Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
HUKUM MENGENAI SISA MINUMAN DAN TELAGA
a. Hukum Air Sisa Minuman
Menurut istilah syara', air sisa minuman ialah air sisa yang
terdapat di dalam wadah atau kolam selepas diminum oleh peminumnya. Kemudian
kata sisa juga digunakan untuk semua makanan.
Para ulama sependapat bahwa air sisa minuman manusia dan binatang
ternak adalah suci. Tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai air sisa minuman
selain manusia dan binatang ternak.
Madzhab Hanafi
Menurut pendapat ulama Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 205 dan 297; Fathul Qadir jilid 1 halaman 74
dan seterusnya; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 31), hukum air sisa
minuman yang bercampur dengan air liur peminumnya berbeda disesuaikan dengan suci
atau najisnya daging peminumnya. Air sisa minuman manusia dan binatang yang
halal
dimakan dagingnya adalah suci, dan air sisa minuman anjing adalah
najis. Terdapat juga air sisa minuman yang makruh atau diragui hukumnya. Maka
menurut pendapat ulama Hanafi, air sisa minuman terbagi kepada empat yaitu suci,
makruh, diragui, dan najis.
Pertama, air
sisa minuman peminum yang suci adalah menyucikan dan tidak makruh, yaitu air
sisa minuman manusia atau binatang yang halal dimakan dagingnya seperti unta,
lembu, kambing, dan -menurut pendapat yang paling ashah- juga kuda dan yang
semacamnya, selama binatang tersebut tidak memakan barang najis dan tidak
sedang mengunyah makanan -jika memang termasuk binatang memamah biak- karena
air liur tersebut adalah keluar dari daging yang suci. Maka, air yang bercampur
dengannya juga suci.
Hukum ini tidak ada perbedaan antara anak-anak dan dewasa, Muslim
atau kafir; junub atau haid. Kecuali orang kafir yang meminum arak, maka
mulutnya najis apabila ia langsung meminum air setelah meminum arak. Tetapi
jika ia tidak langsung meminum air, melainkan ada jeda waktu untuk membasahi
mulutnya dengan air liurnya kemudian baru meminum air, maka air itu tidak
menjadi najis. Contohnya jika anggota orang kafir terkena najis, kemudian
disapu dengan mulutnya hingga tidak ada lagi bekas najisnya, atau anak kecil
muntah di atas tetek ibunya lalu dihisapnya hingga hilang maka sucilah tempat itu.
Dalil yang menunjukkan bahwa air sisa minuman manusia dihukumi suci
adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang berkata, "Wahai Rasulullah,
engkau menemuiku ketika aku sedang junub, maka aku tidak mau menjumpaimu."
Lalu Rasul bersabda, "Subhanallah, sesungguhnya orang mukmin tidak
najis." Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bertemu Hudzaifah dan baginda mengulurkan tangannya dengan
maksud hendak bersalaman dengannya. Lalu Hudzaifah menggenggam tangannya sambil
berkata, "Saya sedang junub," jawab baginda, "Orang
mukmin tidak najis.”
Dan juga riwayat Imam Muslim dari Aisyah yang berkata, "Saya
minum sewaktu haid. Lalu saya memberi minum itu kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Kemudian beliau meletakkan mulutnya pada tempat mulut saya."
Dan juga riwayat Imam Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam minum susu, di sebelah
kanan beliau ada orang Arab, di sebelah kiri beliau ada Abu Bakar lalu Rasul
memberikan air minum itu kepada orang Arab sembari bersabda, "Dahulukan
yang sebelah kanan."
Kedua, air
sisa minuman peminum yang suci, tetapi makruh tanzih apabila mengutamakan
air itu apabila ada air lain, yaitu air sisa minuman kucing, ayam
yang dilepas (yaitu ayam yang dilepas dan bercampur dengan najis, adapun ayam
yang dikurung dan diberi makan dalam kandang tidaklah makruh menggunakan air
bekas minumnya karena ia hanya memakan bijian), unta dan lembu yang memakan najis
(yang tidak diketahui keadaannya), burung sawah atau burung yang menyambar seperti
elang dan gagak, dan binatang yang terdapat di rumah seperti ular dan tikus,
selagi najis pada mulutnya tidak tampak. Karena, hewan itu biasa berkeliaran di
rumah dan juga karena darurat, tidak dapat dielakkan. Juga, karena Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tempat minuman kepada
kucing lalu kucing itu meminumnya, dan kemudian beliau berwudhu dengan air itu.
Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan dua jalur hingga menuju Aisyah (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 133).
Ketiga, air
sisa minuman binatang yang suci, tetapi diragui apakah air itu menyucikan atau
tidak, yaitu air sisa minuman bighal dan keledai kampung. Air seperti ini boleh
untuk berwudhu atau mandi. Namun setelah itu, hendaklah bertayamum atau bertayamum
dulu baru kemudian berwudhu atau mandi dengan air itu. Hal ini dilakukan
sebagai langkah berhati-hati untuk satu shalat. Keraguan ini muncul sebab
terdapat pertentangan antara dalil-dalil yang menghalalkan dan mengharamkan daging
binatang tersebut, dan juga adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat
dalam hal najis atau sucinya binatang-binatang tersebut. Atau, karena masalah
ini tidak menjadi masalah darurat atau bailwa (tidak dapat dihindari) yang
menggugurkan hukum najis. Hal
ini karena binatang-binatang tersebut biasanya ditambat di dalam
rumah dan ia meminum air di dalam tempat-tempat yang digunakan oleh manusia.
Hewan itu juga bergaul dengan manusia, bahkan ditunggangi. Namun menurut
pendapat al-madzhab di kalangan ulama Hanafi, air liur bighal dan
keledai adalah suci. Yang diragukan ialah hukum air sisa minumannya itu apakah
ia menyucikan atau tidak. Adapun dalil yang bertentangan mengenai halal atau
haram dagingnya, ada dua hadits.
Hadis pertama, hadis Abjar bin Ghalib, yang berkata, "Wahai Rasulullah!
Kami mengalami musim kemarau, dan saya tidak mempunyai apa pun untuk memberi
makan keluarga kecuali lemak keledai, sedangkan engkau telah mengharamkan keledai
kampung?" Lalu Rasul menjawab, "Berilah keluargamu makan lemak
keledaimu." Riwayat Abu Dawud.
Hadis kedua, hadis Anas bahwa lelaki telah menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah! Saya telah memakan
daging keledai." Rasul tidak menjawab. Lelaki itu datang menemuinya lagi,
dan berkata, "Saya telah memakan daging keledai." Rasul juga
tidak menjawab. Lelaki itu kemudian dating untuk ketiga kalinya, dan berkata, "Saya
telah memakan daging keledai sampai habis." Lalu Rasul menyuruh seseorang
memberi tahu kepada banyak orang, "Sesungguhnya Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai kampung!” Menurut satu
riwayat yang lain, "Sesungguhnya ia najis, hendaklah periuk itu dibalik
(sekalipun) ketika dagingnya sudah mendidih.” Riwayat Al-Bukhari.
Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai suci dan
najisnya keledai adalah berdasarkan pendapat Ibnu Umar yang mengatakan bahwa
keledai adalah najis. Tetapi, Ibnu Abbas mengatakan bahwa keledai adalah suci.
Sebenarnya, hadits riwayat Anas adalah yang riwayat yang ashah, dan
daging keledai adalah haram dimakan tanpa ada permasalahan lagi. Dan apabila
ada pertentangan di antara haram dan halal, maka lebih baik diutamakan pendapat
yang mengharamkan, baik dengan cara mempertimbangkan pertentangan di antara kedua
hadits tersebut atau kedua ijtihad sahabat tersebut.
Dan yang paling shahih mengenai alasan munculnya keraguan hukum ini
adalah adanya keraguan mengenai dikategorikannya kasus ini sebagai kasus
darurat atau tidak. Karena, keledai biasanya ditambat di dalam bagian rumah dan
halaman, dan ia tidak mencapai taraf darurat seperti taraf daruratnya kucing
dan tikus. Karena, kedua-duanya dapat masuk ke tempat sempit, sedangkan keledai
tidak dapat berbuat demikian. Maka, air sisa minumannya diragui apakah
menyucikan atau tidak; dari satu segi ia adalah najis karena najisnya air liur
dan dari satu segi ia adalah suci karena terdapat sedikit darurat dan adanya
keraguan mengenai air sisa minumannya. Jadi yang menyebabkan timbulnya keraguan
adalah hal-hal tersebut bukannya masalah pengharaman dagingnya, dan bukan
karena terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat tentang sisa minumannya.
Keempat, air
sisa minuman binatang yang najis mughallazhah (berat). Air ini tidak
boleh digunakan sama sekali kecuali dalam keadaan darurat, sama seperti hukum
memakan bangkai. Yang termasuk air ini ialah air sisa minuman anjing, babi,
atau binatang buas seperti singa, harimau, serigala, kera, dan musang.
Najisnya anjing adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, “Apabila anjing meminum di dalam wadah air kamu, maka
hendaklah (wadah itu) dibasuh tujuh kali.” Riwayat Imam Ahmad dan Asy-Syaikhan
(muttafaq 'alaih) dari Abu Hurairah. Lafal hadits yang diriwayatkan oleh
lmam Ahmad dan Muslim adalah, "Bersihkan belana kamu apabila dijilat
anjing dengan membasuhnya tuiuh kali, yang pertama (campurlah) dengan tanah.”
(Nailul Authar, jilid 1, halaman 36).
Apabila tempat air itu dianggap najis, maka airnya tentulah lebih
berhak untuk dikatakan najis. Hal ini juga menunjukkan bahwa anjing itu najis.
Babi dihukumi najis karena ia adalah najis 'ain berdasarkan firman
Allah Ta’ala dalam Surah Al-An’aam ayat 145 yang artinya, "...karena
semua itu kotor (najis)..."
Najisnya binatang-binatang buas ialah karena dagingnya najis dan
air liurnya yang bercampur dengan air adalah keluar dari dagingnya, maka ia
menyebabkan air itu najis.
Madzhab Maliki
Dalam Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 31; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 27-30;
Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 43; Asy-Syarhul Kabir, jilid
1, halaman 43-44 adalah sebagai berikut: pertama, air sisa minuman
manusia. Apabila orang itu adalah Muslim dan dia tidak minum arak, maka air
sisa minumannya adalah suci dan menyucikan menurut ijma ulama. Apabila orang
itu adalah kafir atau orang yang meminum arak maka apabila di mulutnya ada
benda najis, maka air sisa minumannya adalah sama seperti air yang bercampur
najis. Apabila pada mulutnya tidak ada naiis, maka air sisa minumannya adalah suci
dan menyucikan, ini adalah menurut pendapat jumhur.
Tetapi menurut pendapat ulama Maliki, menggunakan air sisa minuman peminum
arak baik dia seorang Muslim atau kafir yang diragui mulutnya adalah makruh,
sebagaimana juga air yang dimasuki oleh tangan orang tersebut juga makruh,
karena ia sama seperti air yang dimasuki benda najis, tetapi tidak menyebabkan perubahan.
Kedua, air
sisa minuman binatang yang memakan najis, seperti kucing dan tikus. Apabila
pada mulutnya ditemui ada najis, maka air sisanya adalah sama
seperti air yang bercampur dengan najis. Tetapi jika mulutnya didapati bersih,
maka air sisanya dihukumi suci, dan jika tidak diketahui, maka ia dimaafkan.
Karena, ia termasuk perkara yang sulit untuk dihindari, tetapi makruh
menggunakannya. Adapun mengenai najisnya benda yang dihindari itu terdapat dua
pendapat, pendapat yang rajih adalah yang mengatakan bahwa ia suci (Diriwayatkan
oleh Qurrah dari lbnu Sirin dari Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Bersihkanlah beiana yang diiilat oleh kucing
dengan membasuhnya sekali atau dua kali."'Qurrah adalah perawi yang tsiqah
(dipercayai) di kalangan ahli hadits. Malik meriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang kucing, "la
tidak najis, ia hanya binatang yang berkeliaran di sekeliling kamu.”
Ketiga, air
sisa minuman binatang dan burung yang makan dengan cara menyambar (burung buas)
adalah suci, tetapi menggunakan air sisa minuman binatang yang tidak
terpelihara dari najis seperti burung adalah makruh.
Keempat, air sisa minuman anjing dan babi adalah suci. Membersihkan mangkuk
yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali adalah ibadah semata-mata. Adapun
membasuh mangkuk yang diminum oleh babi sebanyak tujuh kali ada dua pendapat.
Madzhab Syafi'i dan Hambali
Dalam kitab Al-Majmu’
jilid 1 halaman 227, Al-Mughni jilid 1 halaman 46-51, Mughni
Muhtaj jilid 1 halaman 83 dan Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 221
bahwa:
Pertama, air sisa minuman manusia adalah suci, baik Muslim atau kafir. Hukum
ini disepakati oleh semua ulama, sebagaimana yang telah diterangkan di atas
berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Orang
mukmin tidak menajiskan."
Kedua, air
sisa minuman binatang yang halal dimakan dagingnya adalah suci. Menurut Ibnul
Mundzir, "Ulama telah berijma bahwa air sisa minuman binatang yang
halal dimakan dagingnya, boleh diminum dan juga boleh digunakan untuk berwudhu."
Ketiga, air
sisa minuman kucing, tikus, musang, dan binatang merayap seperti ular dan cicak
adalah suci. Air sisa minumnya boleh diminum dan juga boleh digunakan untuk
berwudhu. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, sahabat, dan tabi'in, air
sisanya itu tidak makruh, kecuali Abu Hanifah yang mengatakan bahwa berwudhu dengan
air sisa minuman kucing adalah makruh, sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas. Tetapi jika air itu digunakan berwudhu, maka wudhunya dianggap sah.
Keempat, air sisa minuman binatang seperti kuda, bighal, keledai,
binatang-binatang liar yang halal dimakan dagingnya dan juga yang haram dimakan
dagingnya adalah suci. Itulah riwayat yang rajih di kalangan ulama Hambali,
berdasarkan hadits riwayat Jabir, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam telah ditanya, Apakah kita boleh berwudhu dengan air sisa
keledai?' Rasul menjawab, “Ya, dan juga air sisa semua binatang buas.”
Riwayat Asy-Syafi’i dalam musnad-nya.
Dan karena binatang-binatang tersebut boleh dimanfaatkan bukan
hanya semasa darurat, maka ia suci seperti biri-biri, dan juga karena Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya menunggang bighal dan
keledai. Apabila ia najis, niscaya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam akan menjelaskannya, dan orang yang memeliharanya tidak dapat
mengelak dari binatang tersebut, maka ia sama seperti kucing. Yang dimaksudkan
dengan ungkapan, "Ia adalah najis," dalam hadits Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai keledai dalam peperangan Khaibar
ialah haram dimakan.
Kelima, air
sisa minuman anjing, babi dan yang lahir dari keduanya atau salah satu darinya
adalah najis. Ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam mengenai anjing, “Apabila anjing menjilat mangkuk, maka
basuhlah ia tujuh kali dan yang pertama dicampur dengan debu.” Riwayat Imam
Muslim, Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan, “Yang pertama atau yang akhir
dengan air debu.” Dan dalam riwayat Abu Dawud, “Yang ketujuh dengan air
debu.”
Babi sama seperti dengan anjing, karena ia lebih buruk dari anjing.
Hukum anak dari kedua binatang tersebut juga sama dengan hukum induknya, karena
ia mengikuti induknya dalam hal kenajisannya.
Pendapat Madzhab ini lebih rajih. Adapun pendapat ulama Maliki yang
mengatakan bahwa menyucikan mangkuk yang dijilat oleh anjing adalah ibadah,
tidak dapat dipahami, karena hukum asal adalah menetapkan wajibnya membasuh
najis. Hal ini berdasarkan kepada semua jenis basuhan. Jika perintah membasuh
itu ibadah, niscaya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
akan memerintahkan supaya mencurahkan air (membasuh), dan tidak akan dikhususkan
membasuh mangkuk yang dijilat saja. Karena, lafal itu umum kepada semua bagian
mangkuk.
b. Hukum Telaga
Pembahasan mengenai telaga yang terkena najis
adalah menyerupai pembahasan mengenai air yang bercampur dengan benda najis,
dan menurut pendapat jumhur ulama tidak ada perbedaan di antara dua perkara
itu. Tetapi, ulama Hanafi membedakan di antara kedua-duanya di dalam beberapa
kondisi.
Menurut pendapat ulama Maliki (Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 35), apabila binatang yang najis jatuh ke dalam telaga
dan menyebabkan airnya berubah, maka airnya wajib dibuang semua. Jika airnya
tidak berubah, maka disunnahkan membuang sekadar binatang yang jatuh dan air
yang terkena olehnya.
Menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali (Al-Majmu’
jilid 1 halaman 178-184; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 21-24; Al-Mughni
jilid ` halaman 39-41), air yang tergenang dan yang mengalir sama saja dari
segi perbedaan sedikit dan banyaknya. Air yang kurang dari dua kulah menjadi
najis apabila terkena najis yang berpengaruh (mu'atstsirah) meskipun
tidak ada perubahan. Air yang banyak, yaitu yang mencapai ukuran dua kulah atau
lebih tidak menjadi najis, apabila terkena najis yang beku atau cair selagi
tidak ada perubahan. Tetapi jika terjadi perubahan, maka ia menjadi najis.
Berdasarkan hukum itu, maka ulama Syafi'i
berkata, apabila hendak menyucikan air yang najis hendaklah dilihat dulu. Jika najisnya
itu disebabkan perubahan dan air itu lebih dari dua kulah, maka ia menjadi suci
apabila perubahan itu hilang dengan sendirinya, atau dengan cara menambah air
yang lain, atau dengan mengambil sebagiannya. Karena, najis yang timbul akibat
berubahnya air itu sudah hilang. Menurut pendapat ulama Hambali, kolam yang
menampung banyak air tidak menjadi najis karena kemasukan sesuatu yang najis
selagi tidak ada perubahan (warna, bau, dan rasa). Jika najis itu menyebabkan terjadi
perubahan air; seperti air kencing manusia atau tahinya yang cair; maka
hendaklah air itu dibuang, dan mereka tidak menetapkan kadar tertentu air yang
dibuang.
Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu
dengan sanad yang shahih bahwa dia ditanya mengenai anak-anak yang kencing di
dalam telaga. Imam Ali memerintahkan supaya membuang air itu. Begitu juga
riwayat yang bersumber dari Al-Hasan Al-Bashri.lmam Ahmad ditanya mengenai telaga
yang dikencingi oleh orang, beliau berkata, "Hendaklah airnya dibuang
sehingga
hilang najisnya." Aku bertanya, "Berapa
kadarnya?" Dia berkata, "Mereka tidak menetapkan kadarnya."
Maksudnya, dibuang semua air telaga sebagaimana pendapat ulama Maliki.
Ulama Hanafi (Tabyinul Haqa'iq, jilid 1,
halaman 28 - 30; Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar, jilid l, halaman
194 dan seterusnya; Fathul Qadir jilid l, halaman 68 dan seterusnya; Muraqi
Al-Falah, halaman 5 dan seterusnya; Al-Lubab Syarhul Kitab, jilid l,
halaman 30 - 33) sependapat dengan jumhur bahwa air yang banyak (yaitu sebanyak
10x10 hasta) yaitu ukuran air yang banyak sekadar panjangnya sepuluh hasta dan
lebarnya sepuluh hasta tidak menjadi najis kecuali apabila ditemukan bekas
najis pada air tersebut. Adapun air yang sedikit, maka ia menjadi najis meskipun
tidak ada perubahan pada sifatnya. Mereka juga menetapkan kadar tertentu bagi air
telaga yang harus dibuang berdasarkan istihsan, yaitu sebagai berikut.
(i) Jika Manusia atau Binatang yang jatuh ke dalam Telaga
itu Masih Hidup
Telaga tidak menjadi najis karena ada manusia
atau binatang yang halal dimakan dagingnya jatuh ke dalamnya, apabila ia keluar
dari air itu dalam keadaan hidup dan tidak terdapat najis apa pun pada
badannya. Tetapi jika terdapat najis pada badannya, maka air telaga itu menjadi
najis karena terkena najis itu.
Telaga menjadi najis apabila ada babi jatuh ke
dalamnya atau air liur anjing masuk ke dalamnya. Air liur binatang-binatang lainnya
yang tidak boleh dimakan dagingnya seperti air liur bighal, keledai, burung
yang makan dengan cara menyambar dan binatang liar yang jatuh ke dalam air maka
hukum air tersebut disesuaikan menurut hukum binatang itu dari segi suci,
makruh, atau najisnya; maka wajib membuang air bila yang masuk termasuk hewan
yang najis atau yang diragui
hukumnya, dan sunnah membuang airnya jika hewan itu
makruh. Adapun kadar yang dibuang adalah sebanyak beberapa timba. Yang termasuk
binatang yang najis ialah binatang buas seperti singa dan serigala, dan
binatang yang makruh ialah burung yang makan dengan cara menyambar seperti
burung elang, dan yang diragui ialah seperti bighal dan keledai.
Menurut pendapat ulama Hambali (Al-Mughni jilid
1 halaman 52), apabila tikus atau kucing dan seumpamanya jatuh ke dalam benda
cair atau masuk ke air yang sedikit kemudian ia keluar dalam keadaan hidup,
maka benda cair dan air itu adalah suci.
(ii) Manusia atau Binatang Mati di dalam Telaga
Pertama, menurut pendapat ulama Hanafi, jika seseorang mati di dalam telaga, maka
air telaga itu menjadi najis. Hal ini berdasarkan keputusan fatwa Ibnu Abbas
dan Ibnuz Zubair kepada
para sahabat supaya membuang air telaga Zamzam setelah
ada orang hitam mati di dalamnya (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 129).
Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat ulama madzhab-madzhab lain (Al-Mughni
jilid 1 halaman 46) yang mengatakan bahwa air telaga yang kemasukan orang
mati adalah suci, sekalipun orang yang mati itu adalah kafir. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang
mukmin tidak najis.” Riwayat Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan At-Tirmidzi
dari Huzaifah Ibnul Yaman dengan ungkapan, “Orang Islam tidak najis.” Dan
menurut Ibnu Abbas, “Orang Islam tidak najis baik semasa hidup atau mati.”
Kedua, jika binatang
darat seperti biri-biri, anjing, ayam, kucing, dan tikus mati di dalam telaga,
maka air telaga itu menjadi najis.
Ketiga, air telaga tidak menjadi najis karena kejatuhan binatang yang tidak
mengalir darahnya dan mati di dalamnya seperti lalat, lipas, kumbang, kepinding
dan kalajengking, atau karena terkena binatang air yang mati di dalamnya
seperti ikan, katak, buaya, udang, anjing laut, dan babi laut. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Apabila
ada lalat iatuh ke dalam minumanmu, maka tenggelamkanlah, kemudian buanglah.
Karena, sebelah sayapnya ada penyakit dan sebelahnya yang satu ada obat."
Imam Al-Bukhari, dan riwayat Abu Dawud juga meriwayatkan, "Karena ia
menyelamatkannya dengan sayapnya yang mengandung obat.” Riwayat Imam Ahmad,
Al-Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 1 halaman 55)
Dan juga sabda Rasulullah, "Wahai
Salman, semua makanan dan minuman yang keiatuhan binatang yang tidak berdarah
dan mati di dalamnya, maka air itu holal dimakan dan diminum dan juga boleh
berwudhu dengannya.”
(iii) Benda Najis jatuh ke dalam Air
Pertama, telaga kecil menjadi najis karena kejatuhan najis, meskipun najis itu sedikit
seperti setitik darah, setitik arah kencing, atau tahi. Dan hendaklah semua air
telaga itu dibuang semua setelah najisnya dibuang dan hendaknya juga menyucikan
telaga, penciduk, tali, timba, dan tangan orang yang menciduk air.
Kedua, telaga tidak
menjadi najis kejatuhan tahi unta, kambing, kuda, bighal, keledai, dan lembu,
kecuali jika tahi itu kelihatan banyak atau jika timba yang digunakan untuk
menciduk air penuh dengan tahi itu. Adapun batasan sedikit adalah yang menurut
pandangan orang sedikit. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas'ud, “Saya
memberi dua buah batu dan satu tahi (kuda, bighal, atau keledai). Lalu beliau mengambil
batu dan membuang tahi, dan berkata, 'la adalah najis." Riwayat Ahmad,
Al-Bukhari, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Ibnu Mas’ud (Nailul Authar jilid
1 halaman 98)
Telaga tidak menjadi najis karena kejatuhan tahi
merpati dan burung yang halal dagingnya, selain ayam, angsa, dan itik. Hal ini
berdasarkan istihsan dan juga karena Ibnu Mas'ud mengusap tahi merpati
dengan jarinya.
Menurut pendapat yang paling ashah, telaga tidak
menjadi najis karena tahi burung yang tidak halal dagingnya, seperti burung yang
makan dengan cara menyambar; karena sulit untuk mengelakkan telaga dari tahi
burung semacam itu.
Menurut pendapat ulama Syafi'i, tahi semua binatang
adalah najis karena ia memang najis. Menurut pendapat ulama Maliki dan Hambali
(Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 33), tahi dan kencing binatang yang
halal dagingnya adalah suci dan tahi serta kencing binatang yang haram
dagingnya adalah najis.
Kadar Air yang Wajib Dibuang
Pertama, semua air telaga atau sebanyak 200 timba wajib dibuang jika memang tidak
dapat
dibuang semuanya. Hal ini apabila telaga itu kejatuhan
orang yang mati, atau binatang besar yang mati seperti bighal, keledai, anjing,
atau biri-biri, atau apabila binatang itu bengkak di dalam telaga, baik
binatang itu kecil atau besar, atau ada tikus yang lari dari kucing atau yang
sedang terluka kemudian jatuh ke dalam telaga, meskipun ia keluar dari telaga
dalam keadaan masih hidup, atau ada kucing yang lari dari anjing atau sedang
luka kemudian jatuh ke dalam telaga. Karena, dalam keadaan seperti itu biasanya
tikus dan kucing akan kencing, dan kencing serta darah (akibat luka) adalah
najis yang cair.
Kedua, air telaga
sebanyak antara 40 timba hingga 60 timba hendaklah dibuang, jika kejatuhan binatang
yang ukurannya sederhana seperti merpati, ayam dan kucing hutan. Menurut pendapat
azdhar seperti yang disebutkan dalam kitab Al-Jami'ush Shaghir
ialah sebanyak 40 atau 50 timba. Dan jika yang jatuh adalah dua ekor binatang
tersebut, maka hendaklah yang dibuang adalah semua air telaga itu. Yang wajib
40 timba dan yang sunnah adalah 50 timba.
Ketiga, hendaklah air telaga sebanyak 20 timba atau 30 timba -menurut ukuran besar kecilnya
timba- dibuang, apabila kejatuhan binatang kecil seperti burung, tikus, dan
cicak yang mati di dalamnya. Keterangan ini adalah yang didapat dalam Kitab Al-Hidayah,
dan yang berada di dalam kitab karangan Al-Qadari. Semuanya mengikut ukuran
besar kecil binatang. Yang wajib adalah 20 timba, dan yang sunnah adalah 30
timba yaitu jika binatang yang jatuh itu besar dan telaga juga besar, maka yang
sunnah 10 timba (dari jumlah 30 timba). Jika binatang yang jatuh itu kecil dan
telaga juga kecil, maka yang sunnah ialah kurang dari 10 timba. Jika salah satu
(binatang atau telaga) kecil dan satu lagi besar, maka yang sunnah ialah lima
timba, dan yang lima lagi hukumnya di bawah sunnah.
Diriwayatkan dari Anas bahwa dia berkata, jika
tikus mati di dalam telaga dan dibuang pada waktu itu juga, maka hendaklah air
telaga itu dibuang sebanyak dua puluh timba. Riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudri,
menceritakan bahwa dia berkata jika ayam mati di dalam telaga, maka hendaklah
air telaga itu dibuang sebanyak 40 timba (lihat kedua hadis di dalam Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 128).
Ukuran Timba
Ukuran timba yang diakui dalam masalah ini
adalah timba yang khusus untuk telaga. Jika telaga itu tidak mempunyai timba
khusus, maka ukurannya ialah yang dapat memuatkan ukuran segantang (sha'),
yaitu kurang lebih 2'/, kg atau 2,75 liter. Jika ukuran timba itu tidak seperti
ukuran yang disebut, umpamanya ia lebih kecil atau lebih besar, maka hendaklah dihitung.
Oleh sebab itu jika kadar air yang wajib dibuang itu dapat diangkat dengan satu
timba yang besar, maka ia sudah memadai menurut pendapat yang zahir dalam
Madzhab Hanafi, karena dengan satu timba itu maksud sudah tercapai.
Adalah dianggap cukup jika yang dibuang adalah
air sepenuh timba. Begitu juga dianggap
cukup bila yang dibuang adalah semua air yang ada dalam
telaga, meskipun ia tidak sampai ukuran yang wajib dibuang.
Adalah cukup menyucikan telaga dengan cara
membuka lubang keluar atau mengeduk lubang keluar supaya sebagian air keluar.
Jika terdapat binatang mati di dalam air, maka ia dihukumi telah mati sehari
semalam jika memang binatang itu belum bengkak, dan ia dihukumi sudah mati tiga
hari tiga malam jika binatang itu sudah bengkak. Oleh sebab itu, shalat yang
dilakukan dalam masa itu wajib diulangi jika memang dia telah berwudhu dengan air
telaga itu untuk mengangkat hadats, dan hendaklah pakaian dan benda-benda lain yang
terkena air telaga itu disucikan lagi.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########