BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

NIAT DAN PENDORONG DALAM IBADAH, AKAD, FASKH DAN JUGA NIAT MENINGGALKAN PERKARA YANG DILARANG OLEH AGAMA (AT-TURUK)

Pada bab ini kita akan membahas niat yang dibenarkan oleh agama (al-qashdu atau al-iradah) dan juga niat yang tidak dibenarkan oleh agama (al-ba'its as-sayyi'). Perkara-perkara yang dibahas meliputi hukum, cara niat dalam bidang ibadah (seperti bersuci, puasa, zakat, haji dan lain-lain), muamalah (seperti akad jual beli, akad nikah, hibah, kafalah, hiwalah, dan lain-lain), faskh (seperti talak untuk mengakhiri ikatan pernikahan) dan mengenai niat at-turuk (perkara-perkara yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan seperti meninggalkan kemakruhan dan keharaman, menghilangkan najis, mengembalikan benda yang di-ghashab (diapakai tanpa izin), peminjaman, memberikan hadiah, dan hal-hal lain yang tidak memerlukan niat), niat dalam perkara-perkara mubah dan adat kebiasaan seperti makan, minum, berjimak dan hal-hal lain yang serupa, yang apabila seseorang berniat dalam hal tersebut, maka dia akan mendapatkan pahala ibadah, dan niat tersebut tidak berat untuk dilakukan bahkan dapat diterima secara natural oleh jiwa, insting, dan juga dorongan pribadi.

SIGNIFIKANSI PEMBAHASAN DAN RANCANGANNYA

Syariah Islam adalah istimewa, karena bersifat komperehensif meliputi semua urusan keagamaan dan keduniaan, sistem yang mengatur kehidupan rohani dan juga kehidupan sipil. Selain itu, syariat Islam juga mengatur hak yang terbagi menjadi dua, yaitu hak yang terlaksana dengan didukung oleh institusi kehakiman (haq qadha') dan hak yang terlaksana tanpa didukung oleh institusi kehakiman (haq diyani).
Yang dimaksud dengan haq diyani adalah hak-hak yang tidak termasuk dalam wilayah kehakiman. Dalam hak-hak ini, seseorang bertanggung jawab secara langsung kepada Allah Ta’ala.   
Adapun yang dimaksud dengan haq qadha'i adalah hak-hak yang masuk dalam wilayah kehakiman. Orang yang mengaku mempunyai hak tersebut dapat melakukan proses penetapan hak di depan hakim/qadhi.
Pembagian ini mempunyai konsekunsi lain, yaitu hukum-hukum yang termasuk dalam kategori haq diyani harus dilakukan dengan berdasarkan niat dan harus sesuai dengan realitas dan kenyataan hukum yang sebenarnya. Sedangkan hukum-hukum yang termasuk kategori haq qadhat, maka harus diputuskan berdasarkan sisi lahiriahnya, tidak perlu meneliti niat dan tidak harus sesuai dengan kenyataan. Contohnya adalah apabila ada seseorang tidak sengaja mengucapkan kata talak kepada istrinya, dan dia tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka seorang qadhi akan menetapkan bahwa talak tersebut memang terjadi karena melihat sisi lahiriah kejadian dan tidak mungkin mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Namun dari sisi haq diyani, maka seorang mufti akan menetapkan bahwa talak tersebut tidak terjadi dan ketetapan ini boleh dipakai oleh seseorang dalam hubungan dia dengan Allah Ta’ala.
Hak kegamaan (haq diyani) bergantung kepada niat dan niat menjadi asas amal keagamaan.  Hak ini adalah hak yang kekal, abadi, dan tidak akan berubah. Niat inilah yang menjadi dasar ditetapkannya pahala dan hukuman dari Allah Ta’ala. Islam adalah agama, dan agama merupakan inti dari Islam. Beragama akan diakui apabila diniatkan hanya kepada Allah Ta’ala. Al-Baihaqi dan At-Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik, “Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.” Tetapi hadits ini dhaif, sebagaimana diterangkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami Ash-Shaghiir; Imam Al-Munawi berkata, “Hadits ini rnempunyai banyak jalur sanad yang dapat mengangkat kedhaifannya.”
Undang-undang positif tidak melihat sisi niat dan sisi batin, bahwa ia tidak mempertimbangkan konsep halal dan haram menurut konsep agama. Yang diperhatikan adalah sisi luar, yaitu dengan mengamati realitas kehidupan melalui interaksi yang biasa terjadi, dan mengaturnya dengan berpandukan kepada sistem yang berlaku di masyarakat dan negara.
Dengan diterapkannya undang-undang positif di dunia Islam, maka rasa keagamaan  umat Islam menjadi melemah, dominasi rasa beragama dan rasa diawasi oleh Tuhan dalam segala urusan baik yang dirahasiakan atau tidak, semakin berkurang. Dan juga, pertimbangan unsur takwa dalam menuntut hak dan melepaskannya semakin hilang. Ini semua menyebabkan hilangnya perhatian kepada masalah niat. Sehingga, fenomena yang berkembang di masyarakat ini mendorong kita untuk mengingatkan kembali kepada hukum dan nilai-nilai Islam. Karena, Islam mempunyai sistem yang ideal, kekal, dan dapat menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Dengan menerapkan
sistem Islam, maka perilaku yang menyimpang dan kesalahan-kesalahan juga dapat diatasi. Sistem Islam adalah standar utama dalam penilaian yang dilakukan oleh kebanyakan nurani manusia, dan juga.dasar utama penilaian Allah Ta’ala di akhirat nanti.
Di antara faktor terpenting dalam hukum Islam yang wajib dilakukan oleh orang mukallaf
adalah niat yang benar. Niat yang benar ini merupakan alat untuk menilai sebuah amal. Jika niatnya benar maka amalnya juga benar. Begitu juga sebaliknya, apabila niatnya rusak, maka amalnya juga rusak. Amalan yang dilakukan oleh orang-orang beriman tidak akan diakui oleh syara' dan juga tidak akan diberi pahala jika tidak disertai dengan niat. Hadits, "Sesungguhnya amal perbuatan adalah bergantung kepada niatnya, dan setiap seseorang akan mendapatkan (sesuatu) sesuai dengan niatnya.” yang diriwayatkan oleh sahabat Umar, merupakan salah satu hadis utama dalam ajaran Islam. Ia juga salah satu dasar-dasar agama dan banyak hukum-hukum yang ditetapkan dalam ajaran agama yang berbasis pada hadits ini. Selain itu, hadits ini dianggap sebagai separuh agama. Imam Abu Dawud berkata, “Sesungguhnya hadits ini adalah separuh ajaran Islam. Karena, adakalanya agama itu berbentuk lahiriah yaitu amal perbuatan, dan adakalanya juga berbentuk batiniah yaitu niat.”
Hadits ini juga dianggap sebagai sepertiga ilmu. Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad menegaskan bahwa di dalam hadits innamal a'maalu bin-niyaat terdapat sepertiga ilmu. Imam Al-Baihaqi dan juga yang lain berkata, "Penyebabnya adalah pekerjaan manusia adakalanya dengan hati, lisan, dan juga dengan anggota badan. Niat adalah salah satu (pekerjaan) yang dilakukan oleh salah satu dari tiga hal tersebut." Imam Asy-Syafi'i berkata, "Dalam hadits ini terkandung tujuh puluh bab pembahasan fiqih.” Oleh sebab itu, para ulama menganggap sunnah memulai sebuah kitab dengan pembahasan niat ini, dengan maksud untuk mengingatkan para penuntut ilmu supaya
membetulkan niatnya. Sehingga, dalam menuntut ilmu, melakukan kebajikan baik untuk dirinya, umatnya dan juga negaranya, adalah hanya karena Allah Ta’ala. Oleh sebab itu juga, para ulama menetapkan bahwa kaidah al-umur bi maqashidiha (segala sesuatu adalah bergantung kepada tujuannya) merupakan sepertiga ilmu.           
Sekelompok ulama mengatakan bahwa hadits innamal a'maalu bin'niyaat adalah seperempat ajaran Islam. Abu Dawud berkata, “Saya perhatikan hadits-hadits Musnad, dan saya dapati bahwa jumlahnya adalah empat ribu hadits. Kemudian saya perhatikan lagi, dan saya temukan bahwa perbincangan empat ribu hadits tersebut berkisar di antara empat hadits, yaitu hadits riwayat Nu'man bin Basyir; 'Perkara halal adalah jelas dan perkara yang haram juga jelas;' hadits Umar 'Sesungguhnya segala perbuatan adalah tergantung kepada niatnya;' hadits riwayat Abu Hurairah, 'Sesungguhnya Allah Mahasuci (thayyib) dan tidak menerima kecuali sesuatu yang suci (thoyyib) dan juga hadits 'Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak memberinya kemanfaatan.' Kemudian dia berkata, 'Setiap satu hadits dari empat hadits ini merupakan seperempat ilmu.” sebagaimana dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadza’ir karangan Imam As-Suyuthi halaman 8.
Atas dasar ini semua, maka pembahasan niat menjadi prioritas dalam agama. Dia juga menjadi dasar ilmu yang penting bagi setiap manusia. Karena dalam pembahasan niat terdapat pembahasan aturan, keterangan, dan juga peringatan. Menerangkan aturan niat akan memudahkan orang yang beribadah untuk mengetahui cara yang paling shahih dan selamat dalam mengerjakan ibadahnya. Dengan mengetahui niat, maka seseorang dapat mengetahui cara membedakan antara perkara yang halal dan haram. Begitu juga, dia akan mengetahui perkara yang menyebabkan dosa dan perkara yang menghasilkan pahala. Dia juga akan tahu batasan minimal dalam menuntut ilmu. Karena, suatu ibadah tidak akan sah jika tidak dengan niat, dan hukum setiap perbuatan seperti akad atau faskh juga tergantung kepada bentuk niat; jika niatnya dibenarkan oleh agama, maka perbuatan tersebut boleh dan shahih. Namun apabila niatnya tidak dibenarkan oleh agama, maka perbuatan tersebut rusak dan batal.
Apakah yang dipertimbangkan dalam melakukan akad; tujuan, dan sisi batiniahnya atau lafal yang diucapkan dan sisi lahiriahnya? Apakah tujuan yang jelek menyebabkan akan menjadi batal atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membahas masalah dzara'i.
Pembahasan niat ini akan mencakup beberapa pembahasan yaitu:
(1) Hakikat niat atau definisi niat;
(2) Hukum niat (kewajiban niat), dalil-dalil yang mewajibkannya, dan kaidah-kaidah syara' yang berhubungan dengannya;
(3) Tempat niat;
(4) Waktu niat;
(5) Cara niat;
(6) Ragu dalam niat, berubah niat, menggabungkan dua ibadah dengan satu niat;
(7) Tujuan niat dan faktor-faktornya;
(8) Syarat-syarat niat;
(9) Niat dalam ibadah;
(10) Niat dalam akad;
(11) Niat dalam faskh;
(12) Niat dalam perbuatan yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan (at-turuk);
(13) Niat dalam perkara-perkara mubah dan adat kebiasaan;
(14) Niat dalam perkara-perkara yang lain.
Para ahli hadits dan pakar fiqih telah banyak melakukan pembahasan masalah niat. Namun, pembahasan tersebut terpisah-pisah dalam berbagai bab dan permasalahan. Hampir tidak ditemukan kitab lengkap yang membahas masalah hukum dan bentuk niat selain Kitab Nihayatul Ahkamfi Bayani Ma li An-Niyah min Ahkam karya Ahmad Bik Al-Husaini, yang dicetak pada tahun 1320 H/1903 M oleh percetakan Al-Amiriyyah, Mesir. Namun, buku ini hanya membahas masalah niat perspektif madzhab Syafi'i saja dan hanya membahas niat dalam beberapa bab ibadah saja.
Oleh sebab itu, Syaikh Wahbah Zuhaili merasa terdorong untuk menulis permasalahan seputar niat dengan rancangan bab yang telah saya uraikan di atas, supaya para pembaca mengetahui teori niat ini secara lebih menyeluruh, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ahwal asy-syakhshiyyah, at-turuk, dan juga niat dalam perkara-perkara mubah. Hanya Allah-lah Dzat Yang memberi pertolongan kepada jalan yang lurus.

1. HAKIKAT NIAT ATAU DEFINISI NIAT

Kata (النية) dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya (dalam Kitab Al-Majmu’, Imam An-Nawawi jilid 1 halaman 360; Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadza’ir halaman 24). Al-Azhari mengatakan bahwa kalimat (نواك الله) artinya adalah 'semoga Allah menjagamu.' Orang Arab juga sering berkata (نواك الله) dengan maksud 'semoga Allah menemanimu dalam perjalanan dan menjagamu.' Dengan kata Iain (النية) berarti kehendak atau (القصد), yaitu yakinnya hati untuk melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa ada keraguan. Sehingga (النية) menginginkan sesuatu (إرادة الفعل) adalah sinonim. Kedua kata tersebut sama-sama digunakan untuk menunjukkan pekerjaan yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi.
Sebagian pakar bahasa membedakan arti antara kata (النية) dengan kata (العزم). Kata (النية) digunakan untuk menunjukkan keinginan yang berhubungan dengan perbuatan yang sedang dilakukan, sedangkan kata (العزم) digunakan untuk menunjukkan keinginan yang berhubungan dengan perbuatan yang akan dilakukan. Tetapi, pembedaan makna ini ditentang oleh para ulama, karena dalam kitab-kitab yang.membahas bahasa (kutub al-lughah) kata (النية) seringkali hanya diartikan dengan (العزم).
Adapun menurut istilah syara' (النية) adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Niat juga dapat diartikan dengan keinginan yang berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Atas dasar ini, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berakal, dalam keadaan sadar dan atas inisiatif sendiri, pasti disertai dengan niat baik perbuatan tersebut berkenaan dengan ibadah maupun adat kebiasaan. Perbuatan yang dilakukan oleh orang mukallaf tersebut merupakan objek yang menjadi sasaran hukum-hukum syara' seperti wajib, haram, nadb, sunnah, makruh, dan mubah.
Adapun perbuatan yang tidak disertai dengan niat, maka dianggap perbuatan orang yang lalai, tidak diakui, dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syara'. Apabila satu perbuatan dilakukan oleh orang yang tidak berakal dan tidak dalam keadaan sadar seperti dilakukan oleh orang gila, orang yang lupa, orang yang tidak sengaja, atau orang yang dipaksa, maka perbuatan tersebut tidak diakui dan tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum syara' yang telah disebut di atas. Karena, perbuatan tersebut tidak disertai dengan niat, dan perbuatan tersebut tidak diakui oleh
syara' dan tidak ada kaitannya dengan tuntutan (thalab) atau tawaran untuk memilih (takhyir).
Apabila perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan seperti makan, minum, berdiri, duduk, berbaring berjalan, tidur; dan sebagainya yang dilakukan oleh orang berakal, dalam keadaan sadar dan tanpa niat, maka perbuatan tersebut dihukumi boleh, jika tidak dibarengi dengan perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan. Dan juga, perbuatan tersebut diakui/dinilai oleh syara'.
Mungkin ada yang bertanya mengapa wudhunya orang yang lupa menjadi batal; orang gila atau anak kecil diwajibkan mengganti benda-benda yang dia rusak, dan mengapa orang yang tidak sengaja melakukan pembunuhan, memotong anggota badan orang lain, menghilangkan fungsi pendengaran dan penglihatan, menampar atau menyebabkan bergesernya sendi tulang diwajibkan membayar denda (diyat)? Ketiga kasus ini tidak ada hubungannya dengan hukum syara', melainkan ia berhubungan dengan hukum natural (al-hukm al-wadh’i), yaitu hukum-hukum yang berupa sebab, syarat, penghalang, atau hukum shahih, fasid.,'azimah, atau rukhshah. Sehingga, merusak harta orang lain menjadi sebab wajibnya mengganti kerusakan tersebut, baik yang melakukan kerusakan itu anak kecil maupun orang dewasa, orang berakal maupun orang gila.
Apabila kita perhatikan lagi, maka kita dapati bahwa makna niat dalam puasa adalah keinginan secara umum (al-iradah al-kulliyyah), dan hal ini merupakan makna niat secara umum. Sehingga, niat puasa dari malam hari tetap dianggap sah, dan niat puasa tidak disyaratkan harus berbarengan dengan awal memulai puasa, yaitu sewaktu menyingsingnya fajar. Sehingga kalau seandainya ada orang yang niat pada malam hari kemudian makan lalu puasa, maka sah puasanya. Adapun selain puasa, yaitu ibadah-ibadah yang menuntut niat, harus dibarengkan dengan awal perbuatan supaya sah, Maka dalam melakukan niat tersebut, seseorang harus melakukannya dengan nyata (tahqiqan), yaitu memunculkan keinginan berbarengan dengan awal perbuatan. Inilah yang dimaksud dengan niat sebagai rukun ibadah seperti wudhu, mandi wajib, tayamum, shalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana pendapat ulama-ulama madzhab Syafi'i.
Begitu juga dengan niat-niat akad dan faskh yang berbentuk ungkapan majaz (kinayah), niat dalam akad seperti itu harus nyata (tahqiq), yaitu munculnya niat harus berbarengan dengan lafal akad yang berbentuk kinayah, atau berbarengan dengan penulisan atau berbarengan dengan isyarat orang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang mengetahuinya. Begitu iuga dalam masalah pengecualian (al-istitsna) dalam ikrar dan talak syarat (ta'liq) talak dengan menggunakan kalimat "insya Allah," maka niatnya harus berbentuk niat yang nyata-nyata (tahqiq) muncul di hati sebelum selesai mengucapkan kata yang dikecualikan.
Kesimpulan dalam pembahasan hakikat niat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali. Ketahuilah, sesungguhnya niat menurut arti bahasa adalah satu bentuk dari keinginan. Meskipun ada yang membedakan antara kata iradah, qashd, niyah, dan 'azam, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya. Menurut ulama niat mempunyai dua makna. Pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti untuk membedakan shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, untuk membedakan antara puasa Ramadhan dengan puasa yang lain, atau untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan seperti untuk membedakan antara mandi wajib dengan mandi untuk menyegarkan atau membersihkan badan. Makna niat seperti ini adalah yang paling banyak dijumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Kedua, untuk membedakan tujuan melakukan suatu amalan, apakah tujuannya adalah karena Allah saja atau karena Allah dan juga lain-Nya. Ini adalah maksud niat yang dibincangkan oleh para al-Arifun (ahli ma'rifat) dalam kitab yang membahas masalah ikhlas. Makna ini juga yang banyak dijumpai dalam ucapan ulama-ulama salaf. Imam Abu Bakar bin Abid Dunya mengarang sebuah kitab dengan judul Kitab Al-lkhlaash wan-Niyah, dan yang dimaksud dengan An-Niyah dalam kitab tersebut adalah niat dengan makna yang kedua ini. Makna kedua ini juga yang berulangkali dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda-sabdanya. Kadang-kadang beliau menggunakan kata (النية), (الإرادة) dan kadang menggunakan kata yang sdmakna. Makna yang kedua ini juga banyak disebut oleh Al-Qur'an tetapi tidak menggunakan kata (النية), melainkan menggunakan kata-kata lain yang mempunyai makna hampir sama.
Ulama yang membedakan antara kata an-niyah, al-iradah, al-qashdu dan lain-lain lagi bermaksud mengkhususkan kata an-niyah untuk menunjukkan makna yang pertama yang biasa dipakai oleh ulama fiqih. Namun, ada juga ulama yang mengatakan bahwa an-niyah adalah khusus untuk yang dilakukan oleh orang yang berniat sedangkan kata al-iradah lebih umum dan tidak dikhususkan untuk apa yang dilakukan oleh orang yang berniat saja. Contohnya adalah "manusia ingin (yuridu) Allah mengampuni dosanya,” untuk mengungkapkan kalimat ini tidak digunakan kata an-niyah. Sebagaimana sudah Syaikh Wahbah Zuhaili terangkan bahwa kata an-niyah dalam sabda Rasul dan ucapan-ucapan ulama salaf menunjukkan kepada arti yang kedua. Sehingga, ia juga mempunyai arti al-iradah. Oleh sebab itu, dalam Al-Qur'an kata al -iradah sering digunakan.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)