BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Hukum niat menurut jumhur fuqaha (selain madzhab Hanafi) adalah wajib apabila perbuatan yang dilakukan itu tidak sah jika tanpa niat seperti wudhu, mandi (selain memandikan mayat), tayamum, berbagai macam shalat, zakat, puasa, haji, umrah dan sebagainya (Ad-Dardir, Asy-Syarhul Kabir, jilid 1, halaman 93 dan setelahnya; An-Nawawi, Al-Majmu', jilid 1, halaman 361 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 47 dan setelahnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 14 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 110 dan setelahnya; Kasysyaful Qinai jilid 1, halaman 94-107; Al-Husaini, Ahkamun Niyah, halaman l0,76,78 dan setelahnya).
Namun apabila sahnya perbuatan yang dilakukan itu tidak tergantung dengan niat, maka hukum berniat adalah sunnah, seperti ketika mengembalikan barang yang di-gashab (dimanfaatkan tanpa izin oleh yang memilikinya), ketika melakukan perbuatan yang mubah semisal makan minum, dan juga ketika meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang (at-turuk) seperti meninggalkan perkara yang diharamkan dan perkara yang makruh. Karena apabila niat dilakukan, maka hal itu akan menyia-nyiakan waktu dan terhalang untuk melakukan perbuatan yang lebih bermanfaat.
Ulama madzhab Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1, halaman 98 dan setelahnya; Al-Bada'i, jilid,1 halaman 17;Tabyinul Haqa'iq, jilid 1, halaman 99) berpendapat, bahwa niat adalah disunnahkan ketika berwudhu, mandi dan perbuatan-perbuatan lain yang menjadi pembuka (wasilah) untuk shalat supaya mendapatkan pahala. Namun, niat adalah syarat sah shalat sebagaimana yang ditetapkan juga oleh madzhab Maliki dan Hambali.
Hal ini sebagaimana diketahui bahwa ulama telah bersepakat untuk menetapkan  bahwa niat untuk shalat adalah wajib, supaya antara ibadah dengan adat kebiasaan dapat dibedakan, dan supaya keikhlasan dapat direalisasikan dalam shalat. Karena, shalat adalah ibadah dan maksud ibadah adalah mengikhlaskan amal dengan menggunkan semua daya upaya orang yang ibadah (al-'abid) hanya untuk Allah Ta’ala.
Dalil wajibnya niat banyak sekali, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)."
Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa kata al-ikhlaash biasa digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan arti an-niyah.
Dalil lainnya adalah hadits yang disepakati keshahihannya oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, Imam Ahmad yang bersumber dari sahabat Umar ibnul Khaththab, dia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya (sahnya) amal-amal perbuatan adalah hanya bergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap seseorang hanya akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya adalah karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dicatat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau (menikahi) wanita, maka hiirahnya adalah (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut."
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa ini adalah hadits yang agung dan merupakan salah satu hadits utama yang menjadi sumber ajaran-ajaran Islam. Bahkan, hadits ini adalah hadits yang paling agung dari hadits-hadits tersebut yang jumlahnya adalah empat puluh dua hadits.
Yang dimaksud dengan amal-amal perbuatan (al-a'mal) dalam hadits tersebut adalah amal ketaatan dan amalan syara' bukan amal/perbuatan mubah. Hadits di atas menunjukkan bahwa niat adalah syarat ibadah. Karena, kata innama di awal hadits menunjukkan kata 'hanya' yang berarti mengukuhkan kedudukan kata yang disebut setelahnya (yaitu an-niyah) dan menafikan yang lainnya. Yang dimaksud al-a'mal di sini bukanlah bentuk sisi luar amal tersebut. Karena, bentuk sisi luar tersebut tetap wujud meskipun tanpa niat. Maksud hadits tersebut adalah hukum suatu amal tidak akan ada tanpa adanya niat. Dengan kata lain, amal-amal syar'i tidak akan diakui tanpa ada niat seperti amalan wudhu, mandi, tayamum, shalat, zakat, puasa, haji, i'tikaf, dan ibadah-ibadah lainnya. Adapun membuang najis, maka tidak memerlukan niat. Karena, dia termasuk pekerjaan meninggalkan, dan amalan meninggalkan (at-tarku) tidak memerlukan niat.
Pada ungkapan "innamal a'malu binniyaat” (Sesungguhnya amal-amal perbuatan adalah hanya bergantung kepada niatnya) dalam hadits di atas, terdapat kata yang disembunyikan. Namun, ulama berbeda pendapat dalam menentukan kata tersebut. Jumhur ulama selain madzhab Hanafi -yaitu ulama-ulama yang mensyaratkan niat- mengatakan bahwa kata tersebut adalah kata yang menunjukkan arti sah. Sehingga, maksud ungkapan di atas adalah sahnya amalan adalah bergantung kepada niat. Sehingga, niat adalah syarat sah. Oleh sebab itu, amalan-amalan yang masuk kategori pengantar/perantara (wasilah) seperti wudhu, mandi dan lain-lain tidak akan sah tanpa adanya niat. Begitu juga dengan amalan-amalan yang masuk kategori tujuan (maqashid) seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain.
Sementara itu, ulama madzhab Hanafi yang tidak mensyaratkan niat dalam amalan-amalan
kategori wasilah -mengatakan bahwa kata yang disembunyikan tersebut adalah kata yang menunjukkan arti sempurna. Sehingga, arti ungkapan di atas adalah sempurnanya amalan adalah bergantung kepada niat. Sehingga, niat adalah syarat bagi sempurnanya amalan supaya mendapatkan pahala.
Ungkapan "innama likullimri'in ma nawa (dan sesungguhnya setiap seseorang hanya akan mendapatkan apa yang diniatinya)" menunjukkan dua perkara. Pertama, Imam Al-Khaththabi mengatakan bahwa ungkapan ini memberikan makna yang berbeda dari ungkapan yang pertama (innamal a'malu bin-niyaat), yaitu makna keharusan menentukan suatu bentuk amalan tertentu (ta'yin an-niyah) ketika berniat. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa menentukan suatu bentuk ibadah tertentu ketika berniat (ta'yin al-'ibadah al-manwiyyah) merupakan syarat bagi sahnya ibadah tersebut. Kalau seseorang melakukan shalat qadha, maka dia tidak cukup berniat melakukan shalat yang terlewat, melainkan dia harus menentukan apakah shalat tersebut Zhuhur, Ashar, atau yang lainnya. Kalau seandainya ungkapan yang kedua ini (innama likullimri'in ma nawa) tidak ada dalam hadits, maka niat tanpa ta'yin sudah cukup, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ungkapan yang pertama dalam hadits.
Kedua, ungkapan ini juga menunjukkan bahwa penggantian dalam masalah ibadah dan mewakilkan dalam masalah niat adalah tidak boleh. Namun, ada beberapa ibadah yang dikecualikan, yaitu dalam masalah membagikan zakat kepada orang yang berhak dan dalam masalah penyembelihan hewan korban. Dalam kedua ibadah ini boleh melakukan perwakilan baik dalam niat, penyembelihan, maupun pembagian, meskipun orang yang mewakilkan mampu melakukan niat sendiri. Begitu juga boleh mewakilkan pembayaran utang (An-Nawawi, Al-Majmu’ jilid 1 halaman 361 dan seterusnya; Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah halaman 5-7, Ibnu Daqiq Al-Aid halaman 13-14).
Sebab munculnya hadits ini ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jamul Kabir dengan sanad tsiqah hingga Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ada lelaki yang melamar perempuan yang bernama Ummu Qais. Namun, perempuan tersebut tidak mau menikah dengan Ielaki itu, kecuali kalau lelaki itu mau berhijrah. Maka, lelaki tersebut kemudian berhijrah dan akhirnya dia menikahi perempuan tersebut. Kami pun menjuluki.lelaki tersebut dengan Muhajir Ummi Qais. Kesimpulannya adalah, hadits ini menunjukkan beberapa perkara.
(a) Suatu amalan tidak diakui oleh syara' sehingga ada hubungan dengan masalah dosa dan pahala, kecuali apabila disertai dengan niat.
(b) Menentukan (ta'yin) amalan yang diniati secara tepat dan menjelaskan perbedaannya dengan amalan-amalan yang lain, merupakan syarat dalam niat. Oleh sebab itu, tidaklah cukup niat melakukan shalat secara umum, melainkan harus ada penentuan shalat Dzuhur; Ashar, atau Shubuh misalnya. Ini adalah kesepakatan semua ulama.
(c) Barangsiapa berniat melakukan amal saleh, kemudian ada sesuatu yang menghalanginya untuk merealisasikan niatnya itu seperti sakit atau mati, maka dia tetap mendapatkan pahala. Karena, orang yang mempunyai kehendak untuk melakukan kebajikan kemudian dia tidak jadi  melakukannya diberi pahala satu kebajikan. Dan barangsiapa berkehendak melakukan kejelekan namun dia tidak jadi melakukannya, maka dosa tersebut tidak dicatat. Imam As-Suyuthi berkata dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 29, "Barangsiapa bertekad melakukan kemaksiatan, kemudian dia tidak melakukannya atau tidak mengucapkannya, maka dia tidak berdosa." Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh imam hadits yang enam dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni umatku dari apa saja yang terbetik dalam hatinya, selagi belum terucap atau belum terlaksana.”
(d) Keikhlasan dalam beribadah dan dalam melakukan amalan-amalan syara' adalah asas bagi mendapatkan pahala di akhirat, kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia. Dalilnya adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Az-Zaila'i bahwa orang yang melakukan shalat membutuhkan niat yang ikhlas.
(e) Semua amal yang bermanfaat, atau pekerjaan yang mubah, atau meninggalkan sesuatu yang dilarang apabila disertai dengan niat yang baik dan dimaksudkan untuk melaksanakan perintah Allah, dianggap ibadah dan akan mendapatkan pahala dari Allah.
(f) Apabila tujuan ketika mengerjakan sesuatu adalah untuk disenangi orang, supaya terkenal atau untuk mendapatkan kemanfaatan duniawi sebagaimana yang dilakukan oleh Muhajir Ummi Qais, maka orang yang melakukannya tidak akan mendapat pahala di akhirat.

PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAIAM MASALAH TA'YIN AL-MANWI (MENENTUKAN SECARA JELAS AMALAN YANG DINIATl)

Madzhab Hanafi (dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadzair karangan Ibnu An-Nujaim, Damaskus, Darul Fikr halaman 25) membagi masalah ta’yin al-manwi secara lebih terperinci, yaitu sebagai berikut.
(a) Apabila amalan yang diniati itu termasuk amalah ibadah dan waktunya luas, cukup untuk melakukan ibadah tersebut dan juga ibadah lain, maka ta'yin tersebut wajib dilakukan seperti dalam shalat dengan cara menyebutkan shalat Dzuhur. Dan apabila ditambah dengan kata hari ini
(al-yaum) sehingga menjadi zuhrul yaum (zhuhur hari ini) hukumnya adalah sah. Batasan ta'yin yang dibenarkan adalah sekiranya seseorang ditanya shalat apakah yang dikerjakan. Maka, dia dapat menjawabnya tanpa berpikir panjang. Kewajiban ta'yin dalam shalat ini tidaklah gugur akibat waktunya sudah sempit.
(b) Apabila waktu ibadah adalah bersamaan dengan ibadah yang dilakukan, sehingga tidak mungkin melakukan ibadah yang sama dalam waktu yang sama seperti puasa di hari Ramadhan -dengan kata lain ibadah yang waktunya sempit- maka ta'yin tidaklah menjadi syarat, jika memang
orang yang puasa tersebut sehat dan dalam keadaan mukim. Sehingga, dia sah hanya dengan niat puasa secara mutlak atau niat puasa sunnah (jika memang puasanya sunnah). Karena, membatasi
(ta’yin) sesuatu yang sudah terbatas (mu'ayyan) dianggap perbuatan main-main. Apabila orang yang puasa tersebut sakit, maka ada dua riwayat. Yang shahih adalah yang menetapkan bahwa puasa orang tersebut dianggap sebagai puasa Ramadhan, meskipun dia berniat melakukan puasa wajib yang lain atau berniat melakukan puasa sunnah. Dan apabila orang yang puasa tersebut dalam safar (perjalanan), maka apabila dia berniat melakukan puasa wajib selain Ramadhan. Maka, puasanya dihukumi sesuai dengan apa yang diniati, sehingga tidak dianggap sebagai puasa Ramadhan. Apabila orang tersebut niat puasa sunnah, maka ada dua riwayat dan yang shahih adalah puasanya dihukumi puasa Ramadhan.
(c) Apabila waktu ibadah tersebut diperselisihkan, seperti waktu haji yang di satu sisi hampir sama dengan ibadah yang waktunya sempit, karena dalam satu tahun haji hanya sah sekali saja, dan pada sisi lain ia seperti ibadah yang waktunya luas apabila memerhatikan bahwa amalan-amalan haji adalah lebih singkat apabila dibanding dengan waktu yang disediakan, maka ibadah seperti ini sah dilakukan hanya dengan niat yang mutlak karena mempertimbangkan sisi waktunya yang sempit. Namun apabila orang yang melakukan berniat melakukan sunnah, maka hajinya dihukumi sesuai dengan niatnya, karena mempertimbangkan sisi waktunya yang luas.

KAIDAH-KAIDAH UMUM SYARA' YANG BERHUBUNGAN DENGAN MASALAH NIAT

Para ulama meneliti hadits Umar ‘innamal a'maalu bin-niyaat' dan membuat tiga kaidah yang bersumber dari hadits ini. Para mujtahid dan imam madzhab menggunakan tiga kaidah ini untuk membangun dasar-dasar madzhab mereka, dan juga untuk menyimpulkan (istinbath) hukum-hukum fiqih furu'iyyah. Dalam kajian fikih terdapat lima kaidah fiqih yang di dalamnya mencakup berbagai permasalahan fiqhiyyah. Kelima kaidah tersebut adalah Al-Umur bi Maqashidiha, Ad-Dharar Yuzal, Al-‘Adah Muhakkamah, Al-Yaqin la Yazulu bi Asy-Syakk dan Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir. Sedangkan tiga kaidah masalah niat adalah sebagai berikut.
(a) Kaidah pertama: (لا ثواب إلا بالنيات) Tidak ada ganjaran kecuali dengan adanya niat. Sebagaimana telah diterangkan, niat adalah syarat dalam ibadah. Hal ini berdasarkan  ijma, ayat Al-Qur'an Surah Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas (mukhlishin) menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”
Ibnu Nujaim Al-Hanafi berkata, "Pendapat yang pertama adalah lebih tepat, karena makna
ibadah dalam ayat tersebut adalah tauhid karena adanya qarinah (petunjuk) bersambungnya ('athaf) shalat dan zakat. Niat tidak disyaratkan dalam wudhu, mandi, membasuh khuf, menghilangkan najis dari baju, badan, tempat, dan bejana. Adapun dalam tayamum, niat tetap disyaratkan dengan alasan. Hal ini karena maksud niat adalah berkeinginan (al-qashdu). Adapun
memandikan mayat, maka para ulama mengatakan bahwa niat tidak disyaratkan bagi sahnya menshalati mayat tersebut dan bagi kesuciannya, melainkan ia hanya syarat bagi menggugurkan kewajiban dan tanggungan orang mukallaf (Ibnu An-Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 14).
Sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syeikh Wahbah Zuhaili, menurut jumhur ulama niat adalah wajib baik dalam ibadah yang termasuk kategori pengantar (wasilah) maupun kategori tujuan (maqashid). Namun bagi ulama Hanafi, niat adalah syarat kesempurnaan bagi ibadah-ibadah yang termasuk kategori pengantar (wasilah) seperti wudhu dan mandi. Adapun untuk ibadah yang termasuk kategori tujuan (maqashid) seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, maka niat dianggap sebagai syarat sah.
Maksud dari kaidah di atas adalah, semua amalan syara' tidak akan mendapatkan pahala jika tanpa ada niat. Ibnu Nujaim Al-Mishri dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nadza’ir halaman 14 berkata, “Balasan ada dua macam: pertama adalah balasan di akhirat yang berupa pahala dan siksa, dan kedua adalah balasan di dunia yang berupa kesehatan dan kerusakan. Yang dimaksud ganjaran (ats-tsawab) dalam kaidah di atas adalah ganjaran akhirat. Karena, ulama bersepakat bahwa tidak akan ada pahala dan siksa jika tidak ada niat. Dengan demikian, maka bentuk ganjaran dunia tidak termasuk yang dimaksudkan dalam kaidah tersebut. Karena, arti pertama sudah memenuhi tuntutan kata dalam kaidah tersebut, sehingga tidak memerlukan arti yang lain.
(b) Kaidah kedua: (الأمور بمقاصدها) Segala sesuatu adalah berdasarkan kepada maksudnya. Maksud dari kaidah ini adalah, sesungguhnya ketetapan hukum-hukum syara' bagi amal perbuatan manusia baik yang berupa ucapan atau tindakan adalah mengikuti maksud dan tujuan orang yang melakukan tindakan tersebut, bukannya sisi lahiriah amal perbuatan tersebut.
Sumber utama kaidah ini adalah hadits yang telah diterangkan sebelum ini, yaitu hadits, “innamal a'maalu bin niyaat” dan juga hadits-hadits lain yang serupa yang diuraikan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 7. Contoh kasus-kasus yang didasarkan kepada kaidah ini adalah sebagai berikut.
Hukuman membunuh berbeda-beda sesuai dengan tujuan dan niat orang yang melakukan
tindakan kriminal tersebut. Apabila orang yang membunuh tersebut sengaja, maka dia dihukum qishash. Namun apabila dia melakukannya dengan tidak sengaja, maka dia wajib membayar diyat. Amalan shalat seseorang akan diterima dan diberi pahala apabila didasari dengan keikhlasan. Namun jika dilakukan karena riya’ maka shalat tersebut tidak diterima.
Barangsiapa mengambil barang temuan dengan maksud untuk memilikinya, maka dia dihukumi sebagai orang yang ghashab, berdosa, dan juga wajib mengganti kerusakan-kerusakan yang berlaku. Namun jika ia mengambil barang tersebut dengan maksud untuk menjaganya, maka dia boleh membawanya dan dia dianggap seperti orang yang dititipi barang. Sehingga, dia tidak perlu mengganti rugi kerusakan yang terjadi, kecuali jika kerusakan tersebut akibat kelalaiannya dalam menjaga.
Apabila ada lelaki berkata kepada istrinya, "Pergilah ke rumah keluargamu!" dan dia bermaksud menjatuhkan talak, maka terjadilah apa yang dia maksud. Namun apabila dia tidak mempunyai maksud untuk menjatuhkan talak, maka talak itu pun tidak jatuh.
Qadhi Khan yang bermadzhab Hanafi dalam kitab Fatawa-nya (sebagaimana dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadzair karangan Ibnu An-Nujaim halaman 22) berkata, jika niat orang yang menjual perasan anggur kepada orang yang biasa membuat arak adalah berdagang, maka hal itu tidak haram. Namun jika dia berniat supaya perasan anggur tersebut dibuat arak, maka hal itu haram. Begitu juga dengan niat menanam kurma. Madzhab Syafi'iyyah mengatakan menjual kurma dan anggur kepada orang yang biasa membuat khamr (nabidz) dari dua bahan tersebut adalah haram, jika memang yang menjual mengetahui hal tersebut atau mempunyai dugaan kuat. Contoh lainnya adalah menjual senjata kepada pemberontak dan perampok, karena memang ada larangan dalam masalah ini. Tetapi, larangan terebut tidak menyebabkan akad jual beli tersebut menjadi batal (Mughnil Muhtaj, jilid 2, halaman 37-38.
Hukum sikap seseorang menjauhi saudaranya selama lebih dari tiga hari juga didasarkan kepada niat. Jika dia memang berniat mendiamkan saudaranya tersebut, maka haramlah hukumnya. Namun jika tidak ada niat mendiamkan, maka hal itu tidak haram.
Hukum meninggalkan perhiasan dan wewangian (ihdad) yang dilakukan oleh perempuan selain istri si mayit selama lebih dari tiga hari, juga didasarkan kepada. Jika maksudnya adalah karena si mayit, maka hukumnya haram. Jika maksudnya tidak seperti itu, maka hukumnya boleh.
Jika orang yang shalat membaca satu ayat Al-Qur'an dengan niat menjawab pembicaraan orang lain, maka batallah shalatnya. Begitu juga apabila orang yang shalat diberi kabar gembira kemudian dia berkata, "Alhamdulillah,” dengan maksud mengucapkan rasa syukur; maka shalatnya batal. Atau apabila orang yang shalat tersebut diberi kabar yang menyedihkan, kemudian dia berkata, "Laa Haula wa laa Quwwata illaa billaah," dengan maksud membaca hauqalah, atau dia diberi tahu ada seseorang yang meninggal kemudian dia berkata, "lnnaa lillaahi wa innaa ilahi raaji'uun" dengan maksud mengucapkan istirja', maka batallah shalatnya.
Apabila seseorang bersujud di hadapan sultan dan dia berniat memberi hormat kepadanya,
bukan dengan maksud menyembah, maka dia tidak dihukumi kafir. Karena, para malaikat diperintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Saudara-saudara Yusuf juga bersujud kepada Nabi Yusuf.
Orang yang makan hingga kenyang dan niatnya adalah supaya kuat puasa atau supaya tetamu mau makan dengan senang hati, hukumnya adalah sunnah.
Apabila ada seorang kafir harbi menjadikan seorang Muslim sebagai tameng untuk berlindung, kemudian ada seorang Muslim lain yang mengarahkan panah ke arah mereka, jika dia bermaksud membunuh yang Muslim maka haram. Namun jika dia bermaksud membunuh yang kafir; maka tidak haram.
Jika seseorang menjadikan kitab sebagai bantal tidur dan dia bermaksud menjaga kitab tersebut, maka tidak dimakruhkan. Namun jika tidak ada maksud untuk menjaganya, maka makruh. Apabila seseorang menanam pohon di pekarangan masjid dengan maksud supaya teduh, maka tidak makruh. Namun jika dia bermaksud untuk mendapatkan kemanfaatan yang lain, maka makruh. Jika penulisan Asma Allah dalam logam dirham dimaksudkan supaya menjadi tanda, maka tidak makruh. Namun jika maksudnya adalah untuk meremehkan, maka hal itu makruh.
Jika seseorang duduk di atas peti yang di dalamnya ada mushaf AI-Qur'an dengan maksud
menjaganya, maka hal itu tidak dimakruhkan. Namun apabila tidak ada maksud yang seperti itu, maka dimakruhkan.
Dalam akad jual beli, hibah, wakaf, utang, jaminan, pembebasan utang, pemindahan utang, pembatalan akad, perwakilan, pemberian kekuasaan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan (tafwidh al-qadha), ikrar, sewa, wasiat, talak, khul', rujuk, ila’, zihar, li'an, sumpah, qazaf, dan asuransi (al-aimaan), bila lafal akad yang digunakan berbentuk ungkapan kinayah/majaz dan orang yang mengucapkan bermaksud akad yang sebenarnya, maka akad tersebut terjadi. Namun jika dia berniat mengungkapkan arti sebenarnya dari ungkapan majaz tersebut, maka akadnya tidak terjadi (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadza’ir halaman 22-23; As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadza’ir halaman 9-10).
(c) Kaldah ketiga: (العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني) Yang Diakui dalam akad adalah maksud dan substansinya, bukan lafal dan bentuk luarnya. Kaidah ini lebih khusus apabila dibanding dengan kaidah sebelumnya, karena kaidah ini berhubungan dengan jenis-jenis akad yang khusus. Adapun kaidah yang kedua berhubungan dengan semua bentuk tasharruf (akad dan pengelolaan harta benda).
Maksud dari kaidah ini adalah bentuk lafal akad akan menyebabkan berubahnya satu bentuk akad ke bentuk yang lain, jika memang hal itu dikehendaki oleh dua pihak yang melakukan akad. Oleh sebab itu, akad hibah yang disertai dengan syarat wajib mengganti (syarth 'iwadh), akan berubah menjadi akad jual beli. Umpamanya seseorang berkata, "Saya menghibahkan barang ini kepadamu, dengan syarat kamu memberi saya barang sejumlah sekian." Hal ini karena substansi dari akad ini adalah jual beli. Maka, hukum yang berlaku juga hukum jual beli.
Akad kafalah (menanggung utang orang lain) dengan syarat orang yang memberi utang tidak boleh menuntut kepada orang yang sudah ditanggung utangnya, maka ia menjadi akad hiwalah.
Akad pemindahan utang (hiwalah) dengan syarat orang yang memberi utang mempunyai hak untuk meminta piutangnya kepada orang yang memindahkan utang, dan juga kepada orang yang dipindahkan utang kepadanya, maka akad ini menjadi akad kafalah. Akad pinjaman dengan syarat ada ganti, maka menjadi akad sewa.
Menurut madzhab Hanafi, sebagian besar hukum-hukum dalam akad jual beli al-wafa' (yaitu orang yang sedang dalam keadaan butuh menjual bangunan miliknya untuk mendapatkan uang, dengan syarat apabila orang tersebut sudah mampu mengembalikan sejumlah uang yang didapat kepada orang yang membeli, maka bangunannya tersebut akan kembali menjadi miliknya) adalah mengambil dari akad gadai (ar-rahn). Karena, memang akad gadailah yang dimaksudkan oleh kedua belah pihak.
Namun, kaidah ini dipakai oleh madzhab Hanafi dan Syafi'i (Hasyiyah Al-Hamawi' ala Al-Asybah wan-Nazha'ir li lbni Nujaim, jilid 1 halaman 12 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj Syarh al-Minhaj, jilid 2 halaman 37-38; dan As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 148-149) jika memang "maksud” tersebut tampak dalam akad secara nyata. Apabila dalam akad tidak ada sesuatu yang menunjukkan niat atau maksud tersebut secara nyata, maka kaidah yang digunakan adalah "Yang diakui dalam masalah yang berhubungan dengan Allah adalah substansinya, sedangkan yang diakui dalam masalah yang berhubungan dengan sesama hamba adalah sebutan dan lafal."
Dengan kata lain dalam masalah akad, yang menjadi dasar pertama adalah lafal bukan niat dan maksud. Hal ini karena niat dan keinginan yang tidak dibenarkan oleh agama tersembunyi dalam hati, dan hukumnya diserahkan kepada Allah, dan orang yang melakukannya akan disiksa selagi niatnya itu memang termasuk dosa. Atas dasar ini juga, maka hukum-hukum akad harus ditetapkan berdasarkan ungkapan akad dan perkara-perkara yang menyertainya. Rusaknya akad didasarkan kepada ungkapan akad, begitu juga dengan sahnya akad. Faktor eksternal tidak akan merusak akad, meskipun niat dan tujuan dalam akad mempunyai tanda dan indikasi yang jelas.
Keterangan ini menunjukkan bahwa madzhab Syafi'i dan Hanafi tidak menggunakan konsep saddudz dzari'ah dalam masalah jual beli al-ajal dan jual beli al-'iinah. Umpamanya adalah seseorang menjual barang dengan harga sepuluh dirham yang akan dibayar dalam jangka masa sebulan, kemudian orang tersebut (yang menjual) membelinya dengan harga lima dirham sebelum habis satu bulan. Dalam menanggapi masalah ini, Asy-Syafi'i melihat sisi bentuk jual belinya dan menghukuminya berdasarkan sisi lahiriahnya. Sehingga, mereka menganggap akad tersebut sah. Sedangkan Abu Hanifah -meskipun dia tidak menggunakan konsep saddudz dzari'ah- menganggap bahwa akad yang kedua adalah tidak sah. Hal itu dengan alasan, harga pada akad pertama belum selesai dibayar; maka akad jual beli yang pertama belum sempurna. Sehingga, akad yang kedua mengikuti hukum yang ada pada akad pertama.
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad menggunakan konsep saddudz dzari'ah dalam
menanggapi bentuk jual beli semacam ini. Karena, jual beli seperti ini biasa digunakan oleh orang untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menjual barang, yang harga asalnya lima dirham dengan harga sepuluh dirham apabila dibeli kredit, dengan cara menampakkan akad jual beli yang kelihatannya sah. Ibnul Qayyim berkata, "Hukum-hukum syara' ditetapkan berdasarkan penilaian terhadap sisi Iaihiriah (lafal yang diungkapkan), sesuai dengan kebiasaan orang dalam memahami
lafal yang diungkapkan tersebut dan selagi tidak ada tanda-tanda bahwa orang tersebut mempunyai maksud lain yang berbeda dengan maksud ucapannya tersebut. Adapun niat dan maksud akan dipertimbangkan dan dinilai dalam kasus-kasus yang praktik dan realitasnya berbeda dengan lafal atau sighat yang diungkapkan.” (Al-Qarafi, Al-Furuq, jilid 2 halaman 32; A’lamul Muwaqqi’in, jilid 2 halaman 117-129 jilid 4 halaman 400 dan setelahnya)
Pendapat inilah yang menurut Syaikh Wahbah Zuhaili paling benar; supaya pintu mereka-reka bentuk akad dalam masalah riba tertutup. Sehingga, niat yang jelek atau maksud yang tidak dibenarkan oleh syara' merupakan sebab yang jelas bagi penetapan tidak sahnya suatu akad jual beli.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)