Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Ibadah memerlukan niat untuk melaksanakannya yang dapat
membedakannya dari amalan yang lain, baik amalan lain itu berupa ibadah yang
satu bentuk dengannya atau satu jenis atau bukan ibadah (adat kebiasaan). Hal ini
karena maksud dari niat dalam ibadah adalah untuk membedakannya dari adat
kebiasaan, atau untuk membedakan antara satu tingkatan ibadah dengan yang
lainnya.
Contohnya adalah, amalan wudhu akan menjadi ibadah jika memang
orang yang melakukan bermaksud menjadikannya sebagai penyambung bagi
pelaksanaan ibadah seperti shalat, thawaf, dan lain-lain yang memang
pelaksanaannya harus dengan wudhu. Amalan wudhu tanpa niat ibadah akan menjadi
amalan adat kebiasasan seperti membersihkan anggota badan, mencari kesejukan, dan
lain-lain. Apabila dalam melakukan wudhu seseorang berniat supaya dengan
wudhunya itu dia boleh melakukan shalat, atau berniat fardhu mandi, maka sahlah
wudhu orang tersebut.
Amalan shalat -meskipun ia tidak menyerupai jenis amalan adat
kebiasaan, melainkan ia adalah ibadah yang murni (mahdhah)- namun shalat
ada banyak jenisnya. Shalat dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis; shalat
fardhu dan shalat sunnah. Shalat fardhu dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk;
fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Contoh shalat fardhu 'ain
adalah shalat wajib lima waktu, sedangkan contoh shalat fardhu kifayah adalah
salah jenazah.
Sementara itu, shalat sunnah dapat dikelompokkan kepada dua macam;
shalat Sunnah yang mengikuti shalat fardhu -seperti shalat Witir, shalat Ied,
shalat gerhana matahari, shalat gerhana rembulan, shalat Istisqa', shalat
tarawih- dan shalat sunnah mutlak.
Shalat fardhu wajib dilakukan dengan niat, yaitu niat melakukannya
dengan menyebut nama shalat tersebut secara tepat supaya dia dapat dibedakan
dari shalat-shalat fardhu yang lain. Dalam niat shalat fardhu juga harus disebut
kefardhuannya, supaya dia dapat dibedakan dari shalat-shalat sunnah. Sebagian fuqaha
mengatakan bahwa penyebutan kefardhuan dalam niat shalat fardhu tidak disyaratkan,
cukup dengan menyebutkan nama shalat tersebut secara tepat. Karena, memang nama
shalat yang disebut itu adalah shalat fardhu.
Melakukan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah mu'akkadah
(bukan shalat Sunnah mutlak) juga harus dengan niat yaitu niat melakukannya dan
menentukan secara pasti jenisnya seperti shalat sunnah yang mengikuti shalat
fardhu Zhuhur, atau shalat Idul Fitri, atau shalat Kusuf, dan lain-lain.
Shalat sunnah mutlak cukup hanya dengan niat melakukannya, supaya dia berbeda
dengan shalat-shalat yang lain. Karena, memang shalat sunnah mutlak ini tidak
ada ketentuan waktu dan sebabnya.
Memberi harta kepada orang lain tanpa harga atau kembalian adalah
bentuk amalan yang masih umum. Ia dapat dikatakan zakat, sedekah sunnah,
hadiah, atau hibah. Oleh sebab itu, selain harus menyatakan niat memberi, juga
harus ditambahi dengan penentuan (ta'yin) menggunakan sifat syar'i
seperti zakat -misalnya- supaya ia dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan
memberi harta selain zakat. Dalam niat zakat tidak perlu menegaskan kefardhuannya,
karena lafal zakat dalam istilah syara' digunakan untuk amalan wajib.
Menahan diri tidak makan, minum, dan semacamnya, adakalanya
dilakukan karena puasa, dan adakalanya untuk menjaga diri dan pengobatan. Oleh
sebab itu, niat menahan diri (al-imsak) dalam puasa harus disertai
dengan penyebutan kata shiyam/shaum supaya dia dapat dibedakan
dari perbuatan-perbuatan lain yang hampir serupa.
Selain itu, puasa juga ada yang fardhu dan ada juga yang sunnah
sama seperti shalat. Oleh
sebab
itu, selain menyatakan niat puasa, orang yang melakukan puasa juga harus
menyatakan secara jelas jenis puasanya seperti puasa Ramadhan, puasa qadha,
puasa kafarat sumpah, kafarat zihar; kafarat pembunuhan, kafarat jimak di
tengah hari Ramadhan, atau puasa fidyah karena memakai wewangian ketika haji,
dan lain-lain. Ketika niat puasa-puasa yang disebutkan tersebut, seseorang
tidak perlu menyatakan kefardhuannya. Karena, puasa-puasa yang disebut memang
puasa fardhu dan tidak akan serupa dengan puasa-puasa lain yang sunnah.
Pergi menuju Tanah Haram adakalanya untuk berihram, dan adakalanya
juga untuk melakukan kegiatan dagang atau kebiasaan-kebiasaan lain. Oleh sebab
itu, ketika niat ihram seseorang harus menyatakan dengan jelas bahwa dia memang
hendak berihram untuk haji -kalau memang dalam bulan-bulan haji- atau untuk
umrah, dan boleh juga orang itu niat ihram secara mutlak kemudian boleh memilih
di antara haji atau umrah –kalau memang berada dalam musim haji. Kalau di luar
musim haji, maka niat ihramnya itu akan menjadi ihram umrah. Menyatakan
kefardhuan juga tidak disyaratkan kalau memang sebelum ini orang tersebut belum
pernah haji atau umrah (Ahmad Al-Husiani, Nihayatut Ahkam fi Bayani Ma fi An-Niyah
minat Ahkam, halaman 10 dan setelahnya).
Dalil bagi disyaratkannya menyatakan dengan jelas jenis ibadah yang
akan dilakukan (ta'yin) adalah hadits "innamal a'maalu binniyaat”sebagaimana
yang sudah diterangkan.
Pada uraian berikut ini, akan ditampilkan beberapa contoh cara niat
dalam ibadah oleh Syeikh Wahbah Zuhaili:
A.
NIAT WUDHU
Cara niat wudhu adalah dengan berniat menghilangkan hadats, atau berniat
untuk melakukan shalat, atau niat wudhu, atau niat melaksanakan perintah Allah,
atau niat supaya boleh melakukan perkara-perkara yang melakukannya memang harus
dengan wudhu seperti shalat, thawal dan memegang mushaf, atau niat
menghilangkan janabah, atau niat fardhu mandi, atau niat mandi wajib. Semuanya itu
dilakukan sewaktu membasuh bagian pertama dari badan seperti bagian kepala atau
yang lain.
Apabila wudhunya dibantu oleh orang lain, maka niat yang diakui
adalah niat yang dilakukan oleh orang yang berwudhu, bukan orang yang
membantunya berwudhu. Karena, orang yang wudhulah yang dituntut oleh perintah syara’.
Adapun orang yang hadatsnya berterusan seperti wanita yang mengalami istihadhah,
atau orang yang selalu keluar kencing dan semacamnya, maka niatnya adalah niat
supaya boleh melakukan shalat, bukan niat untuk menghilangkan hadats. Karena, hadatsnya
tidak mungkin hilang (Al-Bada'i, jilid 1, halaman 77; Ad-Durrul
Mukhtan jilid 1, halaman 98 dan setelahnya dan 140 dan setelahnya; Al-Majmu',
jilid 1, halaman 361 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj, jilid 7, halaman 47
dan 72; Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman 7 dan setelahnya dan 42 dan
setelahnya; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 114 dan setelahnya, 166
dan setelahnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 94 dan setelahnya, l73
dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 142, 218 dan setelahnya).
B.
NIAT TAYAMUM
Menurut madzhab Hanafi, orang yang bertayamum boleh berniat dengan
salah satu dari tiga niat berikut ini; [1] niat bersuci dari hadats; [2] niat
supaya boleh melakukan shalat; [3] niat melaksanakan ibadah tertentu yang tidak
sah jika tanpa bersuci seperti shalat, sujud tilawah, atau shalat janazah.
Madzhab Hanafi juga tidak mensyaratkan menyatakan kefardhuan ketika niat
tayamum. Karena, menurut mereka tayamum adalah ibadah pengantar (wasilah).
Niat tayamum menurut madzhab Maliki adalah niat supaya boleh
melakukan shalat; atau niat supaya boleh melakukan ibadah yang tidak boleh
dilakukan apabila ada hadats; atau niat fardhu tayamum. Semuanya itu dilakukan ketika
mengusap wajah. Kalau seandainya seseorang niat menghilangkan hadats saja, maka
tayamumnya tidak sah. Karena, tayamum tidak dapat menghilangkan hadats, Ini
menurut pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Maliki. Kalau dia niat fardhu
tayamum, maka hal itu sudah mencukupi.
Madzhab Syafi'i mengatakan bahwa niat tayamum harus dengan cara
niat supaya boleh melakukan shalat atau ibadah yang semacamnya. Menurut
pendapat yang ashah, niat tayamum dengan menyatakan niat fardhu tayamum;
atau fardhu thaharah; atau bersuci dari hadats atau jinabah adalah tidak
mencukupi, karena tayamum tidak dapat menghilangkan hadats.
Niat tayamum menurut madzhab Hambali adalah dengan cara niat supaya
boleh melakukan
ibadah
yang hanya boleh dilakukan jika ada tayamum seperti shalat, tawaf, memegang mushaf,
sama seperti pendapat madzhab Syafi'i (Fathul Qadir jilid 1, halaman
86,89; Al-Bada'i jilid 1, halaman 25-52; Tabyinul Haqa'iq, jilid
1, halaman 38; Asy-Syarhul Kabir; jilid 1, halaman 154; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah,
halaman 37; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 32; Mughnil Muhtaj, jilid
1, halaman 94,; Al-Mughni, jilid 1, halaman 251; Kasysyaful Qina’ jilid
1, halaman 199).
C.
NIAT MANDI
Niat bagi orang yang mandi wajib adalah ketika membasuh pertama kali
bagian tubuh dengan menyatakan (dalam hati) niat fardhu mandi; atau niat
menghilangkan jinabah atau hadats besar; atau niat supaya boleh melakukan
ibadah yang yang tidak boleh dilakukan kecuali setelah mandi, seperti niat supaya
boleh melakukan shalat, thawaf, atau ibadah lain yang tidak boleh dilakukan
kecuali setelah mandi terlebih dulu. Kalau orang tersebut niat supaya boleh
melakukan ibadah yang sebenarnya boleh dilakukan tanpa mandi terlebih dahulu
seperti niat mandi untuk shalat Ied, maka mandinya tidak sah. Niat mandi wajib juga
harus dilakukan berbarengan dengan perbuatan fardhu yang pertama, yaitu ketika membasuh
anggota badan pertama kali, baik yang dibasuh bagian atas badan maupun bagian bawah.
Karena, dalam mandi tidak diwajibkan tartib (Fathul Qadir jilid 1, halaman
38 dan setelahnya; Al-Lubab Syarh Al-Kitab, jilid 1, halaman 20; Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1, halaman 166 dan setelahnya; Bidayatul Mujtahid, jilid,
1, halaman 42 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 72 dan
setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 218 dan setelahnya; Kasysyaful
Qina', jilid,1, halaman 173 dan setelahnya.). Madzhab Hanafi juga tidak mensyaratkan
harus menyatakan kefardhuan dalam niat mandi atau wudhu, karena niat dalam
mandi dan wudhu menurut mereka bukanlah syarat, melainkan sunnah untuk mendapatkan
pahala.
D.
NIAT SHALAT
Madzhab Hanafi mengatakan apabila orang yang melakukan shalat itu
sendirian, maka ia harus menentukan dengan jelas jenis shalat fardhu atau wajib
yang dilakukan. Namun jika dia melakukan shalat sunnah, maka cukup dengan niat
shalat saja.
Apabila ia menjadi imam, maka wajib melakukan ta’yin
sebagaimana yang telah diterangkan. Apabila imam dan makmumnya lelaki, maka
imamnya tidak disyaratkan niat mengimami lelaki. Makmum sah mengikuti imam,
meskipun imamnya tidak berniat mengimami mereka. Apabila imamnya lelaki dan makmumnya
perempuan, maka imamnya disyaratkan niat mengimami wanita, supaya niat makmum
wanita dalam mengikuti imam tersebut menjadi sah.
Adapun seorang makmum, maka dia juga wajib melakukan ta'yin
sebagaimana yang telah diterangkan. Dia juga perlu menambahi niat mengikuti
imam. Umpamanya adalah dengan niat melaksanakan kefardhuan waktu dan mengikuti
imam dalam melakukannya, atau niat melakukan shalat yang dilakukan oleh imam,
atau niat mengikuti imam dalam shalatnya.
Madzhab Maliki (Al-Bada'i', jilid 1, halaman 127 dan
setelahnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1, halaman 406; Tabyinul Haqa'iq,
jilid 1, halaman 99; Fathul Qadir jilid 1, halaman 185; Ibnu Nujaim, Al-Asybah
wan-Nazha'ir, halaman 32 dan setelahnya) mengatakan menentukan dengan jelas
(ta’yin), merupakan keharusan dalam shalat-shalat fardhu, shalat Sunnah
yang lima (yaitu witir; Ied, Kusuf Khusuf dan Istisqa') dan
shalat sunnah fajar. Adapun shalat-shalat sunnah yang lain seperti shalat dhuha,
rawatib, dan tahajud, maka cukup niat shalat sunnah secara mutlak. Sehingga
apabila dilakukan sebelum tergelincirnya matahari, maka shalatnya menjadi
shalat dhuha, akan menjadi shalat ratib zhuhur kalau dilakukan sebelum
melaksanakan shalat zhuhur atau
sesudahnya,
akan menjadi shalat tahiyyatul masjid jika dilakukan ketika masuk masjid, akan
menjadi shalat tahajjud apabila dilakukan pada malam hari, dan akan menjadi
shalat asy-syaf' (shalat sunnah isya) apabila dilakukan sebelum shalat
witir. Juga, tidak disyaratkan niat melakukan secara ada' (tunai) atau qadha'
(utang shalat yang terlewat) dan juga tidak disyaratkan menentukan bilangan
rakaat shalat. Melakukan shalat qadha dengan niat shalat ada' adalah sah
begitu juga sebaliknya. Wajib menyatakan niat secara sendirian atau sebagai
imam, namun tidak wajib menyatakan niat sebagai imam kecuali dalam shalat jumat
dan shalat jamak taqdim, disebabkan hujan atau disebabkan perasaan takut.
Karena, dalam shalat-shalat tersebut imam menjadi syarat bagi sahnya shalat (Asy-Syarh
Al-Kabir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi, jilid 1, halaman 233, 520; Bidayah
al-Mujtahid, jilid 1, halaman 1l6; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 57).
Madzhab Syafi'i (Al-Majmu', jilid 3, halaman 243-252; Mughni
Al-Muhtaj, jilid 1, halaman 148, 150, 252 dan 253; Hasyiyah Al-Bajuri,
jilid,1, halaman 149) menetapkan bahwa apabila shalat yang dilakukan adalah
shalat fardhu -meskipun fardhu kifayah seperti shalat jenazah atau shalat
qadha, atau shalat i'adah atau shalat nadzar, maka yang diwajibkan dalam
niat shalat-shalat tersebut ada tiga.
Pertama, niat kefardhuan shalat, yaitu dengan berniat dan bermaksud
melakukan shalat fardhu, supaya ia dapat dibedakan dari shalat sunnah dan i'adah.
Adapun redaksi ungkapan bagi niat kefardhuan umpamanya adalah (أؤدي الظهر فرض الوقت لله تعالى)
"Saya melaksanakan shalat zhuhur yang merupakan kefardhuan waktu karena
Allah Ta’ala. Kata (أؤدي)
juga boleh diganti dengan asal kata (الفعل) dan (الأداء).
Kedua, menyatakan kehendak (al-qashdu), yaitu kehendak
melaksanakan suatu perbuatan dengan cara menyatakan kehendak melaksanakan
shalat, supaya ia dapat dibedakan dari jenis perbuatan-perbuatan yang lain. Ketiga,
menyatakan dengan jelas jenis shalat fardhu yang dilakukan, umpamanya shalat shubuh
atau zhuhur atau yang lain, yaitu dengan
cara
menyatakan keinginan melakukan shalat fardhu zhuhur umpamanya.
Niat tersebut harus dilakukan berbarengan dengan semua bagian
takbiratul ihram, meskipun secara global tidak secara terperinci. Umpamanya
adalah dengan menggambarkan (istihdhar.) rukun-rukun shalat dalam hati, hingga
eksistensi shalat, sifat-sifat shalat yang wajib dinyatakan seperti zhuhur,
fardhu dan lain-lain benar-benar hadir dalam hati, kemudian memunculkan keinginan
untuk melaksanakan yang digambarkan itu sewaktu memulai takbiratul ihram dan
berterusan hingga akhir takbiratul ihram. Namun, proses berbarengan antara niat
dan takbiratul ihrom ini cukup dengan menggunakan standar, kebiasaan. Yaitu
selagi orang tersebut dianggap sebagai orang yang menyadari shalat yang sedang dilakukannya,
bukan orang yang lalai akan shalat yang dilakukannya. Imam An-Nawawi mengatakan
bahwa ini adalah pendapat yang dipilih.
Cara ini menurut madzhab Syafi'i diistilahkan dengan al-istihdhar
wal muqaranah al-'urfiyyain (menggambarkan shalat dalam hati dan
membarengkan niat dengan takbiratul ihram menurut standar kebiasaan). Caranya adalah
sebelum melakukan takbiratul ihram menggambarkan semua perbuatan shalat, baik
yang ucapan maupun tindakan dari awal hingga akhir meskipun secara global –ini menurut
pendapat yang mu'tamad- dan membarengkan penggambaran hati yang singkat
tersebut dengan takbiratul ihram.
Kesimpulannya adalah, apabila shalat yang dilakukan itu adalah
salah satu dari shalat wajib yang lima, maka wajib menyatakan tiga niat;
melakukan shalat, kefardhuan, dan menentukan dengan jelas jenisnya (ta'yin).
Umpamanya dengan menyatakan, (نويت أن أصلي فرض الظهر) "Saya niat melakukan shalat fardhu
zhuhur". (نويت أداء
فرض صلاة العصر) "Saya niat melaksanakan fardhu
shalat ashar". (نويت أداء
فرض صلاة المغرب) "Saya niat melaksanakan fardhu
shalat ashar."
Menyatakan niat shalat dilakukan supaya ibadah dapat dibedakan dari
adat kebiasaan; menyatakan zhuhur supaya dapat dibedakan dari shalat ashar; dan
niat kefardhuan supaya dapat dibedakan dari shalat-shalat sunnah.
Menyatakan jumlah rakaat bukanlah suatu syarat. Begitu juga dengan
menyatakan dengan jelas hari pelaksanaan shalat, jenis shalat ada' atau qadha',
mengaitkannya kepada Allah Ta’ala (Ini juga pendapat madzhab Hanafi dan Maliki
sebagaimana yang telah saya terangkan, dan juga pendapat madzhab Hambali; lbnu Nujaim,
Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 32, 35; Kasysyaful Qina’ jilid 1,
halaman 365 dan setelahnya; Ghayatul Muntaha, jilid 1, halaman 116),
menyebut rukun-rukun shalat, dan juga menyatakan menghadap kiblat. Semua ini
tidak disyaratkan dalam niat shalat, melainkan hanya kesunnahan saja. Sehingga,
tidak wajib mengaitkan amalan shalat kepada Allah Ta’ala, karena ibadah adalah
bentuk amalan yang dilakukan hanya untuk Allah, Namun, menyatakan hal tersebut
adalah disunnahkan supaya arti keikhlasan benar-benar terealisasikan.
Sunnah juga niat menghadap kiblat, menyatakan jumlah rakaat, supaya
terhindar dari perbedaan-perbedaan pendapat. Kalau seandainya dalam niat
seseorang keliru dalam menyebut jumlah rakaat, umpamanya niat shalat zhuhur
dengan menyatakan tiga atau lima rakaat, maka shalatnya tidak sah. Niat ada'
dan qadha' juga disunnahkan supaya antara keduanya dapat dibedakan.
Namun, pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i menyatakan
bahwa shalat ada' sah dilakukan dengan niat shalat qadha'. Begitu
juga sebaliknya, jika memang ada sebab atau udzur, seperti tidak tahu waktu karena
mendung yang gelap atau semacamnya, kalau seandainya seseorang menyangka bahwa
waktu shalat sudah terlewat, sehingga dia melakukan shalat tersebut secara qadha',
dan ternyata waktunya belum terlewat, atau dia menyangka bahwa waktunya belum
terlewat, sehingga dia melakukan shalatnya dengan cara ‘ada dan ternyata
waktunya sudah terlewat, maka shalatnya tetap sah.
Madzhab Maliki menetapkan bahwa dalam keadaan apa pun, shalat ada'
boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat qadha'. Begitu juga
sebaliknya. Menurut madzhab Hambali, shalat ada' boleh dilaksanakan dengan
menggunakan niat shalat qadha'. Begitu juga sebaliknya jika memang dia
salah sangka dalam menetapkan waktu. Madzhab Hanafi menetapkan bahwa shalat atau
haji secara ada' boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat atau
haji secara qadha', begitu juga sebaliknya.
Apabila shalat yang dilakukan adalah shalat sunnah yang mempunyai
waktu tertentu seperti shalat sunnah rawatib, atau shalat sunnah yang mempunyai
sebab seperti shalat sunnah istisqa', maka dalam niat diwajibkan dua perkara:
berkehendak melakukannya dan menyatakan dengan jelas jenis shalatnya seperti
shalat sunnah zhuhur; Idul Fitri, atau Idul Adhha. Adapun niat kesunnahan
tidaklah disyaratkan.
Adapun shalat sunnah mutlak (yaitu shalat sunnah yang tidak
mempunyai waktu tertentu dan tidak mempunyai sebab seperti shalat sunnah
tahiyyah al-masjid atau shalat Sunnah wudhu), maka cukup dengan niat
melakukan shalat saja.
Imam tidak disyaratkan niat menjadi imam, melainkan hanya
disunnahkan saja supaya mendapatkan keutamaan jamaah. Apabila ia tidak niat
menjadi imam, maka ia tidak mendapatkan keutamaan jamaah. Karena, seseorang
akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Dalam madzhab Syafi'i, niat menjadi imam adalah syarat dalam empat
shalat: [1] shalat Jumat; [2] shalat jamak taqdim karena hujan; [3] shalat i'adah
yang dilakukan pada waktunya secara berjamaah; [4] shalat nadzar ber-jamaah.
Semuanya ini dilakukan supaya keluar dari dosa. Begitu juga dengan madzhab
Maliki, mereka menetapkan bahwa niat menjadi imam tidak wajib kecuali dalam
shalat Jumat, jamak, khauf, dan istikhlaf. Karena, imam merupakan
syarat dalam shalat-shalat tersebut. Sedangkan Ibnu Rusyd, menambahi dengan shalat
jenazah.
Orang yang menjadi makmum disyaratkan niat menjadi makmum, yaitu
dengan cara menyatakan niat mengikuti, menjadi makmum, atau berjamaah dengan
imam yang hadir atau dengan orang yang ada di mihrab. Niat ini dilakukan
berbarengan dengan takbiratul ihram dan harus dilakukan. Karena, mengikuti adalah
satu aktivitas amal, sehingga memerlukan niat, karena yang akan diperoleh oleh seseorang
adalah tergantung niatnya. Tidak cukup apabila hanya menyatakan niat mengikuti secara
mutlak, tanpa dikaitkan dengan imam. Apabila seseorang mengikuti imam tapi tidak
dengan niat atau dengan keraguan, maka batallah shalatnya jika memang dia lama dalam
menunggu imam.
Madzhab Hambali (Al-Mughni, jilid 1, halaman 464-469, jilid
2, halaman 231; Karysyaful Qina’ jilid 1, halaman 364-370) mengatakan
bahwa, apabila shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu, maka disyaratkan dua
perkara: menyatakan dengan jelas jenis shalat yang dilakukan (ta'yin),
apakah shalat zhuhur atau ashar atau yang lain; dan berkehendak untuk melaksanakannya.
Tidak disyaratkan menyatakan niat kefardhuan umpamanya dengan menyatakan, (أصلي الظهر فرضا) "Saya shalat zhuhur
secara fardhu."
Adapun shalat yang sudah terlewat, apabila orang yang melakukan
tersebut menyatakan dengan jelas bahwa yang dilakukan adalah shalat zhuhur hari
ini (misalnya), maka dia tidak perlu menyatakan niat qadha' atau ada’,
shalat qadha' dengan menggunakan niat ada' atau sebaliknya adalah
sah apabila memang sewaktu melakukannya dia salah sangka dalam menentukan
waktunya.
Apabila shalatnya adalah shalat sunnah, maka diwajibkan menyatakan
dengan jelas (ta'yin) jenis shalatnya, jika memang shalat tersebut
mempunyai ciri-ciri tertentu atau waktu-waktu tertentu seperti shalat kusuf,
shalat istisqa’, tarawih, witir, shalat sunnah rawatib. Apabila shalat
sunnah tersebut mutlak, maka tidak perlu menyatakan dengan jelas jenis
shalatnya, seperti shalat malam. Maka, cukuplah menyatakan niat shalat, karena
memang tidak ada ciri-ciri tertentu dalam shalat tersebut. Kesimpulannya dalam
masalah ini madzhab Hambali sama dengan madzhab Syafi'i.
E.
NIAT PUASA
Madzhab Hanafi (Maraqi Al-Falah, halaman 106 dan setelahnya;
Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan Nadzair halaman 33) berpendapat bahwa untuk
puasa Ramadhan dan yang semacamnya seperti puasa nadzar yang waktunya telah
ditentukan, seseorang boleh berniat puasa secara mutlak, atau berniat puasa
sunnah, atau berniat wajib yang lain. Mereka juga tidak mewajibkan meletakan
niat puasa pada malam hari (tabyit), sebagaimana yang telah diterangkan,
dan bersahur menurut mereka juga sudah dianggap sebagai niat.
Adapun menurut madzhab Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
117; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 283),
niat puasa harus dijelaskan secara terperinci jenisnya (ta'yin) dan juga
harus dilakukan di malam hari (tabyit).
Sedangkan kesempurnaan niat puasa Ramadhan, menurut madzhab Syafi'i
(Mughni Muhtaj jilid 1 halaman 425) adalah dengan menyatakan, (نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله
تعالى) "Saya niat melakukan puasa pada hari esok untuk
melaksanakan kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah Ta’ala." Menurut
pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i, menetapkan kefardhuan dalam
niat puasa Ramadhan bukan merupakan kewajiban.
Madzhab Hambali (Kasysyaful
Qina’ jilid 2 halaman 267)
mengatakan bahwa barangsiapa yang dalam hatinya terbesit keinginan bahwa besok
dia akan berpuasa, maka itu sudah dianggap niat. Menentukan jenis puasa secara
jelas (ta'yin) dalam niat adalah wajib, yaitu dengan berkeyakinan bahwa
dia besok akan melakukan puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa nadzar,atau puasa
kafarat. Madzhab Hambali juga menetapkan bahwa menyatakan kefardhuan tidak
wajib.
Kesimpulannya adalah, jumhur ulama selain madzhab Hanafi sepakat
bahwa niat wajib dilakukan di malam hari (tabyit). Jumhur ulama selain
madzhab Syafi'i juga sepakat bahwa makan dan minum dengan niat berpuasa, atau
melakukan sahur sudah dianggap niat, kecuali jika ketika makan dan minum orang
tersebut memang berniat untuk tidak puasa. Menurut madzhab Syafi'i, makan sahur
tidak dianggap sebagai niat dalam puasa apa pun, kecuali jika ketika bersahur
dalam
hati
orang tersebut terbetik keinginan untuk puasa dan dia berniat untuk puasa.
Umpamanya adalah, dia memang berniat puasa ketika makan sahur atau ketika fajar
mulai muncul, dia tidak mau makan supaya tidak batal puasa.
F,
NIAT I'TIKAF
Yang dimaksud dengan i'tikaf adalah berdiam diri di masjid yang
dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan niat, sebagaimana yang didefinisikan
oleh ulama madzhab Syafi'i. Ulama sepakat bahwa untuk beri'tikaf disyaratkan
niat. I'tikaf tanpa niat tidak sah, berdasarkan hadits yang telah lalu "innamal
a'maalu bin-niyaat” dan juga karena i'tikaf adalah ibadah murni (ibadah mahdhah).
Sehingga, ia tidak sah jika tanpa niat seperti puasa, shalat, dan ibadah-ibadah
yang lain.
Madzhab Syafi'i menambahkan, jika i'tikaf yang dilakukan adalah
fardhu, maka orang yang melakukan harus menyatakan kefardhuannya ketika niat,
supaya ia dapat dibedakan dari i'tikaf-i'tikaf sunnah. Madzhab Hanafi dan
Maliki mensyaratkan seseorang harus dalam keadaan puasa bagi sahnya i'tikaf. Karena,
ada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dari Aisyah,
"I'tikaf tidak sah tanpa puasa." Tetapi, hadis ini dhaif. Bagi
madzhab Syafi'i dan Hambali,
puasa
tidak menjadi syarat bagi sahnya i'tikaf, kecuali jika memang orang tersebut bernadzar.
Niat i'tikaf adalah dengan menyatakan, (نويت الاعتكاف في هذا المسجد ما دمت فيه)
"Saya niat i'tikaf dalam masjid ini selagi saya berada di dalamnya."
(Fathul Qadir, jilid 2, halaman 106 dan setelahnya; Ar-Raddul Mukhtar
jilid2, halaman 177 dan setelahnya; Asy-Syarhush Shaghir wa Hasyiyah Ash-Shawi,
jilid 1, halaman 725 dan setelahnya; Al-Muhazhzhab, jilid 1, halaman l90-192;
Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 453 dan setelahnya; Kasysyaful Qina’
jilid 2, halaman 406 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 2, halaman 638
dan setelahnya.)
G.
NIAT ZAKAT
Para ahli fiqih bersepakat bahwa niat merupakan syarat sah bagi
pelaksanaan zakat. Caranya adalah orang yang membayar zakat menyatakan
"ini adalah zakat hartaku." Ketika niat tidak disyaratkan menyatakan kefardhuan
zakat, karena zakat sudah pasti fardhu. Contoh niat yang lain adalah, "ini
adalah kewajiban sedekah hartaku” atau "ini adalah sedekah hartaku yang
wajib" atau "ini adalah sedekah yang fardhu" atau "ini
adalah fardhu sedekah." Menurut madzhab Maliki,
niat
yang dilakukan oleh imam (pemerintah) atau wakilnya adalah cukup sebagai
pengganti niat orang yang berkewajiban zakat. Madzhab Hambali mengatakan bahwa
niat sudah cukup hanya dengan berkeyakinan bahwa harta tersebut adalah
zakatnya, atau zakat yang wajib dikeluarkan apabila yang wajib zakat adalah anak
kecil atau orang gila. Tempat niat adalah di hati, karena tempat semua
keyakinan adalah di hati (Fathul Qadir jilid 1 halaman 493; Al-Bada’i
jilid 2 halaman 40; Al-Majmu’ jilid 2 halaman 40 dan setelahnya; Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 666, 670; Al-Mughni jilid 2 halaman 638 dan
setelahnya).
H.
NIAT HAJI DAN UMRAH
Niat dalam haji dan umrah adalah sesuatu yang wajib. Niatnya adalah
ihram, yaitu niat haji atau umrah atau keduanya. Misalnya adalah dengan
menyatakan, "Saya niat haji (atau umrah) dan saya berihram dengan haji (atau
umrah) tersebut karena Allah Ta’ala.”
Apabila dia melakukan haji atau umrah untuk orang lain, maka
hendaklah ia menyatakan, "Saya niat haji (atau umrah) untuk si fulan, dan
saya berihram untuk haji (atau umrah) tersebut karena Allah Ta’ala,” kemudian melantunkan
talbiyah setelah selesai melaksanakan dua rakaat shalat sunnah ihram. Menurut
jumhur ulama, ihram sudah dianggap cukup hanya dengan niat saja. Namun menurut
madzhab Hanafi, ihram belum cukup hanya dengan niat saja, melainkan ia harus
dibarengkan
dengan ucapan atau perbuatan yang khusus dilakukan dalam ihram, seperti dibarengkan
dengan talbiyah atau dibarengkan dengan melepas pakaian yang tidak boleh dikenakan
sewaktu ihram. Menurut madzhab Hanafi, mengucapkan niat dengan lisan adalah disunnahkan,
misalnya orang yang melakukan haji ifrad mengatakan, (اللهم إني أريد الحج فيسره لي وتقبله مني)
"Ya Allah, sungguh aku ingin melaksanakan haji. Maka, berilah aku
kemudahan dalam menjalankannya, dan terimalah hajiku tersebut."
Sementara itu, orang yang melakukan umrah mengucapkan, (اللهم إني أريد العمرة فيسره لي وتقبله مني)
“Ya Allah, sungguh aku ingin melaksanakan umrah. Maka, berilah aku kemudahan
dalam menjalankannya, dan terimalah umrahku tersebut."
Adapun orang yang melakukan haji qiran, hendaklah membaca, (اللهم إني أريد العمرة والحج فيسرهما لي
وتقبلهما مني) "Ya Allah, sungguh aku ingin
melaksanakan haji dan umrah. Maka, berilah aku kemudahan dalam menjalankannya,
dan terimalah haji dan umrahku tersebut." (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah,
halaman 131; Al-Bada'i jilid 2, halaman 161 dan setelahnya; Asy-Syarhush
Shaghir jilid 2, halaman 16, 25; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 476
dan setelahnya; Al-Majmu’ jilid 7, halaman 226; Al-Mughni, jilid
3, halaman 281 dan setelahnya)
I.
NIAT QURBAN
Menurut madzhab Syafi'i dan Hambali, niat tersebut harus dilakukan
sewaktu memotong hewan qurban. Karena, pemotongan hewan merupakan jenis ibadah
tersendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan niat tersebut cukup
dengan hati. Dalam hal ini tidak disyaratkan melafalkan niat dengan lisan,
karena niat adalah pekerjaan hati, dan ucapan lisan hanya sebagai petunjuk atas
niat yang diutarakan oleh hati (Al-Bada’i jilid 5 halaman 71; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
187; Mughnil Muhtaj jilid 4 halaman 289; Kasysyaful Qina’ jilid 3
halaman 6).
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########