BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Ibadah memerlukan niat untuk melaksanakannya yang dapat membedakannya dari amalan yang lain, baik amalan lain itu berupa ibadah yang satu bentuk dengannya atau satu jenis atau bukan ibadah (adat kebiasaan). Hal ini karena maksud dari niat dalam ibadah adalah untuk membedakannya dari adat kebiasaan, atau untuk membedakan antara satu tingkatan ibadah dengan yang lainnya.
Contohnya adalah, amalan wudhu akan menjadi ibadah jika memang orang yang melakukan bermaksud menjadikannya sebagai penyambung bagi pelaksanaan ibadah seperti shalat, thawaf, dan lain-lain yang memang pelaksanaannya harus dengan wudhu. Amalan wudhu tanpa niat ibadah akan menjadi amalan adat kebiasasan seperti membersihkan anggota badan, mencari kesejukan, dan lain-lain. Apabila dalam melakukan wudhu seseorang berniat supaya dengan wudhunya itu dia boleh melakukan shalat, atau berniat fardhu mandi, maka sahlah wudhu orang tersebut.
Amalan shalat -meskipun ia tidak menyerupai jenis amalan adat kebiasaan, melainkan ia adalah ibadah yang murni (mahdhah)- namun shalat ada banyak jenisnya. Shalat dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis; shalat fardhu dan shalat sunnah. Shalat fardhu dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk; fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Contoh shalat fardhu 'ain adalah shalat wajib lima waktu, sedangkan contoh shalat fardhu kifayah adalah salah jenazah.
Sementara itu, shalat sunnah dapat dikelompokkan kepada dua macam; shalat Sunnah yang mengikuti shalat fardhu -seperti shalat Witir, shalat Ied, shalat gerhana matahari, shalat gerhana rembulan, shalat Istisqa', shalat tarawih- dan shalat sunnah mutlak.
Shalat fardhu wajib dilakukan dengan niat, yaitu niat melakukannya dengan menyebut nama shalat tersebut secara tepat supaya dia dapat dibedakan dari shalat-shalat fardhu yang lain. Dalam niat shalat fardhu juga harus disebut kefardhuannya, supaya dia dapat dibedakan dari shalat-shalat sunnah. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa penyebutan kefardhuan dalam niat shalat fardhu tidak disyaratkan, cukup dengan menyebutkan nama shalat tersebut secara tepat. Karena, memang nama shalat yang disebut itu adalah shalat fardhu.
Melakukan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah mu'akkadah (bukan shalat Sunnah mutlak) juga harus dengan niat yaitu niat melakukannya dan menentukan secara pasti jenisnya seperti shalat sunnah yang mengikuti shalat fardhu Zhuhur, atau shalat Idul Fitri, atau shalat Kusuf, dan lain-lain. Shalat sunnah mutlak cukup hanya dengan niat melakukannya, supaya dia berbeda dengan shalat-shalat yang lain. Karena, memang shalat sunnah mutlak ini tidak ada ketentuan waktu dan sebabnya.
Memberi harta kepada orang lain tanpa harga atau kembalian adalah bentuk amalan yang masih umum. Ia dapat dikatakan zakat, sedekah sunnah, hadiah, atau hibah. Oleh sebab itu, selain harus menyatakan niat memberi, juga harus ditambahi dengan penentuan (ta'yin) menggunakan sifat syar'i seperti zakat -misalnya- supaya ia dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan memberi harta selain zakat. Dalam niat zakat tidak perlu menegaskan kefardhuannya, karena lafal zakat dalam istilah syara' digunakan untuk amalan wajib.
Menahan diri tidak makan, minum, dan semacamnya, adakalanya dilakukan karena puasa, dan adakalanya untuk menjaga diri dan pengobatan. Oleh sebab itu, niat menahan diri (al-imsak) dalam puasa harus disertai dengan penyebutan kata shiyam/shaum supaya dia dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang hampir serupa.
Selain itu, puasa juga ada yang fardhu dan ada juga yang sunnah sama seperti shalat. Oleh
sebab itu, selain menyatakan niat puasa, orang yang melakukan puasa juga harus menyatakan secara jelas jenis puasanya seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa kafarat sumpah, kafarat zihar; kafarat pembunuhan, kafarat jimak di tengah hari Ramadhan, atau puasa fidyah karena memakai wewangian ketika haji, dan lain-lain. Ketika niat puasa-puasa yang disebutkan tersebut, seseorang tidak perlu menyatakan kefardhuannya. Karena, puasa-puasa yang disebut memang puasa fardhu dan tidak akan serupa dengan puasa-puasa lain yang sunnah.
Pergi menuju Tanah Haram adakalanya untuk berihram, dan adakalanya juga untuk melakukan kegiatan dagang atau kebiasaan-kebiasaan lain. Oleh sebab itu, ketika niat ihram seseorang harus menyatakan dengan jelas bahwa dia memang hendak berihram untuk haji -kalau memang dalam bulan-bulan haji- atau untuk umrah, dan boleh juga orang itu niat ihram secara mutlak kemudian boleh memilih di antara haji atau umrah –kalau memang berada dalam musim haji. Kalau di luar musim haji, maka niat ihramnya itu akan menjadi ihram umrah. Menyatakan kefardhuan juga tidak disyaratkan kalau memang sebelum ini orang tersebut belum pernah haji atau umrah (Ahmad Al-Husiani, Nihayatut Ahkam fi Bayani Ma fi An-Niyah minat Ahkam, halaman 10 dan setelahnya).
Dalil bagi disyaratkannya menyatakan dengan jelas jenis ibadah yang akan dilakukan (ta'yin) adalah hadits "innamal a'maalu binniyaat”sebagaimana yang sudah diterangkan.
Pada uraian berikut ini, akan ditampilkan beberapa contoh cara niat dalam ibadah oleh Syeikh Wahbah Zuhaili:

A. NIAT WUDHU

Cara niat wudhu adalah dengan berniat menghilangkan hadats, atau berniat untuk melakukan shalat, atau niat wudhu, atau niat melaksanakan perintah Allah, atau niat supaya boleh melakukan perkara-perkara yang melakukannya memang harus dengan wudhu seperti shalat, thawal dan memegang mushaf, atau niat menghilangkan janabah, atau niat fardhu mandi, atau niat mandi wajib. Semuanya itu dilakukan sewaktu membasuh bagian pertama dari badan seperti bagian kepala atau yang lain.
Apabila wudhunya dibantu oleh orang lain, maka niat yang diakui adalah niat yang dilakukan oleh orang yang berwudhu, bukan orang yang membantunya berwudhu. Karena, orang yang wudhulah yang dituntut oleh perintah syara’. Adapun orang yang hadatsnya berterusan seperti wanita yang mengalami istihadhah, atau orang yang selalu keluar kencing dan semacamnya, maka niatnya adalah niat supaya boleh melakukan shalat, bukan niat untuk menghilangkan hadats. Karena, hadatsnya tidak mungkin hilang (Al-Bada'i, jilid 1, halaman 77; Ad-Durrul Mukhtan jilid 1, halaman 98 dan setelahnya dan 140 dan setelahnya; Al-Majmu', jilid 1, halaman 361 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj, jilid 7, halaman 47 dan 72; Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman 7 dan setelahnya dan 42 dan setelahnya; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 114 dan setelahnya, 166 dan setelahnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 94 dan setelahnya, l73 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 142, 218 dan setelahnya).

B. NIAT TAYAMUM

Menurut madzhab Hanafi, orang yang bertayamum boleh berniat dengan salah satu dari tiga niat berikut ini; [1] niat bersuci dari hadats; [2] niat supaya boleh melakukan shalat; [3] niat melaksanakan ibadah tertentu yang tidak sah jika tanpa bersuci seperti shalat, sujud tilawah, atau shalat janazah. Madzhab Hanafi juga tidak mensyaratkan menyatakan kefardhuan ketika niat tayamum. Karena, menurut mereka tayamum adalah ibadah pengantar (wasilah).
Niat tayamum menurut madzhab Maliki adalah niat supaya boleh melakukan shalat; atau niat supaya boleh melakukan ibadah yang tidak boleh dilakukan apabila ada hadats; atau niat fardhu tayamum. Semuanya itu dilakukan ketika mengusap wajah. Kalau seandainya seseorang niat menghilangkan hadats saja, maka tayamumnya tidak sah. Karena, tayamum tidak dapat menghilangkan hadats, Ini menurut pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Maliki. Kalau dia niat fardhu tayamum, maka hal itu sudah mencukupi.
Madzhab Syafi'i mengatakan bahwa niat tayamum harus dengan cara niat supaya boleh melakukan shalat atau ibadah yang semacamnya. Menurut pendapat yang ashah, niat tayamum dengan menyatakan niat fardhu tayamum; atau fardhu thaharah; atau bersuci dari hadats atau jinabah adalah tidak mencukupi, karena tayamum tidak dapat menghilangkan hadats.
Niat tayamum menurut madzhab Hambali adalah dengan cara niat supaya boleh melakukan
ibadah yang hanya boleh dilakukan jika ada tayamum seperti shalat, tawaf, memegang mushaf, sama seperti pendapat madzhab Syafi'i (Fathul Qadir jilid 1, halaman 86,89; Al-Bada'i jilid 1, halaman 25-52; Tabyinul Haqa'iq, jilid 1, halaman 38; Asy-Syarhul Kabir; jilid 1, halaman 154; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 37; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 32; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 94,; Al-Mughni, jilid 1, halaman 251; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 199).

C. NIAT MANDI
           
Niat bagi orang yang mandi wajib adalah ketika membasuh pertama kali bagian tubuh dengan menyatakan (dalam hati) niat fardhu mandi; atau niat menghilangkan jinabah atau hadats besar; atau niat supaya boleh melakukan ibadah yang yang tidak boleh dilakukan kecuali setelah mandi, seperti niat supaya boleh melakukan shalat, thawaf, atau ibadah lain yang tidak boleh dilakukan kecuali setelah mandi terlebih dulu. Kalau orang tersebut niat supaya boleh melakukan ibadah yang sebenarnya boleh dilakukan tanpa mandi terlebih dahulu seperti niat mandi untuk shalat Ied, maka mandinya tidak sah. Niat mandi wajib juga harus dilakukan berbarengan dengan perbuatan fardhu yang pertama, yaitu ketika membasuh anggota badan pertama kali, baik yang dibasuh bagian atas badan maupun bagian bawah. Karena, dalam mandi tidak diwajibkan tartib (Fathul Qadir jilid 1, halaman 38 dan setelahnya; Al-Lubab Syarh Al-Kitab, jilid 1, halaman 20; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 166 dan setelahnya; Bidayatul Mujtahid, jilid, 1, halaman 42 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 72 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 218 dan setelahnya; Kasysyaful Qina', jilid,1, halaman 173 dan setelahnya.). Madzhab Hanafi juga tidak mensyaratkan harus menyatakan kefardhuan dalam niat mandi atau wudhu, karena niat dalam mandi dan wudhu menurut mereka bukanlah syarat, melainkan sunnah untuk mendapatkan pahala.

D. NIAT SHALAT

Madzhab Hanafi mengatakan apabila orang yang melakukan shalat itu sendirian, maka ia harus menentukan dengan jelas jenis shalat fardhu atau wajib yang dilakukan. Namun jika dia melakukan shalat sunnah, maka cukup dengan niat shalat saja.
Apabila ia menjadi imam, maka wajib melakukan ta’yin sebagaimana yang telah diterangkan. Apabila imam dan makmumnya lelaki, maka imamnya tidak disyaratkan niat mengimami lelaki. Makmum sah mengikuti imam, meskipun imamnya tidak berniat mengimami mereka. Apabila imamnya lelaki dan makmumnya perempuan, maka imamnya disyaratkan niat mengimami wanita, supaya niat makmum wanita dalam mengikuti imam tersebut menjadi sah.
Adapun seorang makmum, maka dia juga wajib melakukan ta'yin sebagaimana yang telah diterangkan. Dia juga perlu menambahi niat mengikuti imam. Umpamanya adalah dengan niat melaksanakan kefardhuan waktu dan mengikuti imam dalam melakukannya, atau niat melakukan shalat yang dilakukan oleh imam, atau niat mengikuti imam dalam shalatnya.
Madzhab Maliki (Al-Bada'i', jilid 1, halaman 127 dan setelahnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1, halaman 406; Tabyinul Haqa'iq, jilid 1, halaman 99; Fathul Qadir jilid 1, halaman 185; Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 32 dan setelahnya) mengatakan menentukan dengan jelas (ta’yin), merupakan keharusan dalam shalat-shalat fardhu, shalat Sunnah yang lima (yaitu witir; Ied, Kusuf Khusuf dan Istisqa') dan shalat sunnah fajar. Adapun shalat-shalat sunnah yang lain seperti shalat dhuha, rawatib, dan tahajud, maka cukup niat shalat sunnah secara mutlak. Sehingga apabila dilakukan sebelum tergelincirnya matahari, maka shalatnya menjadi shalat dhuha, akan menjadi shalat ratib zhuhur kalau dilakukan sebelum melaksanakan shalat zhuhur atau
sesudahnya, akan menjadi shalat tahiyyatul masjid jika dilakukan ketika masuk masjid, akan menjadi shalat tahajjud apabila dilakukan pada malam hari, dan akan menjadi shalat asy-syaf' (shalat sunnah isya) apabila dilakukan sebelum shalat witir. Juga, tidak disyaratkan niat melakukan secara ada' (tunai) atau qadha' (utang shalat yang terlewat) dan juga tidak disyaratkan menentukan bilangan rakaat shalat. Melakukan shalat qadha dengan niat shalat ada' adalah sah begitu juga sebaliknya. Wajib menyatakan niat secara sendirian atau sebagai imam, namun tidak wajib menyatakan niat sebagai imam kecuali dalam shalat jumat dan shalat jamak taqdim, disebabkan hujan atau disebabkan perasaan takut. Karena, dalam shalat-shalat tersebut imam menjadi syarat bagi sahnya shalat (Asy-Syarh Al-Kabir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi, jilid 1, halaman 233, 520; Bidayah al-Mujtahid, jilid 1, halaman 1l6; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 57).
Madzhab Syafi'i (Al-Majmu', jilid 3, halaman 243-252; Mughni Al-Muhtaj, jilid 1, halaman 148, 150, 252 dan 253; Hasyiyah Al-Bajuri, jilid,1, halaman 149) menetapkan bahwa apabila shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu -meskipun fardhu kifayah seperti shalat jenazah atau shalat qadha, atau shalat i'adah atau shalat nadzar, maka yang diwajibkan dalam niat shalat-shalat tersebut ada tiga.
Pertama, niat kefardhuan shalat, yaitu dengan berniat dan bermaksud melakukan shalat fardhu, supaya ia dapat dibedakan dari shalat sunnah dan i'adah. Adapun redaksi ungkapan bagi niat kefardhuan umpamanya adalah (أؤدي الظهر فرض الوقت لله تعالى) "Saya melaksanakan shalat zhuhur yang merupakan kefardhuan waktu karena Allah Ta’ala. Kata (أؤدي) juga boleh diganti dengan asal kata (الفعل) dan (الأداء). Kedua, menyatakan kehendak (al-qashdu), yaitu kehendak melaksanakan suatu perbuatan dengan cara menyatakan kehendak melaksanakan shalat, supaya ia dapat dibedakan dari jenis perbuatan-perbuatan yang lain. Ketiga, menyatakan dengan jelas jenis shalat fardhu yang dilakukan, umpamanya shalat shubuh atau zhuhur atau yang lain, yaitu dengan
cara menyatakan keinginan melakukan shalat fardhu zhuhur umpamanya.
Niat tersebut harus dilakukan berbarengan dengan semua bagian takbiratul ihram, meskipun secara global tidak secara terperinci. Umpamanya adalah dengan menggambarkan (istihdhar.) rukun-rukun shalat dalam hati, hingga eksistensi shalat, sifat-sifat shalat yang wajib dinyatakan seperti zhuhur, fardhu dan lain-lain benar-benar hadir dalam hati, kemudian memunculkan keinginan untuk melaksanakan yang digambarkan itu sewaktu memulai takbiratul ihram dan berterusan hingga akhir takbiratul ihram. Namun, proses berbarengan antara niat dan takbiratul ihrom ini cukup dengan menggunakan standar, kebiasaan. Yaitu selagi orang tersebut dianggap sebagai orang yang menyadari shalat yang sedang dilakukannya, bukan orang yang lalai akan shalat yang dilakukannya. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang dipilih.
Cara ini menurut madzhab Syafi'i diistilahkan dengan al-istihdhar wal muqaranah al-'urfiyyain (menggambarkan shalat dalam hati dan membarengkan niat dengan takbiratul ihram menurut standar kebiasaan). Caranya adalah sebelum melakukan takbiratul ihram menggambarkan semua perbuatan shalat, baik yang ucapan maupun tindakan dari awal hingga akhir meskipun secara global –ini menurut pendapat yang mu'tamad- dan membarengkan penggambaran hati yang singkat tersebut dengan takbiratul ihram.
Kesimpulannya adalah, apabila shalat yang dilakukan itu adalah salah satu dari shalat wajib yang lima, maka wajib menyatakan tiga niat; melakukan shalat, kefardhuan, dan menentukan dengan jelas jenisnya (ta'yin). Umpamanya dengan menyatakan, (نويت أن أصلي فرض الظهر) "Saya niat melakukan shalat fardhu zhuhur". (نويت أداء فرض صلاة العصر) "Saya niat melaksanakan fardhu shalat ashar". (نويت أداء فرض صلاة المغرب) "Saya niat melaksanakan fardhu shalat ashar."
Menyatakan niat shalat dilakukan supaya ibadah dapat dibedakan dari adat kebiasaan; menyatakan zhuhur supaya dapat dibedakan dari shalat ashar; dan niat kefardhuan supaya dapat dibedakan dari shalat-shalat sunnah.
Menyatakan jumlah rakaat bukanlah suatu syarat. Begitu juga dengan menyatakan dengan jelas hari pelaksanaan shalat, jenis shalat ada' atau qadha', mengaitkannya kepada Allah Ta’ala (Ini juga pendapat madzhab Hanafi dan Maliki sebagaimana yang telah saya terangkan, dan juga pendapat madzhab Hambali; lbnu Nujaim, Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 32, 35; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 365 dan setelahnya; Ghayatul Muntaha, jilid 1, halaman 116), menyebut rukun-rukun shalat, dan juga menyatakan menghadap kiblat. Semua ini tidak disyaratkan dalam niat shalat, melainkan hanya kesunnahan saja. Sehingga, tidak wajib mengaitkan amalan shalat kepada Allah Ta’ala, karena ibadah adalah bentuk amalan yang dilakukan hanya untuk Allah, Namun, menyatakan hal tersebut adalah disunnahkan supaya arti keikhlasan benar-benar terealisasikan.
Sunnah juga niat menghadap kiblat, menyatakan jumlah rakaat, supaya terhindar dari perbedaan-perbedaan pendapat. Kalau seandainya dalam niat seseorang keliru dalam menyebut jumlah rakaat, umpamanya niat shalat zhuhur dengan menyatakan tiga atau lima rakaat, maka shalatnya tidak sah. Niat ada' dan qadha' juga disunnahkan supaya antara keduanya dapat dibedakan. Namun, pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i menyatakan bahwa shalat ada' sah dilakukan dengan niat shalat qadha'. Begitu juga sebaliknya, jika memang ada sebab atau udzur, seperti tidak tahu waktu karena mendung yang gelap atau semacamnya, kalau seandainya seseorang menyangka bahwa waktu shalat sudah terlewat, sehingga dia melakukan shalat tersebut secara qadha', dan ternyata waktunya belum terlewat, atau dia menyangka bahwa waktunya belum terlewat, sehingga dia melakukan shalatnya dengan cara ‘ada dan ternyata waktunya sudah terlewat, maka shalatnya tetap sah.
Madzhab Maliki menetapkan bahwa dalam keadaan apa pun, shalat ada' boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat qadha'. Begitu juga sebaliknya. Menurut madzhab Hambali, shalat ada' boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat qadha'. Begitu juga sebaliknya jika memang dia salah sangka dalam menetapkan waktu. Madzhab Hanafi menetapkan bahwa shalat atau haji secara ada' boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat atau haji secara qadha', begitu juga sebaliknya.
Apabila shalat yang dilakukan adalah shalat sunnah yang mempunyai waktu tertentu seperti shalat sunnah rawatib, atau shalat sunnah yang mempunyai sebab seperti shalat sunnah istisqa', maka dalam niat diwajibkan dua perkara: berkehendak melakukannya dan menyatakan dengan jelas jenis shalatnya seperti shalat sunnah zhuhur; Idul Fitri, atau Idul Adhha. Adapun niat kesunnahan tidaklah disyaratkan.
Adapun shalat sunnah mutlak (yaitu shalat sunnah yang tidak mempunyai waktu tertentu dan tidak mempunyai sebab seperti shalat sunnah tahiyyah al-masjid atau shalat Sunnah wudhu), maka cukup dengan niat melakukan shalat saja.
Imam tidak disyaratkan niat menjadi imam, melainkan hanya disunnahkan saja supaya mendapatkan keutamaan jamaah. Apabila ia tidak niat menjadi imam, maka ia tidak mendapatkan keutamaan jamaah. Karena, seseorang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang diniatkannya.          
Dalam madzhab Syafi'i, niat menjadi imam adalah syarat dalam empat shalat: [1] shalat Jumat; [2] shalat jamak taqdim karena hujan; [3] shalat i'adah yang dilakukan pada waktunya secara berjamaah; [4] shalat nadzar ber-jamaah. Semuanya ini dilakukan supaya keluar dari dosa. Begitu juga dengan madzhab Maliki, mereka menetapkan bahwa niat menjadi imam tidak wajib kecuali dalam shalat Jumat, jamak, khauf, dan istikhlaf. Karena, imam merupakan syarat dalam shalat-shalat tersebut. Sedangkan Ibnu Rusyd, menambahi dengan shalat jenazah.
Orang yang menjadi makmum disyaratkan niat menjadi makmum, yaitu dengan cara menyatakan niat mengikuti, menjadi makmum, atau berjamaah dengan imam yang hadir atau dengan orang yang ada di mihrab. Niat ini dilakukan berbarengan dengan takbiratul ihram dan harus dilakukan. Karena, mengikuti adalah satu aktivitas amal, sehingga memerlukan niat, karena yang akan diperoleh oleh seseorang adalah tergantung niatnya. Tidak cukup apabila hanya menyatakan niat mengikuti secara mutlak, tanpa dikaitkan dengan imam. Apabila seseorang mengikuti imam tapi tidak dengan niat atau dengan keraguan, maka batallah shalatnya jika memang dia lama dalam menunggu imam.
Madzhab Hambali (Al-Mughni, jilid 1, halaman 464-469, jilid 2, halaman 231; Karysyaful Qina’ jilid 1, halaman 364-370) mengatakan bahwa, apabila shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu, maka disyaratkan dua perkara: menyatakan dengan jelas jenis shalat yang dilakukan (ta'yin), apakah shalat zhuhur atau ashar atau yang lain; dan berkehendak untuk melaksanakannya. Tidak disyaratkan menyatakan niat kefardhuan umpamanya dengan menyatakan, (أصلي الظهر فرضا) "Saya shalat zhuhur secara fardhu."
Adapun shalat yang sudah terlewat, apabila orang yang melakukan tersebut menyatakan dengan jelas bahwa yang dilakukan adalah shalat zhuhur hari ini (misalnya), maka dia tidak perlu menyatakan niat qadha' atau ada’, shalat qadha' dengan menggunakan niat ada' atau sebaliknya adalah sah apabila memang sewaktu melakukannya dia salah sangka dalam menentukan waktunya.
Apabila shalatnya adalah shalat sunnah, maka diwajibkan menyatakan dengan jelas (ta'yin) jenis shalatnya, jika memang shalat tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu atau waktu-waktu tertentu seperti shalat kusuf, shalat istisqa’, tarawih, witir, shalat sunnah rawatib. Apabila shalat sunnah tersebut mutlak, maka tidak perlu menyatakan dengan jelas jenis shalatnya, seperti shalat malam. Maka, cukuplah menyatakan niat shalat, karena memang tidak ada ciri-ciri tertentu dalam shalat tersebut. Kesimpulannya dalam masalah ini madzhab Hambali sama dengan madzhab Syafi'i.


E. NIAT PUASA

Madzhab Hanafi (Maraqi Al-Falah, halaman 106 dan setelahnya; Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan Nadzair halaman 33) berpendapat bahwa untuk puasa Ramadhan dan yang semacamnya seperti puasa nadzar yang waktunya telah ditentukan, seseorang boleh berniat puasa secara mutlak, atau berniat puasa sunnah, atau berniat wajib yang lain. Mereka juga tidak mewajibkan meletakan niat puasa pada malam hari (tabyit), sebagaimana yang telah diterangkan, dan bersahur menurut mereka juga sudah dianggap sebagai niat.
Adapun menurut madzhab Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 117; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 283), niat puasa harus dijelaskan secara terperinci jenisnya (ta'yin) dan juga harus dilakukan di malam hari (tabyit).
Sedangkan kesempurnaan niat puasa Ramadhan, menurut madzhab Syafi'i (Mughni Muhtaj jilid 1 halaman 425) adalah dengan menyatakan, (نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى) "Saya niat melakukan puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah Ta’ala." Menurut pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i, menetapkan kefardhuan dalam niat puasa Ramadhan bukan merupakan kewajiban.
Madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 2 halaman 267) mengatakan bahwa barangsiapa yang dalam hatinya terbesit keinginan bahwa besok dia akan berpuasa, maka itu sudah dianggap niat. Menentukan jenis puasa secara jelas (ta'yin) dalam niat adalah wajib, yaitu dengan berkeyakinan bahwa dia besok akan melakukan puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa nadzar,atau puasa kafarat. Madzhab Hambali juga menetapkan bahwa menyatakan kefardhuan tidak wajib.
Kesimpulannya adalah, jumhur ulama selain madzhab Hanafi sepakat bahwa niat wajib dilakukan di malam hari (tabyit). Jumhur ulama selain madzhab Syafi'i juga sepakat bahwa makan dan minum dengan niat berpuasa, atau melakukan sahur sudah dianggap niat, kecuali jika ketika makan dan minum orang tersebut memang berniat untuk tidak puasa. Menurut madzhab Syafi'i, makan sahur tidak dianggap sebagai niat dalam puasa apa pun, kecuali jika ketika bersahur dalam
hati orang tersebut terbetik keinginan untuk puasa dan dia berniat untuk puasa. Umpamanya adalah, dia memang berniat puasa ketika makan sahur atau ketika fajar mulai muncul, dia tidak mau makan supaya tidak batal puasa.

F, NIAT I'TIKAF

Yang dimaksud dengan i'tikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan niat, sebagaimana yang didefinisikan oleh ulama madzhab Syafi'i. Ulama sepakat bahwa untuk beri'tikaf disyaratkan niat. I'tikaf tanpa niat tidak sah, berdasarkan hadits yang telah lalu "innamal a'maalu bin-niyaat” dan juga karena i'tikaf adalah ibadah murni (ibadah mahdhah). Sehingga, ia tidak sah jika tanpa niat seperti puasa, shalat, dan ibadah-ibadah yang lain.
Madzhab Syafi'i menambahkan, jika i'tikaf yang dilakukan adalah fardhu, maka orang yang melakukan harus menyatakan kefardhuannya ketika niat, supaya ia dapat dibedakan dari i'tikaf-i'tikaf sunnah. Madzhab Hanafi dan Maliki mensyaratkan seseorang harus dalam keadaan puasa bagi sahnya i'tikaf. Karena, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dari Aisyah, "I'tikaf tidak sah tanpa puasa." Tetapi, hadis ini dhaif. Bagi madzhab Syafi'i dan Hambali,
puasa tidak menjadi syarat bagi sahnya i'tikaf, kecuali jika memang orang tersebut bernadzar. Niat i'tikaf adalah dengan menyatakan, (نويت الاعتكاف في هذا المسجد ما دمت فيه) "Saya niat i'tikaf dalam masjid ini selagi saya berada di dalamnya." (Fathul Qadir, jilid 2, halaman 106 dan setelahnya; Ar-Raddul Mukhtar jilid2, halaman 177 dan setelahnya; Asy-Syarhush Shaghir wa Hasyiyah Ash-Shawi, jilid 1, halaman 725 dan setelahnya; Al-Muhazhzhab, jilid 1, halaman l90-192; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 453 dan setelahnya; Kasysyaful Qina’ jilid 2, halaman 406 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 2, halaman 638 dan setelahnya.)

G. NIAT ZAKAT

Para ahli fiqih bersepakat bahwa niat merupakan syarat sah bagi pelaksanaan zakat. Caranya adalah orang yang membayar zakat menyatakan "ini adalah zakat hartaku." Ketika niat tidak disyaratkan menyatakan kefardhuan zakat, karena zakat sudah pasti fardhu. Contoh niat yang lain adalah, "ini adalah kewajiban sedekah hartaku” atau "ini adalah sedekah hartaku yang wajib" atau "ini adalah sedekah yang fardhu" atau "ini adalah fardhu sedekah." Menurut madzhab Maliki,
niat yang dilakukan oleh imam (pemerintah) atau wakilnya adalah cukup sebagai pengganti niat orang yang berkewajiban zakat. Madzhab Hambali mengatakan bahwa niat sudah cukup hanya dengan berkeyakinan bahwa harta tersebut adalah zakatnya, atau zakat yang wajib dikeluarkan apabila yang wajib zakat adalah anak kecil atau orang gila. Tempat niat adalah di hati, karena tempat semua keyakinan adalah di hati (Fathul Qadir jilid 1 halaman 493; Al-Bada’i jilid 2 halaman 40; Al-Majmu’ jilid 2 halaman 40 dan setelahnya; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 666, 670; Al-Mughni jilid 2 halaman 638 dan setelahnya).

H. NIAT HAJI DAN UMRAH

Niat dalam haji dan umrah adalah sesuatu yang wajib. Niatnya adalah ihram, yaitu niat haji atau umrah atau keduanya. Misalnya adalah dengan menyatakan, "Saya niat haji (atau umrah) dan saya berihram dengan haji (atau umrah) tersebut karena Allah Ta’ala.”
Apabila dia melakukan haji atau umrah untuk orang lain, maka hendaklah ia menyatakan, "Saya niat haji (atau umrah) untuk si fulan, dan saya berihram untuk haji (atau umrah) tersebut karena Allah Ta’ala,” kemudian melantunkan talbiyah setelah selesai melaksanakan dua rakaat shalat sunnah ihram. Menurut jumhur ulama, ihram sudah dianggap cukup hanya dengan niat saja. Namun menurut madzhab Hanafi, ihram belum cukup hanya dengan niat saja, melainkan ia harus
dibarengkan dengan ucapan atau perbuatan yang khusus dilakukan dalam ihram, seperti dibarengkan dengan talbiyah atau dibarengkan dengan melepas pakaian yang tidak boleh dikenakan sewaktu ihram. Menurut madzhab Hanafi, mengucapkan niat dengan lisan adalah disunnahkan, misalnya orang yang melakukan haji ifrad mengatakan, (اللهم إني أريد الحج فيسره لي وتقبله مني) "Ya Allah, sungguh aku ingin melaksanakan haji. Maka, berilah aku kemudahan dalam menjalankannya, dan terimalah hajiku tersebut."
Sementara itu, orang yang melakukan umrah mengucapkan, (اللهم إني أريد العمرة فيسره لي وتقبله مني) “Ya Allah, sungguh aku ingin melaksanakan umrah. Maka, berilah aku kemudahan dalam menjalankannya, dan terimalah umrahku tersebut."
Adapun orang yang melakukan haji qiran, hendaklah membaca, (اللهم إني أريد العمرة والحج فيسرهما لي وتقبلهما مني) "Ya Allah, sungguh aku ingin melaksanakan haji dan umrah. Maka, berilah aku kemudahan dalam menjalankannya, dan terimalah haji dan umrahku tersebut." (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 131; Al-Bada'i jilid 2, halaman 161 dan setelahnya; Asy-Syarhush Shaghir jilid 2, halaman 16, 25; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 476 dan setelahnya; Al-Majmu’ jilid 7, halaman 226; Al-Mughni, jilid 3, halaman 281 dan setelahnya)

I. NIAT QURBAN

Menurut madzhab Syafi'i dan Hambali, niat tersebut harus dilakukan sewaktu memotong hewan qurban. Karena, pemotongan hewan merupakan jenis ibadah tersendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan niat tersebut cukup dengan hati. Dalam hal ini tidak disyaratkan melafalkan niat dengan lisan, karena niat adalah pekerjaan hati, dan ucapan lisan hanya sebagai petunjuk atas niat yang diutarakan oleh hati (Al-Bada’i jilid 5 halaman 71; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 187; Mughnil Muhtaj jilid 4 halaman 289; Kasysyaful Qina’ jilid 3 halaman 6).

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)