maka, hamdalahnya itu belum cukup bagi sahnya khatbah (Ad-Durrul
Mukhtar, jilidl, halaman 757-760; Muraqi Al-Falah, halaman 87; Kasysyaful
Qina’ jilid 2, halaman 34-37; Al-Asybah wan-Nazha'ir li Ibni Nujaim,
halaman 15).
Madzhab Syafi'i mensyaratkan niat ketika melakukan sujud tilawah
dan sujud syukur; dan niat teresbut harus dilakukan ketika takbiratul ihram.
Namun apabila sujud tilawah tersebut dilakukan dalam shalat, maka niatnya cukup
dalam hati tidak perlu diucapkan dengan lisan, sama dengan ketika hendak melakukan
sujud sahwi.
Madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa jamak taqdim dapat
dianggap sah jika ada niat jamak sewaktu melakukan takbiratul ihram shalat yang
pertama. Dalilnya adalah "innamal a'maalu bin-niyaati,” menurut madzhab
Syafi'i dalam qaul yang azdhar, niat jamak tersebut boleh
dilakukan ketika di tengah-tengah melaksanakan shalat yang pertama, meskipun
sewaktu salam. Dua madzhab ini juga mengatakan bahwa jamak ta'khir dianggap
sah jika ada niat jamak atau niat
ta'khir
(mengakhirkan shalat) yang dilakukan sebelum waktu shalat pertama habis.
Meskipun, niat itu dilakukan di akhir waktu sekadar satu rakaat yaitu dalam
waktu kalau sekiranya orang tersebut melakukan shalat tersebut dalam waktu itu,
maka tetap dianggap melakukan shalat ada’, ini menurut madzhab Syafi'i.
Adapun menurut madzhab Hambali, niat tersebut harus dilakukan sebelum sampai waktu
yang sempit sehingga tidak cukup untuk melakukan shalat yang pertama. Apabila niat
dilakukan dalam waktu sempit tersebut, maka jamaknya tidak sah. Karena,
mengakhirkan shalat hingga kadar waktu yang sempit sehingga tidak cukup untuk
melakukan shalat tersebut adalah haram dan berdosa (Al-Majmu', jilid 4, halaman
253-269; Mughnil Muhtaj, jilid l, halaman 277-275; Kasysyaful Qina',
jilid 2, halaman 3-8; Al-Mughni, jilid 2, halaman 273, 281).
4.
Puasa
Jumhur ulama selain madzhab Syafi'i berpendapat bahwa niat puasa
adalah syarat. Alasannya adalah puasa Ramadhan dan puasa-puasa lainnya
merupakan ibadah. Ibadah adalah nama satu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang
atas inisiatifnya sendiri (iktiyar) dan ikhlas karena memenuhi perintah Allah.
Ikhtiyar dan ikhlas tidak akan wujud tanpa niat. Oleh sebab itu,
melaksanakan puasa tanpa niat adalah tidak sah, karena dengan niat maka ibadah
dapat dibedakan dari adat.
Adapun madzhab Syafi'i berpendapat bahwa niat puasa merupakan rukun
sama seperti menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa. Dalilnya
adalah "innamal a'maalu bin- niyaat.” (Ad-Durrul Mukhtar: jilid 2,
halaman 116 dan setelahnya; Muraqi Al-Falah, halaman 105; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 113; Al-Asybah wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, halaman
16, 35; Al-Asbahwan Nazha'ir lis-Suyuthi, halaman 16; Mughnil Muhtaj,
jilid l, halaman 423, 432; Al-Muhadzhab, jilid 1, halaman 177; Al-Mughni,
jilid 3, halaman 137 dan setelahnya; Kasysyaful Qina', jilid 2, halaman 359)
Menurut pendapat yang ashah dalam madzhab Syafi'i niat ada'
(melakukan secara tunai) dan qadha' (melakukan ibadah sebagai pengganti
ibadah yang terlewat) dalam shalat, haji, zakat, kafarat, dan shalat jenazah bukanlah
termasuk syarat. Adapun niat ada' dalam shalat Jumat adalah karena
shalat Jumat tidak dapat di-qadha'. Menyatakan niat qadha' dalam puasa qadha'
juga harus dilakukan. Ini merupakan pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi'i
dan merupakan kesepakatan
semua
madzhab.
5. I'tikaf
I'tikaf menurut madzhab Syafi'i adalah berdiam diri di dalam Masjid
yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat. Menurut kesepakatan ulama, niat
merupakan syarat bagi sahnya i'tikaf, baik itu i'tikaf wajib, sunnah, atau nafl.
Oleh sebab itu, i'tikaf tidak sah jika tanpa niat. Dalilnya adalah hadits "innamal
a'maalu bin-niyaat,” dan juga karena i'tikaf adalah ibadah murni (mahdhah),
sehingga tidak akan sah tanpa niat sama seperti puasa, shalat dan ibadah-ibadah
yang
lain.
Madzhab Syafi'i menambahkan, apabila i'tikaf tersebut fardhu karena nadzar
maka orang yang melakukannya harus menyatakan kefardhuannya, supaya i'tikaf
tersebut dapat dibedakan dari jenis ketaatan yang lain (Fathul Qadir jilid
2, halaman 106 dan setelahnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 2, halaman 777
dan setelahnya; Al-Asybah wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, halaman 17; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 125; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 725
dan setelahnya; Al-Muhadzdzab, jilid l, halaman 190 dan setelahnya; Mughnil
Muhtaj, jilid 1, halaman 453 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 3, halaman
184 dan setelahnya; Kasysyaful Qina', jilid 2, halaman 406 dan
setelahnya.).
6.
Zakat
Para ahli fiqih sepakat bahwa niat adalah syarat dalam membayar
zakat. Dasarnya adalah
"innamal
a'maalu bin-niyaat,” aktivitas membayar adalah suatu pekerjaan dan ia
termasuk ibadah sama seperti shalat sehingga memerlukan niat, supaya dapat
dibedakan antara zakat yang wajib dengan sedekah yang sunnah (Al-Asybah
wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, halaman 16; Al-Bada'i jilid 2, halaman 40l;
Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 666 dan setelahnya; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 99; Al-Majmu’ jilid 6, halaman 182 dan
setelahnya; Al-Mughni, jilid 2, halaman 638 dan setelahnya.).
7.
Haji dan Umrah
Menurut madzhab Hanafi, niat ihram haji merupakan syarat sah bagi
haji baik hajinya fardhu ataupun sunnah. Begitu juga dalam ihram umrah. Dan
umrah menurut mereka adalah sunnah. Adapun umrah yang dinadzarkan, maka
hukumnya adalah fardhu. Apabila ada orang nadzar melakukan haji wajib, maka dia
hanya diwajibkan melakukan haji wajib tersebut, sama seperti masalah
menyembelih qurban.
Adapun jumhur ahli fiqih mengatakan bahwa ihram -niat memulai
melakukan manasik- adalah rukun dalam amalan haji dan umrah. Sehingga, haji dan
umrah tidak sah jika tanpa niat dan ihram juga tidak sah tanpa niat. Dalilnya
adalah "innamal a'maalu bin-niyaat." Selain daripada itu, haji
dan umrah adalah ibadah yang murni (mahdhah), sehingga ia tidak sah jika
tanpa niat sama seperti puasa dan shalat. Tempat niat adalah hati. Ihram adalah
niat dalam hati. Menurut kebanyakan ulama, melafalkan niat dengan lisan
merupakan keutamaan, karena ada riwayat dari sahabat Anas dalam Shahih Muslim
yang menyatakan bahwa Anas mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, "Kami datang untuk haji dan umrah." (Al-Asybah
wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, halaman 16; Al-Bada'i jilid 2, halaman
161; Fathul Qadir jilid 2, halaman 134 dan setelahnya; Asy-Syarhush
Shaghir jilid 2, halaman 16, 25; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman
131; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 476 dan setelahnya; Al-Majmu’ jilid
7, halaman 226 dan setelahnya; Ghayatul Muntaha jilid 1, 365; Al-Mughni,
jilid 3, halaman 288-281)
Menurut jumhur ihram sudah terjadi hanya dengan niat saja. Namun
menurut madzhab Hanafi, ihram tidak cukup hanya dengan niat saja, melainkan ia
harus bersamaan dengan ucapan atau pekerjaan haji seperti talbiyah atau
melepaskan diri dari pakaian yang berjahit.
8.
Sumpah
Sumpah dengan nama Allah tidak memerlukan niat. Oleh sebab itu,
sumpah yang dilakukan dengan sengaja, tidak sengaja, lalai, atau dipaksa, akan
tetap menjadi sumpah yang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Begitu juga
apabila seseorang melanggar sumpahnya dengan melakukan sesuatu yang dia
bertekad untuk tidak melakukannya (Al-Asybah wa An-Nadzair li Ibni Nujaim halaman
19-20).
Adapun dalam kasus sumpah yang diminta oleh pihak lain (umpamanya
dalam satu persengketaan), maka ulama bersepakat bahwa sumpah dalam masalah
pengakuan dan tuduhan adalah bergantung kepada niat orang yang menuntut sumpah
(mustahlif) bukannya orang yang bersumpah (halif). Namun, para ulama
berbeda pendapat dalam hal niat sumpah untuk berjanji dan semacamnya. Sebagian ulama
mengatakan bahwa hal itu bergantung kepada niat orang yang bersumpah (halif).
Sedangkan ulama yang lain, mengatakan bahwa hal itu bergantung kepada niat
orang yang menuntut sumpah (mustahlif) (Bidayatul Mujtahid, jilid
1, halaman 403; Al-Bada'i , jilid 3, halaman 20; Al-Asybah Ii lbni
Nujaim, halaman 20, 57; Mughnil Muhtaj jilid 4, halaman 321; Al-Mughni,
jilid 8, halaman 727 ,763; Asy-Syarhul Kabir ma'a Ad-Dasuqi, jilid 2, halaman
139; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 162).
Madzhab Maliki mengatakan bahwa sumpah bergantung kepada niat orang
yang menuntut
sumpah
(mustahlif), dan niat orang yang bersumpah (halif) tidak diterima
dan tidak diakui. Karena, orang yang menentang/menuduh seakan-akan menerima
sumpah itu sebagai pengganti haknya. Selain itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda, "Sumpah adalah bergantung kepada
niat mustahlif.” Dalam riwayat lain disebutkan, "Sumpahmu
bergantung kepada apa yang dibenarkan oleh rivalmu.” (Hadist ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Riwayat kedua
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dalam Jami’
Al-Ushul jilid 12 halaman 307)
Menurut madzhab Hanafi, sumpah bergantung kepada niat mustahlif.
Kecuali jika sumpah tersebut dalam masalah talak, pembebasan budak atau yang
semacamnya, maka yang diakui adalah niat orang yang bersumpah (halif). ltu
pun jika dia tidak melakukan niat yang bertentangan dengan apa yang zhahir baik
halif tersebut dalam posisi yang menzalimi atau yang dizalimi. Begitu
juga ketika sumpah dengan nama Allah, dan posisi orang yang bersumpah (halif)
adalah orang yang dizalimi, maka niat yang diakui adalah niat halif. Yang
dimaksud dengan posisi orang yang menzalimi adalah ketika seseorang melakukan sumpah
mempunyai maksud untuk membatalkan hak orang lain.
Madzhab Hambali dan juga satu riwayat dalam madzhab Hanafi
mengatakan bahwa orang yang bersumpah, kemudian dia menakwil ucapan sumpahnya
(maksudnya adalah memberikan makna kepada sumpahnya dengan makna yang berbeda
dengan makna zhahir) dan orang tersebut dalam posisi dizalimi, maka dia boleh
melakukan takwil tersebut. Namun apabila dia berada dalam
posisi
menzalimi, maka takwilnya tidak berguna. Ibnu Nujaim mengatakan bahwa fatwa yang
digunakan dalam madzhab Hanafi adalah apabila orang yang bersumpah (halif)
berada dalam posisi dizalimi, maka niatnyalah yang diakui. Namun apabila dia
dalam posisi menzalimi, maka niatnya tidak diakui. Namun, dengan syarat sumpah
tersebut menggunakan nama Allah Ta’ala. Dan apabila sumpah tersebut dalam masalah
talak atau pembebasan budak maka niat orang yang bersumpah tidak diakui secara
keseluruhan.
Pendapat yang ditetapkan dalam madzhab Syafi'i adalah sumpah
bergantung kepada niat orang yang bersumpah.
Para ahli fiqih juga berbeda pendapat dalam masalah perkara yang
disumpahi (al-mahluf 'alaih), apakah ia ditentukan berdasarkan niat,
adat kebiasaan, atau arti lafal yang diucapkan (At-Asybah li lbni Nujaim,
halaman 57; Al-Asybah lis-Suyuthi, halaman 40; Rasa'il lbnu Abidin,
jilid l, halaman 292; Bidayatul Mujtahij jilid l, halaman 398 dan
setelahnya; Al-l'tisham lisy-Syathibi, jilid 2, halaman 141; Mughnil
Muhtaj, jilid 4, halaman 335; Al-Mughni, jilid 8, halaman 763).
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa al-mahluf 'alaih ditentukan oleh adat kebiasaan, bukan
oleh maksud dan niat yang mengucapkan. Hal ini karena arah tujuan orang yang
melakukan sumpah dapat diketahui melalui pemahaman menurut adat kebiasaan. Ini
adalah keputusan secara umum dalam madzhab Hanafi. Namun, ada al-mahluf ' alaih
yang ditentukan berdasarkan lafal yang diutarakan. Contohnya adalah apabila
si fulan sedang marah kepada seseorang dan dia bersumpah tidak akan membeli
barang dari orang tersebut dengan harga satu dirham, namun kemudian dia membeli
barang dari orang tersebut dengan harga seratus dirham, maka dia tidak dianggap
melanggar sumpah. Begitu juga apabila si fulan bersumpah tidak akan menjual
barang kepada seorang tertentu dengan harga sepuluh dirham, namun kemudian dia
menjualnya dengan harga sebelas atau sembilan dirham, maka dia juga tidak dianggap
melanggar sumpah, meskipun dia punya maksud akan menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi dari sepuluh dirham.
Imam Maliki dalam pendapat masyhurnya mengatakan bahwa niat
halif-lah yang diakui dalam sumpah yang tidak mempunyai konsekuensi hukuman
mahkamah bagi halif. Maksudnya adalah half tidak akan dihukumi
dalam mahkamah, melainkan urusannya dipasrahkan kepada dirinya dan Allah.
Sumpah ini adalah yang berkaitan dengan diri sendiri atau dengan Allah, bukan
yang bersangkutan dengan orang lain. Sumpah yang bersangkutan dengan orang lain
dapat diintervensi oleh mahkamah. Begitu juga dengan nadzar, jika memang sumpah
tersebut tidak dalam masalah tuduhan/pengakuan. Apabila dalam masalah tuduhan dan
pengakuan, maka niat yang diakui adalah niat mustahlif. Apabila tidak
ada niat, maka perlu dipertimbangkan situasi dan
kondisi.
Dan apabila situasi dan kondisi tidak menunjukkan apa pun, maka perlu melihat makna
lafal yang diucapkan, Dengan kata lain, apabila tidak ada niat, maka perlu
dilihat adat kebiasaan. Jika hal itu tidak memberikan hasil apa pun, maka perlu
melihat arti lafal yang diucapkan dari segi bahasa.
Adapun sumpah yang mempunyai konsekuensi hukuman mahkamah bagi halif
dan termasuk dalam bidang istifta', maka aturan yang ditetapkan seperti
di atas juga harus diterapkan dengan tertib. Namun apabila sumpah itu mempunyai
konsekuensi hukuman mahkamah bagi halif, maka yang perlu dipertimbangkan
hanyalah segi bahasa saja. Kecuali jika situasi dan kondisi yang ada mendukung
niat yang diklaim oleh halif, maka situasi dan kondisi itu perlu
dipertimbangkan.
Madzhab Syafi'i mengatakan bahwa penentuan maksud sumpah adalah
berdasarkan lafal yang digunakan, sehingga harus mengikuti arti bahasa yang
sebenarnya. Kecuali, jika halif mempunyai niat lain dan dia melaksanakan
niatnya itu. Umpamanya adalah seseorang bersumpah tidak akan makan kepala,
namun kemudian dia makan kepala ikan paus. Bagi pihak yang mempertimbangkan
adat (madzhab Hanafi), maka pendapat orang tersebut tidak dianggap sebagai
melanggar sumpah. Namun bagi kelompok yang mempertimbangkan segi bahasa (madzhab
Syafi'i), mereka mengatakan bahwa orang tersebut telah melanggar sumpahnya.
Orang yang bersumpah tidak akan makan daging, tapi kemudian makan lemak dihukumi
melanggar sumpah oleh madzhab Syafi'i, dan tidak dianggap melanggar sumpah oleh
selain madzhab Syafi'i.
Madzhab Hambali mengatakan bahwa sumpah dikembalikan kepada niat
orang yang melakukan sumpah (halif). Apabila dia mempunyai niat yang
memang masih dapat ditampung oleh maksud lafal yang diucapkan, maka niatnya itu
diterima, baik niatnya itu selaras dengan makna zhahir lafal atau tidak. Dalilnya
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "innamal a'maalu
bin-niyaat wa innamaa likullimri'in maa nawaa," Apabila orang yang
mengucapkan sumpah tidak mempunyai niat, maka dikembalikan kepada penyebab atau
perkara yang menggerakkan munculnya sumpah tersebut. Apabila ada orang yang
bersumpah tidak akan
tidur
dengan istrinya dalam rumah tertentu, dan penyebabnya adalah dia tidak suka
terhadap rumah tersebut karena dia takut bahaya dalam rumah itu, maka sumpahnya
hanya berlaku pada rumah tersebut. Namun jika penyebabnya adalah karena dia
memang benci kepada istrinya, maka dia tidak boleh tidur dengan istrinya
tersebut di rumah mana pun.
SUMPAH
DI MAHKAMAH/ PENGADILAN
Sebelum ini sudah diterangkan bahwa niat yang diakui dalam sumpah
di pengadilan adalah niat Hakim/Qadhi yang menuntut sumpah. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Abu Hurairah, "Sumpah adalah berdasarkan
kepada
niat orang yang meminta sumpah (mustahlif)." Mustahlif
dalam hadits ini diartikan dengan hakim, karena dialah yang mempunyai kekuasaan
untuk meminta orang bersumpah. Kalau seandainya niat yang diakui adalah niat
halif, maka manfaat sumpah akan hilang dan banyak hak manusia yang
dilanggar. Karena, setiap orang akan bersumpah sesuka hati sesuai dengan maksud
dan kehendaknya.
Ketika Qadhi meminta orang untuk bersumpah, namun orang tersebut
menutup-nutupi sumpahnya dengan menerangkan secara berbelit-belit dan
menghendaki sumpahnya dengan maksud yang berbeda dari arti zhahirnya, atau dia
melakukan takwil (mempunyai keyakinan yang berbeda dengan maksud Qadhi), atau halif
membuat pengecualian-pengecualian, umpamanya setelah bersumpah dia mengucapkan
insya Allah, atau dia membuat syarat yang tidak didengar oleh Qadhi, umpamanya
dia mengucap dengan pelan "jika saya masuk rumah,” maka semuanya tersebut tidak
menjadi penghalang untuk menetapkan bahwa halif tersebut telah berdosa
karena melakukan sumpah palsu. Jika kita tidak menghukuminya berdosa, maka
tujuan utama dari sumpah (yaitu supaya ada rasa takut dalam diri orang yang
bersumpah) akan hilang.
Madzhab Syafi'i dan Hambali dalam Kitab Mughni Muhtaj jilid
4 halaman 475 dan Kasysyaful Qina’ jilid 6 halaman 242, menetapkan bahwa
niat yang diakui dalam sumpah adalah niat mustahlif dengan dua syarat: pertama,
jika Qadhi tidak meminta orang tersebut melakukan sumpah dalam masalah talak atau
pembebasan budak. Kedua, jika Qadhi tersebut memang tidak berlaku zalim
ketika meminta orang melakukan sumpah.
MENGGUNAKAN
MAKNA KIASAN DALAM BERSUMPAH
Orang yang bersumpah -selain sumpah yang di dalam mahkamah- yaitu
sumpah yang dilakukan atas inisiatifnya sendiri atau diminta orang lain, dan
orang lain tersebut tidak dalam posisi dituntut haknya oleh orang yang
bersumpah, boleh melakukan sumpah dengan menggunakan makna kiasan. Yaitu, dengan
menyatakan bahwa maksud sumpahnya bukanlah maksud yang biasa dipahami melalui
lafal yang diucapkan, atau dia bermaksud memberi makna selain makna zhahir atas
sumpah yang diucapkan. Dalilnya adalah hadits Nabi, "inna mal a'maalu
bin-niyaat." Qadhi Iyadh menyatakan ulama berijma bahwa orang yang
bersumpah (halif) dapat diakui niatnya dan diterima ucapannya, apabila
dia mengucapkan sumpah itu bukan karena diminta, dan sumpahnya itu tidak
berhubungan dengan penetapan dan pembatalan hak. Atas dasar ini, maka Imam
as-Suyuthi menguraikan tiga kaidah dalam Kitabnya Al-Asybah wa An-Nadzair halaman
40, yaitu: Pertama Arti lafal yang diucapkan adalah bergantung kepada
niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu kasus, yaitu sumpah di
hadapan Qadhi. Niat yang diakui dalam sumpah di hadapan Qadhi adalah niat Qadhi
bukan niat orang yang bersumpah.
Kedua, niat berlaku dalam masalah syarat, yaitu dalam kasus orang telah
melakukan shalat
kemudian
ragu; apakah yang ditinggalkan tadi itu shalat atau bersuci (thaharah), maka
orang tersebut wajib mengulanginya. Berbeda apabila seseorang ragu dalam
meninggalkan rukun, karena ragu dalam masalah rukun sangat banyak, beda dengan
ragu dalam masalah syarat. Apabila sewaktu matahari mau tenggelam (akhir hari),
orang yang puasa ragu apakah dia sudah niat atau belum, maka keraguannya itu
tidak memengaruhi apa pun.
Ketiga, niat dalam sumpah dapat mengkhususkan makna lafal yang umum. Namun,
ia tidak dapat mengumumkan makna lafal yang khusus. Contoh yang pertama adalah orang
yang berkata, "Wallaahi, saya tidak akan berkata kepada seseorang,"
dan yang dia maksud dengan seseorang adalah Zaid. Contoh yang kedua adalah si
fulan memberi air kepada orang lain, kemudian orang lain itu bersumpah,
"Wallaahi, saya tidak akan minum air itu apabila haus." Sumpahnya itu
hanya berlaku pada meminum ketika haus. Sehingga apabila dia minum pada selain
kondisi itu, maka tidak dianggap berdosa. Karena, niat akan berpengaruh jika
memang lafal yang diucapkan itu dapat menampung niatnya tersebut dengan
pendekatan yang benar.
Ibnu Nujaim dalam Kitabnya Al-Asybah wa An-Nadzair halaman
18 dan 56, mengatakan bahwa mengkhususkan makna kata yang umum dapat diterima
dalam masalah yang masuk kategori diyani bukan masalah qadha'i.
Namun menurut Imam Al-Khashshaf, dalam masalah qadha'i pun hal tersebut
dapat diterima. Kalau ada orang berkata, "Semua wanita yang saya nikahi,
saya
talak," kemudian dia berkata, "Yaitu wanita yang berasal dari kota
A,” maka tidak sah menurut zahir madzhab Hanafi. Namun menurut Al-Khashshaf,
pengkhususan itu dapat diterima. Apabila seseorang berada di hadapan orang
zalim, maka pendapat Al-Khashshaf ini boleh dipakai. Sehingga apabila ada orang
zalim meminta seseorang bersumpah, maka orang tersebut boleh mengkhususkan makna
yang umum dalam sumpahnya. Akan tetapi sampai sekarang Syeikh Wahbah Zuhaili
tidak berpendapat akan bolehnya mengumumkan makna lafal yang khusus.
1.
Qurban
Penyembelihan qurban tidak akan sah tanpa niat. Karena,
penyembelihan adakalanya untuk menikmati dagingnya dan ada juga yang didorong
keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Suatu pekerjaan tidak dianggap sebagai
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan niat. Karena,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, "Sesungguhnya
segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya. Dan setiap urusan akan dibalas
sesuat dengan niat."
Imam Al-Kasani mengatakan bahwa yang dimaksud qurban adalah amalan
ibadah yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga
penyembelihan qurban harus dengan niat.
Madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa niat dilakukan ketika
menyembelih hewan qurban. Karena, aktivitas menyembelih merupakan aktivitas
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Niat cukup dilakukan dengan hati. Ia tidak
disyaratkan diucapkan dengan lisan. Karena, niat adalah pekerjaan hati dan ucapan
lisan merupakan indikator niat tersebut (Al-Bada’i jilid 5 halaman 71; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 187; Mughnil Muhtaj jilid 4 halaman 289; Kasysyaful
Qina’ jilid 3 halaman 6).
Menurut Maliki, seekor hewan menjadi hewan qurban ketika dia
disembelih atau ketika dia diniati untuk qurban sebelumnya. Menurut pendapat
yang mu'tamad dan masyhur dalam madzhab Maliki, wajibnya penyembelihan
qurban adalah hanya karena penyembelihan. Penyembelihan qurban tidak menjadi
wajib karena nadzar (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 187, 189).
2.
Berburu
Berburu adalah mengambil sesuatu yang mubah yang belum dimiliki
oleh siapa pun. Hal ini dapat terjadi dengan cara menguasai hewan tersebut
secara nyata atau dengan menguasainya secara hukmi, yaitu dengan cara
mengambil langkah yang dapat melemahkan burung, hewan, atau ikan. Sehingga, ia
tidak lari. Umpamanya adalah membentangkan jaring untuk mendapatkan ikan atau melepaskan
hewan-hewan terlatih seperti anjing, singa, dan lain-lain.
Orang yang ingin menguasai hewan secara hukmi disyaratkan
melakukan niat memiliki hewan buruannya tersebut. Ini sesuai dengan kaidah,
"Segala sesuatu bergantung kepada tujuannya." Barangsiapa memasang
jaring perangkap dengan niat memanaskannya supaya kering, kemudian ada burung
yang tersangkut, maka burung tersebut boleh dimiliki oleh siapa pun yang
pertama kali mengambilnya. Karena, niatnya memang tidak tertuju kepada memburu
burung. Namun apabila niatnya ketika membentangkan jaring perangkap adalah
untuk berburu, maka burung yang tersangkut adalah milik orang yang mempunyai perangkap
tersebut. Jika ada orang lain yang mengambilnya, maka dihukumi ghashab.
Apabila ada burung menetas di halaman seseorang, maka orang yang mendapatinya
pertama kali akan menjadi pemiliknya. Kecuali, jika pemilik halaman itu memang
menyediakan halamannya untuk penetasan burung.
Apabila ada burung masuk ke dalam rumah, kemudian pemilik rumah
menutup pintu supaya dapat menangkap burung itu, maka burung itu menjadi miliknya.
Namun jika dia menutup pintunya tidak sengaja, maka dia tidak dianggap memiliki
burung tersebut. Begitu juga apabila ada hewan buruan jatuh ke dalam tanah
galian, maka ia akan menjadi milik orang yang memburu jika memang galian tanah
itu dimaksudkan untuk memburu. Apabila tidak ada maksud seperti itu, maka hewan
buruan itu menjadi miliki siapa saja yang mendapatinya. (Al-Bada’i jilid
6 halaman 193 dan setelahnya)
3.
Membaca Al-Qur'an
Dengan niat dan tujuan tertentu, maka Al-Qur'an bisa dianggap sebagai
bukan Al-Qur'an.
Sehingga,
orang yang junub dan wanita yang haid boleh membaca bagian-bagian dzikir dalam
Al-Qur'an dengan niat membaca dzikir dan boleh membaca bagian-bagian doa dalam Al-Qur'an
dengan niat membaca doa. (Al-Asybah wa An-Nadzair, Ibnu Nujaim halaman
20)
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########