BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Para pakar ushul fiqih bersepakat bahwa orang yang melakukan penelitian dalam masalah-masalah logika murni dan masalah-masalah ushuliyah, wajib mencari satu kebenaran, karena dalam masalah-masalah tersebut kebenaran hanyalah satu bukannya banyak. Orang yang benar dalam masalah-masalah tersebut juga satu. Kalau tidak demikian, maka akan terjadi pertentangan yang saling menafikan. Barangsiapa memperoleh kebenaran, maka dia mencapai kesuksesan. Tetapi bagi orang yang melakukan kesalahan, maka dia telah melakukan dosa. Dosa banyak jenisnya; kesalahan yang berhubungan dengan masalah keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya menyebabkan kekafiran atau bid'ah yang fasik. Sebab, orang yang melakukan kesalahan tersebut berpaling dari kebenaran seperti pendapat yang menafikan melihat Allah di akhirat nanti, dan pendapat yang menetapkan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk (Al-Mustashfa, jilid 2, halaman 105; Al-Ihkam lil-Amidi, jilid 3, halaman 146; Syarh Al-Muhalla 'ala Jam' Al-Jawami, jilid 2, hlm. 318; Syarh Al-Adhud 'ala Mukhtashar lbn Al-Hajib, jilid 2, halaman.293; Musallam Ats-Tsubut, jilid 2, halaman 328; Kasyf Al-Asrar jilid 4 ,halaman 1137; At-Talwih jilid 2 halaman 118; Al-Milal wa An-Nihal jilid 1 halaman 201; Irsyad Al-Fuhul halaman 228).
Masalah logika murni (Al-Qadhaya Al-Aqliyyah) adalah masalah yang dapat ditemukan oleh orang yang berpikir dengan modal logika, sebelum datang ketetapan syara' seperti ketetapan bahwa Tuhan pencipta itu ada, sifat-sifat-Nya, diutusnya para rasul, mukjizat, baru munculnya alam, dan lain-lain. Contoh masalah ushuliyyah adalah ketetapan bahwa ijma, qiyas, dan khabar ahad adalah hujjah, karena dalilnya kuat dan orang yang tidak mengakuinya dianggap sebagai orang yang salah dan berdosa.
Masalah-masalah aksioma dalam ajaran agama disamakan dengan masalah di atas, seperti masalah kewajiban shalat lima waktu, zakat, haji, puasa Ramadhan, haramnya perzinaan, pembunuhan, mencuri, minum arak dan perkara-perkara lain yang diketahui secara pasti sebagai aiaran agama.
Tidak semua muitahid sampai kepada kebenaran dalam masalah-masalah di atas. Namun kebenaran hanyalah satu, yaitu yang diketahui bersama oleh umum. Orang yang sesuai dengan kebenaran, maka dia orang yang benar. Sedangkan orang yang berbeda dengan kebenaran, maka dia salah dan berdosa.
Masalah fiqhiyyah zhanniyyah (hukum-hukum fiqih yang tidak mempunyai dalil yang qath'i) adalah masalah-masalah yang menjadi objek ijtihad. Orang yang berijtihad dalam masalah ini tidak akan berdosa. Namun, para pakar ushul fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah semua mujtahid dihukumi benar atau mujtahid yang benar hanya satu.
Penyebab terjadinya perbedaan pendapat ini adalah, karena ada pertanyaan apakah Allah telah menetapkan satu hukum tertentu bagi setiap masalah sebelum mujtahid melakukan aktivitas ijtihadnya, atau masalah tersebut tidak mempunyai hukum tertentu, melainkan hukum sesuatu tersebut adalah hukum yang berhasil ditemui oleh seorang mujtahid dalam aktivitas ijtihadnya.
Imam Al-Asy'ari, Al-Ghazali, dan Al-Qadhi al-Baqilani berkata, "Tidak ada hukum Allah
sebelum ijtihadnya seorang mujtahid. Hukum Allah adalah hukum yang berhasil ditemui oleh seorang mujtahid melalui aktivitas ijtihadnya. Sehingga, hukum berdasarkan dugaan kuat (zhann), dan hukum yang diduga kuat oleh seorang mujtahid itulah hukum Allah. Sehingga, setiap mujtahid adalah benar karena dia telah melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Jumhur ulama dan juga madzhab Syi'ah (Al-Luma' lisy-Syairazi, halaman 7l; Al-Mustashfa jilid 2, halaman 106 dan setelahnya; Al-lhkam lil-Amidi, jilid 3, halaman 138 dan setelahnya; Syarh Al-lsnawi, jilid 3, halaman 251; Syarh al-Muhalla 'alaa Jam' Al-Jawami', jilid 2, halaman 318; Syarh al-Adhud 'ala Mukhtashar al-Muntaha, jilid 2, halaman 293: At-Taqrir wat-Tahbir jilid.3, halaman 306; Fawatih Ar-Rahamut Syarh Musallam Ats-Tsubut, jilid 2, halaman 376 dan setelahnya; Kasyf Al-Asrar, jilid 4, halaman 1138; At-Talwih 'ala At-Taudhih, jilid 2, halaman 118; Irsyad Al-Fuhul halaman 230; Al-Milal wan-Nihal lisy-Syahrastani, jilid 2, halaman 203) mengatakan bahwa Allah menetapkan satu hukum tertentu bagi setiap permasalahan sebelum ada aktivitas ijtihad. Barangsiapa sesuai dengan ketetapan Allah tersebut, maka dia adalah orang yang benar. Adapun yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah, maka dia salah. Orang yang benar hanya satu, dan dia mendapat dua pahala, sedangkan selainnya adalah salah dan mendapatkan satu pahala.
Selain itu, para fuqaha dan mutakallimun juga berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan Allah tersebut tidak mempunyai petunjuk (dalil) dan tanda yang dapat mengantar seseorang menemui ketetapan hukum tersebut. Hukum laksana benda yang terkubur dan didapatkan secara tidak sengaja oleh orang yang mencarinya. Ini adalah pendapat yang tidak logis. Bagaimana mungkin Allah menuntut hamba-hamba-Nya melaksanakan hukum yang tidak ada petunjuknya?
Sedangkan sebagian besar ulama mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah membuat petunjuk
(dalil yang tarafnya zhanni) bagi hukum yang ditetapkan-Nya. Seorang mujtahid tidak dituntut untuk selalu sampai kepada dalil tersebut, karena memang dalil tersebut samar. Barangsiapa tidak dapat sampai kepada dalil tersebut, maka dia dimaafkan dan tetap mendapat pahala. Ini adalah pendapat yang shahih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Apabila seorang hakim menetapkan hukuman dan berijtihad kemudian ijtihadnya itu betul, maka dia mendapatkan dua pahala. Apabila dia menetapkan hukuman dan berijtihad namun salah, maka dia mendopatkan satu pahala!

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)