Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
JENIS-JENIS AIR
Air terbagi kepada tiga jenis: air yang menyucikan; air suci,
tetapi tidak menyucikan; air mutanajjis (air yang terkena najis).
a. Air Mutlak
Air tersebut ialah air yang suci dan dapat menyucikan benda lain,
yaitu setiap air yang jatuh dari langit atau yang bersumber dari bumi, yang
keadaan asalnya tetap, satu dari tiga sifatnya (warna, rasa dan bau) tidak
berubah, atau berubah namun penyebabnya tidak sampai menghilangkan sifat
menyucikan yang terdapat padanya, seperti disebabkan oleh tanah yang suci,
garam, atau tumbuhan air. Dan juga, air itu belum musta’mal yaitu belum digunakan
untuk bersuci seperti air hujan, air yang mengalir di antara dua bukit, mata
air, air telaga, air sungai, air laut, air salju, dan lain-lain, baik air tawar
atau asin. Termasuk juga air beku (es), air yang menjadi garam atau air yang
menjadi uap, karena semuanya itu adalah air yang sebenarnya.
Namun, ulama Hanafi mengatakan bahwa air asin dapat menyucikan
sebelum ia menjadi garam. Tetapi setelah menjadi garam dan kemudian mencair lagi,
maka ia suci lagi, tetapi tidak dapat menyucikan. Oleh sebab itu, tidak boleh
mengangkat hadats dengan air itu, tetapi dapat digunakan untuk menghilangkan
najis.
Air mutlak ini suci dan dapat menyucikan menurut ijma ulama, dan ia
dapat digunakan untuk menghilangkan najis, dan dapat juga digunakan untuk
berwudhu dan mandi (sunnah atau wajib), berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam
Surah Al-Furqaan ayat 48 yang artinya, “...dan Kami turunkan dari langit air
yang sangat bersih.” Dan Surah Al-Anfaal ayat 11 yang artinya “…dan
Allah menurunkan air (hujan) langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan
(hujan) itu....”
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai laut,
“Yaitu air yang menyucikan dan halal bangkainya.” Diriwayatkan oleh tujuh
sahabat yaitu Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah. Ali bin Abi Thalib, Anas bin
Malik, Abdullah bin Amr Al-Farisi, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Hadits Abu
Hurairah diriwayatkan oleh Imam Hadits yang empat. Meskipun ada kecacatan dalam
riwayatnya, namun ia didukung oleh riwayat-riwayat lainnya (Nashbur Rayah
jilid 1, halaman 95).
Dan juga sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya
air itu menyucikan. Ia tidak menjadi najis kecuali yang berubah bau, rasa dan
warnanya.” Riwayat Ibnu Majah dari Abu Umamah, sanad hadits ini adalah
dhaif (Nashbur Rayah, jilid 1, halaman 94), tetapi At-Tirmidzi
menganggap hadits ini hasan. Ia mempunyai sanad yang shahih seperti yang
disebut oleh Ibnul Qaththan. Imam Ahmad mengatakan hadits ini shahih.
Untuk membahas air yang dapat digunakan untuk bersuci, perlu
diketahui dua perkara berikut.
(i) Perubahan yang tidak Memberi Pengaruh kepada Sifat Menyucikan
yang Dimiliki oleh Air itu
Para ahli fiqih sepakat mengatakan bahwa semua perkara yang
bercampur dengan air dan menyebabkan perubahan sifat air dan biasanya tidak
dapat dipisahkan dari air itu, maka tidak menghilangkan sifat suci dan menyucikan
yang dimiliki oleh air tersebut.
Oleh sebab itu, air tersebut tetap dianggap suci dan menyucikan
meskipun ia tergenang lama, kemudian terjadi perubahan pada keseluruhan air
ataupun sebagiannya saja. Karena, perubahan itu tidak dapat dihindari. Begitu
juga jika perubahan itu disebabkan bercampur dengan tanah yang suci, lumut yang
tumbuh di permukaan air dan sesuatu yang sudah ada pada tempat genangan air
atau tempat alirannya. Begitu juga jika bercampur dengan sesuatu yang dapat
dipisahkan seperti ranting kayu, minyak, ataupun bau-bauan dan kayu gaharu.
Begitu juga bangkai yang dibuang di pinggir pantai dan mengubah air sebab baunya,
ataupun bercampur dengan sebagian bahan galian seperti garam dan belerang, dan
juga benda yang tidak dapat dihindarkan seperti jerami dan daun kayu. Penjelasan
para ahli fiqih secara terperinci adalah sebagai berikut.
Pertama, menurut ulama Hanafi (Fathul Qadir jilid 1 halaman 48; Al-Lubab
Syarhul Kitab jilid 1 halaman 26; Maraqi Al-Falah halaman 3), boleh
bersuci dengan air yang bercampur dengan sesuatu yang beku dan suci jika tidak
terjadi perubahan akibat proses memasak. Sehingga, berubahlah salah satu
sifatnya atau kesemua sifatnya, seperti air mengalir yang bercampur dengan
tanah dan daun tetapi sifat lembutnya air masih ada. Tetapi jika air itu sudah
berubah sifat, yaitu jika jumlah tanah sudah melebihi air; maka tidak boleh
bersuci dengannya. Hal ini seperti air yang bercampur dengan susu, za'faran,
sabun atau garam, selagi masih kekal sifat lembutnya dan sifat mengalirnya,
karena ia masih disebut dengan air dan karena bercampur dengan benda-benda
tersebut tidak dapat dihindari. Tetapi jika sifat air sudah bertukar dan
dipanggil dengan nama lain seperti air sabun pekat atau air za'faran
berwarna, maka ia tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.
Kedua, menurut
pendapat ulama Maliki (Asy-Syarhush Shagir jilid 1 halaman 30-36; Al
Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 30; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman
22; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 35-39) air masih dianggap suci dan
menyucikan meskipun ia tergenang lama, mengalir di atas sesuatu benda,
menghasilkan sesuatu seperti berlumut, ulat, dan ikan hidup, bercampur dengan
sesuatu yang biasanya tidak dapat dipisahkan, atau bercampur dengan sesuatu
yang dapat dipisahkan. Dan menurut pendapat yang masyhur di dalam madzhab ini,
air tetap dianggap suci dan menyucikan, meskipun terjadi perubahan karena
bercampur dengan tanah yang dibuang ke dalamnya. Begitu juga jika bercampur
dengan garam yang dibuang ke dalamnya dan bahan seumpamanya seperti tembaga,
belerang, dan besi, sekalipun dibuang ke dalamnya dengan sengaja. Begitu juga
bahan untuk menyamak seperti tar atau bercampur dengan sesuatu yang susah
dihindarkan seperti jerami atau daun yang gugur ke dalam telaga dan kolam
karena ditiup angin. Jika kulit perut disamak untuk dibuat tempat air seperti qirbah
(tempat air yang dibuat dari kulit) dan timba, maka air itu boleh digunakan
meskipun terjadi perubahan. Karena, bekas bahan penyamak itu suci seperti lilin
kayu qaraz (kayu samak), tar dan tawas.
Air tetap dianggap suci dan menyucikan jika bercampur dengan
sesuatu yang dapat dipisahkan darinya, karena air berubah menurut benda yang
berada di sebelahnya. Di antara benda
yang bercampur dan dapat dipisahkan ialah bangkai yang dibuang di
luar air; dan bau air itu berubah karena bangkai itu. Air tetap dianggap suci
dan menyucikan jika terjadi sedikit perubahan yang disebabkan oleh alat
penciduk seperti tali atau timba, atau karena pengaruh kayu wangi yang
dilumurkan pada suatu wadah. Tetapi, bukannya yang digunakan untuk menyamak atau
yang dibuang ke dalam air lalu mengendap di dasar air dan kemudian air berubah
karenanya. Hal ini dibolehkan, karena orang Arab banyak menggunakan tar untuk
alat penciduk. Maka, perubahan itu sama seperti perubahan yang disebabkan oleh
tempat keberadaan air.
Air tetap dianggap
suci dan menyucikan juga jika berubah karena bercampur dengan sesuatu yang
diragui jenisnya; apakah ia dari jenis yang menghilangkan sifat suci dan
menyucikan seperti madu dan darah atau dari jenis yang tidak menghilangkan sifat
itu seperti belerang yang tergenang lama. Maka, air yang demikian boleh
digunakan untuk bersuci. Begitu juga jika ragu apakah air berubah atau tidak
sebab ada air liur, umpamanya air dimasukkan ke dalam mulut, lalu timbul keraguan
apakah air itu berubah dengan air liur atau tidak, maka air itu boleh digunakan
untuk bersuci.
Tidak boleh bersuci dengan menggunakan air yang berubah salah satu
sifatnya yang disebabkan bercampur dengan jenis air lain tetapi ia suci,
seperti susu, minyak, dan madu, maka apabila ada air yang bercampur dengannya atau
melekat padanya, seperti bunga kenanga yang jatuh ke permukaan air, lemak yang
melekat pada air, dan berubah salah satu sifat air (warna, rasa atau bau), maka
air itu tidak boleh digunakan untuk bersuci. Air tersebut tetap suci, tetapi
tidak dapat menyucikan benda lain.
Kesimpulannya adalah, jika air bercampur dengan sesuatu yang suci,
dan tidak mengubah
warna, rasa, atau baunya, maka ia tetap dianggap sebagai air mutlak
yang boleh digunakan untuk bersuci. Tetapi jika berubah salah satu dari tiga
sifat itu, maka menurut pendapat ulama Maliki, Syafi’i dan Hambali, ia adalah
air suci, tetapi tidak menyucikan. Dan menurut pendapat ulama Hanafi, ia adalah
suci dan menyucikan selagi tidak dimasak atau sifat air itu berkurang.
Ulama Maliki
menghukumi bahwa semua bagian tanah seperti belerang, besi, dan tembaga,
tidak dapat menghilangkan sifat menyucikan pada air, jika air itu
berubah salah satu sifatnya, sekalipun bahan-bahan itu dibuang dengan sengaja
ke dalam air.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1
halaman 19; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 5) air tetap dianggap suci dan
menyucikan jika mengalami sedikit perubahan yang disebabkan oleh benda yang
suci. Perubahan itu tidak memengaruhi nama air itu sebagai air mutlak, meskipun
banyak atau sedikitnya perubahan diragui. Karena, biasanya air tidak dapat
terhindar dari percampuran dan perubahan
seperti ini. Begitu juga jika perubahan air itu disebabkan ia lama tergenang,
meskipun perubahan yang terjadi banyak, atau perubahannya disebabkan oleh tanah
atau lumpur atau disebabkan oleh benda yang sudah ada di tempat tergenangnya
atau tempat berlalunya air seperti belerang, sebatian arsenium atau kalsium.
Karena, air memang tidak mungkin terhindar dari benda-benda itu. Begitu juga jika
perubahannya disebabkan oleh garam laut. Tetapi, air tidak dianggap menyucikan
lagi perubahannya disebabkan oleh garam bukit apabila garam itu pada asalnya
tidak berada di tempat tergenangnya air atau tempat mengalirnya air. Bersuci dengan
garam yang mencair adalah boleh, karena memang asalnya adalah air. Ia sama
dengan salju apabila mencair.
Air tetap dianggap suci dan menyucikan jika berubah karena
bercampur dengan daun yang berguguran dan bertaburan, karena air tidak dapat
terhindar darinya. Begitu juga jika ia berubah karena bercampur dengan sesuatu yang
suci dan dapat dipisahkan seperti ranting kayu, minyak meskipun itu minyak wangi,
kapur barus yang keras, atau debu meskipun debu itu sudah musta’mal yang
dibuang ke dalam air -ini menurut pendapat yang azdhar- karena perubahan
air yang disebabkan benda-benda di atas -selain debunya- pada baunya saja.
Sedangkan perubahan air akibat debu, hanya bercampur (dan kemudian mengendap)
saja. Keadaan ini tidak menghalanginya untuk disebut air.
Pendapat ulama Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 25
dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 13) sama dengan pendapat ulama
Syafi'i, yaitu air tetap dianggap suci dan menyucikan, meskipun ia berubah karena
tergenang lama (yaitu air yang berubah rasa, warna, dan baunya karena lama tergenang
di tempatnya karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu
dengan air yang sudah alam disimpan dan berubah warnanya), atau berubah karena benda
yang sudah ada di tempat ia tergenang atau tempat mengalirnya, atau berubah karena
bercampur dengan sesuatu yang dapat dipisahkan, atau disebabkan bau bangkai yang
ada di sebelahnya. Karena, semua itu sulit untuk dielakkan, atau perubahan itu
karena air garam yaitu air yang dituang ke tanah bergaram lalu ia menjadi
garam, karena perubahan itu terjadi karena bercampur dengan sesuatu yang
asalnya adalah air juga, sama seperti salju yang mencair.
Kesimpulannya, air yang berubah yang boleh digunakan untuk wudhu
terbagi kepada empat jenis; pertama, air yang namanya dihubungkan dengan
tempat asalnya, seperti air sungai, air telaga dan seumpamanya. Kedua, air
yang bercampur dengan sesuatu yang tidak dapat dihindari seperti lumut dan
tumbuhan air; begitu juga daun yang berguguran ke dalam air atau ditiup angin dan
jatuh ke dalamnya, atau benda-benda yang dihanyutkan oleh banjir seperti ranting
kayu, jerami dan seumpamanya, dan sesuatu yang sudah berada di tempat bergenangnya
air atau tempat mengalirnya air seperti belerang, zafat dan seumpamanya
yang dapat mengubah air apabila air melewati benda-benda itu.
Ketiga, air
yang bercampur dengan sesuatu yang mempunyai kedua sifat air yaitu suci dan
menyucikan, seperti debu yang menyebabkan berubahnya air. Maka,
perubahan ini tidak menghilangkan sifat menyucikan yang dimiliki oleh air.
Karena, sifat debu sama dengan sifat air. Tetapi jika air itu pekat akibat
bercampur dengan debu sehingga tidak dapat digunakan oleh badan,
maka air itu tidak boleh digunakan untuk bersuci, karena ia adalah
lumpur bukan air. Dan tidak ada bedanya antara tanah yang sengaja dicampurkan
dengan air atau yang tidak sengaja dicampurkan. Begitu juga apabila bercampur
dengan garam lautan atau garam air atau logam, karena semua bahan ini tidak
dapat dielakkan dari bercampur dengan air seperti juga za'faran dan
lain-lain.
Keempat, air yang bercampur dengan benda yang dapat dipisahkan seperti
minyak dan jenis- jenis minyak lainnya, tar, zafat dan lilin,
bahan-bahan keras yang suci seperti ranting kayu, kapur barus, dan 'anbar,
jika memang benda-benda ini tidak rusak dan tidak hancur di dalam air. Karena,
perubahan seperti ini disebabkan oleh percampuran yang dapat dipisahkan, sama seperti
air yang ditiup oleh angin dan mengenai benda yang ada di sebelahnya. Tidak ada
perselisihan pendapat mengenai masalah ini.
Ulama sepakat
mengatakan bahwa berwudhu dengan air yang bercampur dengan sesuatu yang suci
yang tidak menyebabkan terjadinya perubahan adalah boleh. Oleh sebab itu, jika
ada sedikit kacang, kacang putih, bunga, za'faran, atau lainnya jatuh ke
dalam air, dan tidak muncul rasa, warna, dan bau benda-benda itu secara kuat,
maka berwudhu dengan air itu adalah dibolehkan karena, “Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan istrinya mandi menggunakan bejana besar yang ada bekas
tepung di dalamnya.”
(ii) Air yang Suci dan Menyucikan, tetapi Makruh Tanzih
Menggunakannya, Menurut Pendapat Ulama Hanafi
Terdapat air yang suci dan menyucikan, tetapi makruh tanzih
menggunakannya apabila ada air lain menurut pendapat yang paling ashah di
kalangan ulama Hanafi (Muraqi Al-Falah halaman 3), yaitu air sedikit
yang diminum oleh binatang seperti kucing rumah -bukan kucing liar (kucing
hutan) karena air sisa (su'r atau sisa air di dalam wadah selepas ia
diminum oleh hewan) kucing liar adalah najis- atau ayam yang dilepas dan
memakan benda-benda kotor, burung yang makan dengan cara menyambar dan mencabut
makanan dengan kukunya, ular dan tikus, karena semua binatang tersebut tidak
terhindar dari benda najis. Hukum tersebut adalah berdasarkan istihsan, untuk
memudahkan manusia. Karena, memang manusia dikelilingi oleh kucing, dan karena
sulit menghindar dari burung-burung liar tadi. Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam telah menetapkan bahwa sisa minuman kucing adalah suci dengan
sabdanya, “Sesungguhnya ia (kucing) qdalah suci, kucing adalah yang berkeliaran
di sekeliling kamu.” Diriwayatkan
oleh Imam Hadits yang lima, dari Kibsyah binti Kalb bin Malik. Ad-Darimi
mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih. Ia juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
dan dianggap shahih oleh Imam Al-Bukhari, Al-Uqaili, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Al-Hakim, dan Ad-Daruquthni (Nailul Authar, Jilid 1, halaman
35).
Juga, hadits
riwayat Aisyah, “Rasul mengulurkan wadah kepada kucing untuk tempat minum.
Kemudian beliau berwudhu dengan sisa air yang diminum kucing itu.”
Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (Nailul Authar jilid 1 halaman 35).
Namun jika tidak ada air lain selain air itu, maka tidaklah makruh.
Adapun menurut pendapat ulama Syafi'i, mulut kucing dan sisa minumannya adalah
suci.
b. Air yang Suci, tetapi tidak Menyucikan
Menurut ulama Hanafi, air ini dapat menghilangkan najis dari
pakaian dan badan, tetapi tidak dapat menyucikan (mengangkat) hadats. Oleh
sebab itu, tidak sah berwudhu dan mandi hadats dengan air ini. Air ini terbagi kepada
tiga jenis.
(i) Air yang bercampur dengan benda yang suci yang menyebabkan
berubahnya salah satu sifat air (rasa, bau, dan warna) dan juga menghilangkan sifat
menyucikan yang dimiliki oleh air.
Menurut ulama Hanafi (Muraqi Al-Falah halaman 3-4; Fathul
Qadir jilid 1 halaman 48), hal ini terjadi apabila benda yang menghilangkan
sifat menyucikan itu lebih dominan daripada air; baik benda-benda itu beku
ataupun cair. Air yang didominasi oleh benda beku dapat terjadi apabila benda
itu menghilangkan sifat air yang lembut dan cair, atau menghilangkan sifat asal
air (lembut, cair, menghilangkan rasa haus, dan menyuburkan tumbuhan) umpamanya,
dengan sebab direbus dengan benda-benda seperti kacang putih atau adas, asalkan
tidak adanya niat untuk membersihkan diri (atau benda) seperti apabila bercampur
dengan sabun atau garam. Karena, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
mandi dengan air yang mengandung bekas tepung sewaktu beliau mandi junub, dan
beliau membasuh kepalanya dengan daun khitmi (daun dari sejenis tumbuhan
di air asin yang ditumbuk untuk membasuh kepala). Beliau menganjurkan supaya jenazah
seorang yang mati semasa ihram karena ditendang unta, dimandikan dengan air dan
daun bidara. Beliau juga mengarahkan Qais bin Ashim supaya mandi dengan air dan
daun bidara ketika dia memeluk Islam (Nashbur Rayah, jilid l, halaman 104;
Nailul Authar jilid 1, halaman 239. Hadits pertama diriwayatkan oleh An-Nasa’i,
lbnu Majah, dan Al-Atsram. Hadits kedua diriwayatkan oleh Ahmad dari Aisyah).
Air yang didominasi oleh benda cair yang tidak besifat adalah
seperti air musta’mal dan air mawar yang sudah hilang baunya. Hal ini terjadi
apabila benda cair itu lebih banyak dari air suci tadi, seperti apabila dua kali
air musta’mal bercampur dengan satu kali air mutlak, atau sebab dua
sifat dari tiga sifat yang dimiliki oleh benda cair itu muncul, seperti cuka
yang mempunyai warna, rasa dan bau. Maka apabila dua sifat dari tiga sifat
tersebut muncul, hal itu menyebabkan tidak berwudhu dengan air itu tidak sah.
Tetapi jika yang muncul hanyalah satu sifat saja, maka tidak dianggap sebagai
hilang sifat menyucikannya, karena ia hanya sedikit. Begitu juga apabila yang
muncul hanyalah salah satu dari dua sifat yang dimiliki benda cair itu, seperti
susu yang mempunyai warna dan rasa, tetapi tidak ada baunya.
Menurut pendapat ulama Hanafi, air yang diragui mempunyai sifat
menyucikan, seperti air yang diminum keledai atau bighal dihukumi sebagai air
yang suci. Tetapi apabila keraguan itu dalam hal apakah boleh menyucikan (mengangkat)
hadats dengan menggunakan air itu atau tidak, maka seseorang yang tidak
mendapatkan air lain hendaklah berwudhu dengan air tersebut dan kemudian bertayamum.
Karena, terdapat pertentangan dalil antara yang membolehkan dan mengharamkan
atau karena para sahabat berbeda pendapat mengenai kenajisan dan kesuciannya (Fathul
Qadir dan Al-Hidayah jilid 1 halaman 78).
Menurut pendapat ulama Maliki (Asy-Syarhul Kabir, jilid 1, halaman
37 dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir, jilid l, halaman 31; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 30 dan seterusnya; Bidayatul Mujtahid jilid 1,
halaman 26), benda yang dapat menghilangkan sifat menyucikan yang dimiliki oleh
air; sehingga menyebabkan air tidak dapat menghilangkan hadats dan menghilangkan
najis, ialah semua benda suci yang bercampur dengan air yang biasanya ia terpisah
dari air dan ia mampu mengubah salah satu sifat air (warna, bau dan rasa). Juga,
benda itu bukan sebagian dari debu, bukan pula benda untuk menyamak tempat air
serta tidak sulit untuk mengelakkan air dari benda-benda itu. Contohnya adalah
sabun, air mawar, za'faran, susu, madu, kismis yang direndam di dalam
air lemon, tahi binatang ternak, arang, rumput, daun atau jerami yang jatuh ke
dalam telaga yang mudah ditutup, tar yang meresap ke dalam air tapi yang bukan
untuk menyamak wadah, lumut yang direbus, dan ikan yang mati.
Semua benda tersebut jika menyebabkan berubahnya salah satu sifat
air, maka air itu masih suci, tetapi tidak menyucikan. Begitu juga air yang
berubah banyak karena alat penciduk atau karena wadah, jika kedua benda itu tidak
terbuat dari tanah seperti wadah yang terbuat dari kulit atau kayu, tali dari
linen atau sabut. Tetapi jika air itu hanya mengalami perubahan sedikit saja
atau berubahnya karena tar yang digunakan untuk menyamak, maka air tersebut
tidak hilang sifat menyucikan yang dimilikinya.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Mughni Muhtaj jilid 1
halaman 10; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 5), benda yang dapat
menghilangkan sifat menyucikan yang dimiliki air; sehingga menyebabkan air tersebut
tidak dapat digunakan untuk mengangkat hadats dan menghilangkan najis, ialah semua
benda suci yang bercampur dengan air yang tidak diperlukan oleh air itu, jika
memang benda itu menyebabkan berubahnya salah satu sifat air (warna, bau, dan
rasa) dengan perubahan yang banyak dan juga menyebabkan berubahnya nama air
itu, dan benda yang mengubah itu bukan debu atau garam laut, meskipun sengaja
dimasukkan ke dalam air. Benda-benda tersebut adalah seperti za'faran, air
pohon, mani, garam bukit, buah kurma, tepung dan lumut yang dibuang ke dalam
air; dan juga linen atau akar liquorice yang direndam di dalam air; dan
tar yang bukan untuk menyamak. Begitu juga air yang bercampur dengan daun
bidara atau sabun. Oleh sebab itu, tidak sah berwudhu dengan air tersebut sebagaimana
air daging dan air kacang.
Perubahan fisikal ataupun perubahan andaian saja pada kasus di atas
sama-sama menyebabkan berubahnya hukum air. Jika suatu cairan yang mempunyai
sifat sama dengan air jatuh ke dalam air; seperti air mawar yang sudah hilang
bau, dan tidak terjadi perubahan. Namun jika diandaikan bahwa air mawar itu mempunyai
sifat asal yang pertengahan yang berbeda dari sifat air; seperti diandaikan ada
warna seperti warna air anggur dan ada rasa seperti rasa delima dan ada bau
seperti bau alladhan (sejenis bahan yang digunakan untuk membuat minyak
wangi dan obat) dan dengan andaian tersebut, maka menyebabkan berubahnya air
dan air itu hilang sifat menyucikannya.
Menurut pendapat ulama Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 14
dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 30), di antara benda-benda
yang dapat menghilangkan sifat menyucikan yang ada pada air ialah sesuatu yang
dihasilkan melalui proses, seperti air mawar, air bunga dan air semangka,
apabila jumlah bahan-bahan itu lebih banyak dari air. Contoh lainnya adalah
benda suci yang dapat mengubah air menjadi pewarna atau cuka; sesuatu yang suci
yang dapat mengubah salah satu sifat air dengan perubahan yang banyak seperti
melalui masakan umpamanya air kacang dan kacang besar; atau tidak melalui
masakan seperti za'faran, garam, atau
karena ada orang yang membuang benda itu ke dalam air dengan
sengaja seperti Iumut atau daun kayu dan seumpamanya. Dalam keadaan tersebut,
air itu tidak dinamakan lagi sebagai air mutlak. Maka, tidak boleh berwudhu dengannya.
(ii) Air musta’mal yang sedikit
Yang dimaksud dengan air musta’mal yang sedikit adalah air
yang ukurannya kurang dari dua kulah. Menurut ukuran timbangan, 2 kulah adalah
sama dengan (kurang lebih) 500 kati Baghdad, atau 446 3/7 kati Mesir, atau 81
kati Syam. 1 kati Syam sama dengan 2 ½ kg. Jadi, dua kulah sama dengan 195,112 kg.
Rithl (kati) Baghdad ialah 128 4/7 dirham dan kati Mesir beratnya 144
dirham. Berat satu dirham ialah 3,17 gram.
Adapun menurut ukuran banyak 2 kulah adalah sama dengan 10 tin (ada
pendapat mengatakan 15 tin atau 270 liter). Dan apabila diukur dengan ruangan
bersegi empat adalah 1 ¼ hasta bagi
masing- masing panjang, lebar dan dalam, berdasarkan hasta yang sederhana.
Adapun untuk ukuran tempat yang bundar seperti kolam/telaga adalah,
2 hasta untuk ukuran dalamnya dan 1 hasta untuk ukuran lebarnya. Menurut
pendapat ulama Hambali, ukurannya ialah 2 ½ hasta untuk dalam dan 1 hasta untuk
lebar.
Menurut pendapat
ulama Hanafi (Al-Bada’i jilid 1 halaman 69 dan seterusnya; Ad-Durrul
Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 182; Fathul Qadir jilid 1
halaman 58, 61), air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats (wudhu dan mandi) atau untuk mendapatkan pahala seperti wudhu yang
dilakukan oleh orang yang sudah berwudhu untuk mendapatkan pahala atau untuk
shalat jenazah, masuk ke dalam masjid, memegang mushaf Al-Qur'an dan
membacanya. Dan air menjadi musta’mal apabila terpisah dari badan. Yang
menjadi musta'mal ialah air yang menyentuh badan saja bukan semua air
yang digunakan. Menurut pendapat mereka, air musta’mal adalah suci,
tetapi tidak dapat untuk menyucikan hadats dan tidak
dapat untuk membersihkan najis. Yaitu, apabila mandi atau berwudhu
dengan menggunakan air itu maka hadatsnya tidak akan hilang. Tetapi menurut
pendapat yang rajih dan mu'tamad, air tersebut dapat digunakan untuk
menghilangkan najis dari pakaian dan badan.
Menurut pendapat ulama Maliki (Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1,
halaman 37 - 40; Asy-Syarhul Kabir ma'a Ad-Dasuqi, jilid 1, halaman 41 -
43; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 31; Bidayatul Mujtahid,
jilid 1, halaman 26 dan seterusnya.), air musta'mal ialah air yang telah
digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi) atau menghilangkan najis,
baik mandi wajib seperti untuk memandikan jenazah atau bukan wajib seperti
wudhu yang dilakukan oleh orang yang sudah wudhu, mandi sunnah Jumat, mandi untuk
dua hari raya, siraman kedua atau ketiga ketika mengambil wudhu, jika memang penggunaan
itu tidak menyebabkan perubahan air yang dipakai.
Air yang dianggap musta'mal ketika digunakan untuk
mengangkat hadats ialah air yang menetes jatuh dari anggota badan (dalam hal
ini air berbeda dengan tanah, oleh sebab itu tanah tayamum tidak makruh
digunakan sekali lagi, karena ia tidak melekat pada anggota tubuh), yang melekat
pada badan, yang terpisah sedikit dari badan, atau air (dalam satu tempat) yang
dimasuki oleh anggota badan. Tetapi jika air itu diciduk dengan tangan dan
anggota badan itu dibasuh di luar tempat air tersebut, maka air itu tidak
menjadi musta'mal.
Menurut pendapat
Madzhab Maliki, air musta’mal adalah suci dan menyucikan. Dan menurut
pendapat yang rajih, menggunakan air musta’mal untuk menghilangkan
najis, atau membasuh wadah dan seumpamanya adalah tidak makruh. Tetapi apabila
digunakan untuk mengangkat hadats atau mandi sunnah apabila ada air lain adalah
makruh, jika memang air musta'mal itu sedikit. Alasan ia dihukumi makruh
adalah karena kurang bisa diterima oleh perasaan.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1
halaman 20, 85; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 5, 8), air musta’mal ialah
air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadas yang fardhu seperti
siraman pertama ketika mengangkat hadas. Dan menurut pendapat yang paling ashah
dalam qaul jaded, air yang digunakan untuk mengangkat hadas yang sunnah seperti
siraman yang kedua dan ketiga adalah suci dan menyucikan.
Yang dimaksud
dengan mengangkat hadats yang fardhu -meskipun formalitas- ialah seperti air
wudhu anak-anak, karena sahnya shalat yang dilakukan memang memerlukan wudhu.
Di antara air yang termasuk air musta'mal ialah air sedikit
yang diciduk dengan tangan tanpa niat menciduk ketika hendak membasuh kedua
belah tangan. Dengan kata lain, memindah air dari suatu wadah untuk membasuh kedua
belah tangan di luar wadah itu. Tetapi jika ada niat untuk menciduk dengan kedua
belah tangan itu, maka air itu masih dianggap suci dan menyucikan.
Di antara air musta’mal juga ialah air yang telah digunakan
untuk membasuh kepala sebagai ganti menyapunya atau membasuh kaki sebagai ganti
menyapu khuf (sejenis sarung kaki yang dibuat dari kulit), air yang
sudah digunakan untuk mandi perempuan kafir dari haid dan nifas supaya halal
digauli oleh suaminya yang Islam atau tuannya (tuan hamba) yang Islam, air yang
telah digunakan untuk memandikan jenazah dan air yang telah digunakan untuk
mandi perempuan gila dari haid dan nifas supaya halal digauli oleh suaminya yang
Islam dan tuannya (tuan hamba) yang Islam. Air-air tersebut tidak menjadi musta'mal
kecuali apabila terpisah dari anggota badan. Air musta'mal yang suci
boleh digunakan untuk menghilangkan najis dengan tiga syarat:
Pertama, menurut
pendapat yang paling ashah, hendaklah air itu mengalir di atas tempat najis
apabila air itu sedikit, supaya ia tidak menjadi najis sebagaimana jika air itu
tidak dialirkan. Karena, air akan menjadi najis apabila terkena najis. Kedua,
air yang terpisah dari tempat najis itu
hendaklah tidak berubah salah satu sifatnya, dan tempat itu menjadi
suci. Ketiga, hendaklah berat air itu tidak bertambah setelah air
diserap oleh kain dan setelah kotoran itu bercampur dengan air. Jika air berubah
atau bertambah timbangannya, atau tempat yang terkena najis itu tidak suci,
yaitu masih ada warna najis dan baunya, atau rasanya saja, dan sebenarnya tidak
susah menghilangkannya, maka itu menunjukkan masih ada zat najisnya.
Hukum air musta'mal menurut qaul jadid adalah suci,
tetapi tidak menyucikan, maka tidak boleh berwudhu atau mandi untuk mengangkat
hadas dengan menggunakan air itu, dan air itu juga tidak dapat digunakan untuk
menghilangkan najis. Kesimpulan ini didasarkan bahwa ulama salaf menggunakan air
tersebut dan tidak menghindar dari percikan air itu, dan di dalam Shahih Al-Bukhari
dan Muslim diriwayatkan, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menziarahi Jabir yang sedang sakit menjelang matinya, lalu beliau
mengambil wudhu dan memercikkan air wudhunya ke arah Jabir.”
Dan meskipun kekurangan air; para sahabat tidak mengumpulkan air musta’mal
untuk digunakan lagi. Sebaliknya mereka bertayamum, dan mereka juga tidak
mengumpulkanya untuk diminum karena air tersebut menjijikkan.
Air musta’mal yang sedikit yang bercampur dengan air mutlak
adalah dimaafkan. Oleh sebab itu, jika air musta’mal dikumpulkan hingga
sampai dua kulah, maka sifatnya yang menyucikan akan kembali lagi, ini adalah menurut
pendapat yang paling ashah.
Menurut pendapat ulama Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1
halaman 31-37; Al-Mughni jilid 1 halaman 15, 18-22, 124), air musta’mal
ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats besar (junub) atau
hadats kecil (wudhu), atau -menurut pendapat al-madzdzhab- air siraman
yang ketujuh (air basuhan yang keempat dalam wudhu adalah suci dan basuhan yang
kedelapan dalam selepas najis itu hilang adalah suci menurut madzhab Hambali)
ketika untuk menghilangkan najis dan air itu tidak berubah salah satu sifatnya
(warna, rasa, dan bau).
Di antara contoh air musta’mal ialah air yang telah
digunakan untuk memandikan jenazah,
karena memandikan jenazah adalah ibadah bukan karena hadats. Air
juga menjadi musta’mal apabila seseorang yang junub atau yang berwudhu
berniat mengangkat hadats di dalam air yang sedikit. Tetapi jika ia tidak niat
mengangkat hadats atau hanya niat menciduk air atau niat menghilangkan debu
atau mendinginkan badan, maka air tersebut masih mempunyai sifat menyucikan.
Di antara contoh
air musta’mal ialah air sedikit yang dimasuki oleh tangan atau digunakan
untuk membasuh tangan orang bangun tidur malam, dan orang tersebut
adalah Muslim, berakal, dan baligh, dan masuknya tangan ke dalam air itu
sebelum tangan dibasuh tiga kali.
Di antara contohnya lagi ialah air yang dimasuki oleh semua bagian
tangan hingga ke siku seorang Muslim, berakal, dan baligh (bukan anak-anak,
orang gila dan kafir). Jika yang dimasukkan ke dalam air bukanlah tangan,
seperti muka dan kaki, maka air itu tidak menjadi musta'mal. Air tidak
menjadi musta’mal kecuali apabila terpisah dari tempat yang dilaluinya.
Air
musta’mal sedikit yang bercampur dengan air lain
adalah dimaafkan, karena Nabi Muhammad shallalaahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabatnya berwudhu di dalam mangkuk dan mandi di dalam ember besar. Nabi
Muhammad shallalaahu ‘alaihi wasallam mandi di dalam satu bejana bersama
Aisyah, dan tangan mereka bergiliran menciduk air. Masing-masing dari mereka
berkata, "Sisakan untukku." Dalam kondisi seperti itu, percikan
tetesan air mandi ke dalam bejana tidak dapat dielakkan. Tetapi jika percikan
yang jatuh ke dalam bejana air itu banyak dan menyebabkannya rusak, maka tidak
boleh bersuci dengan menggunakan air itu. Ini menurut riwayat yang rajih. Dan
pendapat tersebut sama dengan pendapat ulama Syafi'i sebagaimana yang telah
kita telah jelaskan.
Terdapat dua riwayat mengenai hukum air musta’mal karena
digunakan untuk bersuci yang sunnah, seperti memperbaharui wudhu, untuk siraman
yang kedua dan ketiga di dalam wudhu, untuk mandi sunnah Jumat, dan mandi dua
hari raya.
Pertama,
hukumnya sama seperti air musta’mal yang disebabkan untuk mengangkat hadats,
karena semua itu adalah bersuci yang disyariatkan. Kedua, hukumnya
menyucikan. Maka bersuci dengan air tersebut adalah boleh, dan hukumnya sama
seperti menggunakan air untuk mendinginkan badan. Ini adalah pendapat yang rajih,
dan tidak terdapat perselisihan pendapat ulama bahwa air yang digunakan untuk
mendinginkan badan dan membersihkan badan itu masih suci dan menyucikan dan
tidak makruh menggunakannya.
Air sedikit tidak menjadi musta’mal jika diciduk tangan
orang yang mengambil wudhu untuk membasuh kedua tangannya. Karena, orang yang
menciduk itu tidak bertujuan selain menciduknya saja. Dia tidak bertujuan membasuh
tangannya di dalam air itu. Juga, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, menurut riwayat Sa'id dari Utsman, pernah menciduk air dari satu
wadah dengan tangannya, "Kemudian menciduk dengan tangan kanannya. Lalu
membuangnya ke lengan kanannya, dan beliau membasuhnya hingga ke siku sebanyak
tiga kali."
Hukum air musta’mal ialah tidak dapat mengangkat hadats dan
tidak dapat menghilangkan
najis sebagaimana pendapat ulama Syafi'i.
Ada dua pendapat mengenai air musta'mal yang dikumpulkan
hingga sampai dua kulah, Pertama, ia masih tetap seperti asalnya (masih musta'mal).
Kedua, ia menyucikan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, “Apabila air mencapai dua kulah, maka ia tidak akan najis.”
Diriwayatkan oleh kumpulan lima periwayat, Asy-Syafi'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Umar.
Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat keduanya (Nailul
Authar, jilid 1, halaman 30).
Apabila air musta’mal bercampur dengan air yang tidak musta’mal
dan menjadi dua kulah, maka semuanya menjadi suci dan menyucikan.
(iii) Air tumbuh-tumbuhan baik bunga atau buah, seperti air mawar,
air semangka, dan umpamanya adalah suci, tetapi tidak menyucikan.
c. Air yang Najis
Air yang najis ialah air yang terkena benda najis yang tidak
dimaafkan oleh syara' seperti
tahi yang sedikit, dan air tersebut tidak mengalir dan juga
sedikit.
Menurut pendapat ulama Hanafi (Muraqi Al-Falah halaman 4),
ukuran sedikit ialah ukuran yang kurang dari 10 x 10 hasta biasa, bentuk empat
persegi panjang. Maka, air itu menjadi najis meskipun tidak tampak bekas najis
di dalamnya.
Menurut pendapat yang ashah, jika tempat itu berukuran 10 x 10
hasta berbentuk kolam empat persegi panjang, atau berukuran tiga puluh enam berbentuk
bulat dan tidak tampak dasarnya apabila air diciduk darinya, maka air tidak
najis kecuali apabila sifat najis itu tampak di dalamnya.
Air yang mengalir menjadi najis apabila ada bekas najis padanya.
Yang dimaksud bekas najis ialah rasa najis, warnanya, atau baunya.
Oleh sebab itu, air mutanajiis (air yang menjadi najis) terbagi
menjadi dua jenis. Pertama, air sedikit yang mempunyai sifat menyucikan,
dan kejatuhan najis meskipun salah satu sifatnya tidak berubah. Kedua,
air yang mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan najis serta berubah salah
satu sifatnya (warna, bau dan rasa).
Para ulama sependapat bahwa air jenis kedua adalah najis, yaitu
yang berubah salah satu sifatnya. Ulama Syafi'i dan Hambali sependapat dengan
ulama Hanafi yang mengatakan bahwa air jenis pertama adalah najis. Namun, ulama
Syafi'i mengecualikan najis yang dimaafkan seperti bangkai binatang yang tidak
mengalir darahnya seperti lalat dan lebah apabila terjatuh atau ditiup angin,
dan jatuh ke dalam air tersebut.
Menurut riwayat yang rajih di kalangan ulama Maliki, air jenis
pertama adalah menyucikan. Yaitu, air sedikit yang kejatuhan najis, tetapi
tidak berubah salah satu sifatnya. Tetapi, menggunakannya adalah makruh untuk menghormati
pendapat yang berbeda darinya (Asy-Syarhrl Kabir ma'a Ad-Dasuqi, jilid 1,
halaman 37,43; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1, halaman 31, 35 dan seterusnya;
Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 30; Bidayatul Mujtahid jilid 1,
halaman 23; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 5-8; Mughnil Muhtaj,
jilid 1, halaman 21 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid l, halaman 22 - 27;
Ghayatul Muntaha, jilid 1, halaman 9 dan seterusnya; Kasysyaful Qina',
jilid 1, halaman 37 ,39 – 42, 44 dan seterusnya.).
Menurut kebanyakan pendapat ahli fiqih, air mutanajjis tidak
bermanfaat dan tidak boleh digunakan untuk bersuci ataupun lainnya, kecuali
untuk minuman binatang atau menyiram tanaman, atau ketika dalam keadaan darurat
seperti dahaga sehingga ia terpaksa meminumnya.
Ukuran banyak ataupun sedikit air
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai ukuran banyak ataupun
sedikitnya air. Menurut pendapat Abu Hanifah (Fathul Qadir jilid 1
halaman 55), air yang banyak ialah apabila air itu dikocak pada salah satu
bagiannya, maka bagian lainnya tidak bergerak. Air yang sedikit ialah yang
kurang dari ukuran 10 x 10 hasta biasa, bentuk persegi panjang, sebagaimana yang
diterangkan di atas.
Madzhab Maliki tidak menetapkan kadar banyak air. Mereka hanya
menetapkan bahwa air yang sedikit adalah makruh, yaitu sekadar satu ukuran yang
cukup untuk wudhu atau mandi, atau kurang dari ukuran itu'. Jika air yang
sedikit itu kemasukan najis yang sedikit seperti setitik dan air tidak
mengalami perubahan, maka menggunakan air itu untuk mengangkat hadats atau
untuk menghilangkan najis adalah makruh. Namun jika digunakan untuk bersuci
yang sunnah dan yang mustahab, maka hukumnya adalah tawaqquf (tidak ada
putusan). Dan kalau digunakan untuk adat/kebiasaan, maka tidak makruh.
Kadar air sedikit menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali ialah
dua kulah (dari segi Bahasa artinya adalah tempayan) jenis kulah Hajar
(nama tempat) yang ukurannya sama dengan lima qirbah (satu qirbah
sama dengan 100 kati Baghdad, maka dua kulah sama dengan 500 kati Baghdad).
Apabila air mencapai dua kulah, lalu ada najis yang jatuh ke
dalamnya, baik najis itu beku atau cair; dan tidak ada perubahan rasa, warna
atau bau air, maka air itu dianggap suci dan menyucikan, berdasarkan sabda Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Apabila air mencapai dua
kulah, maka ia tidak membawa (yahmil) najis."
Menurut Imam Al-Hakim, hadits ini shahih menurut syarat Imam Al-Bukhari
dan Muslim. Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan redaksi lain dan juga perawi lain
dengan sanad yang shahih, "Sesungguhnya ia tidak menjadi najis (laa yanjus)."
Yang dimaksudkan dengan "tidak membawa najis" ialah
menolak najis dan juga tidak menerimanya. Jika salah satu sifat air yang banyak
(dua kulah) berubah, meskipun berubah sedikit saja, maka ia menjadi najis
menurut ijma ulama yang menganggap hadits mengenai air dua kulah adalah hadits
khusus, dan begitu juga hadits riwayat At-Tirmidzi dan lbnu Hibban, “Air tidak
dinajiskan oleh sesuatu.” Lihat Nashbur Rayah, jilid 1, halaman 95. Ibnu
Hibban mengatakan bahwa hadits ini mengkhususkan hadits dua qullah, keduanya
(hadits ini dan hadits yang akan dating) mengkhususkan bahwa air yang berubah
disebabkan oleh najis adalah nalis hukumnya, baik air itu banyak atau sedikit,
demikianlah pendapat ijma ulama.
Menurut lbnul Mundzir; ijma ahli ilmu mengatakan bahwa air yang
sedikit dan banyak, apabila terkena najis, lalu berubah rasa, warna, atau bau
air itu, maka ia menjadi najis. Dan Abu Umamah Al-Bahili telah meriwayatkan bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Air itu
menyucikan. Sesuatu tidak menajiskannya kecuali apabila mengubah bau, rasa,
dan warnanya." Hadits ini ialah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, tetapi lemah (Nashbur Rayah jilid 1
halaman 94).
Syeikh Wahbah Zuhaili dalam Kitabnya merajihkan pendapat ulama
Syafi'i dan Hambali yang menerima Hadits mengenai air dua kulah yang shahih,
meskipun ulama Hanafi mengatakan bahwa hadits itu mudhtarib dan berlawanan
dengan riwayat-riwayat lainnya. Karena, dalam satu riwayat disebutkan apabila
mencukupi tiga kulah, dan di dalam riwayat lain disebutkan satu kulah dan ukuran
kulah itu tidak diketahui. Tetapi, ulama Syafi'iyah telah menjawab semua
keberatan itu (Subulus Salam jilid 1 halaman 19).
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########