BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 

Ada dua kecenderungan di kalangan ulama dalam menanggapi teori sebab (nazhariyyatus
sabab); pertama, kecenderungan yang menekankan sisi objektivitas atau sisi lahiriah. Kedua, kecenderungan yang memerhatikan sisi niat, dorongan, atau keinginan batin.
Pandangan pertama didukung oleh madzhab Hanafi dan Syafi'i (pendapat dalam madzhab Hanafi dapat dilihat dalam Mukhtashar Ath-Thahawi, halaman 200; Takmilah Fath Al-Qadir jilid 8 halaman 127; Al-Bada’i jilid 4 halaman 189; Tabyinul Haqa’iq jilid 2 halaman 125 dan setelahnya). Mereka menekankan sisi lahiriah dalam akad, bukannya sisi batiniah. Dengan kata lain, untuk menjaga prinsip stabilitas muamalah, mereka tidak menggunakan teori sebab atau sisi pendorong. Karena, fiqih mereka lebih cenderung kepada aspek objektivitas yang nyata seperti undang-undang Jerman. Sedangkan sebab atau pendorong yang antara satu orang dengan yang lain
berbeda-beda, dianggap sebagai unsur internal yang dapat menyebabkan kekacauan dan mengancam stabilitas muamalah.
Bagi mereka, sebab atau pendorong tidak mempunyai efek apa pun terhadap akad. Kecuali,
jika sebab atau pendorong tersebut memang dinyatakan dengan jelas dalam pernyataan (shighat) akad, atau sebab dan pendorong tersebut tercakup oleh sisi lahiriah akad. Contohnya adalah menyewa orang untuk menyanyi, meratapi kematian, atau untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melenakan seseorang dari ingat kepada Allah (malahi). Apabila sebab atau pendorong tersebut tidak dinyatakan dengan jelas dalam shighat akad, umpamanya adalah sisi lahiriah akad tidak menampung sebab atau pendorong yang tidak dibenarkan oleh syara', maka akadnya adalah sah. Karena, akad tersebut telah memenuhi rukun-rukun utamanya, yaitu ijab, qabul, perkara yang diakadi memang perkara-perkara yang dibolehkan secara hukum (ahliyyatul mahall li hukmil 'aqdi). Selain itu, setelah akad belum tentu ada maksiat. Oleh karena itu, sebab dan pendorong tidak dianggap sebagai faktor yang dapat membatalkan akad. Dengan kata lain, secara lahir akad tersebut sah. Karena, akad tersebut telah memenuhi rukun dan syarat yang dituntut oleh syara'. Sehingga, tidak perlu meneliti niat atau tujuan yang dilarang syara' yang ada di balik akad tersebut.
Tetapi, akad seperti ini makruh atau haram sebab niatnya tidak dibenarkan oleh syara'.
Atas dasar ini, maka madzhab Hanafi dan Syafi'i menganggap bahwa akad-akad yang akan diterangkan di bawah ini adalah sah. Namun, hukumnya makruh tahrim –menurut madzhab Syafi'i hukumnya haram- karena ada larangan dalam sunnah Nabi. Akad-akad tersebut adalah: pertama, bai' Al-'lnah (jual beli secara formalitas yang dijadikan sarana untuk praktik riba). Contohnya adalah menjual barang dengan cara kredit dengan harga seratus dirham dalam jangka masa tertentu, kemudian orang yang menjual tersebut membeli barang itu lagi secara tunai dengan harga
seratus sepuluh dirham sebelum habis masa tempo. Kelebihan harga tersebut dianggap riba. Namun, madzhab Hanafi menganggap bahwa akad ini adalah akad yang rusak, jika tidak ada pihak ketiga yang menengahi antara pemilik asal barang dengan pembeli. Alasannya adalah penjualan pertama belum sempurna, karena harganya belum lunas. Dan juga, karena penjualan kedua dianggap sebagai menjual barang sebelum menjadi hak yang sempurna. Penjualan seperti ini tidak sah.
Kedua, menjual anggur kepada orang yang membuat arak. Maksudnya adalah menjual anggur kepada orang yang diketahui bahwa dia akan membuatnya menjadi arak, atau diduga kuat bahwa orang tersebut akan membuat arak. Apabila penjual ragu atau mengira bahwa si pembeli akan menjadikannya arak, maka penjualan tersebut makruh.
Ketiga, menjual senjata di waktu ada kekacauan dalam negeri. Maksudnya adalah menjual
senjata kepada orang-orang yang memerangi umat Islam, atau kepada perampok. Contoh lainnya adalah menjual alat berjudi, atau membangun bangunan untuk tempat maksiat atau tempat berjudi, menjual kayu yang akan dibuat untuk alat musik, menyewakan alat transportasi untuk mengangkat minuman keras, dan lain-lain.
Keempat, nikah muhallil, yaitu orang yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga kali (talak ba'in), dengan maksud supaya wanita tersebut nantinya halal dinikahi oleh suaminya yang pertama. Dengan cara, orang tersebut melakukan hubungan badan dengan wanita tersebut dalam satu malam misalnya, kemudian orang tersebut menjatuhkan talak kepada wanita itu, supaya suami yang pertama boleh melakukan akad nikah baru dengan wanita tersebut. Akad nikah muhallil ini secara lahir sah berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 230 artinya, "Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain...” Maksudnya adalah dalam akad nikah itu maksud dan niat yang sedemikian tidak dinyatakan, melainkan niat dan maksud tersebut dinyatakan secara rahasia pada waktu selain masa akad nikah.
Kesimpulannya adalah kelompok ini tidak mengakui sebab atau pendorong (dibalik akad) kecuali jika maksud dan sebab tersebut ada dalam shighat akad. Jika maksud dan sebab itu tidak tercakup dalam shighat akad, maka tidak dianggap.
Kecenderungan kedua adalah kecenderungan yang didukung oleh madzhab Maliki, Hambali, Zahiri dan Syi'ah (Pendapat madzhab Malikiyah dapat dilihat dalam Bidayatul Mujtahid, jilid 2, halaman 140; Mawahib Al-Jalil fil-Hithab, jilid 4, halaman 404, 263; Al-Muwafaqat, jilid 2, halaman 261; Al-Furuq, jilid 3, halaman 266; Pendapat madzhab Hambali dapat di lihat dalam Al-Mughni, jilid 3, halaman 174, 222; A'lam Al-Muwaqqi'in, jilid 3, halaman 106, 107, 12l, 731, 748; Ghayatul Muntaha, jilid 2, halaman 18; Pendapat madzhab Zahiri dapat dilihat dalam Al-Muhalla, jilid 9, halaman 36; Pendapat madzhab Syi'ah Ja'fariyyah dapat dilihat dalam Al-Mukhtashar An-Nafi' fi Fiqh Al-lmamiyyah, halaman 140; Pendapat madzhab Zaidiyyah dapat dilihat dalam Al-Muntazi' Al-Mukhtar jilid 3, halaman 19 dan setelahnya). Mereka mempertimbangkan maksud, niat, atau pendorong dalam akad, sehingga mereka akan membatalkan aktivitas yang didorong oleh maksud yang tidak dibenarkan oleh syara’. Hal itu dengan syarat pihak lain mengetahui maksud yang tidak dibenarkan oleh syara' tersebut. Atau, ada kemungkinan pihak lain mengetahui maksud tersebut dengan memerhatikan situasi dan qarinah yang dapat menunjukkan kepada maksud yang kotor itu. Umpamanya adalah seorang musuh memberi hadiah kepada pimpinan perang, atau memberi hadiah kepada hakim atau pegawai. Pemberian tersebut adalah dimaksudkan sebagai risywah dan menjadi hak negara. Atau, seorang istri yang memberikan maharnya kepada suaminya supaya suaminya tetap menjadikannya sebagai
istri. Jika setelah itu sang suami menalaknya, maka sang istri boleh meminta mahar yang telah diberikan ke suaminya tersebut. (Al-Qawa’id libni Rajab halaman 322)
Kelompok ini mengamalkan teori sebab atau teori keinginan batin, sebagaimana yang diamalkan dalam hukum negara-negara Latin. Maksud keputusan ini adalah untuk melindungi dimensi moral, akhlak, dan agama. Sehingga jika pendorong akad adalah dibenarkan agama, maka akadnya shahih. Namun jika pendorong akad tersebut tidak dibenarkan oleh agama, maka akadnya batal dan haram. Karena kalau dibolehkan, hal itu berarti menolong orang untuk melakukan dosa dan maksiat.
Atas dasar ini, maka madzhab Maliki, Hambali, dan yang setuju dengan mereka menetapkan bahwa hukum akad-akad yang telah diterangkan di atas adalah batal. Madzhab Maliki juga menetapkan bahwa menjual tanah yang akan didirikan gereja, menjual kayu yang akan dibuat salib, membeli hamba sahaya untuk dijadikan penyanyi, menyewakan papan yang akan ditulis kata-kata ratapan, atau menjual kain sutra yang akan dipakai oleh lelaki, adalah batal (Mawahib Al-Jalil fil Hitbah jilid 4 halaman 254).
Menjual anggur kepada pembuat arak dan menjual senjata kepada musuh berarti membantu
orang lain melakukan dosa. Oleh sebab itu, akadnya tidak sah. Selain itu, akad-akad tersebut merupakan akad untuk bermaksiat kepada Allah. Maka, akad-akad itu tidak sah. Adapun alasan tidak sahnya akad nikah muhallil adalah, karena ia bertentangan dengan tujuan-tujuan mulia pernikahan, yaitu akad nikah yang kekal, membangun rumah tangga yang permanen, melahirkan keturunan, serta menikmati suasana tenang dan sejahtera. Sedangkan tujuan akad nikah muhallil ini hanyalah supaya istri yang sudah ditalak tiga dapat kembali kepada suami pertamanya. Itu pun dilakukan dalam waktu yang singkat dan penuh kebingungan. Ini adalah rekayasa (hilah) supaya tidak ada pengharaman lagi, dan hal itu merupakan tujuan yang tidak dibenarkan oleh syara'.
Bai' Al-'Inah atat Bai' Al-Ajal dianggap batal karena orang yang melakukan menjadikan akad jual beli ini sebagai rekayasa (hilah) untuk menghalalkan riba. Tujuan utamanya bukanlah jual beli, melainkan akad ini adalah sarana untuk melakukan akad haram yang tidak dibenarkan oleh syara'. Oleh sebab itu, akad tersebut dilarang untuk menutup jalan menuju keharaman (saddudz dzari'ah).
Kesimpulannya adalah kelompok kedua ini mempertimbangkan maksud dan niat. Meskipun, keduanya tidak disebut dalam akad, dengan syarat maksud dan niat tersebut diketahui oleh pihak yang satunya. Atau di saat situasi dan kondisi dapat menunjukkan maksud dan niat tersebut, hal ini karena niat merupakan ruh dan inti perbuatan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kelompok ini menggunakan teori sebab. Yaitu, teori yang mensyaratkan sebab yang ada dibalik akad harus sebab yang dibenarkan oleh syara'. Apabila sebab tersebut tidak dibenarkan oleh syara', maka akadnya tidak sah.
Ada satu permasalahan, ketika suatu akad tidak dibarengi dengan niat atau pendorong yang jelek yang tidak dibenarkan oleh syara', apakah sah akad tersebut apabila menggunakan niat yang dapat mengubah sifat akad?
Madzhab Maliki dan Hanafi menegaskan bahwa niat mempunyai efek terhadap shighat akad. Mereka pun berpendapat bahwa nikah akan dihukumi sah jika akadnya menggunakan lafal apa pun yang menunjukkan kepada pemindahan kepemilikan barang secara seketika. Umpamanya adalah tazwij (menikahkan), nikah (menikah), tamlik (memindahkan kepemilikan), ja’lu (menjadikan), hibah (memberikan), 'athiyah (memberikan) dan shadaqah (menyedekahkan) dengan syarat, niat, atau qarinah yang ada menunjukkan bahwa maksud lafal yang dipakai adalah mengarah kepada pernikahan (az-zawaj). Selain itu, disyaratkan juga para saksi memahami maksud akad tersebut. Hal ini karena akad pernikahan adalah sama dengan akad-akad yang lain, yang memerlukan kerelaan di antara kedua belah pihak yang melakukan akad. Oleh sebab itu, akad tersebut sah dilakukan dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak dan juga dapat mewakili keinginan kedua belah pihak (Fathul Qadir, jilid 2, halaman 346; Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Muhtar jlid 2, halaman 368 dan setelahnya; Ad-Dardir Asy-Syarhul Kabir, jilid 2, halaman 220 dan setelahnya; Bidayatul Mujtahid jilid 2, halaman 168; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 195).
Adapun akad jual beli, pembatalan akad (al-iqalah), akad sewa, dan hibah tidak bergantung
kepada niat. Kalau seandainya ada orang yang memberikan barang kepada orang lain dengan bercanda, maka pemberian itu sah. Tetapi, madzhab Hanafi (Al-Asybah wan-Nadzair, Ibnu Nujaim halaman 18, 20) mengatakan bahwa, “Apabila akad jual beli dilakukan dengan kata yang menunjukkan masa yang akan datang (mudhari) dan kata tersebut tidak didahului dengan 'saufa' (artinya 'akan') atau huruf sin (juga menunjukkan 'akan'), maka akad tersebut memerlukan niat. Jika orang yang mengutarakan itu berniat menyerahkan barang itu secara tunai, maka jadilah akad menjual tersebut. Apabila tidak ada niat yang seperti itu, maka akadnya juga tidak jadi. Berbeda apabila yang digunakan adalah kata yang menunjukkan waktu lampau (al-madhi), maka akad jual
beli tersebut tidak perlu bergantung kepada niat.
Adapun jika menggunakan kata kerja mudhari’ yang menunjukkan masa yang jauh di hadapan, maka ia disamakan dengan menggunakan kata perintah. Sehingga, akad jual beli yang menggunakan kata tersebut tidak sah meskipun dengan niat. Akad jual beli dengan cara main-main adalah tidak sah, karena ini menunjukkan tidak adanya kerelaan.
Adapun sahnya ikrar, akad perwakilan, akad penitipan, akad pinjam meminjam, qadzaf, dan penetapan hukum mencuri, maka tidak perlu digantungkan kepada niat.
Penetapan hukum qishash perlu digantungkan kepada maksud pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang membunuh. Tetapi, madzhab Hanafi mengatakan bahwa dikarenakan maksud atau pendorong dalam diri seseorang adalalah perkara yang tersembunyi. Maka, diperlukan alat untuk mengetahuinya. Jika orang yang membunuh itu memotong-motong tubuh orang yang dibunuh, maka pembunuhan itu ditetapkan pembunuhan sengaja sehingga orang tersebut wajib di-qishash. Namun jika orang yang membunuh itu tidak memotong-motong tubuh orang yang dibunuh, tetapi termasuk pembunuhan biasa, maka pembunuhan itu dikategorikan sebagai pembunuhan yang menyerupai sengaja (syibhu 'amd) sehingga tidak wajib dikenakan qishash. Ini adalah menurut pendapat madzhab Hanafi.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)