BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Sama seperti bidang ilmu yang lain, ahli-ahli fiqih juga mempunyai istilah-istilah khusus yang digunakan dalam berbagai persoalan fiqih (“istilah” artinya adalah lafaz tertentu yang mempunyai makna tertentu di kalangan segolongan ulama, misalnya lafaz shalat mempunyai pengertian tertentu, sedangkan dari segi bahasa ia berarti doa). Demikian juga terdapat berbagai istilah dalam kitab-kitab fiqih berbagai madzhab yang masing-masaing menerangkan cara pengambilan pendapat yang terkuat (rajih) dalam madzhab. Istilah-istilah tersebut dikenali dengan nama rasm al-mufti, yaitu tanda yang menunjukkan mufti kepada apa yang difatwakan. Allamah Ibnu Abidin mempunyai satu risalah kitab yang dikenal dengan judul rasm al-mufti dan merupakan risalah kedua dari risalah-risalahnya yang masyhur.

FAQIH ATAU MUFTI

Faqih atau mufti adalah seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya. Akhirnya, dengan secara majaz dan dengan cara hakikat 'urufiyyah (kebiasaan). Kata faqih atau mufti ini digunakan untuk menunjuk orang yang alim dalam suatu madzhab. Fatwa yang dikeluarkan pada zaman kita ini hanyalah merupakan penukilan perkataan atau pendapat seseorang mufti mujtahid, untuk digunakan oleh orang yang meminta fatwa (mustafti). lni bermakna fatwa pada masa ini bukanlah fatwa yang hakiki.

AL-MADZHAB

Kata madzhab menurut arti bahasa ialah tempat untuk pergi ataupun jalan. Dari segi istilah, madzhab berarti hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan pengertian ini, maka terdapat persamaan makna antara makna bahasa dan istilah, yaitu madzhab menurut bahasa adalah jalan yang menyampaikan seseorang kepada satu tuiuan tertentu di kehidupan dunia ini, sedangkan hukum-hukum juga dapat menyampaikan seseorang kepada satu tujuan di akhirat (dalam Kitab Bujairimi Al-Khatib jilid 1 halaman 45).

A. ISTILAH-ISTILAH FIQIH YANG UMUM

Terdapat beberapa istilah fiqih yang umum, yaitu fardhu, wajib, sunnah, haram, makruh tahrim, makruh tanzih, dan mubah. Semua ini adalah jenis hukum taklifi, menurut para pakar usul fiqih madzhab Hanafi. (Hukum taklifi artinya adalah tuntunan yang dikenakan kepada orang mukallaf baik tuntunan itu berbentuk larangan, perintah atau pilihan)
Ada juga beberapa istilah yang dikaitkan dengan wajib, yaitu ada' (tunai), qada'i adah (mengulang), rukun, syarat, as-sabab, mani', shahih, fasid (rusak), 'azimah, dan rukhshah yang merupakan kategori hukum wadh'i menurut ulama usul fiqih. (Hukum wadh’i artinya adalah hukum yang meletakkan sebab atau syarat bagi sesuatu untuk membolehkannya atau melarangnya. Ia merupakan sebab bagi musabab)

1. FARDHU

Fardhu ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya dikerjakan, dan tuntutan itu adalah tuntutan yang pasti berdasarkan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran lagi. Contohnya adalah rukun Islam yang lima yang tuntutannya berdasarkan Al-Qur'an Al-Karim. Termasuk juga perkara yang tuntutannya ditetapkan dengan sunnah yang mutawatir atau sunnah yang masyhur seperti membaca Al-Qur'an dalam shalat. Begitu juga perkara yang ditetapkan dengan ijma seperti pengharaman jual beli empat jenis makanan, yaitu gandum sya'ir, gandum qumh, kurma, dan garam, yang dijual (ditukar) sesama jenis secara tangguh (dalam Kitab Maratib Al-Ijma’ karangan Ibnu Hazm halaman 85).
Hukumnya ialah ketetapan itu harus dilakukan dan orang yang melakukannya diberi pahala
sedangkan orang yang meninggalkannya akan disiksa (dihukum) dan orang yang mengingkarinya
adalah kafir.

2. WAJIB

Wajib ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk dilakukan dan tuntutan itu adalah tuntutan yang pasti berdasarkan dalil zhanni yang ada kesamaran padanya. Contohnya, seperti zakat fitrah, shalat Witir dan shalat Dua Hari Raya, karena perkara-perkara itu ditetapkan dengan dalil zhann, yaitu dengan hadits ahad dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya adalah sama seperti fardhu, cuma orang yang mengingkarinya tidak menjadi kafir.
Fardhu dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain ulama Hanafi. Mereka mendefinisikan wajib sebagai sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya melakukan
dengan tuntutan yang pasti.

3. MANDUB ATAU SUNNAH

Yaitu, sesuatu yang dituntut dari seorang mukallaf supaya dia melakukannya, tetapi tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti, atau dengan kata lain ia adalah sesuatu yang diberikan pujian kepada orang yang melakukannya, tetapi yang meninggalkannya tidak dicela. Contohnya adalah mencatat utang. Hukumnya ialah orang yang melakukannya diberi pahala dan orang yang meninggalkannya tidak dihukum (disiksa), tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencela orang yang meninggalkannya.
Menurut para ulama selain golongan Hanafi, mandub juga dinamakan dengan istilah sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, murghab fih, ihsan, dan husn. Ulama Hanafi membagikan mandub kepada mandub mu'akkad seperti shalat Jumat, mandub masyru'seperti puasa hari Senin dan Kamis dan mandub za'id seperti mengikut cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam makan, minum, berjalan, tidur, memakai pakaian, dan lain-lain.
Pengarang Ad-Durr Al-Mukhtar dan Ibnu Abidin memilih pendapat jumhur. Mereka berdua mengatakan tidak ada perbedaan antara mandub, mustahab, nafilah, dan tathawwu’. Meninggalkan perkara-perkara tersebut adalah tindakan yang tidak utama (khilaf al-aula). Kadang-kadang membiasakan diri meninggalkan perkara-perkara tersebut dapat menjadi makruh (dalam Kitab Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 115).

4. HARAM

Haram ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang jelas dan pasti. Menurut ulama Hanafi, haram ialah sesuatu yang perintah meninggalkannya ditetapkan berdasarkan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran. Contohnya adalah pengharaman zina dan pengharaman mencuri. Hukumnya ialah perkara-perkara itu wajib dijauhi dan pelakunya dihukum (disiksa). Ia juga dinamakan maksiat, dosa (dzanb), keji (qabih), mazjur 'anhu, dan mutawa'id 'alayhi. Orang yang mengingkari keharaman adalah kafir.

5. MAKRUH TAHRIM

Menurut ulama Hanafi, makruh tahrim ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak jelas dan pasti berdasarkan dalil zhanni, seperti melalui hadits ahad. Contohnya ialah hukum membeli barang yang hendak dibeli oleh orang lain, seperti bertunangan dengan tunangan orang lain dan memakai sutra serta emas oleh lelaki. Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya diberi pahala dan orang yang melakukannya dihukum (disiksa).
Dalam Madzhab Hanafi, jika disebut kata makruh, maka maksudnya adalah makruh tahrim. Maksud makruh tahrim menurut mereka ialah sesuatu yang dilarang itu lebih dekat kepada keharaman, tetapi orang yang mengingkarinya tidaklah menjadi kafir.

6. MAKRUH TANZIH

Menurut ulama Hanafi, makruh tanzih ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk ditinggalkan tapi tuntutannya tidak pasti dan tidak mengisyaratkan kepada hukuman. Contohnya adalah memakan daging kuda perang, karena kuda itu diperlukan untuk jihad, seperti mengambil wudhu dari air di bejana sisa minuman kucing atau burung yang memburu seperti elang dan gagak, seperti meninggalkan sunnah-sunnah mu'akkad. Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya diberi pahala dan orang yang melakukannya dicela, tetapi tidak dihukum.
Menurut ulama selain golongan Hanafi, makruh hanya mempunyai satu jenis saja, yaitu sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya ditinggalkan dan tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti. Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya dipuji dan diberi pahala. Adapun orang yang melakukannva tidak dicela dan tidak dihukum.

7. MUBAH

Mubah ialah sesuatu yang syara' memberikan kebebasan kepada seorang mukallaf untuk melakukannya, atau meninggalkannya. Contohnya adalah makan dan minum. Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan atau pengharaman. Hukumnya ialah tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi orang yang melakukannya, ataupun orang yang meninggalkannya. Kecuali dalam kasus apabila meninggalkan perkara mubah itu akan menyebabkan kebinasaan. Dalam keadaan seperti itu, maka makan menjadi wajib, dan meninggalkannya adalah haram untuk menjaga nyawa.

8. AS-SABAB

Menurut jumhur ushuliyyin, as-sabab ialah sesuatu yang pada dirinya ditemukan hukum, namun hukum tersebut tidak dihasilkan oleh as-sabab itu. As-Sabab adakalanya berupa perkara yang sesuai (munasib) dengan hukum ada juga yang tidak. Contoh as-sabab yang sesuai dengan hukum ialah, mabuk (iskar) menjadi sabab kepada pengharaman arak, karena ia membawa kepada hilangnya akal. Safar (perjalanan) menjadi sabab bolehnya berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhan, sehingga kemudahan didapat dan kesukaran dapat terelakkan. Contoh as-sabab yang tidak sesuai dengan hukum (menurut anggapan kita) ialah tergelincirnya matahari menjadi sabab wajibnya shalat Zhuhur seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Israa’ ayat 78 yang artinya, "Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir.... "
Dalam kasus ini akal kita tidak dapat melihat kesesuaian (munasabah) antara sabab dan hukum.

9. SYARAT DAN RUKUN

Syarat ialah sesuatu yang kewujudan sesuatu yang lain bergantung pada kewujudannya dan ia merupakan unsur luar dari hakikat sesuatu itu. Umpamanya adalah wudhu menjadi syarat bagi shalat, dan ia merupakan unsur luar dari amalan shalat. Demikian juga dengan saksi perkawinan. Kehadiran dua orang saksi dalam akad perkawinan adalah menjadi syarat sahnya perkawinan, dan ia adalah unsur yang berada di luar perkawinan itu. Menentukan dengan jelas jenis barang yang dijual serta harga dalam akad jual beli, adalah menjadi syarat sahnya jual beli dan ia bukanlah bagian internal dari kontrak.
Rukun menurut ulama Hanafi ialah sesuatu yang kewujudan sesuatu yang lain adalah bergantung pada kewujudannya, dan ia menjadi bagian dari hakikat itu. Ruku' adalah rukun dalam shalat, sebab ia adalah bagian dari shalat. Demikian juga bacaan Al-Faatihah dalam shalat adalah rukun, sebab ia menjadi sebagian dari hakikat shalat. Ijab dan Qabul dalam kontrak adalah suatu rukun, sebab ia merupakan sebagian unsur yang membentuk kontrak. Menurut jumhur, rukun ialah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan sesuatu, meskipun ia berada di luar hakikat sesuatu itu.

10. MANI’ (PENGHALANG)

Mani' ialah sesuatu yang kewujudannya menyebabkan ketiadaan hukum atau menyebabkan batalnya as-sabab. Contoh yang pertama ialah adanya utang dalam bab zakat adalah menghalangi kewajiban zakat. Menurut ulama Hanafi, contoh yang kedua ialah hubungan kebapakan (al-abawiyyah) menghalangi pelaksanaan qishash.

11. SAH (SHIHHAH), RUSAK (FASAD), DAN BATAL (BUTHLAN)

Shihhah (sah) ialah sesuai dengan perintah syara'. Shahih ialah sesuatu yang sempurna rukun dan syaratnya sama seperti yang dituntut oleh syara'. Sahnya ibadah menurut ahli fiqih ialah berlangsungnya amalan ibadah dengan cara yang sudah dapat menggugurkan tuntutan syara', sehingga tidak perlu diqadha. Sahnya muamalat ialah berlakunya efek syara' ke atas akad muamalat tersebut itu, yaitu efek yang ditetapkan syara' kepada akad tersebut seperti halalnya mengambil margin keuntungan dalam jual beli dan halalnya bercumbu-cumbuan dalam perkawinan.
Para ulama sepakat bahwa ibadah adakalanya yang sah dan adakalanya yang tidak sah. Ibadah yang tidak sah ada kalanya batal (bathil) atau rusak (fasid). Oleh sebab itu, pembagiannya ada dua. Adapun dalam masalah muamalat perdata (madaniyyah), golongan ulama selain madzhab Hanafi, juga tidak membedakan antara bathil dan fasid. Namun, ulama Hanafi membagi akad yang tidak sah menjadi tiga; karena suatu akad yang tidak sah adakalanya bathil dan adakalanya fasid.
Akad yang tidak sah ialah akad yang tidak mencukupi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara'.
Yang dimaksud dengan akad bathil menurut ulama Hanafi ialah akad yang mengandung kecacatan pada asas akad, baik cacatnya itu ada pada rukun, pada lafaz akad, atau pada dua pihak yang melakukan akad atau pada barang yang menjadi objek akad. Akad seperti ini tidak melahirkan efek syar'i apa pun. Contohnya adalah penjualan yang dilakukan oleh orang gila atau oleh anak-anak yang belum mumayyiz (belum mencapai umur tujuh tahun).
Yang dimaksud dengan akad fasid menurut ulama Hanafi ialah akad yang mengandung kecacatan pada salah satu sifat kontrak. Seperti cacat pada salah satu syaratnya, bukan pada rukunnya. Akad seperti ini melahirkan beberapa efek syar'i dalam urusan muamalah, jika memang rukun dan unsur-unsur asasnya terpenuhi. Contohnya adalah penjualan dengan harga yang tidak diketahui, atau penjualan yang disertai dengan syarat yang fasid, seperti ada syarat penjual dapat mengambil manfaat dari barang yang dijual, dalam masa tertentu. Akad perkawinan yang tanpa saksi. Dalam akad jual beli yang fasid, seandainya barang jualan telah diterima (diserahkan oleh penjual), maka milik yang tetap itu dianggap keji. Dan dalam kasus perkawinan yang tidak ada saksi, maka mahar tetap wajib diberikan dan setelah perpisahan, wajib menjalani 'iddah dan apabila terjadi persetubuhan dalam perkawinan yang fasid itu, maka aturan nasab tetap berlaku bagi anak yang dilahirkan.
Dari sini, jelas bahwa buthlan ialah menyalahi ketetapan syara' yang mengakibatkan tidak berlakunya efek syar'i kepada akad muamalah atau kepada ibadah yang dilakukan. Dalam muamalah, kasus ini terjadi apabila sewaktu melaksanakannya menyalahi peraturan syara' yang inti dan asas.
Sedangkan fasad ialah kecacatan pada akad yang menyebabkannya menyalahi peraturan syara', kesalahan itu terjadi pada salah satu cabang komplementernya saja. Sehingga, menyebabkan akad tersebut berhak untuk di-faskh. la meletakkan suatu kontrak itu berada di tengah-tengah di antara sah dan batal. Keadaan ini memosisikan akad berada di antara sah dan buthlan. Ia tidak dianggap buthlan karena ia telah memenuhi elemen asas yang dituntut oleh syara', dan ia juga tidak dianggap sah dan sempurna karena adanya kecacatan pada sudut cabang yang bukan asasi. Sebab fasad ada empat, yaitu adanya ketidaktahuan, gharar (penipuan), paksaan, dan syarat yang dilarang dan dapat merusakkan. (Al-Jahalah atau ketidaktahuan ada empat, yaitu ketidaktahuan yang terjadi dalam benda yang diakadkan, dalam harga, tempo, atau benda yang dijadikan syarat perjanjian dalam akad seperti gadaian dan kafalah. Gharar atau penipuan ialah akad yang dibuat atas perkara yang kabur dan tidak jelas. Ia ada dua jenis, pertama, gharar pada benda yang diakadi seperti menjual binatang ternak yang masih dalam kandungan ibunya. Kedua, gharar pada bagian sifat akad itu seperti kadar tertentu bagi susu kambing yang masih belum diperah. Ikrah ialah memaksa orang lain melakukan apa yang dia tidak rela dan tidak memilihnya. Dalam Kitab Al-Madkhal Al-Fiqih karangan Musthafa Az-Zarqa halaman 371-376)

12. ADA' (TUNAI), I’ADAH (MENGULANG) DAN QADHA'

Perkara-perkara ini biasanya dibahas bersama-sama dengan masalah al-wajib al-muwassa yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang luas, di mana kewajiban itu dapat dilakukan dalam rentang waktu yang disediakan, dan perbuatan lain yang sejenis dengannya, juga dapat dilakukan dalam rentang waktu itu juga. Contohnya ialah waktu-waktu shalat fardhu, di mana setiap waktu shalat ini seseorang dapat melakukan shalat yang difardhukan pada waktu itu, dan dalam waktu yang sama ia juga boleh melakukan shalat yang lain.
Ada' (tunai) ialah melaksanakan kewajiban dalam waktu yang telah ditetapkan oleh  syara'.
I'adah (mengulang) ialah melakukan perkara wajib untuk kedua kalinya dalam waktunya,
seperti mengulangi shalat bersama-sama dengan jamaah.
Qadha' ialah melakukan perkara yang wajib setelah habis waktu. Meng-qadha'-kan shalat fardhu adalah suatu perkara yang wajib, berdasarkan hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang tidur dan tidak shalat ataupun terlupa melakukan shalat hendaklah dia shalat apabila dia mengingatnya. Tidak ada kafarat baginya kecuali itu."
Oleh sebab itu, berdasarkan pendekatan analogis, shalat yang ditinggalkan karena malas ataupun dengan sengaja (tanpa sebab yang dibenarkan) adalah lebih utama untuk diwajibkan meng-qadha'-nya.

B. ISTILAH-ISTILAH KHUSUS DALAM MADZHAB

Ada istilah-istilah yang sering digunakan dalam setiap madzhab. Istilah ini digunakan dengan tujuan untuk meringkas, supaya tidak muncul rasa jemu dengan pengulangan dan juga untuk mengetahui mana pendapat yang kuat dan yang mu'tamad. Di antara istilah-istilah khusus dalam madzhab ialah:

Istilah-lstilah Madzhab Hanafi:

(1) Zhahir Ar-Riwayat: Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjuk kepada pendapat yang rajih dari tiga imam madzhab Hanafi, yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Hasan.
(2) Al-Imam maksudnya adalah Abu Hanifah. Asy-Syaikhan adalah Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Ath-Tharafan maksudnya adalah Abu Hanifah dan Muhammad. Ash-Shahiban adalah Abu Yusuf dan Muhammad. Ats-Tsani maksudnya adalah Abu Yusuf. Ats-Tsalits maksudnya adalah Muhammad. Kata lahu maksudnya adalah menurut Abu Hanifah. Kata lahuma atau 'indahuma atau madzhabuhuma ialah madzhab dua sahabat (Abu Yusuf dan Muhammad). Jika mereka mengatakan ashabuna, maka menurut pendapat yang masyhur ialah menunjuk kepada imam yang tiga, yaitu Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya.Adapun istilah Al-Masyayikh artinya adalah orang yang tidak sempat bertemu imam.
(3) Yufta Qat'an adalah istilah yang menunjukkan kepada sesuatu yang disepakati oleh Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dalam riwayat-riwayat yang zahir. Apabila mereka berselisih pendapat, maka yang difatwakan secara mutlak adalah pendapat Abu Hanifah, khususnya dalam bab ibadah. Pendapat kedua-dua sahabatnya atau pendapat salah seorang dari mereka tidak boleh ditarjihkan kecuali ada sesuatu yang pasti, yaitu -seperti kata Ibnu Nujaim- karena lemahnya dalil yang dipegang oleh imam ataupun karena darurat dan menjadi amalan (muamalah) seperti mentarjih pendapat kedua sahabat (Abu Yusuf dan Muhamad) dalam masalah muzara'ah dan musaqah (dengan alasan menjadi amalan), ataupun karena perbedaan masa. Dalam kasus-kasus kehakiman, kesaksian, dan harta pusaka yang difatwakan adalah pendapat Abu Yusul karena dia lebih berpengalaman dalam perkara-perkara ini. Dalam seluruh kasus mengenai dzawil arham pendapat yang difatwakan adalah pendapat Muhammad. Dan dalam 17 masalah yang difatwakan adalah pendapat Zufar (dalam Kitab Risalah Al-Mufti dalam Majmu’ Rasa’il Ibn Abidin jilid 1 halaman 35-40 dan dalam Kitab Radd Al-Mukhtar jilid 1 halaman 65-70 karangan Ibnu Abidin).
(4) Jika tidak ada riwayat imam dalam suatu masalah, maka hendaklah difatwakan mengikuti pendapat Abu Yusuf, kemudian mengikuti pendapat Muhammad, kemudian mengikuti pendapat Zufar dan Al-Hasan bin Ziyad.
(5) Apabila dalam suatu masalah dapat digunakan pendekatan qiyas dan istihsan hendaklah menggunakan istihsan kecuali dalam beberapa masalah yang masyhur; yaitu 22 masalah. Jika suatu masalah tidak disebutkan dalam zhahir ar-riwayat, tetapi ia terdapat dalam riwayat yang lain, maka riwayat yang lain itu hendaklah digunakan. Jika terdapat perbedaan riwayat dari imam atau tidak terdapat riwayat darinya, dan juga tidak ada riwayat dari para sahabatnya sama sekali, maka dalam kasus yang pertama, riwayat yang diikuti adalah riwayat yang mempunyai hujjah yang terkuat; dan dalam kasus kedua hendaklah diikuti pendapat yang disepakati oleh para masyayikh (al-mashayikh al-muta'akhkhirun), Jika mereka berselisih pendapat hendaklah yang diikuti adalah pendapat mayoritas. Jika tidak terdapat pendapat mereka sama sekali, maka seseorang mufti hendaklah mengkaji masalah berkenaan, meneliti, dan berijtihad untuk menemukan hukum agar terlepas tuntutan dan janganlah dia mengeluarkan fatwa sesuka hatinya. Hendaklah dia takut kepada Allah Ta’ala yang senantiasa memerhatikannya. Sebab, keberanian mengeluarkan fatwa tanpa dalil merupakan masalah besar yang tidak akan dilakukan kecuali oleh orang yang jahil dan jahat.
(6) Apabila terdapat pertentangan di antara pendapat yang shahih dengan pendapat yang difatwakan, umpamanya dikatakan pendapat yang shahih adalah demikian sedangkan pendapat yang difatwakan adalah begini, maka yang lebih utama ialah mengikuti pendapat yang sesuai dengan teks Hanafiah (mutun). Jika tidak terdapat pendapat yang sesuai dengannya maka hendaklah diikuti pendapat yang difatwakan. Sebab, kata fatwa adalah lebih kuat dari kata shahih, ashah asybah, dan lain-lain. Apabila dalam suatu masalah itu terdapat dua qaul yang sama-sama dishahihkan (qaulan mushahhahan), maka boleh menetapkan hukuman dan fatwa dengan salah satunya. Dan salah satunya dirajihkan dengan mempertimbangkan mana yang lebih sesuai dengan masa atau dengan 'uruf (adat), atau yang lebih memberi manfaat kepada fakir miskin, atau mana yang dalilnya lebih nyata dan lebih zhahir. Karena, tarjih memang dibuat berdasarkan kekuatan dalil. Kata bihi yufta (pendapat itu difatwakan) adalah lebih kuat dari kata al-fatwa 'alaih, sebab kata yang pertama lebih khusus. Lafaz al-ashah (lebih shahih) adalah lebih kuat dari lafaz shahih, dan lafaz al-ahwath (lebih hati-hati) adalah lebih kuat dari lafaz al-ihtiyath [hati-hati).
(7) Maksud kata mutun (teks) ialah teks Hanafiah yang diakui, seperti kitab Mukhtasar Al-Qaduri, Al-Bidayah, An-Niqayah, Al-Mukhtar, Al-Wiqayah, Al-Kanz, dan Al-Multaqo, karena kitab-kitab ini ditulis dengan tujuan memindahkan (menyatakan) zahir ar-riwayat dan pendapat yang mu'tamad (al-aqwal al-mu'tamadah).
(8) Tidak boleh beramal dengan riwayat yang lemah (dhaif), walaupun untuk diri sendiri. Dalam masalah ini, tidak ada bedanya apakah dia adalah seorang qadhi ataupun mufti. Perbedaan di antara
keduanya adalah mufti menceritakan (memberi tahu) tentang hukum syara', sedangkan qadhi menetapkannya. Abu Hanifah menyatakan, "Apabila ternyata hadits itu sah, maka itulah madzhabku". Pendapat para imam madzhab lain juga sama (dalam Kitab Al-Mizan jilid 1 halaman 45-63 karangan Asy-Sya’rani dan dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 2 halaman 260-274). Tetapi dalam keadaan tertentu, boleh mengeluarkan fatwa dengan pendapat dhaif, untuk memberi kemudahan kepada orang banyak.
(9) Menurut ulama Hanafi, aturan hukum dari berbagai madzhab yang dicampuradukkan (talfiq) adalah bathil. Demikian juga menarik kembali taqlid (kepada satu madzhab) sesudah melaksanakan satu amalan juga batal. Ini adalah menurut pendapat yang terpilih dalam madzhab. Oleh sebab itu, siapa yang shalat Zhuhur dan sewaktu wudhu dia mengusap kepala dengan bertaqlid dengan madzhab Hanafi, maka dia tidak boleh membatalkan shalatnya mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan dalam madzhab Maliki yang mewajibkan mengusap seluruh kepala ketika
wudhu. Sebagian ulama Hanafi menyatakan taqlid setelah melaksanakan amalan adalah boleh. Contohnya adalah jika seseorang melaksanakan shalat dengan dugaan kuat bahwa shalat yang dilaksanakan itu sah mengikuti madzhabnya. Kemudian ternyata shalat yang ia lakukan itu tidak sah menurut madzhabnya, tetapi sah menurut madzhab lain, maka dia boleh bertaqlid kepada madzhab yang lain itu. Shalatnya itu juga dianggap sah. Dalam Al-Fatawa Al-Bazzaziyyah disebutkan, "Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa dia shalat Jumat setelah mandi dari sebuah telaga, kemudian dia diberi tahu bahwa bangkai seekor tikus telah dijumpai di dalam telaga itu. Lalu dia mengatakan kita ikut pendapat sahabat-sahabat kita dari ahli Madinah (yang berpendapat), 'Apabila air telah sampai ukuran dua kulah (270 liter atau 15 tanakah) ia tidak terpengaruh dengan najis."
(10) Sebagian ulama Hanafi mengatakan bahwa apabila seorang muqallid melaksanakan amalan dengan berdasarkan madzhab lain atau dengan berdasarkan riwayat yang dhaif atau pendapat yang lemah (qaul dha'if), maka amalannya itu terlaksana. Dan orang lain tidak boleh membatalkannya.
(11) Hasyiyyah Ibn Abidin (seorang ulama Syria yang meninggal dunia pada 1252 H), yang berjudul Radd Al-Mukhtar 'ala Ad-Durr Al-Mukhtar dianggap sebagai usaha tahqiq (penyunting) dan tarjih yang penghabisan dalam madzhab Hanafi.

ISTILAH-ISTILAH DALAM MADZHAB MALIKI

Sama seperti dalam madzhab yang lain, dalam madzhab Maliki juga terdapat banyak pendapat (aqwal). Hal ini untuk menjaga maslahat orang banyak dan mempertimbangkan 'uruf yang beragam.
Seorang mufti hendaklah membuat fatwa berdasarkan pendapat yang rajih dalam masalah yang dipersoalkan. Selain mufti yang tidak mempunyai syarat-syarat ijtihad, hendaklah mengikuti pendapat yang disepakati (muttafaq 'alaih), atau mengikuti pendapat yang masyhur dalam madzhab atau pendapat yang telah ditarjihkan oleh orang terdahulu. Jika dia tidak dapat mengetahui mana pendapat yang leblh rajih dari dua pendapat, hendaklah dia mengikut (mengambil) pendapat yang lebih tegas (asyad) karena pendapat itu lebih berhati-hati (ahwath), sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Ulasy (1299 H). Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa orang tersebut boleh memilih pendapat yang lebih ringan dan yang lebih mudah, karena itu lebih sesuai dengan syariat Islam. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membawa agama yang lurus lagi mudah (sesuai dengan fitrah manusia). Ada juga pendapat yang menetapkan orang tersebut boleh memilih mana yang dia suka, sebab sesuatu yang tidak mampu dilakukan tidaklah dituntut dan tidak dipertanggungjawabkan (la taklif) (dalam Kitab Malik halaman 457 dan seterusnya karangan Abu Zahrah).
(1) Sebagian ulama madzhab Maliki menyusun urutan tarjih di antara riwayat-riwayat kitab dan riwayat-riwayat tokoh-tokoh madzhab mereka mengikut susunan berikut. Pendapat Imam Maliki dalam Al-Mudawwanah adalah lebih utama daripada pendapat Ibnul Qasim dalam Al-Mudawwanah tersebut, karena dia adalah imam besar (al-lmam al-a'zham). Pendapat Ibnul Qasim dalam Al-Mudawwanah adalah lebih utama dari pendapat ulama lain yang ada di dalamnya. Sebab, dia lebih tahu tentang madzhab Maliki. Pendapat ulama lain dalam Al-Mudawwanah adalah lebih utama dari pendapat Ibnul Qasim dalam kitab selain Al-Mudawwanah. Karena, Al-Mudawwanah adalah kitab yang mengumpulkan pendapat-pendapat yang shahih. Sekiranya dalam Al-Mudawawanah tidak ditemukan satu pendapat dalam suatu masalah, maka ia dirujuk kepada pendapat-pendapat Al-Mukharrijin (para ulama pentakhrij) yang lain.
(2) Jika disebut kata Al-Madzhab, maksudnya ialah Madzhab Malik. Jika disebut kata Al-Masyhur, maka maksudnya ialah pendapat yang masyhur dalam Madzhab Malik. Sebutan ini menunjukkan ada perbedaan pendapat dalam madzhab (dalam masalah berkenaan). Menurut pendapat yang mu'tamad, maksud Al-Masyhur ialah pendapat yang banyak dikatakan oleh ulama.
(3) Jika disebut qila kadza (dikatakan begini) atau ukhtultfa fi kadza (diperselisihkan dalam masalah ini) atau fi kadza qaulani fa aktsar (dalam masalah ini ada dua pendapat atau lebih), semuanya berarti bahwa dalam masalah itu ada perselisihan pendapat dalam madzhab.
(4) Jika disebut riwayatani artinya dua riwayat yang bersumber dari Imam Malik. Para pengarang kitab dalam Madzhab Maliki mempunyai pegangan bahwa fatwa hendaklah dibuat dengan pendapat yang mashyur atau pendapat yang rajih. Sedangkan pendapat yang syadz dan pendapat al-marjuh, yaitu pendapat-pendapat yang dhaif, tidak boleh dijadikan fatwa. Bahkan, tidak boleh beramal dengan pendapat-pendapat tersebut untuk diri sendiri, dan perlu mengutamakan pendapat
yang lain karena pendapat yang lain itu lebih kuat dalam madzhab (dalam Kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarh Al-Kabir jilid 1 halaman 20 karangan Ad-Dardiri).
(5) Ada perbedaan pendapat mengenai talfiq atau mencampuradukkan dua madzhab atau lebih dalam satu ibadah. Ada dua aliran pendapat mengenai masalah ini. Pertama, kelompok yang melarang. Ini adalah pendapat ulama madzhab Maliki yang berada di Mesir (Al-Mishriyyun). Kedua, kelompok yang membolehkan. Ini adalah pendapat ulama Maliki yang berada di dunia Islam bagian Barat (Al-Magharibah). Dan pendapat yang kedua inilah yang saya rajihkan. Ad-Dasuqi meriwayatkan dari para gurunya, bahwa menurut pendapat yang shahih, talfiq seperti ini adalah boleh. Pendapat ini dapat memberi kelonggaran (dalam Kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarh Al-Kabir jilid 1 halaman 20 karangan Ad-Dardiri).
(6) Matan Al-Allamah Syeikh Khalil (767 H) dan para pensyarah yang membuat syarah kepada matan tersebut dianggap mu'tamad dalam madzhab Maliki, dalam pencatatan pendapat madzhab, riwayat, dan dalam menjelaskan pendapat yang rajih (boleh mentarjihkan sesuatu hukum jika tidak dapat dipastikan yang mana yang dipilih menurut madzhab Maliki).

ISTILAH-ISTILAH MADZHAB SYAFI’I

Lebih dari sepuluh masalah yang mempunyai  dua atau lebih pendapat yang diriwayatkan
dari Imam asy-Syafi'i, yaitu, dalam kasus khiyar ar-ru'yah (hak melihat barang). Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Asy-Syafi'i membenarkannya dan ada pula riwayat yang mengatakan dia melarangnya dengan membatalkan pendapat yang pertama. Dalam kasus zakat, orang yang berutang yang kadar utangnya sama dengan apa yang ada di tangannya diwajibkan zakat. Kasus suami menipu istrinya, dengan cara menyatakan nasab yang bukan nasabnya yang sebenarnya, apakah dalam kasus seperti ini istri berhak untuk mem-fasakh perkawinan atau perkawinan itu batal dengan sendiri; dan masalah-masalah lain yang menyebabkan golongan yang mempunyai kepentingan menggunakan pendapat Asy-Syafi'i yang berbeda-beda ini untuk mencela Imam Asy-Syafi'i, mencela ijtihadnya, dan menganggap bahwa Imam Asy-Syafi'i kurang ilmu.
Sebenarnya, munculnya dua pendapat ini adalah akibat adanya qiyas yang bertentangan atau akibat adanya dalil-dalil yang bertentangan. Ini semua bukanlah menjadi bukti kepada kekurangan ilmu, malahan ia menunjukkan kesempurnaan akal. Imam Asy-Syafi'I tidak mengatakan yakin pada masalah-masalah yang memang meragukan. Ia juga menjadi bukti kepada keikhlasannya dalam mencari kebenaran. Dia tidak menghukum secara pasti kecuali dia sudah mempunyai alasan-alasan tarjih. Jika dia tidak mempunyai alasan kuat untuk men-tarjih, maka dia membiarkan persoalan itu apa adanya (dalam Kitab Asy-Syafi’i halaman 172-175 karangan Abu Zahrah).
Apabila seorang mufti mendapati dua pendapat Imam Asy-Syafi'i dalam satu masalah, maka dia boleh memilih pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli tarjih pada masa lalu (pada mujtahid mentarjihkan apa yang telah ditarjihkan oleh Asy-Syafi’i. Kalau ia tidak mentarjihkannya, pendapatnya yang terakhir mentarjihkan yang lebih dulu. Kalau tidak diketahui mana pendapat yang terakhir, dan ini adalah sesuatu yang jarang terjadi, maka ditarjihkan mengikut yang paling dekat dengan ushul kaidah Asy-Syafi’i). Jika tidak ditemukan juga, maka hendaklah dia pasrah (tawaqquf) seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi. Jika suatu masalah itu mempunyai beberapa wajh pada pendapat ahli-ahli ijtihad madzhab Syafi'i (ashab asy-Syafi'i) atau ada beberapa riwayat yang berbeda, maka seorang mufti hendaklah mengambil pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli ijtihad yang dulu. Yaitu, pendapat yang telah disahkan oleh mayoritas ulama, kemudian oleh orang yang paling tahu, kemudian oleh orang yang lebih wara'. Jika tidak menemukan pentarjihan, hendaklah didahulukanvpendapat Imam Asy-Syafi'i yang diriwayatkan oleh Al-Buwaithi, Ar-Rabi' Al-Muradi, dan Al-Muzani (dalam Kitab Asy-Syafi’i halaman 368 dan seterusnya karangan Abu Zahrah).
Syekh Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf An-Nawawi (676 H) dianggap sebagai penyunting dan pen-tahqiq dalam madzhab Syafi'i. Dia juga dianggap sebagai penjelas pendapat-pendapat dalam madzhab Syafi'i yang rajih. Usaha ini dilakukan dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin wa 'Umdah Al-Muftiyyin, yang merupakan kitab pegangan utama para pengikut madzhab Syafi'i, dan kitab ini adalah lebih utama meskipun dibandingkan dengan kitab-kitab An-Nawawi yang lain seperti Ar-Raudhah. Dalam kitab Al-Minhaj itu, An-Nawawi berpandukan dengan kitab Mukhtashar Al-Muharrar karya Imam Abul Qasim Ar-Rafi'I (meninggal 632 H). Kemudian Syaikh Zakaria Al-Anshari meringkas Al-Minhaj kepada Al-Manhaj. Fatwa hendaklah dikeluarkan mengikuti apa yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj, apa yang disebut dalam Nihayah Al-Muhtaj karya Ar-Ramli, dan Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibnu Hajar. Setelah itu, mengikuti apa yang disebut oleh Syaikh Zakaria.
Berikut ini akan diterangkan cara An-Nawawi dalam meriwayatkan pendapat (aqwal), menjelaskan aujuh yang dikeluarkan oleh ashab (tokoh-tokoh madzhab) dan cara melakukan tarjih di antara pendapat-pendapat ini. Sebagaimana diketahui, An-Nawawi menamakan pendapat-pendapat Asy-Syafi'i dengan istilah aqwal, menamakan pendapat para tokoh madzhab dengan istilah aujuh, dan dia menamakan perbedaan pendapat para rawi madzhab dalam menceritakan madzhab Syafi'i dengan istilah thuruq. Dengan kata lain, ada tiga istilah utama yang antara satu dengan lainnya berbeda, yaitu al-aqwal ialah pendapat asy-Syafi'i. Al-Aujuh ialah pendapat yang dikeluarkan ahli-ahli fiqih Asy-Syafi'I berdasarkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dalam madzhab Syafi'i, sedangkan ath-thuruq ialah perbedaan pendapat para rawi dalam meriwayatkan
pendapat madzhab (dalam Kitab Asy-Syafi’i halaman 361 dan seterusnya karangan Abu Zahrah dan Kitab Al-Fawa’id Al-Makkiyah halaman 35 dan seterusnya).
(1) Al-Azhhar (lebih jelas) maksudnya adalah qaul yang lebih jelas dari dua qaul ataupun lebih dari pendapat Imam Asy-Syafi'i rahimahullah. Perbedaaan antara aqwal (pendapat-pendapat tersebut) ini kuat. Lawan istilah ini adalah Zhahir karena kekuatan dalilnya (lihat mukaddimah Kitab Al-Minhaj oleh An-Nawawi).
(2) Al-Masyhur, yakni qaul yang masyhur dari dua atau lebih qaul Imam Asy-Syafi'i. Perbedaan di antara kedua atau lebih pendapat-pendapat itu tidak kuat. Lawannya ialah gharib karena lemahnya dalil. Kedua-dua al-azhhar dan al-masyhur adalah pendapat-pendapat Imam Asy-Syafi'i.
(3) Al-Ashah, yakni pendapat yang lebih shahih dari dua wajh atau lebih yang diusahakan oleh tokoh-tokoh madzhab dalam memahami perkataan Imam Asy-Syafi'i, berdasarkan kepada prinsip yang telah diletakkan olehnya atau diambil dari kaidah-kaidahnya. Tingkat perbedaan pendapat pada perkara yang disebutkan ini adalah kuat. Lawannya ialah shahih.
(4) Ash-Shahih yakni pendapat yang shahih dari dua wajh atau lebih. Tetapi, tingkat perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh madzhab ini tidak kuat. Lawannya adalah dhaif karena kelemahan dalilnya. Al-ashah dan shahih merujuk kepada dua wajh atau beberapa wajh dari pendapat tokoh-tokoh madzhab.
(5) Al-Madzhab, maksudnya adalah perbedaan pendapat tokoh-tokoh madzhab dalam menceritakan pendapat madzhab. Sehingga, perbedaan itu terjadi di antara dua thuruq atau lebih. Umpamanya adalah sebagian mereka menceritakan dalam satu masalah ada dua qaul (pendapat Imam Asy-Syafi'i) atau ada dua wajh (pendapat tokoh madzhab). Sedangkan yang lain memastikan hanya satu saja pendapat itu. Kadang-kadang pendapat ini adalah rajih dan kadang-kadang sebaliknya. Dan apa yang dimaksud dengan al-madzhab ialah pendapat yang menjadi fatwa dalam
madzhab.
(6) An-Nash, maksudnya adalah nash Imam Asy-Syafi'i. Lawannya ialah wajh dha'if atau mukharraj. Namun kadang-kadang fatwa dikeluarkan tidak berdasarkan nash (teks Syafi'i). (At-Takhrif ialah Asy-Syafi’i memberi jawaban hukum yang berbeda atas perkara yang sama. Oleh sebab itu, tidak jelas mana yang tepat untuk diambil. Para sahabat Asy-Syafi’i menyebut hukum itu ada dua qaul yaitu mansus dan mukharraj. Tetapi menurut pendapat yang ashah, muharraj itu bukan pendapat Asy-Syafi’i lagi, karena mungkin dia menarik balik pendapatnya itu)
(7) Al-Jadid (pendapat baru), yaitu pendapat yang berlawanan dengan pendapat lama (madzhab qadim). Jadi, maksud al-jadid ialah apa yang dikatakan (pendapat) Imam Asy-Syafi'i semasa di Mesir melalui karangan atau fatwanya. Para perawinya ialah Al-Buwaithi, Al-Muzani, Ar-Rabi' Al-Muradi, Harmalah, Yunus bin Abdul Ala, Abdullah ibnuz Zubair Al-Makki, Muhammad bin Abdullah ibnul Hakam, dan lain-lain. Tiga orang yang pertama adalah yang utama, sedangkan yang lain hanya beberapa perkara saja yang diriwayatkan dari mereka.
(8) Al-Qadim (pendapat lama) ialah apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi'i sewaktu ia berada di Iraq yang disebut dalam kitabnya, Al-Hujjah, atau yang ia fatwakan. Ia diriwayatkan oleh sekumpulan perawi, di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hambal, Az-Za'farani, Al-Karabisi, dan Abu Tsaur. Pendapat ini ditarik kembali oleh Imam Asy-Syafi'i. Imam Asy-Syafi'i tidak membenarkan ia difatwakan. Tokoh madzhab (ashhab) telah membuat fatwa dengan pendapat ini dalam 17 masalah. Adapun pendapat-pendapat yang muncul di antara masa Imam Asy-Syafi'i di Mesir dan di lraq, maka pendapat yang lebih belakangan dianggap sebagai qaul jadid dan yang lebih dulu dianggap qaul qadim. Jika dalam suatu masalah ada pendapat qadim dan ada juga pendapat jadid, maka pendapat jadid adalah yang terpakai kecuali dalam beberapa masalah, yaitu
sebanyak 17 masalah, yang difatwakan adalah pendapat qadim. (dalam Kitab Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 48, Ulama Syafi’i memanjangkan masalah ini sehingga sampai 22 masalah. Contohnya waktu maghrib tidak berakhir dengan berakhirnya shalat sebanyak lima rakaat)
(9) Qaula Al-Jadid (dua pendapat baru). Pendapat yang lebih akhir dari dua pendapat tersebut hendaklah yang diamalkan, jika memang diketahui. Jika tidak diketahui yang mana yang terakhir, sedangkan Imam Asy-Syafi'i mengamalkan salah satunya, maka yang diamalkan Imam Asy-Syafi'I membatalkan yang lainnya. Atau dengan kata lain, hendaknya ia mentarjihkan apa yang telah diamalkan Imam Asy-Syafi'i. Perkataan qila memberi makna wajh yang dhaif dan lawannya ialah shahih atau al-ashah. Maksud dari istilah Syaikhan ialah Ar-Rafi'i dan An-Nawawi.
(10) Ibnu Hajar mengatakan bahwa tidak boleh beramal dengan menggunakan pendapat dhaif dalam madzhab. Demikian juga tidak boleh mengamalkan talfiq dalam suatu masalah, seperti bertaqlid dengan pendapat Imam Malik tentang sucinya anjing (tidak najis), dan bertaqlid dengan
pendapat Imam Asy-Syafi'i tentang menyapu sebagian kepala sewaktu wudhu, dan kedua-duanya dilakukan dalam satu shalat. Adapun mengikuti cara madzhab tersebut dengan sempurna dalam satu masalah tertentu, dengan segala konsekuensinya, maka dibolehkan. Walaupun setelah perbuatan itu dilakukan, umpamanya adalah seseorang menunaikan ibadah yang dianggap sah oleh sebagian dari ulama madzhab empat, tetapi tidak sah menurut yang lain. Dalam kasus seperti ini, dia boleh bertaqlid kepada madzhab yang mengatakan sah itu, hingga dia tidak perlu mengqadhanya. Boleh juga berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain, walaupun taqlidnya setelah selesai melakukan amalan (dalam Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 51).

ISTILAH-ISTILAH MADZHAB HAMBALI

Terdapat banyak riwayat dan pendapat dalam madzhab Ahmad bin Hambal. Ini terjadi karena Imam Ahmad mendapati ada hadits sesudah dia mengeluarkan fatwa berdasarkan ar-ra'yu (pendapat), atau karena tokoh madzhab (sahabat) mempunyai dua pendapat dalam suatu masalah, ataupun perbedaan pendapat itu muncul karena pertimbangan situasi dan kondisi permasalahan yang difatwakan.
Ulama dalam madzhab Hambali berbeda pendapat tentang cara mentarjihkan antara pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat yang ada. Perbedaan ini terbagi kepada dua kelompok.
Kelompok pertama, memerhatikan pemindahan pendapat (naql al-aqwal), karena itu adalah dalil kesempurnaan dalam agama.
Kelompok kedua cenderung untuk menyatukan pendapat imam dengan cara mentarjih mengikuti kronologi. Jika masa munculnya kedua pendapat itu memang dapat diketahui, atau dengan cara membuat perbandingan di antara dua qaul itu, dan mengambil mana yang mempunyai dalil yang lebih kuat serta yang lebih dekat dengan mantiq (metode berpikir) imam dan kaidah madzhabnya. Jika tarjih tidak dapat dilakukan, maka dianggap madzhab mempunyai dua pendapat dalam masalah tersebut, ketika dalam kondisi darurat untuk mengamalkannya. Dan menurut pendapat yang azhhar,seorang muqallid boleh memilih salah satu dari dua pendapat tersebut. Sebab, asalnya seseorang mujtahid hanya mempunyai satu pendapat saja dalam ijtihadnya. Jika dia tidak mempunyai satu pendapat dalam masalah berkenaan, maka artinya dia tidak melakukan ijtihad mengenai masalah (menurut Abu Zahrah dalam Kitab Ibnu Hambal halaman 189-193 dan dalam muqaddimah Kasysyaf Al-Qina’ jilid 1 halaman 19).
Pendapat yang satu yang disebut oleh pengarang-pengarang kitab ialah pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli tarjih dari tokoh-tokoh madzhab seperti Qadhi Alauddin, Ali bin Sulaiman As-Sa'di Al-Mardawi, yaitu seorang mujtahid yang mentashih madzhab dalam kitab-kitabnya, yaitu Tashhih al-Furu' dan At-Tanqih (dalam Kitab Kasysyaf Al-Qina’ jilid 1 halaman 17 dan dalam Kitab Al-Madkhal ila Madzhab Ahmad halaman 204).
(1) Apabila disebut kata As-Syaikh atau Syaikh Al-lslam oleh ulama Madzhab Hambali yang belakangan, maka maksudnya adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H). Dia banyak sekali menyebarkan madzhab Ahmad melalui risalah-risalahnya, fatwa-fatwanya, dan pendapat-pendapat pilihannya. Muridnya, Ibnul Qayyim pengarang kitab I'lam Al-Muwaqqi'in (meninggal 751 H) juga memberi sumbangan yang besar dalam masalah ini.
(2) Jika para ulama madzhab Hambali yang belakangan sebelum Ibnu Taimiyyah, seperti pengarang Al-Furui Al-Fa'iq, Al-lkhtiyarat, dan lain-lain, menyebut kata Asy-Syaikh, maka maksud mereka ialah Asy-Syaikh Al-Allamah Muwaffaq Ad-Din Abu Muhammad Abdullah bin Qudamah Al-Maqadisi (meninggal 620 H), pengarang kitab Al-Mughni, Al-Muqni', Al-Kafi, Al-Umdah, dan Mukhtashar Al-Hidayah.
(3) Apabila disebut Asy-Syaikhan, maka maksudnya ialah Ibnu Qudamah dan Abul Barakat (meninggal 625 H) yang mengarang kitab Al-Muhatar fil Fiqh.
(4) Jika disebut Asy-Syarih, maka maksudnya adalah Syekh Syamsuddin Abul Faraj Abdul Rahman bin Syaikh Abu Umar Al-Maqdisi (682 H), yaitu keponakan dan murid Ibnu Qudamah. Apabila ulama Hambali mengatakan qala fi asy-syarh, maka maksudnya adalah kitab karangan Syaikh Syamsuddin ini. Kitab ini menjadikan kitab Al-Mughni sebagai landasan. Nama kitab tersebut adalah Asy-Syarh Al-Kabir atau Asy-Syafi Syarh Al-Muqni' dalam 10 jilid atau 12 juz. Kitab yang menjadi pegangan dalam madzhab Hambali ialah Al-Mughni, Asy-Syarh Al-Kabir, Kasysyaf Al-Qina', dan Syarh Muntaha Al-lradat (keduanya karya Al-Buhuti). Dua buah kitab Al-Buhuti dan juga kitab Syarh Az-Zad dan Syarh Ad-Dalil adalah pegangan utama dalam memberi fatwa dan menjatuhkan hukuman (Al-Qadha') di Arab Saudi.
(5) Jika disebut Al-Qadhi, maka maksudnya ialah Qadhi Abu Ya'la Muhammad bin Al-Husain ibnul Farra' (meninggal 457 H). Apabila disebut Abu Bakr, maka maksudnya ialah Al-Marwadzi (274 H) murid Imam Ahmad bin Hambal.
(6) Apabila disebut wa 'anhu (darinya) maksudnya ialah dari Imam Ahmad (rahimahullah). Jika disebut nashshan (mengikut teks) maknanya ialah kata-kata (teks) ImamAhmad.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab

The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)