BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 
JENIS-JENIS ALAT UNTUK THAHARAH

Thaharah adalah wajib menurut syara'. Kewajibannya ditetapkan menurut dalil qath'i yang telah disepakati ulama. Perkara yang diwajibkan adalah wudhu, mandi junub, mandi karena menyucikan diri dari haid, dan mandi nifas dengan air. Jika air tidak ada atau apabila tidak dapat menggunakan air hendaklah diganti dengan tayamum dan diwajibkan juga menghilangkan najis.
Para ahli fiqih sepakat mengatakan boleh bersuci dengan menggunakan air yang menyucikan atau air yang mutlak, yaitu air yang disebut sebagai “air” saja tanpa disertai dengan sifat apa pun seperti air musta’mal (yang telah digunakan) atau disertai sandaran apa pun seperti air mawar. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Furqan ayat 48 yang artinya, “...dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” Demikian juga firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Anfaal ayat 11 yang artinya, “...dan Allah menurunkan air (hujan) dan langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu....”
Para ahli fiqih juga sepakat untuk mengatakan boleh bersuci dengan cara mengusap dengan kertas atau dengan batu dalam kasus istinja'. lni artinya boleh menggunakan kertas atau batu untuk menghilangkan najis kencing dan berak, dengan syarat air kencing atau tahi itu tidak mengotori daerah sekitar tempat keluarnya. Para ahli fiqih juga sepakat mengatakan bahwa bersuci dengan debu dianggap sebagai suci dari segi hukumnya saja (taharah hukmiyyah). Mereka juga sepakat mengatakan bahwa arak akan menjadi suci dengan cara tertentu, sehingga ia berubah menjadi cuka.
Namun, para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai alat-alat bersuci lainnya. Berikut ini adalah pendapat-pendapat mereka.

ALAT-ALAT BERSUCI MENURUT MADZHAB HANAFI

            Menurut Madzhab Hanafi dalam kitab Al-Bada'i, jilid 1, halamana 83-87; Fathul Qadir jilid 1, halaman 133 – 136; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1, halaman 284 - 303; Tabyinul Haqa'iq jilid 1 halaman 69 dan seterusnya; Al-Lubab Syarhul Kitab, jilid 1, halaman 24 dan 30; Muraqi Al-Falah, halaman 26 – 27:

a. Air Mutlak Meskipun Air Musta'mal

Dengan menggunakan air maka akan dihasilkan dua thaharah, yaitu thaharah haqiqi dan hukmi (hadats dan janabah). Contohnya ialah menggunakan air hujan, air laut, air sumur, air dari mata air dan air yang tertampung di bagian lembah. Allah Ta’ala menamakan jenis air ini sebagai air yang menyucikan (thahur), sebagaimana disebut dalam firman-Nya dalam Surah Al-Furqaan: 48, “...dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Air yang suci tidak dapat dinajiskan oleh apa pun, kecuali ia berubah warna, rasa, ataupun baunya.” (Hadits dengan lafaz seperti ini adalah dianggap sebagai hadits gharib. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Umamah, “Sesungguhnya air adalah suci kecuali yang berubah bau, rasa, dan warnanya.” Nashbur Rayah jilid l, halaman 94. Hadits ini dhaif.)
Kalimah ath-thahur artinya suci pada dirinya dan dia dapat menyucikan untuk yang lain.

b. Benda Cair yang Suci
  
            Cairan yang suci ialah cairan yang mengalir apabila diperah. Ia dapat menghilangkan najis. Ulama Hanafi dan juga para ulama yang lain sepakat mengatakan bahwa cairan yang suci tidak dapat menghilangkan hadats hukmi (yaitu hadats-hadats yang dapat hilang dengan wudhu dan mandi). Sebab, hadats hukmi hanya dapat dihilangkan dengan air. Hal ini ditetapkan oleh nash Al-Qur'an. Penggunaan air untuk menghilangkan hadats hukmi merupakan kemudahan bagi manusia.
Penggunaan cairan yang suci dapat menghilangkan thaharah haqiqi (yaitu dapat menghilangkan najis haqiqi dari pakaian dan badan) menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Pendapat ini adalah pendapat yang difatwakan. Contoh-contoh cairan yang suci ialah air mawar, air bunga, cuka, air tumbuh-tumbuhan, air buah-buahan, air kacang yang jika direbus dia mencair dan apabila didinginkan ia akan menjadi beku (jika air berubah tanpa direbus, maka boleh berwudhu dengannya), dan air dari bahan apa pun yang jika diperah akan mengeluarkan air; termasuk juga keringat yang dapat membersihkan jari. Jika puting susu seorang ibu menjadi najis karena muntahan anaknya, maka ia menjadi suci atau bersih dengan cara anaknya itu menghisap susunya tiga kali hisap. Mulut seorang peminum arak menjadi bersih apabila bertukar dengan air liur.
Apabila bahan itu tidak mengalir seperti madu, minyak sapi, lemak, minyah susu, walaupun susu yang dimasamkan, sup dan sebagainya, maka semua bahan ini tidak dapat digunakan untuk bersuci. Sebab, bahan-bahan ini tidak dapat menghilangkan najis. Karena, menghilangkan najis hanya dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan bagian-bagian yang najis bersama-sama dengan bahan yang menghilangkannya sedikit demi sedikit. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh bahan yang mengalir apabila diperah. Cairan seperti ini sama seperti air yang dapat menghilangkan bagian-bagian najis, sebab cairan yang mengalir bersifat halus dan dapat meresap ke dalam bagian-bagian najis. Ia juga dapat menghilangkannya, kemudian najis itu dapat dikeluarkan dengan cara perlahan.
            Muhammad Al-Hasan, Zufal dan ulama selain ulama Hanafi (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 35: Bidayatul Mujtahid jilid 1, halaman 80; Al-Mughni, jilid 1, halaman 11; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 17) tidak membenarkan penggunaan cairan untuk menghilangkan najis. Hal ini disebabkan sifat air yang menyucikan ditetapkan oleh syara’, dan syara' hanya mengakui bersuci dengan air dan tidak dengan selainnya. Oleh sebab itu, bahan-bahan yang lain tidak boleh disamakan dengannya.
Boleh bersuci dengan air yang bercampur dengan sedikit bahan yang suci yang mengubah
salah satu sifat air itu (.ika mengubah dua atau tiga sifat air tersebut, maka tidak boleh berwudlu dengannya, tetapi menurut pendapat yang shahih boleh berwudhu dengannya meskipun bahan itu mengubah seluruh sifat air tersebut), seperti air keruh dan air yang bercampur dengan sabun, bercampur dengan bahan penyuci lain atau kunyit, selagi air itu masih halus dan mengalir. Karena meskipun sudah bercampur air benda itu masih dinamakan air. Ini disebabkan adanya kesulitan untuk mengawasi bahan-bahan seperti tanah, daun, dan pohon supaya tidak bercampur dengan air. Jika air itu menjadi padat, yaitu apabila campuran tanah lebih banyak daripada air atau jika ia bercampur dengan sabun, dan sabun atau bahan pencuci itu lebih banyak ataupun jika bercampur dengan kunyit dan ia berubah menjadi pewarna kain, maka tidak boleh bersuci dengannya.

c. Menggosok (Ad-Dalk)

Menggosok ialah mengusap bagian yang terkena najis dengan tanah secara kuat, hingga bekas atau zat najis itu hilang. Sama dengan ad-dalk ialah al-hat, yaitu mengeruk dengan kayu atau tangan. Mengosok dapat menghilangkan najis yang berjirim yang mengenai sandal baik najis itu kering ataupun basah. Maksud berjirim ialah sesuatu yang masih dapat dilihat sesudah kering seperti tahi, darah, mani, air kencing, dan arak yang terkena tanah. Perlu diperhatikan juga,  najis berjirim adalah mencakup najis yang basah juga. Pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang ashah dan terpilih, serta difatwakan. Alasan dibolehkannya najis yang terkena sandal itu digosok ialah karena kejadian ini sering terjadi ('umum al-balwa) dan juga terdapat Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apabila salah seorang kamu dating ke masjid, hendaklah di balik sandalnya supaya ia dapat melihat apakah ada kotoran atau tidak. Jika dia mendapati ada kotoran, hendaklah diusap (digosok) dengan tanah kemudian dia baru boleh shalat dengan sandal itu.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban dari Abu Sa'id Al-Khudri. Mereka berselisih pendapat apakah hadits ini maushul atau mursal Abu Hatim merajihkan dalam Kitab Al-'llat bahwa hadits ini adalah hadits maushul (Nailul Authar jilid 1, halaman 44).
Apabila najis itu bukan najis yang berjirim, maka wajib dibasuh dengan air sebanya tiga kali, walaupun setelah ia kering. Setiap kali basuhan, hendaklah dibiarkan dulu hingga air tetesannya berhenti dan hingga najis yang masih basah itu hilang dari khuf. Tetapi, tidak disyaratkan keringnya khuf terlebih dahulu.
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa sandal akan menjadi suci dengan cara menggosokannya ke tanah jika najis itu kering. Namun, ia tidak akan menjadi suci jika najis itu basah, karena Asiyah menggosok-gosok mani yang sudah kering dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika mani itu basah, beliau membasuh kain tersebut (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Bazzar dalam musnadnya, dari Aisyah. Hadits ini tidak disandarkan kepada Aisyah kecuali oleh Abdullah ibnuz Zubair. Perawi-perawi lain meriwayatkannya secara mursal. Rasulullah bersabda kepada Aisyah tentang mani, “Basuhlah iika ia basah, dan koreklah jika io kering.” Namun, hadits ini adalah hadits gharib dan tidak diketahui sumbernya. Nashbur Rayah, jilid 1, halaman 209)
Imam Asy-Syafi’i dan Muhammad Ibnul Hasan mengatakan bahwa sandal yang terkena najis tidak akan suci jika digosokkan ke tanah, baik najis itu kering ataupun basah. Karena najis meresap ke dalam sandal sama seperti meresapnya ke dalam pakaian dan badan. Ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa ia boleh digosokkan jika najis itu sendikit. Tetapi jika banyak, maka harus dibasuh (Nailul Authar jilid 1 halaman 44; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 24; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 218; Al-Mughni jilid 1 halaman 83).

d. Mengusap yang Dapat Menghilangkan Bekas Najis

            Cara ini dapat membersihkan benda-benda yang licin seperti mata pedang, cermin, kaca, wadah yang dilumuri minyak, kuku, tulang, permukaan barang dari perak, dan lain-lain, karena semua barang itu tidak akan diserap oleh najis. Najis yang terdapat di permukaan barang-barang ini dapat dihilangkan dengan cara mengusapnya. Diriwayatkan bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membunuh orang kafir dengan pedang mereka. Kemudian mereka mengusap pedangnya dan melakukan shalat dengan pedang itu. Berdasarkan hal ini, maka cukuplah mengusap tempat yang dibekam dengan tiga potong kain yang bersih yang dibasahkan.
            Ulama Madzhab Maliki berpendapat sama seperti ulama Madzhab Hanafi, yaitu mereka membolehkan menghilangkan najis dengan cara mengusap najis yang ada pada barang-barang. Jika barang itu dibasuh, maka hal itu akan menyebabkan rusaknya barang itu seperti pedang, sandal dan khuf. (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halamn 34-35)

e. Mengeringkan dengan Cahaya Matahari atau Udara dan Bekas Najis itu Menjadi Hilang

            Cara ini dapat digunakan untuk membersihkan tanah dan semua benda yang melekat pada tanah seperti pohon, rumput dan batu yang menghampar yang akan digunakan untuk shalat, bukan untuk bertayamum. Tetapi, hal ini berbeda dengan hamparan permadani, tikar; pakaian, tubuh, dan setiap benda yang dapat dipindah. Benda-benda yang dapat dipindah jika terkena najis harus dibasuh untuk membersihkannya.
Tanah yang terkena najis dapat menjadi bersih atau suci dengan cara dikeringkan (di bawah terik matahari atau udara). Hal ini berdasarkan kepada kaidah yang artinya, “Bersihnya tanah ialah dengan cara mengeringkannya.” (Hadits ini tidak ada asalnya sebagai hadits marfu’. Ulama madzhab Hanafi menggunakan Hadits ini. Ia diriwayatkan dari Abu Ja'far Muhammad Al-Baqir, Asna Al-Mathalib karya Al-Bairuti, halaman 112)
Juga, hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar, “Aku sering tidur di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika aku masih muda dan belum berumah tangga. Aku sering melihat anjing kencing dan berkeliaran dalam masjid. Tetapi, tidak ada siapa pun yang memercikkan air padanya.” (Riwayat Abu Dawud, Ma’alim As-Sunan oleh Al-Khaththabi jilid 1 halaman 117 dan seterusnya)
Sebab, dibedakannya antara shalat dan tayamum dalam kasus di atas adalah yang dituntut
bagi sahnya shalat adalah suci (thaharah). Sedangkan yang dituntut untuk sahnya tayamum adalah, sifat menyucikan (thahuruyyah). Tanah yang terkena najis apabila kering karena pancaran matahari hanya menghasilkan sifat thaharah (suci) bukan sifat thahuriyyah (menyucikan). Sesuatu yang suci tidak mesti menyucikan. Sedangkan yang menjadi syarat dalam tayamum ialah, tanah yang menyucikan (thahuriyyah at-turab) sama seperti syarat air yang menyucikan (thahuriyyah al-ma') dalam wudhu.
Ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa tanah tidak menjadi suci melalui proses pengeringan (di bawah cahaya matahari atau udara). Tanah yang terkena najis harus dibasuh dengan air. Oleh sebab itu, jika tanah, kolam, sumur, tempat tampungan air dan lain-lain terkena najis (mutanajjis), maka ia dapat disucikan dengan cara memperbanyak curahan air baik dengan air hujan ataupun lainnya. Sehingga, hilanglah zat najis itu, seperti yang diterangkan dalam hadits mengenai seorang Arab badui yang kencing di dalam masjid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasul menyuruh supaya disiramkan air ke atasnya. Diriwayatkan oleh Al-Jamaah dari Abu Hurairah kecuali Muslim yaitu, “Seorang Arab badui berdiri lalu kencing dalam masjid. Lantas orang-orang berdiri dan hendak memukulnya, tetapi dihalangi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya, “Biarkan dia dan curahkan setimba air ke atas air kencingnya. Sesungguhnya kamu diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk memberi kesusahan.” (Nailul Authar, jilid 1, halaman 41 dan seterusnya)

f. Pakaian Panjang yang Dipakai Menyentuh Tanah yang Najis dan Kemudian Menyentuh Tanah yang Suci secara Berulang Kali

Kejadian ini dapat menyucikan pakaian itu, sebab tanah dapat saling membersihkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, “Saya adalah perempuan yang sering memanjangkan pakaian. Saya sering berjalan di tempat yang kotor.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata kepadanya, “la dapat dibersihkan oleh (tanah) yang berikutnya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
            Ulama madzhab Maliki dan Hambali sepekat dengan ulama madzhab Hanafi tentang hal ini. Tetapi, Imam Asy-Syafi’i mengangap bersih jika kain itu menyentuh najis yang kering. Adapun ulama Madzhab Hambali hanya membatasi apabila najis itu sedikit. Jika najis itu banyak, maka kain itu harus dibasuh. (Khaththabi, Ma’alim As-Sunan jilid 1 halaman 118; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 35; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 218)

g. Mengeruk (Al-Farku)

Cara ini dapat membersihkan air mani manusia yang mengenai pakaian kemudian kering. Jika bekasnya masih ada setelah dikeruk, maka ia tetap bersih sama seperti bekas yang masih ada selepas dibasuh. Syaratnya ialah kepala kemaluan yang dilalui oleh air mani tersebut adalah suci. Umpamanya kelamin itu sebelumnya disucikan (dibasuh) dengan air, bukan disucikan secara istinja' dengan kertas atau batu. Sebab, batu dan semacamnya tidak dapat menghilangkan kencing
yang menyebar di atas kepala kemaluan itu. Jika air kencing tidak menyebar dan mani tidak melewati di atas kepala kemaluan, maka mani yang terkena pakaian dan sudah kering itu dapat dibersihkan dengan cara mengeruknya. Karena, mani itu tidak dianggap najis sebab melewati air kencing yang ada pada bagian dalam kemaluan.
Hukum ini berlaku bagi air mani lelaki dan juga air mani perempuan. Jika air mani itu masih basah atau air mani itu ialah air mani binatang ataupun air mani manusia, namun keluarnya adalah dari kemaluan yang kencingnya dibersihkan dengan kertas, batu atau seumpamanya, maka air mani itu tidak menjadi suci dengan cara mengeruknya. la harus dibasuh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang menceritakan bahwa dia membasuh kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang terkena mani. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Ibnul fauzi mengatakan, hadits ini tidak boleh dijadikan hujjah. Sebab, Siti Aisyah membasuhnya atas dasar kotor bukan karena najis (Nashbur Rayah, jilid 1, hlm. 209 - 210)
Dalam Hadits riwayat Imam Ad-Daruquthni dari Aisyah juga disebutkan, “Saya mengeruk mani dari pakaian Rasulullah jika ia kering. Dan saya membasuhnya, jika ia basah.” Telah ditakhrij sebelum ini. Seperti yang kita ketahui bahwa hadits yang menyuruh supaya mani yang basah dibasuh dan mani yang kering supaya dikorek merupakan hadits yang gharib. Al-Baihaqi mengatakan dua hadits itu tidak bertentangan (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 209-210)
Oleh sebab itu, mengeruk (al-farku) dan menggosok (ad-dalku) dapat dikatakan sebagai hal yang sama. (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 34; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 79; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 80; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 224)
Ulama Maliki sepakat dengan ulama Hanafi mengenai najisnya mani. Ulama Asy-Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa manu manusia adalah suci berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah yang ada pada Ad-Daruquthni. Ibnu Abbas mengatakan, “Usaplah dengan idzkhirah (sejenis rumput yang berbau) atau dengan sepotong kain, karena ia adalah sama seperti ingus dan ludah.” Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ad-Daruquthni secara marfu’.
Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini ada dua. Pertama, hadits riwayat Aisyah tidak sama. Satu riwayat dikatakan bahwa ia membasuhnya, tetapi pada hadits lain yang diriwayatkan bahwa dia mengeruknya. Kedua, karena di satu sisi mani menyerupai hadats yang keluar dari badan, dan di sisi lain ia menyerupai unsur-unsur lebihan yang suci seperti susu dan lain-lain.
Syeikh Wahbah Zuhaili dalam bukunya, lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa air mani adalah suci, karena pendapat ini memberi kemudahan kepada banyak orang. Pakaian yang terkena air mani patut dibasuh bukan karena najis, tetapi karena kotor berdasarkan hadits Aisyah yang pertama, yang mengatakan bahwa cukup dengan mengeruk air mani. Meskipun dalil ini sesuai untuk menjadi hujjah kepada ulama Hanafi, bahwa najis dapat dihilangkan dengan
bahan selain air (Al-Majmu’ jilid 2 halaman 560; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 79; Nailul Authar jilid 1 halaman 55).

h. Mengusap (An-Nadfu)

Kapas dapat membersihkan najis apabila diusapkan. Bekas najis akan hilang jika najis itu sedikit.

i. Menyingkirkan (at-Taqwir)

Menyingkirkan maksudnya adalah menyingkirkan bagian yang terkena najis dari bagian yang tidak terkena najis. Cara ini dapat membersihkan minyak beku yang terkena najis, seperti minyak samin dan yang semacamnya. Hal ini berdasarkan hadits Maimunah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan, bahwa seekor tikus telah jatuh ke dalam minyak samin lalu mati. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hal itu. Beliau menjawab, “Buanglah tikus itu dan juga minyak samin yang ada di sekelilingnya. Adapun sisanya boleh dimakan.” Riwayat Al-Bukhari, Ahmad dan Nasa’i menambahkan, “Pada minyak samin yang beku (Subulus Salam jilid 3 halaman 8). Hal ini disepakati oleh semua ulama. Jika minyak samin itu beku, maka najis itu dibuang dan juga minyak yang ada di dekatnya.
Jika najis itu jatuh ke dalam cairan seperti minyak dan minyak samin yang mencair maka menurut jumhur ulama ia adalah najis (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 35; Al-Mughni jilid 1 halaman 37; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 59). Menurut ulama Hanafi, cairan itu boleh menjadi suci dengan cara menuangkan air ke atasnya sebanyak tiga kali, ataupun dengan cara meratakannya ke dalam bejana yang berlubang. Kemudian dituangkan air ke atasnya. Minyak itu akan naik ke permukaan, dan hendaklah minyak itu diambil atau dengan cara membuka lubang bejana itu, supaya air dapat mengalir keluar. Memahat (mencongkel) adalah sama seperti menyingkirkan.
Bahan-bahan yang beku atau keras, dapat disucikan dengan cara ini. Kecuali jika najis itu
meresap ke dalam bagian-bagian bahan itu. Jika barang yang keras itu ialah bejana, maka ia dapat disucikan dengan cara menuangkan air ke atasnya, sehingga banjir dan kemudian dialirkan. Jika barang itu adalah barang yang dimasak seperti daging gandum, dan ayam, maka ia menjadi suci dengan cara membasuhnya dalam keadaan mentah. Tetapi, ia tidak dapat menjadi suci jika ia terkena najis kemudian dimasak dengan api bersama-sama dengan najis itu. Sebab, najis sudah meresap ke dalam bagian barang itu. Berdasarkan ketetapan ini, maka jika kepala binatang direbus
bersama daging dan usus besar sebelum dibasuh dan dibersihkan, maka ia tidak akan suci. Jika ayam direbus untuk memudahkan mencabuti bulunya sebelum perutnya dibedah (dan dikeluarkan najisnya), maka ia tidak akan suci sama sekali.
            Ulama Madzhab Maliki dan Hambali sependapat dengan Ulama Madzhab Hanafi bahwa daging yang direbus bersama dengan najis tidak akan suci. Ulama Madzhab Maliki menambah lagi bahwa telur yang direbus dengan najis, buah zaitun yang dimasak dengan najis, atau dengan kayu-kayu yang diresapi najis, maka ia tidak dapat disucikan. Tetapi jika najis itu jatuh ke dalam daging yang sedang direbus sesudah daging itu masak, maka menurut ulama Madzhab Maliki ia dapat disucikan. Yaitu, dengan cara membasuh air kuah yang menempel pada daging tersebut. Itu pun dengan syarat najis itu tidak lama berada di dalamnya.
            Ulama Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa barang-barang yang membeku yang najis meresap ke dalamnya dapat disucikan. Jika daging dimasak dalam najis maupun jika gandum diresapi najis ataupun pisau direndam ke dalam air bernajis, maka semuanya boleh  disucikan dengan cara menuangkan atau mengguyur air ke atasnya. Kecuali, batu bata yang diadon dengan bahan najis yang beku, maka ia tidak bisa suci.

j. Membagi Benda yang Terkena Najis

Benda yang terkena najis dapat dibagi dengan cara memisahkan bagian yang terkena najis dari bagian yang bersih atau suci. Atau, dengan cara memisahkan barang-barang mitsli seperti gandum apabila terkena najis dan membagi-bagikannya kepada para pembeli.
Jika keledai yang menggiling padi atau gandum, kencing di atas padi atau gandum tersebut, kemudian gandum itu dibagi ataupun dibasuh sebagiannya ataupun sebagiannya diberikan kepada seseorang atau dimakan ataupun dijual, maka sisanya menjadi suci.
Barang yang terkena najis kemudian diberikan kepada orang yang berpendapat bahwa barang itu tidak najis, ia dianggap suci. Cara menyingkirkan najis, memberi dan membagi-bagikan pada hakikatnya tidak dianggap sebagai cara menyucikan, tetapi diterima sebagai cara menyucikan atas dasar untuk memberi kemudahan kepada manusia.

k. lstihalah

Istihalah ialah perubahan atau bertukarnya sendiri benda yang najis atau perubahan melalui sesuatu. Contohnya, darah kijang bertukar menjadi minyak kasturi, arak berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau melalui sesuatu; seperti bangkai berubah menjadi garam atau anjing yang terjatuh ke dalam tempat garam, tahi binatang yang menjadi abu karena terbakar; minyak yang terkena najis kemudian dijadikan sabun; seperti tanah pembuangan sampah apabila kering dan hilang bekasnya, dan seperti najis yang ditanam di dalam tanah dan bekasnya sudah hilang karena masa yang lama. Ini berdasarkan kepada pendapat Imam Muhammad Al-Hasan yang berlawanan dengan pendapat Abu Yusuf. Karena sesuatu najis apabila berubah sifatnya, maka dia tidak menjadi najis lagi. Karena, najis ialah nama bagi sesuatu zat yang bersifat tertentu. Oleh sebab itu, ia akan hilang dengan hilangnya sifat itu. Jadi, hukumnya sama seperti arak yang berubah menjadi cuka. Hukum arak ini disepakati oleh semua madzhab.
Arak dan jusa tempatnva menjadi suci apabila ia berubah menjadi cuka, baik perubahan sendiri ataupun karena tempatnya dipindah dari tempat yang teduh ke tempat yang bercahaya atau sebaliknya, menurut ulama selain Madzhab Hanafi (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 34; Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman 461; Asy-Syarhush Shaghir, jilid l, halaman 46; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1, halaman 57; Al-Muntaqa' ala Al-Muwaththa', jilid 3, halaman 153 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 81:. Al-Mughni, jilid 8, halaman 319; Kasysyaful Qina', jilid 1, halaman 214 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 48). Alasannya adalah karena najisnya arak yang disebabkan oleh sifat mabuk yang sangat kuat telah hilang, sehingga ia tidak meninggalkan najis. Menurut ulama Madzhab Maliki, arak menjadi suci jika berubah menjadi cuka. Tetapi menurut ulama madzhab Syafi'i dan Hambali, arak tidak menjadi suci jika proses menjadi cuka itu melalui pemrosesan seperti memasukkan bawang atau roti panas. Karena, bahan yang dimasukkan ke dalam arak itu menjadi mutanajjis ketika ia terkena arak. Dan selain bahan itu, semuanya najis. Oleh sebab itu, sesuatu yang najis tidak akan menjadi suci disebabkan berubah sifatnya atau sebab api. Oleh sebab itu, abu tahi yang najis yang dibakar tetaplah najis, sabun yang dibuat dari minyak yang najis tetap najis, asap dan abu yang najis tetap najis. Demikian juga uap dari air najis yang terkena sesuatu tetap najis. Tanah yang bercampur dengan tahi keledai dan binatang-binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah najis, meskipun dibakar.
Jika seekor anjing jatuh ke dalam tempat pembuatan garam, lalu ia menjadi garam atau jatuh ke dalam tempat membuat sabun lalu ia menjadi sabun, maka ia tetap najis. Tetapi menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama Maliki, mereka mengecualikan abu dan asap najis. Mereka mengatakan bahwa ia adalah suci. Ini adalah menurut pendapat yang mu’tamad.
Dalam kasus arak menjadi cuka namun akibat memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, maka ulama Madzhab Hambali mensyaratkan bahwa pemindahan itu bukan diniatkan untuk menjadikannya cuka. Jika pemindahannya bertujuan demikian, maka ia tidak bisa suci. Karena menurut hukum, menjadikan arak sebagai cuka adalah haram. Oleh sebab itu, ia tidak menyebabkan munculnya kesucian (thaharah).
Madzhab Syafi’i (Al-Hadramiyyah halaman 23) mengatakan bahwa tidak ada barang najis yang dapat menjadi suci disebabkan oleh perubahan sifatnya kecuali tiga jenis: pertama, arak dan juga tempatnya apabila berubah menjadi cuka dengan sendirinya; kedua, kulit, selain kulit anjing dan babi, yang najis karena bangkai, kemudian menjadi suci lahir dan batinnya setelah disamak; ketiga, sesuatu yang berubah menjadi binatang, seperti bangkai apabila menjadi ulat, karena terjadi kehidupan baru.

l. Menyamak

            Samak digunakan untuk membersihkan kulit yang terkena najis ataupun kulit bangkai. Samak dapat menyucikan semua jenis kulit kecuali kulit manusia dan kulit babi, serta kulit binatang kecil yang tidak dapat disamak seperti kulit tikus dan ular yang kecil. Hukum ini berdasarkan hadits, “Semua kulit yang disamak, maka ia menjadi suci.” Diriwayatkan oleh An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas. Dan juga diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari lbnu Umar. Ia adalah hadits hasan. Imam Muslim meriwayatkan, “Jika kulit disamak maka ia menjadi suci.” (Nashbur Rayah, jilid 1, halaman 115 dan seterusnya). Perkataan ihab berarti kulit sebelum disamak adapun setelah disamak dinamakan adim.
            Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati halaman sebuah rumah ketika Perang Tabuk. Lalu beliau meminta air dari tuan rumah tersebut. Rasul berkata, “Apakah kamu mempunyai air?” Perempuan di rumah itu menjawab, “Kami tidak mempunyainya, wahai Rasulullah. Kecuali air dalam karung kulit binatang yang mati.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu tidak menyamaknya?” jawab perempuan itu, “Ya, (saya menyamaknya).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya samakan itu telah menyucikan.” Ditambah lagi menyamak dapat menghilangkan hal-hal yang menyebabkan bangkai itu najis, yaitu kelembaban dan darah yang mengalir. Jadi, samakan adalah sama dengan membasuh seumpama pakaian yang terkena najis. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa'i dari Salmah ibnul Muhabbaq. Juga diriwayatkan oleh lbnu Hibban dalam Shahih-nya dan Ahmad dalam Musnad-nya dan iuga oleh At-Tirmidzi. Mereka semua mengatakan bahwa hadits ini adalah lemah, karena terdapat perawi yang bernama Al-Laun bin Qatadah (Nashbur Rayah, jilid l, halaman 117). Ibnu Abbas meriwayatkan, “Seekor kambing telah disedekahkan kepada budak Maimunah. Kemudian kambing itu mati. Rasulullah kemudian melewati bangkai itu. Lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu tidak ambil kulitnya, samak, dan gunakan? Para sahabat berkata, “la telah menjadi bangkai, wahai Rasul.” Kemudian Rasul bersabda, “Yang diharamkan ialah memakannya.” (HR. Al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah)
            Madzhab Hanafi mengatakan bahwa samak adalah cara untuk menyucikan sesuatu jika ia dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat menghalang kerusakan dan menghilangkan bau busuk. Samak tetap dianggap sebagai penyuci, meskipun dengan menggunakan samak hukmi saja (dibaghah hukmiyyah) seperti dengan cara melumuri tanah atau menjemurnya. Sebab, maksudnya sudah terpenuhi.
            Setiap kulit yang dapat suci dengan cara samak juga dapat suci dengan cara menyembelihnya. Menurut pendapat yang mu’tamad, kulit anjing dan kulit gajah dapat menjadi suci dengan disamak. Adapun kulit manusia dan kulit babi tidak bisa disamak. Kulit manusia dikecualikan, karena ia dimuliakan oleh Allah. Kulit babi juga dikecualikan, karena ia adalah najis ain. Binatang-binatang yang kecil yang tidak dapat disamak dihukumi sama dengan hukum keduanya. Apa yang terdapat di atas kulit bangkai, baik itu bulu atau lainnya adalah suci. Begitu juga dengan kulit ular adalah suci.
            Ulama Syafi’i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 82; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 48) menganggap bahwa samak dapat menyucikan. la dapat menyucikan semua kulit yang najis kareha menjadi bangkai; yaitu menyucikan dari segi lahirnya. Adapun menurut pendapat yang masyhur; ia juga dapat menyucikan dari segi batinnya, meskipun binatang itu bukanlah binatang yang boleh
dimakan dagingnya. Hal ini berdasarkan dua buah hadits yang telah lalu dan juga hadits Ibnu Abbas. Namun, disyaratkan, penyamakan itu harus dilakukan dengan sesuatu yang dapat membuang kotoran dari kulit. Yaitu, lendir dan kelembaban yang melekat pada kulit yang jika dibiarkan akan merusak kulit. Bahan yang digunakan ialah sesuatu yang kesat (yang dapat mengasarkan lidah jika terkena lidah seperti daun akasia (qaraz) ,’afsh, kulit delima, dan tawas (asy-shubb)), baik bahan yang digunakan itu suci ataupun najis seperti tahi burung. Tidak sah menyamak dengan cahaya matahari, atau dengan cara melumuri tanah, membekukannya, dan mengasinkannya. Karena, semuanya ini tidak dapat membuang kotoran yang ada pada kulit, meskipun kulit itu kering dan harum baunya. Bukti yang menunjukkan bahwa kotoran itu tidak hilang ialah jika kulit itu direndam atau terjatuh ke dalam air maka bau busuknya akan kembali lagi.
Menurut ulama Madzhab Syafi'i, kulit anjing dan babi serta kulit binatang yang lahir dari gabungan keduanya atau dari salah satunya yang kawin dengan binatang yang suci, tidak dapat disucikan dengan cara menyamak. Mereka juga berpendapat bahwa barang-barang yang ada di atas kulit bangkai seperti bulu dan seumpamanya tidak dapat disucikan dengan cara menyamak. Namun iika ia hanya sedikit, maka ia dimaafkan karena susah untuk menghilangkannya.
            Ulama Madzhab Maliki dan ulama Madzhab Hambali (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 51; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 76; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 14; Al-Mughni jilid 1 halaman 66 dan seterusnya) –dalam pendapat yang masyhur di kalangan mereka- mengatakan bahwa kulit yang najis tidak dapat disucikan dengan cara menyamak berdasarkan hadis Abdullah bin Ukaim, “Sebulan sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau mengirim surat  kepada kami supaya jangan mengambil faedah dari bangkai, baik kulit ataupun urat besarnya.” Riwayat Al-Khamsah (Ahmad dan Ashabus Sunan Al-Arba'ah). Ia diriwayatkan juga oleh Asy-Syafi'i, Al-Baihaqi, dan lbnu Hibban. Ad-Daruquthni meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus surat kepada Fuhainah yang isinya, “Aku telah memberi rukhshah kepada kamu untuk menggunakan kulit bangkai. Setibanya suratku ini, maka janganlah menggunakan apa-apa dari bangkai, baik kulit atau dagingnya.” (Nailul Authar, jilid 1, halaman 64)
Hadits ini menasakh hadits-hadits lain yang muncul sebelumnya. Karena, hadits ini muncul di akhir umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits ini menunjukkan bahwa penggunaan kulit bangkai sebelum itu hanyalah suatu rukhshah. Seorang ulama madzhab Maliki,
yaitu Ad-Dardir mengatakan, “Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendaknya diartikan dengan suci menurut bahasa (thaharah al-lughawiyyah) bukan suci menurut syara’ Ini adalah menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab. Oleh sebab itu, tidak boleh melakukan shalat di atas kulit bangkai yang disamak.”
            Berdasarkan pendapat yang masyhur di kalangan ulama Madzhab Maliki yang mengatakan bahwa kulit yang disamak tetap najis, maka selepas disamak, kulit itu hanya boleh digunakan untuk perkara-perkara yang kering bukan yang basah. Contohnya adalah seperti menggunakannya untuk pakaian selain pakaian yang dipakai untuk shalat, atau digunakan untuk duduk selain duduk di dalam masjid. Kulit yang disamak tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang basah seperti untuk menyimpan minyak samin, madu, semua jenis minyak, air yang bukan mutlak seperti air mawar, roti yang basah, dan keju. Jika barang-barang yang basah itu diletakkan di kulit tersebut, maka ia menjadi najis ketika diletakkan.
            Ulama madzhab Maliki mengecualikan kulit babi. Mereka tidak membolehkan menggunakan kulit ini sama sekali, baik ia disamak ataupun tidak, dan baik digunakan untuk perkara kering atau basah. Demikian juga, mereka mengecualikan kulit manusia karena kehormatan dan kemuliaannya. Madzhab Maliki berpendapat bahwa bulu binatang dan yang seumpamanya tidak menjadi najis karena binatang tersebut mati.
            Di kalangan ulama Madzhab Hambali terdapat dua riwayat mengenai boleh atau tidaknya menggunakan kulit najis yang disamak. Pendapat pertama mengatakan boleh. Hal ini berdasarkan hadis Ibnu Ukaim yang lalu yang berdasarkan hadis Al-Bukhari dalam Tarikh-nya, “Janganlah kamu mengambil faedah apa-apa dari bangkai.” Pendapat kedua yang merupakan pendapat yang rajih mengatakan bahwa mengambil faedah dari bangkai adalah boleh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Mengapa kamu tidak mengambil kulitnya dan kamu menyamaknya?”
            Ditambah lagi para sahabat ketika berhasil membuka negeri Persia, mereka mengambil pelana, senjata, dan binatang sembelihan orang Persia, sedangkan sembelihan mereka itu dihukumi sebagai bangkai. Pemanfaatan kulit bangkai itu juga termasuk pemanfaatan yang tidak membahayakan. Jadi, kedudukannya sama dengan binatang buruan anjing dan menunggang keledai. Bulu -baik yang halus maupun yang kasar- yang ada pada bangkai adalah suci menurut ulama madzhab Hambali.
Menurut pendapat Syeikh Wahbah Zuhaili, pendapat yang rajih ialah pendapat ulama Hanafi dan Syafi'i, bahwa samak adalah satu cara penyucian. Sebab, hadits Ibnu Ukaim dipertikaikan. Al-Hazimi dalam bukunya An-Nasikhwal Mansukh wa Tariq Al-lnshaf Fihi mengatakan bahwa hadits Ibnu Ukaim merupakan dalil yang menunjukkan terjadinya nasakh, jika memang hadits itu benar. Tetapi hadits itu riwayatnya dipertikaikan, dan ia tidak dapat menandingi
keshahihan hadits Maimunah. Berpegang kepada hadits Ibnu Abbas adalah lebih utama, karena ada sebab-sebab yang merajihkannya. Hadits Ibnu Ukaim seharusnya dibatasi artinya menjadi larangan menggunakan kulit bangkai itu dikhususkan ketika kulit itu belum disamak. Karena, ketika kulit belum disamak ia dinamakan ihab dan ketika sudah disamak ia dinamakan jild. Perbedaan ini memang dikenali di kalangan ahli bahasa. Lagipula dengan cara membatasi makna hadits kepada pengertian yang demikian, kita dapat menggunakan kedua hukum tersebut dan inilah cara untuk menghilangkan pertentangan (Nailul Authar jilid 1 halaman 65).
            Perlu diperhatikan juga, bahwa berubahnya arak menjadi cuka ataupun proses penyamakan
termasuk dalam istihalah (perubahan) atau berubahnya zat suatu benda.

m. Sembelihan Menurut Syara'

Cara ini dapat menyucikan binatang yang disembelih. Sembelihan yang diakui oleh syara'
ialah sembelihan binatang yang dilakukan oleh seorang Muslim atau seorang Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani), walaupun binatang yang disembelih itu tidak boleh dimakan dagingnya. Menurut pendapat yang difatwakan di kalangan ulama madzhab Hanafi, sembelihan dapat menyucikan kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, tetapi tidak menyucikan daging dan lemaknya. Karena semua binatang yang suci dengan samak akan suci kulitnya dengan sebelihan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Samak kulit ialah sembelihan.” An-Nasa'i meriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang kulit bangkai lalu beliau menjawab, “la dapat suci dengan cara menyembelihnya.” Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Aisyah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Semua kulit suci dengan samakan.” Ad-Daruquthni mengatakan bahwa semua sanadnya dapat dipercaya (Nailul Authar jilid 1, halaman 36). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi.
            Hadits ini menyamakan sembelihan dengan samak. Oleh karena kulit menjadi suci dengan samak, maka ia juga menjadi suci dengan sembelihan. Sebab, sembelihan berfungsi sama seperti samak, yaitu dapat menghilangkan darah yang mengalir dan lender-lendir yang najis. Oleh sebab itu, sembelihan dapat menyucikan kulit sama seperti samak kecuali kulit manusia dan babi. Adapun sembelihan yang dilakukan oleh seorang Majusi, maka ia tidak dianggap sembelihan yang diakui oleh syara'. Sebab, mereka bukanlah orang yang mempunyai kelayakan untuk menyembelih. Oleh sebab itu, sembelihan yang dilakukan oleh mereka tetap tidak dapat menyucikan kulit binatang sembelihan. Oleh sebab itu, cara untuk menyucikan kulit binatang sembelihan mereka hanyalah dengan cara meyamaknya, tidak ada cara lain selain itu.
            Setiap benda yang tidak ada darah yang mengalir di dalamnya tidak dianggap najis karena kematian. Contohnya ialah rambut, bulu yang dipotong, tanduk, kuku, dan tulang selama tidak ada lemaknya. Menurut pendapat yang shahih, 'asab adalah najis. Botol minyak misik adalah suci sama seperti misik.
Binatang yang boleh dimakan dagingnya akan menjadi suci seluruh bagiannya dengan sembelihan, kecuali darahnya yang mengalir. Hal ini disepakati oleh seluruh ahli fiqih.
            Ulama Madzhab Maliki (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 427; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 181; Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Syarh Ash-Shagir jilid 1 halaman 45) mengatakan jika binatang buas atau lainnya, maka daging, kulit dan lemaknya menjadi suci, kecuali manusia dan babi yang jika disembelih pun tetap tidak suci. Alasannya adalah manusia merupakan makhluk terhormat dan mulia. Adapun babi adalah hewan yang najis ‘ain. Tetapi, Imam Ash-Shawi dan Ad-Dardir mengatakan bahwa menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama Madzhab Maliki, sembelihan tidak dapat menyucikan binatang-binatang yang dagingnya haram dimakan seperti keledai, kuda perang, anjing dan babi. Namun binatang buas dan burung buas, maka ia dapat menjadi suci dengan cara menyembelihnya.
            Ulama Ulama Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 58; Al-Mughni jilid 1 halaman 71; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 14) mengatakan bahwa sembelihan tidak memberikan pengaruh apa pun kepada binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya. Karena, pengaruh sembelihan terhadap dibolehkannya daging adalah perkara asal. Sedangkan kulit, hanyalah menurut kepada daging. Maka jika sembelihan tidak dapat menyucikan daging, ia juga tidak dapat menyucikan yang lainnya. Kedudukannya sama seperti sembelihan orang Majusi atau sembelihan yang tidak diakui oleh syara'. Sembelihan tidak dapat disamakan dengan samak karena samak dapat menghilangkan kotoran dan kelembaban, dan juga menjaga kulit supaya senantiasa baik. Sedangkan sembelihan tidak dapat melakukan hal yang demikian.
Inilah pendapat terakhir yang sekira kuat, menqiyaskan sembelihan dengan samakan dalam perkara-perkara ibadah (ta'abbudiyyah) adalah suatu perkara yang tidak dapat diterima.

n. Menyuci dengan Cara Membakar

Dalam beberapa kasus, api dapat menjadi alat penyuci, yaitu jika ia mampu mengubah najis atau menghilangkan bekasnya dengan pembakaran itu, seperti tahi yang berubah menjadi abu ketika membakar batu bata, atau seperti tempat berdarah pada kepala kambing yang terbakar. Sama dengan pembakaran ialah pendidihan dengan menggunakan api seperti minyak atau daging yang dididihkan sebanyak tiga kali. Ibnu Abidin mengatakan janganlah kamu kira bahwa setiap benda najis yang terkena api menjadi suci, karena ada kabar yang sampai kepada saya bahwa sebagian orang menyangka demikian. Yang dapat menjadi suci ialah najis yang berubah apabila terbakar (dengan api) atau hilang bekas najisnya dengan pembakaran itu. Dari sini, maka pembakaran najis dengan menggunakan api dapat menyebabkannya suci.
Menurut pendapat ulama Hanafi, api tidak dapat menjadi alat penyuci. Masalah ini telah kita jelaskan dalam pembahasan mengenai istihalah (perubahan najis). Oleh sebab itu, abu najis (najis yang dibakar) dan asapnya adalah najis. Namun ulama madzhab Maliki, menurut pendapat yang masyhur, mengecualikan abu najis, asapnya, dan benda najis yang dijadikan kayu api. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah suci karena telah terbakar dengan api.

o. An-Naz'ah (menguras)

An-Naz'ah artinya menimba semua air telaga yang terkena najis atau membuang ukuran yang wajib dibuang. Cara ini akan menyucikan telaga tersebut.
Dengan kata lain, naz'ah ialah membuang beberapa timba air yang wajib dibuang ataupun
membuang seluruh air sesudah apa yang terjatuh ke dalam telaga itu -baik manusia maupun binatang- dikeluarkan. Jika yang wajib dibuang adalah semua air telaga, maka jika dapat semua mata air atau jalan masuk air harus ditutup, kemudian barulah air yang najis yang terdapat dalam telaga itu dibuang. Jika lubang masuknya air atau mata air tidak dapat ditutup karena air sangat banyak, maka hendaklah air yang dibuang sesuai kadar berikut (Tuhfatul Fuqaha’ jilid 1 halaman 10 dan seterusnya. Cetakan Darul Fikr, Damaskus. Pengarang dan Ustadz Muntasir Al-Kattani telah mentahqiq dan mentakhrij hadis-hadis yang terdapat di dalamnya).
Pertama, jika yang jatuh ke dalam telaga itu ialah binatang, maka perlu dilihat. Apabila binatang yang jatuh itu ialah binatang jenis najis 'ain seperti babi, maka semua air wajib dibuang. Menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Hanafi, anjing tidaklah termasuk binatang najis 'ain. Apabila binatang yang jatuh ke dalam telaga air itu bukan binatang yang termasuk najis 'ain, maka perlu dilihat. Jika ia manusia, maka ia tidak menyebabkan telaga itu najis. Jika yang jatuh ialah binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya seperti binatang buas atau burung buas (siba' ath-thair), maka menurut pendapat yang ashah, ia menyebabkan air itu najis. Jika yang jatuh adalah keledai, maka menurut pendapat yang ashah ia menyebabkan air tersebut menjadi air yang diragui (kesuciannya).
Kedua, jika yang jatuh ke dalam telaga adalah binatang yang halal dimakan dagingnya, maka ia menyebabkan air itu najis apabila binatang itu mati. Oleh sebab itu, hendaklah semua airnya dibuang jika memang binatang itu telah kembung atau hancur. Jika binatang itu tidak kembung atau tidak hancur maka menurut zhahir ar-riwayat ia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: (1) Apabila yang jatuh ialah bangkai tikus atau semacamnya, maka hendaklah
air itu dibuang 20 atau 30 timba disesuaikan dengan besar kecilnya timba itu; (2) Iika yang jatuh adalah bangkai ayam atau semacamnya, maka hendaklah air yang dibuang adalah 40 atau 50 timba; (3) Jika yang jatuh ialah manusia, maka hendaklah semua air itu dibuang apabila orang yang jatuh itu diyakini ada najisnya baik najis haqiqi atau hukmi, baik dia berniat mandi ataupun wudhu ketika masuk telaga itu. Dalil yang digunakan oleh mereka ialah perbuatan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, sebenarnya tidak ada satu hadits yang shahih mengenai masalah ini.

p. Masuknya Air dari Satu Arah dan Keluar dari Arah yang Lain Sebanyak Tiga Kali

Hal ini bisa terjadi pada kulah yang kecil. Dengan cara ini, seakan-akan ia dibasuh se sebanyak tiga kali. Ini merupakan cara penyucian kulah ataupun bejana apabila terkena najis. Sebab, ia dapat menghilangkan bekas najis, yaitu dengan keluarnya air dari arah yang lain. Dengan cara ini juga, maka diyakini tidak akan ada lagi najis yang tertinggal dalam kulah tersebut. Berdasarkan keputusan ini, maka jika air dalam bejana atau dalam suatu saluran terkena najis, maka ia dapat menjadi suci dengan cara mencurahkan air dari satu arah sehingga ia mengalir keluar ke arah yang satunya lagi.

q. Membalikkan Tanah (Al-Hafru)

Maksud al-hafru adalah dengan cara membalikkan tanah: bagian yang atas dikebawahkan. Cara ini dapat menyucikan tanah yang najis.

r. Membasuh Ujung Pakaian ataupun Badan

Cara ini dapat mengganti basuhan ke seluruh pakaian atau badan, apabila orang tersebut lupa tempat yang terkena najis. Cara ini boleh dilakukan meskipun ia tidak mencari tempat najis itu. Ini merupakan pendapat yang terpilih di kalangan ulama madzhab Hanafi.

PENDAPAT MADZHAB MALIKI TENTANG ALAT PENYUCI

Cara bersuci menurut madzhab Maliki adalah sebagai berikut (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 34-35; Asy-Syarhush Shagir jilid 1 halaman 64, 78, 82 dan seterusnya; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 82 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 56):
(1) Membasuh dengan air yang menyucikan (mutlak). Ini dilakukan untuk perkara yang tidak cukup hanya dengan percikan atau usapan. Ketika membasuh, tidaklah cukup hanya dengan mengalirkan air ke atas najis. Zat najis dan juga bekas najis itu harus dihilangkan terlebih dulu.
Menghilangkan najis dengan cairan selain air adalah tidak boleh.
(2) Dengan cara mengusap dengan potongan kain yang dibasahi. Ini dilakukan untuk barang-barang yang akan rusak jika dibasuh, seperti pedang dan sandal.
(3) Dengan cara memercikkan air ke pakaian atau tikar jika diragui najisnya. Percikan itu boleh dilakukan tanpa niat sama seperti ketika membasuh. Yang dimaksud dengan cara ini ialah memercikkan dengan tangan ataupun lainnya seperti dengan menggunakan mulut atau dengan cara diletakkan di bawah air hujan. Percikan itu cukup dilakukan sekali saja untuk najis tersebut, dan hendaknya dilakukan dengan menggunakan air mutlak. Dalam kasus ini, jika suatu tempat diragui terkena najisnya, maka hanya wajib dipercikkan air ke atasnya dan tidak wajib membasuhnya. Tetapi jika dibasuh, ia lebih baik dan lebih menyakinkan. Tidaklah cukup memerciki badan yang diragui terkena najis, melainkan badan itu wajib dibasuh sama seperti kasus ketika dapat dipastikan tempat yang terkena najis.
(4) Dengan cara menggunakan debu yang suci. Cara ini dapat menyucikan najis hukmi, yaitu dalam kasus tayamum.
(5) Ad-dalk (memijit/menggosok). Ini dilakukan pada khuf dan sandal yang terkena tahi atau kencing binatang yang terdapat di jalan raya atau di tempat-tempat lain. Cara ini dibenarkan karena menghindari tahi di jalan raya adalah perkara susah. Namun bagi najis atau tahi manusia, anjing, kucing ataupun lainnya jika terkena pakaian ataupun badan, maka ia tidak dimaafkan sama sekali, dan hendaklah dibasuh dengan air. Demikian juga jika tahi atau kencing binatang itu terkena tempat lain selain khuf dan sandal seperti terkena pakaian atau tubuh, maka ia tidaklah dimaafkan, tetapi hendaklah dibasuh.
(6) Dengan cara berjalan berulang kali. Cara ini dapat menyucikan kain atau pakaian yang panjang yang terkena tanah yang ada najisnya yang kering, lalu debu melekat pada kain atau pakaian itu. Syaratnya ialah tujuan pakaian itu dipanjangkan untuk menutup aurat, bukan untuk tujuan berbangga-bangga (sombong). Ulama madzhab Maliki berbeda pendapat mengenai najis yang basah: jika ia tidak memakai khuf maka dapat suci dengan cara tersebut. Tetapi jika ia memakai khuf, maka tidak dimaafkan. Sama dengan kasus ini ialah berjalan di atas najis yang kering namun dengan kaki yang basah. Dengan cara ini, maka langkah yang berikutnya dapat menyucikannya. Dalam kedua kasus ini (pakaian panjang dan kaki yang basah), orang tersebut dibolehkan melakukan shalat dan dia tidak wajib membasuhnya. Najis yang berasal dari tanah hujan dimaafkan jika najisnya tidak mendominasi ataupun jika 'ain (zat) najisnya tidak ada.
(7) At-Taqwir (memisahkan). Cara ini dapat membersihkan benda-benda yang beku (bukan cair). Contohnya ialah apabila tikus jatuh ke dalam minyak samin yang beku, maka tikus itu hendaknya dibuang dan juga minyak samin yang ada di sekitar tikus itu. Sahnun mengatakan kecuali jika najis itu lama berada di dalamnya. Jika tikus itu jatuh ke dalam minyak yang cair lalu mati di dalamnya, maka hendaklah dibuang semuanya. Berdasarkan hal ini, maka jika najis itu jatuh ke dalam cairan
selain air, maka ia menajiskan cairan itu baik cairan itu berubah sifatnya ataupun tidak.
(8) An-nazh (menguras). Jika binatang yang najis jatuh ke dalam telaga dan ia mengubah sifat air itu, maka semua air itu wajib dibuang. Jika najis itu tidak mengubahnya, maka disunnahkan membuang seukuran binatang dan kadar air. Artinya, dibuang semua di samping dibuang juga menurut kadar binatang.
(9) Membasuh tempat yang terkena najis. Hal ini dapat dilakukan jika diketahui tempat yang terkena najis. Yang dibasuh boleh tempat itu saja. Tetapi jika tidak diketahui tempatnya, maka hendaklah dibasuh semuanya.
(10) Istihalah (berubah). Cara ini dapat menyucikan arak apabila ia berubah sendiri ataupun berubah dengan perbuatan manusia. Kulit bangkai tidak dapat disucikan dengan penyamakan. Menurut pendapat yang mu’tamad, abu najis yang dibakar dan asapnya adalah suci.
(11) Sembelihan menurut syara’. Cara ini dapat menyucikan binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, kecuali manusia dan babi. Menurut pendapat Ad-Dardir, pendapat yang masyhur mengatakan bahwa sembelihan tidak dapat menyucikan binatang yang haram dimakan dagingnya, seperti kuda perang, keledai, anjing dan babi.
            Jika seseorang melakukan shalat, dan setelah selesai shalat dia melihat ada najis di pakaian atau badannya, dan sebelum itu dia tidak mengetahuinya, atau dia mengetahui tapi lupa, maka shalatnya sah menurut madzhab Maliki yang tidak mewajibkan menghilangkan najis, kecuali jika orang tersebut ingat, mampu dan bisa.

PENDAPAT MADZHAB SYAFI’I TENTANG ALAT PENYUCI

            Menurut Madzhab Syafi’i, ada empat jenis penyuci yang dapat menyucikan benda cair dan beku (Syekh Zakariya Al-Anshari, Tuhfatuth Thullab halaman 4; Al-Majmu’ jilid 1 halaman 188; Al-Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 17, 84 dan seterusnya).

a. Air Mutlak

            Air mutlak adalah air yang disebut sebagai air saja tanpa disertai dengan tambahan apa pun seperti air mawar atau tidak disertai dengan sifat apa pun seperti air memuncrat seperti air mani. Air mutlak ini terbagi kepada beberapa kelompok: pertama, air yang turun dari langit. Ia terbagi kepada tiga hal yaitu air hujan, air salju yang mencair (adz-dzaub), air es (bard); kedua,  air yang bersumber dari bumi, ia terbagi kepada empat hal yaitu air yang bersumber dari mata air, air sumur, air sungai, air laut.
Air dapat digunakan untuk menghilangkan najis, mengangkat hadats dan juga lainnya, seperti untuk memperbarui wudhu.
Kencing atau muntah anak-anak yang belum memakan makanan selain susu, dan umurnya belum mencapai dua tahun dapat diperciki dengan air ini. Hal ini berdasarkan hadits yang shahih tentang masalah ini, “Air kencing anak perempuan hendaknya dibasuh dan air kencing anak lelaki hendaknya diperciki air.” Riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Samh. Juga, diriwayatkan oleh Al-Jama'ah dari Ummu Qais binti Mihsan, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerciki air kencing anak-anak lelaki dengan air suci. Juga, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ummu Karz bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kencing anak-anak lelaki adalah cukup diperciki dan kencing anak-anak perempuan dibasuh.” (Nailul Authar, jilid l, halaman 45)
Ulama Syafi’i dan Hambali membuat perbedaan ini. Tetapi, ulama Madzhab Maliki tidak membedakan antara anak lelaki dan perempuan. Mereka mengatakan bahwa percika air hanya dapat menyucikan pakaian yang diragukan najisnya saja. Mereka sepakat dengan ulama madzhab Hanafi yang mengatakan wajib membasuh kedua-duanya, karena mereka mengqiyaskan hukum anak perempuan dengan hukum anak lelaki (Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 82; Nailul Authar; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 217 dan seterusnya, cetakan Mekkah).
Syeikh Wahbah Zuhaili lebih condong kepada pendapat ulama Madzhab Syafi’i dan Hambali ialah kencing anak lelaki keluar dengan tekanan yang kuat, sehingga memancur atau karena anak lelaki sering digendong. Oleh karena ia sering kencing dalam gendongan, maka susah dibasuh, atau karena campuran kencing anak lelaki adalah panas. Oleh sebab itu, kencingnya halus. Hal ini berlainan dengan kencing anak perempuan.

b. Tanah Menyucikan yang tidak Digunakan untuk Kefardhuan dan tidak Bercampur dengan Sesuatu yang lain

Tanah jenis ini dapat digunakan untuk menyucikan, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah An-Nisaa’ ayat 43 yang artinya, “...maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)....”

c. Samak

Samak ialah membuang unsur-unsur lebihan yang melekat pada kulit dan yang dapat merusak kulit, yang kira-kira kulit itu setelah disamak jika direndam atau dibasuh dengan air, maka kulit itu tetap tidak busuk dan tidak rusak. Samak boleh dilakukan dengan qaraz dan tawas. Kulit itu tetap menjadi suci, walaupun alat yang digunakan untuk menyamak itu najis, seperti dengan menggunakan tahi burung.

d. Takhallul (Menjadi Cuka)

Takhallul artinya arak berubah menjadi cuka tanpa dimasukkan sesuatu bahan ke dalamnya. Dengan berubah menjadi cuka, maka arak itu menjadi suci meskipun ia berubah dengan cara dipindah dari tempat yang terkena cahaya matahari ke tempat yang teduh ataupun sebaliknya. Jika arak itu menjadi cuka disebabkan oleh kemasukan sesuatu bahan walaupun bahan itu tidak memberi pengaruh kepadanya, ataupun karena kejatuhan najis ke dalam arak tersebut, maka ia tetap najis (tidak suci) walaupun najis yang jatuh itu dibuang sebelum ia menjadi cuka.
Bersuci yang dapat dihasilkan dari empat alat penyuci empat ini ada empat macam yaitu wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Suci yang terakhir, yaitu menghilangkan najis mencakup ihalah (perubahan).
Barang-barang yang mempunyai permukaan licin dan terkena najis seperti pedang, dan seumpamanya tidak menjadi suci dengan cara mengusapnya, ia harus dibasuh. Demikian juga sandal, ia tidak dapat menjadi suci dengan cara menggosok-gosokkannya dengan tanah tanpa dibasuh. Air menjadi suci dengan cara ditambah meskipun tidak sampai dua kulah. Bumi yang terkena najis juga menjadi suci dengan cara menuanginya air yang banyak.

PENDAPAT MADZHAB HAMBALI  TENTANG ALAT PENYUCI

            Secara umum pendapat Madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 22,213; Al-Mughni jilid 1 halaman 98) sama seperti pendapat ulama Madzhab Syafi’i, kecuali dalam masalah samak. Mereka menganggap bahwa samak tidak dapat menyucikan. Yang dapat digunakan untuk menyucikan bagi mereka adalah air, tanah, istinja’ dengan batu dan arak bertukar menjadi cuka.
            Tanah yang terkena najis dapat disucikan dengan menuanginya air yang banyak. Maksudnya adalah dengan mencurahkan air kepada najis, sehingga najis itu tenggelam dalam air.
Cara ini tidak memerlukan bilangan, asalkan najis itu hilang 'ain-nya dan tidak ada bekasnya lagi baik warna ataupun bau, jika memang kedua-duanya atau salah satunya itu dapat dihilangkan.
Tanah yang terkena najis tidak menjadi suci dengan dipanaskan di bawah cahaya matahari
ataupun dengan tiupan angin. Demikian juga tidak menjadi suci dengan sebab kering, sebab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  menyuruh supaya kencing Arab badui yang membuang kencing dalam masjid dibasuh. Jika sucinya cukup hanya dengan cahaya matahari, angin, ataupun
apabila kering, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menyuruh membasuhnya.
Najis tidak menjadi suci dengan cara istihalah. Seandainya baja yang terkena najis dibakar, lalu menjadi abu ataupun anjing jatuh ke dalam tempat pembuatan garam, kemudian ia menjadi garam, maka ia tetap najis. Sebab, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  melarang memakan binatang yang memakan najis dan melarang meminum susunya karena binatang itu memakan barang najis. Apabila ia menjadi suci dengan cara istihalah, sudah barang tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarangnya (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Ibnu Umar. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan gharib).
            Najis juga tidak dapat disucikan dengan api. Oleh sebab itu, abu dari tahi yang najis, sabun yang dibuat dari minyak yang najis, asap dan debu najis, semuanya adalah najis. Uap apa pun yang keluar dari air yang najis yang terkena benda licin atau benda lain adalah najis. Tanah yang bercampur dengan tahi keledai atau bighal ataupun binatang lain yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah najis, walaupun ia sudah terbakar seperti batu bata. Demikian juga jika anjing jatuh ke dalam tempat pembuatan garam lalu menjadi garam atau jatuh ke dalam tempat membuat sabun, lalu ia menjadi sabun, maka ia tetap najis (Ibnu Taimiyah dalam fatwanya mengatakan bahwa najis yang berubah/istihallah dengan cara hilang ‘ain dan kotorannya, maka ia menjadi suci).
Satu pengecualian dari prinsip umum bahwa istihalah tidak menyucikan, adalah kasus istihalahnya penciptaan manusia, arak berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau dengan cara dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain tanpa ada tujuan untuk menjadikan cuka. Perbuatan yang dimaksudkan untuk mengubah arak menjadi cuka adalah haram. Jika ia menjadi cuka dengan melalui pemindahan yang disertai tujuan menjadikan cuka, maka ia tidak menjadi suci berdasarkan hadits Muslim dari Anas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pemah ditanya tentang boleh atau tidak arak dijadikan cuka. Rasul menjawab, “Tidak boleh.” Botol arak adalah sama seperti arak. Ia menjadi suci apabila arak itu suci.
Minyak yang terkena najis tidak dapat menjadi bersih dengan cara membasuhnya, karena tidak dapat dipastikan apakah air itu dapat sampai ke seluruh bagiannya atau tidak. Demikian juga bagian dalam biji-bijian yang diresapi najis tidak dapat disucikan. Demikian juga tepung yang sudah diuli yang terkena najis tidak dapat disucikan, karena ia tidak dapat dibasuh. Daging yang diresapi najis iuga tidak dapat disucikan. Demikian juga bejana yang diresapi najis serta pisau yang direndam dengan air yang najis juga tidak dapat disucikan.
Minyak samin yang beku dan yang semacamnya menjadi suci jika dibuang najisnya dan juga bagian yang mengelilingi najis itu. Adapun cairan, maka ia tidak dapat menjadi suci apabila najis itu terus berada di dalamnya, seperti tikus mati di dalamnya. Apabila tikus itu keluar dalam keadaan hidup, maka ia tetap suci.
Benda yang kejatuhan najis kemudian diyakini hilangnya, maka perlu dibasuh. Jika tempat yang terkena najis pada badan atau pakaian ataupun tempat kecil seperti rumah dan najis itu tidak diketahui di mana, maka tempat itu harus dibasuh. Zhan (dugaan kuat) saja tidak mencukupi, karena ada kesamaran di antara bagian yang suci dengan yang najis. Oleh sebab itu, semua tempat itu wajib dijauhi hingga diyakini sucinya dengan cara membasuhnya. Sebab, najis itu diyakini keberadaannya. Oleh sebab itu, ia tidak hilang kecuali dengan kesucian yang meyakinkan.
Namun apabila ketidakpastian tempat yang terkena najis itu adalah pada tempat yang besar seperti padang pasir yang luas dan rumah yang besar, maka tidaklah mengapa. Ini adalah untuk menghindari kesulitan dan kesusahan.
Kencing dan muntah anak lelaki yang belum memakan makanan dengan keinginan sendiri cukup diperciki dengan air, walaupun air kencing itu najis sama seperti air kencing orang dewasa. Namun, air kencing anak perempuan atau khunsa harus dibasuh.
            Sandal yang terkena najis tidak akan menjadi suci dengan cara digosok-gosokkan dengan tanah, ia wajib dibasuh. Demikian juga ujung pakaian wanita yang terkena najis, baik karena berjalan atau lainnya wajib dibasuh. Cara membasuhnya sama seperti membasuh pakaian dan tubuh. Namun najis yang sedikit yang terdapat di telapak khuf dan sandal sesudah digosok-gosokkan dengan tanah adalah dimaafkan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika dua khufnya memijak najis, maka pensucinya adalah tanah.” (Riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Muhammad bin 'Ajlan, dia adalah seorang yang dapat dipercaya. Hadis Ummu Salamah yang telah lalu adalah sahih, yaitu hadits yang menceritakan bahwa berjalan di atas jalan yang kering adalah dapat menyucikan, tetapi hadits ini tidak membatasi kadar na.iisnya apakah banyak atau sedikit)
Tanah yang najis tidak dapat menjadi suci dengan cara memanaskannya dengan pancaran cahaya matahari, angin, ataupun mengeringkannya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Curahkanlah seember air untuk kencingnya.”
Kesimpulannya ialah, ulama Syafi'i dan ulama Hambali lebih melihat kepada cara menyucikan yang lebih sempurna menurut syara’. Adapun ulama Hanafi lebih longgar dalam cara menyucikan. Ulama Maliki dalam sebagian keadaan berpendapat sama seperti ulama Hanafi. Namun, kenyataan yang ada dan juga dengan alasan keperluan, serta adat orang banyak, maka pendapat Madzhab Hanafi dalam masalah ini lebih tepat. Atas dasar ini, maka menurut jumhur tanah tidak dapat disucikan dengan cara memanaskannya di bawah terik matahari atau dengan tiupan angin. Adapun Madzhab Hanafi membolehkannya.
            Untuk membersihkan kursi sofa adalah dengan cara membasuh tempat yang terkena najis dengan menggunakan air. Menurut Madzhab Hanafi dan Maliki, untuk membersihkan sandal yang terkena najis, maka cukup dengan menggosok-gosokkannya dengan tanah. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika sandalmu mengenai kotoran, maka tanah adalah alat untuk membersihkannya.”
            Adapun untuk membersihkan pisau, kaca, pedang, cermin, dan benda-benda yang licin lainnya adalah dengan cara mengusapnya hingga bekas najis itu hilang. Ini berdasarkan amalan para sahabat yang mengusap pedang mereka dari darah.
Baju dan pakaian tidak dihukumi najis selagi 'ain najis itu tidak diketahui. Apabila pada malam hari seseorang atau bajunya kejatuhan air, maka ia dihukumi suci kecuali jika muncul dugaan kuat bahwa yang jatuh itu adalah najis.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)