BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

PENDAHULUAN
Proses memilih dan memilah pendapat-pendapat yang ada dalam madzhab-madzhab fiqih merupakan lampu hijau bagi para ulama pada masa sekarang ini, untuk menghidupkan kembali pemikiran Islam. Ia iuga memberi lampu hijau bagi orang-orang yang bertugas menyusun undang-undang yang materinya diambil dari sumber fiqih Islam. Dengan cara seperti ini, maka produk undang-undang tersebut diharapkan dapat selaras dengan tuntutan perkembangan zaman, dan iuga dapat melindungi kemaslahatan manusia pada setiap zaman dan di setiap tempat.
Ulama-ulama reformis dan juga yang berjiwa ikhlas -bukannya ulama yang pesimistis dan berkecil hati- di kalangan tokoh-tokoh Al-Azhar Mesir, Universitas Zaituniyah Tunis, dan lain-lain di berbagai belahan dunia Islam, menyambut gagasan gerakan menghidupkan kembali pemikiran Islam ini. Mereka memilih satu pendapat yang tepat, yang lebih utama dan juga yang lebih membawa kemaslahatan dari beragam pendapat fiqih yang ada. Mereka berharap supaya pendapat fiqih yang dipilih tersebut akan selaras dengan kemaslahatan umum yang ada pada masa sekarang ini. Mereka melakukan pemilihan pendapat tersebut dengan berpegang kepada beberapa
prinsip atau dasar yaitu:
(1) Kebenaran (al-haqq) hanyalah satu, bukannya beragam. Begitu juga halnya dengan agama Allah adalah satu dan berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, dan juga praktik salafus saleh. Dikarenakan kita tidak mengetahui mana pendapat para mujtahid yang paling benar, maka kita dibolehkan mengamalkan sebagian pendapat tersebut dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang akan dihasilkan.
(2) Ikhlas menjalankan syariat, menjaga hukum-hukum agama supaya lestari dan kekal, merupakan aqidah setiap Muslim.
(3) Menolak kesukaran, mengedepankan kemudahan dan toleransi merupakan dasar-dasar bangunan syariat Islam. Perkara-perkara tersebut merupakan keistimewaan utama yang menopang syara' Allah untuk selalu kekal dan abadi.
(4) Melindungi kemaslahatan manusia dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang selalu berkembang, merupakan sikap yang sesuai dengan ruh syariat yang -berdasarkan penelitian- memang dibangun di atas kemaslahatan. Sehingga, kemaslahatan merupakan tiang syariat; setiap hal yang mengandung maslahat maka di situlah keberadaan syariat dan agama Allah. Demikian juga diakui bahwa hukum dapat berubah disebabkan oleh perubahan zaman.
(5) Tidak ada aturan syara' yang mewajibkan seseorang mengikuti salah satu hasil ijtihad para mujtahid, atau mengikuti salah satu dari pendapat para ulama. Sesuatu dianggap wajib apabila ia memang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah serta Rasul-Nya hanya mewajibkan mengikuti Al-Qur'an, sunnah Rasul-Nya, dan semua dalil yang bersumber dari keduanya dalam mengamalkan ajaran agama-Nya. Pendapat yang paling shahih dan yang paling rajih mengatakan bahwa mengikuti salah satu madzhab tertentu bukanlah suatu kewajiban. Hal ini karena tindakan yang seperti itu hanyalah sekadar taklid belaka (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya). Apabila hal yang semacam ini diwajibkan, maka berarti kita telah mewajibkan aturan syara' baru, sebagaimana diterangkan oleh pengarang Syarh Musallah Ats-Tsubut.
Oleh sebab itu, bertaklid kepada salah satu imam madzhab atau salah satu mujtahid tidaklah dilarang oleh syara'. Begitu juga halnya syara' tidak melarang melakukan talfiq (mencampur beberapa pendapat) di antara pendapat-pendapat madzhab yang ada, dengan alasan menjalankan prinsip kemudahan dalam beragama, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."
Sebagaimana diketahui, bahwa kebanyakan orang tidak bermadzhab. Madzhab mereka adalah madzhab mufti mereka, dan mereka pun mengharapkan supaya amal mereka sesuai dengan syara'.
Namun dalam proses memilih dan memilah pendapat-pendapat madzhab ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu aturan-aturan ketika mengambil pendapat madzhab yang paling mudah. Aturan-aturan ini perlu diketahui terlebih dahulu supaya proses pemilihan ini tidak berubah menjadi kekacauan ataupun berubah menjadi pengamalan pendapat yang sesuai dengan nafsu dan keinginan saja, tanpa didukung oleh argumentasi atau faktor-faktor pembenar yang kuat. Dan menurut pendapat Wahbah Zuhaili, proses memilih pendapat yang mudah juga termasuk bentuk dari ijtihad.

RANCANGAN PEMBAHASAN

Dalam membincangkan masalah ini, ada beberapa pembahasan yang akan dikaji, yaitu:
(1) Pembahasan Pertama: Madzhab atau pendapat manakah yang boleh diambil?
(2) Pembahasan Kedua: Apakah mengikuti satu madzhab tertentu merupakan suatu tuntutan?
(3) Pembahasan Ketiga: Apakah seorang yang akan bertanya mengenai hukum (mustafti) diwajibkan mencari mufti yang paling utama dan kemudian bertanya kepada ulama yang dia anggap paling rajih tersebut, ataukah dia dibolehkan memilih dan bertanya kepada mufti yang mana pun?
(4) Pembahasan Keempat: Apakah pendapat pakar ushul fiqih dalam masalah mencari pendapat yang paling mudah (tatabbu' ar-rukhash) dan juga masalah talfiq (mencampur) pendapat madzhab-madzhab fiqih Islam?
(5) Pembahasan Kelima: Aturan-aturan syara' dalam memilih pendapat madzhab yang paling mudah. Aturan-aturan ini bersumber dari pendapat-pendapat pakar ushul fiqih.
Apabila kita perhatikan pembahasan empat masalah pertama secara cermat, merupakan suatu keharusan sebelum melakukan pembahasan yang terakhir (kelima). Hal ini disebabkan pembahasan kelima sangat bergantung kepada kaidah-kaidah yang dibahas dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pakar ushul fiqih.
Membincangkan masalah ini jelas akan memberikan manfaat dan faedah yang nyata bagi kebanyakan umat Islam, yang biasa meminta fatwa atas masalah yang mereka hadapi baik dalam masalah ibadah, muamalah, maupun ahwal syakhshiyyah. Pembahasan ini juga bermanfaat bagi para pakar undang-undang dan juga para hakim yang bertugas membuat undang-undang yang disusun dan digali dari sumber hukum fiqih Islam. Perbincangan masalah ini juga akan memberikan manfaat kepada para pengajar dalam usaha mereka untuk menghilangkan kecenderungan fanatisme madzhab yang muncul akibat sikap taklid buta, dan tidak mau memerhatikan dalil-dalil yang dapat merajihkan sebagian pendapat ulama sehingga perlu diikuti. Dan pada waktu yang sama, dapat menetapkan bahwa pendapat ulama yang lain adalah lemah sehingga tidak perlu diikuti. Ketetapan-ketetapan Allah-lah yang benar dan Dialah yang menunjukkan kita ke jalan yang benar.

A. MADZHAB DAN PENDAPAT YANG DAPAT DIIKUTI

Khazanah intelektual fiqih peninggalan salafus saleh yang membahas berbagai hukum dan permasalahan yang dihadapi manusia, tidaklah hanya terbatas kepada madzhab fiqih yang empat saja (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hambaliyyah). Di sana masih ada madzhab-madzhab fiqih lain baik yang terkenal maupun yang tidak seperti madzhab Imam Al-Laits bin Sa'd, Imam Al-Auza'i, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Dawud Azh-Zhahiri, Imam Ats-Tsauri, madzhab-madzhab Ahli Sunnah, madzhab Syi'ah Imamiyyah, madzhab Syi'ah Zaidiyyah, Ibadhiyyah, Zhahiriyyah, pendapat-pendapat sahabat, tabi'in, dan juga pendapat tabi' tabi'in. Dalam ragam pendapat yang terdapat pada berbagai madzhab tersebut, kita dapat menemukan banyak manfaat bagi lancarnya kebangkitan umat Islam yang kita harapkan. Madzhab-madzhab tersebut tentunya
lebih utama apabila dibanding dengan undang-undang non-syar'i baik yang berasal dari dunia Timur maupun dunia Barat. Agama Allah menawarkan kemudahan, bukannya kesulitan.
Selain dari itu, mempertimbangkan kemaslahatan dan melindungi kebutuhan manusia merupakan tuntutan syara'. Oleh sebab itu, tidak ada larangan bagi para pembuat undang-undang (dewan legislatif) untuk memilih pendapat ataupun madzhab dalam masalah ijtihadiyah ini. Adapun qadhi, maka sebaiknya ia tetap berpegang kepada madzhab empat, karena tradisi ('urf) umum yang sudah menyebar haruslah diamalkan. Sebagaimana diketahui, bahwa 'urf dapat digunakan untuk men-takhshish nash. Selain itu, apabila dewan  legislatif mengambil pendapat termudah dari beberapa pendapat madzhab yang masyhur, maka yang dimaksudkan adalah madzhab-madzhab yang dipraktikkan di berbagai dunia Islam, dan pada kenyataannya yang dimaksud dengan madzhab-madzhab adalah pendapat para imam mujtahid.
Di antara dalil yang mendukung ide di atas adalah sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa teori al-mukhthi'ah adalah teori yang paling rajih.Yang dimaksud dengan teori al-mukhthi'ah adalah teori yang mengatakan bahwa kebenaran hanyalah satu. Oleh sebab itu, mujtahid yang benar dalam ijtihadnya juga hanya satu. Adapun yang lainnya adalah salah. Namun mujtahid yang salah tidaklah berdosa karena kesalahannya itu, sebab dia hanya dituntut untuk mengamalkan hasil ijtihadnya dan mengamalkan pendapat yang diduga kuat benar. Para pakar yang mendukung teori ini mengatakan, “Adalah suatu kebenaran bahwa agama Allah hanya satu. Yaitu segala ajaran yang diturunkan dalam kitab-Nya, yang dibawa oleh Rasul-Nya, dan diridhai untuk dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Nabi Allah juga satu, kiblat juga satu." Barangsiapa sesuai dengan ajaran ini, maka dialah orang yang benar dan mendapatkan dua pahala. Adapun orang yang tidak sesuai dengan ajaran sebenarnya, maka dia hanya mendapat satu pahala, yaitu pahala ijtihad. Sedangkan kesalahannya, tidak dibalas dengan balasan apa pun (dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 2 halamaan 211). Inilah pendapat yang benar menurut imam madzhab yang empat (dalam Kitab Musallam Ats-Tsubut jilid 2 halaman 330).
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari pendapat-pendapat fiqih yang tepat dan bermaslahat, dan yang dapat dipastikan siapa yang mengeluarkan pendapat tersebut. Adapun pendapat yang syadz dan bertentangan dengan sumber dan dasar-dasar syariat, maka harus ditinggalkan.
Sebagaimana diketahui, Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengikuti pendapat
para sahabat dan tabi'in (dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 4 halaman 123). Allah Ta’ala berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 100 yang artinya, "Dan orang-orong yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surge-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung."
Berkenaan dengan pendapat sahabat, dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 2 halaman 186, Imam Asy-Syafi'i berkata, "Pendapat mereka adalah lebih baik bagi kita apabila disbanding dengan pendapat kita sendiri."
Imam Al-lzz bin Abdissalam juga berkata, "Yang terpenting bagi orang yang bertaklid (orang yang mengikuti pendapat orang lain, namun ia tidak mengetahui dalul yang digunakan oleh orang yang dianutnya tersebut) adalah mengetahui bahwa madzhab (yang dianutnya) adalah benar-benar ada, dan ia juga harus mempunyai dugaan kuat bahwa madzhab tersebut adalah shahih. Oleh sebab itu, apabila dia meyakini keberadaan suatu madzhab, maka dia boleh bertaklid kepada madzhab tersebut, meskipun tokoh madzhab tersebut bukan termasuk salah satu dari empat imam madzhab fiqih yang terkenal."
Imam Al-lraqi berkata, "Ulama bersepakat (ijma) bahwa orang yang masuk Islam boleh bertaklid kepada ulama siapa pun tanpa ada batasan. Para sahabat pun bersepakat bahwa orang yang meminta fatwa dan bertaklid kepada Abu Bakar dan Umar boleh meminta fatwa kepada Abu Hurairah, Mu'adz bin Jabal, ataupun yang lainnya. Dia juga boleh mengamalkan pendapat para sahabat tersebut tanpa ada pengingkaran dari kalangan ulama. Oleh sebab itu, barangsiapa menganggap bahwa dua bentuk ijma ini tidak berlaku, maka dia harus mengemukakan dalil (dalam Kitab Musallam Ats-Tsubut jilid 2 halaman 357).
Atas dasar uraian di atas, maka jelaslah bahwa tidak ada dalil yang mewajibkan untuk mengikuti madzhab empat imam saja dalam masalah fiqih. Empat imam dan yang lainnya mempunyai status yang sama. Oleh sebab itu, taklid kepada selain empat madzhab dibolehkan jika memang madzhab tersebut memang diketahui dengan pasti siapa tokoh atau pengasasnya, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Al-lzz bin Abdissalam.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)