BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Dari uraian di atas, kita ketahui bahwa fikih merupakan sisi praktikal
dari syariah Islam. Syariah Islam sangat luas. Ia merupakan sekumpulan hukum
yang ditetapkan Allah untuk mengatur hamba-hamba-Nya. Hukum tersebut ada yang
ditetapkan Allah melalui Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Dari sisi lain, hukum-hukum
tersebut ada yang mengatur tata cara berkeyakinan dan ada yang mengatur tata
cara amal-amal praktis. Yang pertama dikaji dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid,
sedangkan yang kedua dibahas dalam ilmu fikih.
Ketika Rasul dan para sahabat masih hidup, fikih sudah mulai muncul dan
berkembang secara gradual. Kemunculan pembahasan fikih memang sangat dini. Hal
ini disebabkan para sahabat selalu ingin tahu hukum dari fenomena-fenomena baru
yang muncul pada masa mereka. Perkembangan selanjutnya, fikih selalu dibutuhkan
untuk mengatur hubungan sosial di antara manusia, untuk mengetahui hak dan
kewajiban setiap insan, untuk merealisasikan kemaslahatan yang baru, atau untuk
menghilangkan kemudharatan dan kerusakan yang ada. Fenomena ini terjadi
pada setiap masa.
Fikih Islam mempunyai banyak keistimewaan (sebagaimana dikumpulkan dari Kitab
Fajrul Islam karangan Ahmad Amin, Kitab Tarikh Al-Fiqh Al-Islami karangan
As-Sayis, Kitab Tarikh Tasyri’ karangan Al-Khudhari, Kitab Siyasah
Syar’iyyah karangan Abdurrahman Taj, Kitab Al-Amwal wa Nazhariyat
Al-‘Aqd karangan Muhammad Yusuf Musa halaman 126-154 dan Kitab Al-Madkhal
Al-Fiqhi karangan Musthafa Az-Zarqa’), di antaranya adalah
PERTAMA, FIKIH BERASASKAN
KEPADA WAHYU ALLAH
Berbeda dengan hukum-hukum positif yang ada, materi-materi fikih bersumber
dari wahyu Allah yang berada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam menyimpulkan
hukum syara' (ber-istinbath), setiap mujtahid harus mengacu kepada nash-nash
yang berada dalam kedua sumber tersebut, menjadikan semangat syariah sebagai
petunjuk, memerhatikan tujuan-tujuan umum syariat Islamiyyah, dan juga
berpegang kepada kaidah serta dasar-dasar umum hukum Islam. Jika para mujtahid
melakukan hal ini, maka ijtihad yang dihasilkan dapat dikatakan sumbernya otentik,
bangunannya kokoh, dan strukturnya kuat, karena dasar dan kaidah yang digunakan
sempurna dan mengakar hingga pada zaman kerasulan dan turunnya wahyu.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Ma’idah ayat 3 yang artinya, “…Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebogai agamamu....”
Oleh sebab itu, tidak ada yang bisa dilakukan setelah sempurnanya syariat selain
mengaplikasikannya, supaya selaras dengan kemaslahatan manusia dan juga searah dengan
tujuan-tujuan utama syariah.
KEDUA, PEMBAHASANNYA
KOMPREHENSIF MENCAKUP SEGALA ASPEK KEHIDUPAN
Bila dibandingkan dengan undang-undang positif yang ada, fikih Islam
mempunyai keunggulan dalam hal objek pembahasannya. Fikih mengatur tiga
hubungan utama manusia, yaitu hubungannya dengan Sang Pencipta, hubungannya
dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan masyarakat. Hukum-hukum fikih
adalah untuk kemaslahatan di dunia dan di akhirat, sehingga urusan keagamaan dan
juga kenegaraan diatur semuanya. Hukum-hukum fikih juga dimaksudkan untuk mengatur
semua manusia, sehingga dia kekal hingga hari akhir. Hukum-hukumnya mengandung masalah
aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah, sehingga ketika mengamalkannya, hati
manusia terasa hidup, merasa melaksanakan suatu kewajiban dan merasa diawasi
oleh Allah dalam segala kondisi. Oleh sebab itu, jika diamalkan dengan benar,
maka ketenangan, keimanan, kebahagiaan, dan kestabilan akan terwujud. Selain
itu, jika fikih dipraktikkan, maka kehidupan manusia di seluruh dunia akan rapi
dan teratur.
Bila kita memerhatikan hukum-hukum fikih yang mengatur semua perilaku
manusia mukallaf baik perkataan, pekerjaan, transaksi, dan lainnya,
secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok.
Pertama, hukum-hukum ibadah
seperti bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nadzar, sumpah, dan
perkara-perkara lain yang mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam
Al-Qur'an terdapat sekitar 140 ayat yang membahas masalah ibadah dengan berbagai
macam jenisnya.
Kedua, hukum-hukum muamalah
seperti hukum transaksi, hukum membelanjakan harta,
hukuman, hukum kriminal,
dan lain-lain yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara sesama manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai satu komunitas. Kelompok kedua ini terbagi
ke dalam beberapa kelompok pembahasan:
Pertama, Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah. Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah keluarga, dari
masalah pernikahan, talak, penisbatan keturunan keluarga, nafkah keluarga,
pembagian harta waris. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk menata hubungan di
antara suami istri dan juga kerabat-kerabat yang lain.
Kedua, Al-Ahkaam Al-Muduniyyah (hukum perdata). Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah
relasi di antara individu seperti jual beli, pinjam-meminjam, gadai,
penanggungan utang, utang piutang, usaha bersama (syirkah), dan
lain-lain. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk mengatur masalah keuangan dan
harta yang terjadi di antara individu-individu,
supaya hak seseorang dapat
terlindungi. Dalam Al-Qur'an terdapat sekitar tujuh puluh ayat yang membahas
masalah ini.
Ketiga, Al-Ahkaam Al-Jinaa'iyyah (hukum pidana). Yaitu, hukum-hukum yang mengatur tindakan kriminal yang
dilakukan oleh seorang mukallaf dan juga bentuk hukuman yang diberikan
kepada pelaku kriminal. Hukum ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa, harta,
kehormatan, dan hak manusia, untuk menciptakan kehidupan yang aman dan juga
untuk menentukan hubungan antara pelaku kriminal, korban, dan masyarakat. Dalam
Al-Qur'an terdapat sekitar tiga puluh ayat yang membahas masalah ini.
Keempat, Al-Ahkaam Al-Muraafa'aat
(hukum proses perbidangan baik kasus perdata maupun pidana). Yaitu, hukum-hukum
yang berhubungan dengan masalah kehakiman, prosedur melakukan tuduhan, prosedur
penetapan suatu kasus baik dengan menggunakan saksi, sumpah, bukti, atau
lainnya. Hukum-hukum dalam masalah ini dimaksudkan untuk mengatur prosedur penegakan
keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Al-Qur'an terdapat sekitar dua
puluh ayat yang mengatur masalah ini.
Kelima, Al-Ahkaam Ad-Dustuuriyyah (hukum pemerintahan). Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan sistem
pemerintahan dan juga dasar-dasar pemerintahan. Dengan adanya hukum ini, maka
hubungan antara pemerintah dengan rakyat dapat tertata dengan baik, hak dan
kewajiban individu serta masyarakat dapat diketahui dengan jelas.
Keenam, Al-Ahkam Ad-Dauliyyah (hukum internasional). Yaitu, hukum-hukum yang membahas masalah tata
tertib hubungan antara negara Islam dengan negara-negara lainnya, baik dalam
kondisi damai maupun kondisi perang. Bagian ini juga membahas hubungan warga
negara non-Muslim dengan pemerintah, masalah jihad, dan juga masalah perjanjian
damai. Dengan adanya hukum ini, maka bentuk hubungan antara satu negara dengan
lainnya dapat terjalin dengan baik, saling menolong, dan saling menghormati.
Ketujuh, Al-Ahkaam Al-Iqtishaadiyyah wal Maaliyyah (hukum ekonomi dan keuangan). Yaitu,
hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah hak individu dalam masalah harta
benda, ekonomi dan keuangan, dan tugas-tugas individu tersebut dalam sistem
ekonomi dan keuangan yang lebih luas. Bagian ini juga membahas hak dan
kewajiban negara dalam masalah harta benda, ekonomi dan keuangan, juga prosedur
sumber pendapatan negara dan aturan pembelanjaannya. Dengan hukum ini,
terciptalah hubungan yang harmonis antara orang kaya dan miskin. Begitu juga
antara negara dan anggota masyarakatnya. Objek pembahasan yang digarap oleh bagian
akhir ini di antaranya adalah aturan pembagian harta rampasan (ghanimah
dan al-anfaal), al-'usyur (termasuk juga bea cukai), al-kharaj
(pajak tanah), pengelolaan barang tambang padat dan cair serta sumber daya alam
lainnya. Bagian ini juga membahas harta publik seperti zakat, sedekah, nadzar,
utang piutang harta keluarga seperti nafakah,
harta waris dan wasiat dan juga harta individu seperti keuntungan
dagang, sewa, company, dan hasil produksi. Bagian ini juga membahas hukuman-hukuman
finansial seperti kafarat, diyat, dan fidyah.
Kedelapan, akhlak dan adab (kebaikan
dan keburukan). Yaitu hukum-hukum yang mengatur perilaku manusia supaya prinsip
keutamaan, saling menolong, dan saling mengasihi teraplikasikan di tengah-tengah
kehidupan mereka.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian fikih sangat luas.
Hal ini tidak lain
disebabkan karena
beragamnya pembahasan yang disinggung Sunnah Nabawiyyah (yang merupakan
salah satu sumber hukum Islam).
KETIGA, FIKIH SANGAT
KENTAL DENGAN KARAKTER KEAGAMAAN (HUKUM HALAL DAN HARAM)
Oleh sebab itu, fikih mempunyai keistimewaan dibanding dengan
undang-undang positif yang ada. Dalam fikih, setiap pekerjaan yang termasuk
kategori muamalat pasti dihubungkan dengan konsep halal dan haram. Atas dasar
ini, maka hukum-hukum muamalat dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok.
Pertama, hukum duniawi. Yaitu
keputusan hukum yang didasarkan atas tindakan atau perilaku lahiriah. Hukum
seperti ini tidak ada hubungannya dengan sikap batiniah seseorang. Inilah yang
dinamakan dengan “hukum pengadilan” (Al-Hukmu Al-Qadhaa’i), karena
seorang hakim memutuskan hukum berdasarkan pengamatan yang ia mampui saja. Dari
sudut lahiriah, keputusan seorang hakim tidak akan menyebabkan hal yang batil
menjadi kebenaran, atau suatu kebenaran meniadi kebatilan. Begitu juga, ia
tidak akan menjadikan kehalalan menjadi keharaman
atau sebaliknya keharaman
menjadi halal. Hasil keputusan hakim mengikat dan harus dilaksanakan, berbeda
dengan hasil keputusan fatwa.
Kedua, hukum ukhrawi. Yaitu,
keputusan hukum yang didasarkan kepada kondisi yang sebenarnya, meskipun
kondisi tersebut tidak diketahui oleh orang lain. Hukum ini digunakan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah Ta’ala. Hukum ini dinamakan dengan
“hukum agama” (Al-Hukmu Ad-Diyaani) dan yang digunakan oleh mufti dalam memberikan
fatwa. Sehingga, yang dimaksud dengan fatwa adalah menginformasikan hukum syara'
tanpa ada konsekuensi mengikat. Pembedaan jenis hukum ini adalah berdasarkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam
Malik, Ahmad, dan para pengarang Kutubus Sittah. Hadits tersebut adalah, “Sesungguhnya
saya adalah manusia biasa, dan kamu bersengketa di hadapanku. Mungkin di antara
kamu ada yang lebih pintar dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang lain.
Dengan demikian, aku memberikan hukuman untuknya berdasarkan apa yang aku
dengar. Jika aku menghukum kepadanya dengan merugikan hak seseorang Islam yang
lain, maka itu adalah potongan api neraka. Maka, terserah kepadanya apakah akan
mengambil atau meninggalkannya.”
Perkara yang menyebabkan lahirnya dua jenis hukum syara' ini ialah karena
syariah adalah wahyu Allah Ta’ala yang mengandung pahala dan siksaan di
akhirat. Selain itu, ia juga merupakan sistem kerohanian dan peradaban sekaligus.
Karena, ia didatangkan untuk menciptakan kebaikan di dunia dan akhirat, begitu juga
menciptakan kebaikan untuk agama dan dunia.
Hasil dari perbedaan ini adalah jelas sekali. Umpamanya adalah dalam
persoalan talak, sumpah, utang piutang, pembebasan utang dan paksaan. Atas
dasar ini, maka timbullah perbedaan tugas antara seorang qadhi dengan seorang mufti.
Qadhi mengeluarkan hukum berdasarkan perkara-perkara yang zahir saja, sedangkan
seorang mufti mengeluarkannya dengan memerhatikan perkara batin dan zahir
sekaligus. Jika terdapat perbedaan di antara batin dengan zahir maka hendaklah
ia mengeluarkan hukum berdasarkan batin, sekiranya dia dapat mengetahuinya.
Barangsiapa menceraikan istrinya dengan tidak sengaja dan tidak bermaksud
menceraikannya, maka jatuhlah talaknya berdasarkan hukuman qadhi, tetapi tidak
jatuh dari segi
diyani. Barangsiapa membebaskan utang orang
yang berutang dan orang yang berutang itu tidak mengetahui tentang hal itu,
kemudian orang tersebut menuntut di mahkamah supaya orang yang berutang tadi
membayar utangnya, maka hukuman kehakiman ialah orang tersebut berhak
mendapatkan utang tersebut. Sedangkan berdasarkan hukuman fatwa, dia tidak
berhak mendapatkannya. Karena, dia telah membebaskannya.
Sistem yang seperti ini telah menimbulkan kesadaran agama yang dapat
menambah kehormatan dan kemulaian sistem syariah, dan menyebabkan hak dapat
terpelihara. Bukan saja karena adanya unsur-unsur material seperti dalam
undang-undang ciptaan manusia, melainkan lebih daripada itu, karena syariah memerhatikan
dua sudut, yaitu sudut kehakiman dan sudut keagamaan.
KEEMPAT, FIQIH MEMPUNYAI
HUBUNGAN YANG ERAT DENGAN AKHLAK
Perbedaan antara fikih dengan undang-undang ciptaan manusia ialah hukum fikih
terpengaruh dengan prinsip-prinsip akhlak. Sedangkan undang-undang ciptaan
manusia, tujuannya hanyalah untuk mengekalkan peraturan dan ketenteraman
masyarakat, walaupun dengan mengorbankan sebagian prinsip agama dan akhlak. Fikih
menekankan keutamaan, idealisme, dan akhlak yang mulia. Atas dasar itu, maka
ibadah disyariatkan untuk membersihkan jiwa dan menyucikannya, supaya dapat
menjauhkannya dari kemungkaran. Riba diharamkan untuk menanam semangat kerja
sama, tolong-menolong, dan bertimbang rasa sesama manusia, supaya dapat
melindungi golongan yang memerlukan bantuan dari cengkeraman orang berharta,
mencegah berlakunya penipuan dan pembohongan dalam kontrak, dan dapat mencegah
memakan
harta secara batil. Ia
juga dapat menjadi alasan untuk membatalkan kontrak, karena ada segi yang tidak
diketahui yang tidak sesuai dengan prinsip kerelaan.
Pengharaman riba juga bertujuan supaya perasaan saling cinta tersebar
luas, begitu juga dengan perasaan saling mempercayai di antara satu sama lain.
Di samping itu, ia dapat mencegah
persengketaan di antara
manusia, dapat melepaskan mereka dari cengkeraman kecenderungan materialisme,
dan menghormati hak orang lain. Perintah supaya kontrak yang sudah disepakati
dilaksanakan, bertujuan supaya segala janji yang dibuat dapat ditunaikan. Arak
pula diharamkan dalam Islam, dengan tujuan untuk memelihara akal manusia yang merupakan
alat pengukur bagi segala perbuatan yang baik dan jahat.
Jika hubungan antara agama dan akhlak dengan tingkah laku (tindakan)
manusia diperkuat
atau dirapatkan, maka
usaha untuk menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat serta kebahagiaan
mereka akan terlaksana. Selain itu, jalan yang akan mengantar kepada kenikmatan
yang kekal abadi di akhirat akan terbentang luas, dan hidup kekal dengan penuh kenikmatan
merupakan harapan dan cita-cita manusia sejak zaman silam, Dengan demikian, tujuan
fikih ialah untuk menciptakan kebaikan manusia yang hakiki pada masa kapan pun,
baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Ia iuga bertuiuan
supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Keterpengaruhan fikih dengan unsur agama dan akhlak menjadikannya lebih
dipatuhi, lebih dihormati dan ditaati. Sedangkan undang-undang ciptaan
kebanyakan orang, banyak yang coba dihindari dan tidak dilaksanakan.
KELIMA, BALASAN DI DUNIA
DAN AKHIRAT BAGI YANG TIDAK PATUH
Keistimewaan fikih bila dibanding dengan undang-undang ciptaan manusia
ialah, undang-undang ciptaan manusia hanya menetapkan balasan duniawi saja bagi
orang yang tidak patuh. Sedangkan fikih mempunyai dua jenis balasan, yaitu: pertama,
balasan duniawi dalam bentuk hukuman yang telah ditetapkan oleh nash (hudud)
dan yang tidak ditetapkan oleh nash (ta'zir) bagi kesalahan zahir yang
dilakukan oleh manusia. Kedua, balasan ukhrawi bagi perbuatan
hati yang tidak kelihatan yang dilakukan oleh manusia seperti hasad, dengki, azam
untuk mendatangkan kemudharatan kepada orang lain, dan juga hukuman itu akan
dikenakan bagi perbuatan zahir yang tidak dapat dihukum di dunia karena
kelalaian dalam melaksanakan hukuman jinayah -seperti tidak terlaksananya
hukuman hudud yang berlaku pada masa kini di kebanyakan negara, ataupun
karena tidak dapat
dibuktikan kesalahannya secara zahir, atau karena tidak diketahui oleh pihak
berkuasa.
Pahala dalam fikih juga mempunyai dua bentuk. Pahala yang diberikan karena
amalan yang berbentuk perbuatan, dan amalan yang berbentuk meninggalkan. Yang
pertama, pahala diberikan karena adanya ketaatan terhadap perintah Allah Ta’ala.
Adapun yang kedua, pahala diberikan karena usaha yang dilakukan untuk menjauhi
larangan dan maksiat, serta menahan diri untuk melaksanakannya. Sedangkan dalam
undang-undang ciptaan manusia, hukuman hanya diberikan kepada amalan bentuk
yang kedua saja, yaitu ketika seseorang menyalahi undang-undang. Ia tidak
memberikan pahala kepada
orang yang patuh dan taat.
KEENAM, FIKIH MEMPUNYAI
CIRI SOSIAL KEMASYARAKATAN
Dalam aturan fikih ada usaha untuk menjaga kepentingan individu dan
kelompok sekaligus, agar kepentingan satu pihak tidak menzalimi yang lain.
Walaupun demikian, jika timbul pertentangan di antara dua kepentingan, maka
kepentingan umum lebih diutamakan. Demikian juga jika terjadi pertentangan antara
kepentingan dua individu, maka yang diutamakan adalah kepentingan orang yang
akan menanggung kemudharatan yang lebih besar. Hal ini adalah berdasarkan prinsip
“Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan yang lain,”
dan juga prinsip, “Kemudharatan yang lebih besar ditolak dengan kemudharatan
yang lebih kecil.”
Contoh melindungi kepentingan orang banyak ialah pensyariatan ibadah
seperti shalat, puasa, dan sebagainya, menghalalkan jual beli, mengharamkan
riba dan monopoli (ihtikar), dan menggalakkan penjualan sesuatu dengan
harga yang patut. Contoh lainnya adalah bolehnya pemerintah menetapkan harga
barang, melaksanakan hudud bagi kemungkaran yang berbahaya, hukum pengaturan keluarga,
melindungi hak tetangga, menunaikan janji, memaksa untuk menjual
karena demi kepentingan
umum, pembinaan masjid, sekolah, rumah sakit, mempersiapkan tanah pekuburan,
meluaskan jalan dan jalur pengairan.
Contoh aturan fikih yang membatasi hak individu, untuk menghindari bencana
atau mudharat yang lebih besar di tengah-tengah masyarakat, ialah tidak
diwajibkannya taat kepada suami jika ia mendatangkan mudharat kepada istri,
karena Allah Ta’ala berfirman, “...Dan janganlah kamu tahan mereka dengan
maksud jahat untuk menzolimi mereka...” (Al-Baqarah: 231)
Tidak perlu taat kepada pemerintah sekiranya pemerintah itu menyuruh
melakukan kemaksiatan atau menyuruh untuk mengesampingkan kepentingan umum,
karena ketaatan hanya perlu dalam perkara-perkara ma'ruf, seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Seorang Muslim hendaklah taat (kepada pemimpinnya) baik
ia menyukainya atau membencinya, selama ia tidak diperintahkan untuk melakukan
maksiat. Jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka dia tidak perlu menaatinya.”
Contoh lainnya adalah membatasi wasiat harta hanya sebanyak sepertiga
harta yang dimiliki. Ini adalah untuk menghindari munculnya kemudharatan di
kalangan ahli waris, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dan Muslim, “Satu pertiga pun banyak. Adalah lebih baik bagimu meninggalkan
keluarga kamu dalam keadaan kaya, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan
miskin, meminta-minta pertolongan manusia.”
Contoh lainnya adalah membiarkan tanah yang ditaklukkan (daerah yang
dikuasai umat Islam) tetap dikelola bagi penduduknya dengan mengenakan pajak jizyah
dan kharaj kepada mereka, supaya pendapatan negara dapat meningkat dan
juga untuk menjaga kepentingan umum umat Islam. Contoh lain adalah pembolehan
hak syuf'ah kepada rekan bisnis ataupun tetangga terdekat, dengan tujuan
untuk menghindari kemudharatan yang mungkin timbul setelah adanya akad pembelian
baru. Membuat saliran air di atas tanah orang lain, supaya tanah yang lebih
jauh dapat mendapatkan air. Masih banyak contoh-contoh lain yang didasarkan
kepada prinsip yang serupa dalam Islam, yang mengakui bahwa sumber yang hak
adalah Allah Ta’ala yang tidak akan memberikan hak itu kepada siapa pun kecuali
dengan tujuan yang bijaksana, yaitu untuk merealisasikan kemaslahatan individu
dan juga masyarakat.
KETUJUH, FIKIH SESUAI
UNTUK D'TERAPKAN PADA MASA APA PUN
Prinsip-prinsip utama fikih adalah prinsip-prinsip yang kekal dan tidak
akan berubah; seperti prinsip kerelaan dalam kontrak, prinsip ganti rugi,
pemberantasan tindakan kriminal, perlindungan terhadap hak, dan juga prinsip
tanggung jawab pribadi.
Adapun fikih yang dibangun berdasarkan qiyas, menjaga maslahah dan 'uruf
dapat menerima perubahan dan perkembangan disesuaikan dengan keperluan zaman,
kemaslahatan manusia, situasi dan kondisi yang berbeda, baik masa maupun
tempat, selagi keputusan hukumnya tidak melenceng dari tujuan utama syariah dan
keluar dari asasnya yang betul. Tetapi ini hanya di dalam masalah muamalah, bukan
dalam aqidah dan ibadah. Inilah yang dikehendaki dengan kaidah “Hukum
berubah dengan berubahnya masa.”
KEDELAPAN, TUJUAN
PELAKSANAAN FIQIH
Tujuan pelaksanaan fikih ialah untuk memberikan kemanfaatan yang sempurna,
baik pada tataran individu atau tataran resmi, dengan cara merealisasikan
undang-undang di setiap negara Islam berdasarkan fikih. Karena, tujuan akhir
dari fikih ialah untuk kebaikan manusia dan kebahagiaannya di dunia dan
akhirat. Sedangkan tujuan undang-undang ciptaan manusia ialah, semata-mata
untuk mewujudkan kestabilan masyarakat di dunia.
Fikih Islam meliputi berbagai cabang undang-undang, sebagaimana yang telah
dite-rangkan. Ia juga dapat mengatasi persoalan-persoalan hukum kontemporer
seperti asuransi, sistem keuangan, sistem saham, kaidah pengangkutan udara,
laut, dan sebagainya, yang semuanya ditentukan dengan menggunakan kaidah fikih
yang kulli, ijtihad yang berdasarkan Qiyas, Istihsan, Masalih Mursalah,
Sadd Adz-Dzarai', 'uruf, dan lain-lain.
Fikih juga dapat diolah berdasarkan teori-teori umum seperti yang
dilakukan dalam studi undang-undang. Umpamanya adalah penetapan teori jaminan,
teori darurat, teori kontrak, teori kepemilikan, kaidah undang-undang sipil,
hukuman, teori hak, penyalahgunaan hak, keadaan yang muncul mendadak, dan
sebagainya.
Lebih jauh dari itu, sebagian ahli fikih ada yang membolehkan men-takhshish
nash syara' dengan 'uruf, walaupun ia tidak disetujui oleh
kebanyakan ulama. Contohnya adalah, menurut madzhab Maliki perempuan terhormat
tidak boleh dipaksa memberikan susuan kepada anaknya (sebenarnya masalah ini termasuk
dalam bagian penafsiran nash yang sukar dipahami dengan ‘uruf dan
bukannya dalam bagian mengkhususkan nash yang umum). Juga, seperti pendapat Abu
Yusuf yang mempertimbangkan 'uruf dalam pengukuran harta ribawi dengan menggunakan
timbangan atau ukuran untuk memastikan wujudnya persamaan atau tidak. Jika
kebiasaan masyarakat berubah, umpamanya gandum yang dulunya dijual dengan
ditimbang berubah dengan cara diukur atau sebaliknya, maka kebiasaan inilah
yang dipakai dan dipertimbangkan. Jadi, persamaan timbangan atau ukuran adalah
berdasarkan adat dan kebiasaan yang terpakai di kalangan masyarakat.
Sebagian ulama membolehkan perubahan hukum karena berlakunya perubahan 'illah.
Contohnya adalah (sebagaimana dalam Kitab Fathul Qadir jilid 2 halaman
14 dan seterusnya) menghentikan pembagian zakat kepada golongan mualaf (pada
masa-masa tertentu) dan berpegang kepada hisab untuk menentukan awal
bulan-bulan Arab, bukan berdasarkan ru'yah (sebagaimana dalam Risalah
Ahmad Syakir tentang awal bulan Arab).
Sebagian ulama membolehkan perubahan hukum karena darurat atau keperluan
(hajat) untuk menghindari kesukaran dengan syarat kondisi darurat tersebut
benar-benar sesuai dengan pengartian darurat dan keperluan (hajat) menurut
pandangan syara’. Begitu juga boleh mengambil kemudahan (rukhshah)
sekadar keperluan saja untuk menghilangkan darurat dan untuk memenuhi
kebutuhan, karena sebagaimana dalam Kitab Adh-Dharurah Asy-Syar’iyyah, “Darurat
ada ukurannya dan hendaklah ia dipenuhi menurut keperluannya saja.” Yang dimaksud
dengan darurat di sini ialah kondisi yang dapat mengancam nyawa dan keturunan seseorang,
atau dapat merusak hartanya atau menghilangkan akalnya, jika ia tidak melakukan
perkara-perkara yang asalnya dilarang. Keperluan (Al-Haajah) ialah suatu
kondisi di mana jika seseorang tidak melakukan sesuatu yang asalnya dilarang,
maka dia akan mengalami kesusahan baik pada dirinya, anak, harta, atau akalnya.
Mengamalkan fikih adalah suatu kewajiban, seorang mujtahid wajib
melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihadnya, karena hasil ijtihad bagi
seorang mujtahid adalah dianggap sebagai hukum Allah Ta’ala. Bagi yang tidak
sampai kepada derajat mujtahid, hendaklah beramal dengan fatwa mujtahid. Karena,
tidak ada cara lain baginya untuk mengetahui hukum syara' melainkan melalui fatwa
mujtahid. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 43 yang artinya: “...Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan Jika kamu tidak mengetahui.”
Orang yang menolak hukum syara' yang telah ditetapkan dengan dalil qath'i
(pasti), menuduh bahwa hukum syara' adalah kejam seperti hukum dalam hudud
atau menuduh bahwa syariah tidak sesuai lagi untuk dilaksanakan, adalah
dihukumi kafir dan dia telah keluar dari Islam. Adapun menolak hukum yang
penetapannya melalui ijtihad yang berdasarkan zhan (sangkaan kuat), maka
ia dihukumi maksiat, fasik, dan zalim. Karena, seorang mujtahid telah
mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk mengetahui kebenaran dan
menerangkan kedudukan hukum Allah Ta’ala jauh dari dorongan hawa nafsu pribadi
atau mengharapkan keuntungan atau popularitas. Sandaran yang digunakan oleh
mujtahid adalah dalil syara' dan petunjuk yang benar dengan berpanjikan amanah,
kejujuran, dan keikhlasan.
Cara untuk kembali mengamalkan fikih ialah dengan cara menerapkan fikih
menjadi undang-undang (dalam Kitab Juhud Taqnin Al-Fiqh Al-Islami),
menyusunnya kembali dengan bahasa yang mudah sehingga mudah dirujuk oleh qadhi,
cara ini akan dapat menyeragamkan hukum-hukum yang diputuskan oleh mereka. Di
samping itu, ia juga akan memudahkan urusan pihak-pihak yang terlibat dalam
mahkamah, dan sejak awal mereka akan dapat mengetahui hukum yang pasti mengenai
perkara yang mereka pertikaikan.
Ini semua hanya dapat dilakukan dengan cara membuat panitia atau komisi
yang terdiri atas ulama semua madzhab, supaya mereka memilih fatwa yang lebih
sesuai dan lebih memberikan maslahat menurut perspektif masing-masing madzhab.
Komisi ini hendaklah bergerak dengan segera dan bersungguh-sungguh, sehingga
setelah mereka selesai melakukan tugasnya, maka hakim (pemerintah) dapat
langsung mengeluarkan perintah dan kebijakan bersandarkan kepada undang-undang
yang berdasarkan fikih, untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul
dengan cara merujuk kepada syariah dan fikih Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila ini
terjadi, maka jiwa akan merasa tenteram dan hati akan tenang, karena dualisme
antara agama dengan kehidupan dunia yang dibawa oleh sistem-sistem yang yang
sekarang ini dipakai akan hilang.
Sesungguhnya urusan ini tidaklah susah jika ada niat yang benar dan azam
yang kuat, dan juga jika para hakim mau bersungguh-sungguh melaksanakan langkah
yang berani ini, yang tidak boleh dilakukan kecuali dengan modal keyakinan yang
kuat terhadap Islam, keyakinan akan kebebasan dan kemampuan menghadapi segala
tantangan.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########