BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 

Sepanjang pengamatan Syeikh Wahbah Zuhaili, beliau belum menemukan ulama ushul fiqih yang membahas secara khusus masalah ini. Namun demikian, aturan-aturan syara' dalam masalah memilih pendapat yang paling mudah, secara umum dapat dieksplor dari pembahasan-pembahasan ulama ushuf fiqih dan juga para fuqaha yang telah menerangkan masalah talfiq, tatabbu' ar-rukhash, dan taklid. Aturan-aturan (adh-dhawabith) tersebut adalah:
(1) Praktik mengambil pendapat yang paling mudah harus dibatasi dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang masuk kategori masalah cabang (furu) yang istinbath-nya didasarkan kepada dalil-dalil zhanni. Dengan kata lain, medan garapannya harus dalam masalah-masalah amaliah yang hukumnya ditetapkan dengan cara zhanni, seperti produk-produk hukum dalam masalah ibadah, muamalah, ahwal syakhshiyyah, dan kriminal yang sumbernya tidak berasal dari nash yang qath'i, ijma, atau qiyas yang jelas (Qiyas Jali adalah qiyas yang illat-nya dijelaskan dalam nash, atau tidak dijelaskan oleh nash tetapi dapat dipastikan bahwa antara Al-Ashl dan Al-Far’ memang tidak ada perbedaan seperti diqiyaskannya memukul orang tua dengan berkata huss dalam hal keharaman keduanya).
Sebagaimana telah kita jelaskan, masalah-masalah ini merupakan masalah yang dibincangkan dalam pembahasan taklid dan talfiq. Adapun selain masalah tersebut, maka kita tidak dibolehkan mengambil pendapat yang termudah, seperti dalam masalah aqidah, dasar-dasar keimanan, dan juga dalam masalah akhlak, ma'rifatullah, mengenali sifat-sifat Allah, penetapan kewujudan Allah dan keesaan-Nya, dan juga mengenai bukti-bukti kenabian. Begitu juga dalam masalah yang termasuk kategori aksioma dalam ajaran agama, yaitu yang telah disepakati oleh semua umat Islam. Orang yang menentangnya dihukumi kafir dalam semua bidang tuntutan syara': ibadah, muamalah, hukuman, keharaman-keharaman, seperti rukun Islam yang lima, keharaman riba, zina, kehalalan transaksi jual beli, pernikahan, utang piutang, dan sebagainya yang hukumnya ditetapkan secara qath'i melalui ijmal. Oleh sebab itu, dalam masalah ini tidak dibolehkan taklid, talfiq, ataupun mengambil pendapat yang paling mudah, Dan oleh sebab itu iuga, talfiq yang menyebabkan penghalalan perkara-perkara yang haram seperti minuman anggur yang memabukkan, zina dll. juga tidak dibenarkan. Begitu juga talfiq yang menyebabkan hancurnya hak-hak kemanusiaan atau menyebabkan manusia ditimpa pesakitan, marabahaya, dan ancaman, juga tidak dibolehkan. Sebab, Islam melarang menimbulkan bahaya baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Imam al-Qarafi dalam Kitab Al-Ihkam fi Tamyiz Al-Fatawa ‘an Al-Ahkam wa Tasharrufati Al-Qadhi halaman 195 dan setelahnya, berkata, "Berdasarkan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria pendapat-pendapat madzhab yang kita dibolehkan taklid ada lima: [1] Hukum-hukum syara' yang termasuk bagian cabang (furu'iyyah) dan termasuk masalah ijtihadiyah; [2] Sebab-sebab yang melatarbelakangi timbulnya hukum-hukum syara' tersebut; [3] Perkara-perkara yang menjadi syarat hukum-hukum syara' tersebut; [4] Perkara-perkara yang menjadi penghalang (mawani’) bagi hukum-hukum syara' tersebut; [5] Cara-cara untuk menetapkan sebab, syarat, dan penghalang tersebut, seperti dengan cara iqrar dan kesaksian.
Kalimat hukum-hukum syara' (al-ahkam asy-syar'iyyah) dalam uraian di atas, mengecualikan hukum-hukum logis (al-ahkam al-'aqliyyah) seperti matematika, teknik, dll., dan juga megecualikan hukum-hukum indra (al-ahkam al-hissiyyah).
Sedangkan kalimat ‘termasuk bagian cabang' (al-furu'iyyah) mengecualikan perkara-perkara yang termasuk ushuluddin dan ushul fiqih. Adapun kalimat 'termasuk masalah ijtihadiyah' mengecualikan masalah-masalah aksioma dalam agama.
Contoh sebab yang melatarbelakangi timbulnya hukum syara' adalah merusakkan suatu benda menjadi sebab bagi hukum wajibnya mengganti barang tersebut. Contoh perkara yang menjadi syarat hukum syara' adalah keberadaan wali dan saksi merupakan syarat dalam akad nikah. Adapun contoh perkara yang menjadi penghalang bagi hukum syara' adalah keadaan gila atau ayan menjadi penghalang bagi ditetapkannya tuntutan syara'. Begitu juga utang menjadi penghalang bagi wajibnya berzakat. Adapun contoh cara untuk menetapkan sebab, syarat, dan penghalang adalah semua perkara yang dijadikan petunjuk dalam proses mahkamah seperti bukti, ikrar dan sebagainya. Cara-cara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian:
Bagian pertama, cara yang disepakati oleh ulama, seperti menghadirkan dua saksi dalam kasus harta benda, menghadirkan empat saksi dalam kasus perzinaan, dan ikrar dalam semua kasus tersebut jika memang dilakukan oleh orang yang patut untuk ikrar, dan ikrar tersebut memang dilakukan pada tempatnya.
Bagian kedua, cara yang diperselisihkan oleh ulama, seperti menghadirkan satu saksi dan sumpah, kesaksian anak kecil dalam kasus pembunuhan dan luka dan juga ikrar yang ditarik kembali. Sebagaimana kita boleh bertaklid kepada ulama dalam masalah hukum, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, dan juga penghalangnya, maka kita juga boleh bertaklid kepada mereka dalam masalah cara menetapkan sebab, syarat, dan penghalang tersebut.
Dengan demikian, maka praktik memilih pendapat yang paling mudah ini dibatasi hanya pada masalah-masalah furu'iyah saja yang hukumnya ditetapkan melalui dalil zhanni oleh para mujtahid. Hal ini seperti dalam masalah wajibnya shalat Witir, niat dalam wudhu, utang menjadi penghalang bagi wajibnya zakat, bolehnya jual beli mu'athah (atau jual beli tanpa ijab dan qabul, seperti umpamanya seseorang menyerahkan uang dan mengambil barang tanpa ada perkataan apa pun dari kedua belah pihak dari salah satunya), diterimanya kesaksian anak kecil dalam kasus pembunuhan dan luka, cukupnya satu saksi disertai dengan sumpah, kesaksian wanita dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kewanitaan seperti dalam masalah kecacatan alat kelamin dan kelahiran seorang anak, begitu juga dalam masalah bolehnya akad jual beli dengan syarat ada manfaat bagi salah satu penjual atau pembeli, penetapan talak karena pihak lelaki menghilang mempersulit, atau membahayakan istrinya, dihitungnya manfaat bangunan, menjamin pekerja dan buruh dan juga larangan memberi hadiah kepada orang yang memberi utang.
(2) Praktik mengambil pendapat yang paling mudah tersebut tidak menyebabkan munculnya amalan yang bertentangan dengan sumber-sumber syariah yang qath'i, dan juga tidak bertentangan dengan dasar-dasar serta prinsip-prinsip utama syariah. Syarat ini diambil dari pendapat ulama-ulama Maliki -termasuk Imam Asy-Syathibi- yang menegaskan bahwa ketetapan pemerintah atau keputusan hakim dalam empat kasus -yang akan diterangkan nanti- harus ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa praktik mengambil pendapat yang paling mudah tidak boleh sampai menyebabkannya bertentangan dengan perkara-perkara yang telah disebut di atas. Empat kasus yang disebut oleh para ulama Maliki adalah (dalam Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 294).
Pertama, apabila seorang qadhi menetapkan hukum yang bertentangan dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, atau ijma, maka dia sendiri harus membatalkan ketetapannya tersebut, dan qadhi yang
berkuasa setelahnya juga harus membatalkan ketetapan tersebut. Selain itu, ketetapan tersebut harus dikategorikan sebagai pendapat yang syadz.
Kedua, apabila seorang qadhi menetapkan hukum dengan menggunakan zhan dan terkaan belaka bukan berdasarkan pengetahuan dan ijtihad, maka dia dan iuga qadhi yang berkuasa setelahnya harus membatalkan ketetapan tersebut.
Ketiga, apabila seorang qadhi menetapkan hukum berdasarkan ijtihad, namun setelah itu dia mengetahui bahwa ketetapannya itu salah, maka qadhi yang berkuasa setelahnya harus membatalkan ketetapan tersebut. Namun, ada perselisihan pendapat dalam hal apakah qadhi tersebut harus membatalkan ketetapannya sendiri atau tidak.
Keempat, apabila seorang qadhi bermaksud menetapkan hukum berdasarkan satu madzhab, namun dia lupa dan akhirnya menetapkan hukum dengan madzhab yang lainnya, maka dia harus membatalkan ketetapannya tersebut. Adapun orang lain tidak diwajibkan membatalkan keputusannya tersebut.
Bagian yang paling penting dalam kajian kita kali ini adalah bagian yang pertama. Imam Al-Qarafi dalam Kitab Al-Ihkam fi Tamyiz Al-Fatawa ‘an Al-Ahkam halaman 128 dan dalam Kitab Tabshiratul Hukkam jilid 1 halaman 70 dan 73, menyebutkan empat bentuk keputusan hukum yang harus dibatalkan, yaitu keputusan yang bertentangan dengan ijma; keputusan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah (syara'); keputusan yang bertentangan dengan qiyas jali; keputusan yang bertentangan dengan nash. Kemudian Imam Al-Qarafi memberikan contoh bagi setiap bagian tersebut dan juga menerangkan sebab-sebab mengapa keputusan tersebut harus dibatalkan. Setelah itu, Imam Al-Qarafi berkata, "Keputusan-keputusan seperti ini tidak diakui oleh syara' karena lemah. Begitu juga keputusan-keputusan seperti ini juga tidak diakui, meskipun dikeluarkan oleh hakim atau pemerintah. Bertaklid kepada seorang mufti yang mengeluarkan keputusan seperti ini juga tidak sah, bahkan mengikuti keputusan seperti ini hukumnya haram (Imam Izzuddin bin Abdissalam membolehkan talfiq dengan syarat perkara yang ditaqlidi tidak termasuk perkara yang dapat menggugurkan hukum, dengan kata lain, harus perkara-perkata ijtihadiyyah). Adapun alasan bahwa hukum yang bertentangan dengan ijma harus dibatalkan adalah karena ketetapan ijma adalah ketetapan yang terjaga dari kesalahan. Menetapkan suatu hukum haruslah dengan kebenaran, dan menentang keputusan ijma merupakan suatu kebatilan yang sangat nyata.
Adapun alasan bahwa hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah (syara'), qiyas jali, dan nash harus dibatalkan adalah karena hukum mengikuti perkara-perkara tersebut adalah wajib, dan menentangnya adalah haram. Oleh sebab itu, hukum yang ditetapkan dengan ijtihad yang salah sehingga bertentangan dengan perkara-perkara tersebut tidak diakui oleh syara'. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nisaa’ ayat 59 yang artinya, "... Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)...!
Contoh ketetapan hukum yang bertentangan dengan nash adalah keputusan qadhi yang membatalkan wakaf benda-benda bergerak. Keputusan ini harus dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash-nash hadits tentang sahnya wakaf benda bergerak, di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bahwa Khalid ibnul Walid telah mewakafkan baju-baju besi dan alat-alat perangnya di jalan Allah (dalam Kitab Nailul Authar jilid 6 halaman 25). Contoh lainnya adalah keputusan hakim yang menetapkan bolehnya wasiat kepada ahli waris. Karena, keputusan ini bertentangan dengan hadits mutawatir yang menyebutkan bahwa, "Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris!” Juga, seperti fatwa pembolehan riba yang sedikit atau bunga bank dalam kadar 7%, karena keputusan ini bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan secara jelas mengenai keharaman riba. Yaitu dalam Surah Al-Baqarah ayat 275 yang artinya, "...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...". Contoh lainnya adalah menyamakan bagian anak laki-laki dan anak perempuan dalam pembagian waris, karena keputusan ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur'an dalam Surah An-Nisaa’ ayat 11 yang artinya, “...(yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...!”
Contoh ketetapan hukum yang bertentangan dengan ijma adalah ketetapan yang melarang kakek mendapat bagian warisan jika saudara-saudara si mayit masih hidup. Ketetapan ini bertentangan dengan ijma sahabat yang menetapkan, bahwa kakek mendapat bagian warisan, meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal apakah dia mewarisi semua harta si mayit dan menghalangi saudara-saudara si mayit mendapat warisan, atau dia mendapat bagian warisan. Begitu juga dengan saudara-saudara si mayit juga turut mendapat warisan. Contoh lainnya adalah keputusan tidak wajibnya memberi bagian yang adil kepada istri-istri dalam beberapa kondisi. Keputusan ini bertentangan dengan ijma yang menetapkan bahwa memberi bagian yang adil kepada istri-istri adalah wajib. Begitu juga dengan hukuman zina yang diputuskan berdasarkan dengan qarinah. Keputusan ini bertentangan dengan ijma dan juga nash Al-Qur'an yang jelas.
Contoh ketetapan hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syara' –seperti yang dicontohkan oleh Imam Al-Qarafi- adalah masalah As-Suraijiyyah (masalah yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Suraij Asy-Syafi'i [w. 306])- yaitu apabila seorang suami berkata kepada istrinya, "Jika saya menjatuhkan talak kepadamu, maka sebelum itu kamu adalah wanita yang ditalak tiga kali." Menurut ibnu Suraij, lafaz tersebut tidak menyebabkan jatuhnya talak.
Dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 3 halaman 263, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim juga sependapat dengan Ibnu Suraij. Alasan mereka adalah karena lafaz talak yang diucapkan oleh suami tersebut tidak mengenai sasaran. Jika seorang hakim menetapkan bahwa talak tersebut jatuh, maka ketetapan itu harus dibatalkan menurut madzhab Maliki karena bertentangan dengan kaidah syara'. Di antara kaidah syara' ada yang menetapkan bahwa suatu syarat harus ada kaitannya dengan sesuatu yang disyarati, jika antara keduanya tidak ada ikatan yang menghubungkan, maka syarat tersebut tidak sah (contoh praktik yang menyalahi kaidah syara’ menurut madzhab Syafi’i adalah jual beli mu’athah atau muradhah. Menurut mereka, jual beli seperti ini bertentangan dengan prinsip utama syara’, yaitu kerelaan yang disyaratkan dalam jual beli dan perdagangan harus diucapkan dengan lisan melalui ijab dan qabul). Begitu juga dengan wasiat kepada ahli waris, ia juga bertentangan dengan kaidah 'mencegah kemafsadatan harus didahulukan daripada membangun kemaslahatan' dan juga bertentangan dengan ‘hukum harus mengikuti kemaslahatan yang rajih, dan dalam masalah ini kemaslahatan yang rajih adalah kekalnya ikatan persaudaraan yang didasari semangat saling mencintai, saling menolong, dan ikatan silaturahim.
Contoh ketetapan hukum yang bertentangan dengan qiyas jali adalah menerima kesaksian orang Nasrani, Keputusan ini harus dibatalkan karena seorang fasik tidak dapat diterima kesaksiannya, sedangkan orang kafir adalah sangat fasik dan tidak layak menempati peran-peran strategis dalam syara'. Kesimpulan ini diperoleh melalui prosedur qiyas, sehingga keputusan di atas harus dibatalkan. Selain itu, Allah Ta’ala juga berfirman dalam Surah Ath-Thalaq ayat 2 yang artinya, "...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu...." Ini adalah pendapat madzhab yang empat selain madzhab Hambali yang membolehkan kesaksian Ahli Kitab
dalam masalah wasiat semasa dalam perjalanan, jika memang tidak ada selain mereka. Keputusan madzhab Hambali ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidaah ayat 106 yang artinya, "…atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu...."
Tetapi Syeikh Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa sebab-sebab psikologis, sosial, fanatisme, dan juga kondisi-kondisi tertentu yang ada pada masa dulu di antara umat Islam dan penganut agama lain adalah factor-faktor yang menyebabkan ulama menetapkan ditolaknya kesaksian selain umat Islam. Adapun sekarang, di mana umat Islam dan yang lainnya hidup dalam satu masyarakat dan saling berkomunikasi antara satu dengan lainnya, maka tidaklah mengapa menerima kesaksian mereka karena darurat. Hal ini sudah dipraktikkan di negara-negara Islam.
(3) Praktik memilih pendapat yang paling mudah ini hendaknya tidak menyebabkan terjadinya talfiq yang dilarang. Sudah diterangkan bentuk-bentuk talfiq yang dilarang, baik karena eksistensinya dilarang seperti menghalalkan perkara yang haram seumpama khamr, zina, dan sebagainya, ataupun karena ada perkara lain yang menyertai dan dilarang. Bentuk yang kedua ini terbagi kepada tiga bentuk. Bentuk pertama, sengaja mencari-cari pendapat yang mudah (tatabbu' ar-rukhash), bukan karena kondisi darurat atau ada karena ada uzur; Bentuk kedua, praktik talfiq yang bertentangan dengan keputusan hakim (pemerintah); Bentuk ketiga, talfiq yang menyebabkan seseorang harus membatalkan praktik amalan berdasarkan taklid yang telah dilakukan, atau membatalkan perkara yang disepakati oleh semua ulama sebagai konsekuensi dari suatu amalan yang dilakukan dengan cara taklid. Syarat ini selain pada masalah ibadah mahdhah.
Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mengambil pendapat yang paling mudah jika menyebabkannya menjauh dari tanggung jawab melaksanakan tuntutan-tuntutan syara', atau menyebabkan permasalahan agama dan pernikahan dipermainkan, menyebabkan timbulnya mudharat pada diri manusia, menimbulkan kerusakan di muka bumi, atau mengancam kemaslahatan sosial.
Karenanya, tidak boleh melakukan talfiq atau mengambil pendapat yang paling mudah, supaya terlepas dari tuntutan membayar zakat dengan cara melakukan hilah (Ibnu Qayyim  dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 4 halaman 222 berkata, “Seseorang mufti tidak boleh mencari-cari hilah yang diharamkan dan yang dimakruhkan); umpamanya sebelum sampai satu tahun orang yang mempunyai harta satu nisab meminjamkan hartanya tersebut kepada orang lain (sehingga hartanya tidak sampai satu nisab), kemudian di lain waktu dia meminta hartanya tersebut sehingga dia tidak wajib membayar zakat. Atau dengan cara orang yang seharusnya membayar zakat melakukan transaksi jual beli atau hibah tapi formalitas saja, untuk kemudian hartanya itu diminta kembali.
Ini semua merupakan tipu muslihat yang diharamkan dan tidak menyebabkan gugurnya kewajiban membayar zakat (Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 3 halaman 257, 320), karena kalau kewajiban zakat digugurkan dengan alasan ini, maka kemaslahatan fakir miskin akan terancam dan hak-hak fakir miskin akan terhalang. Begitu juga tidak boleh mengeluarkan fatwa dalam masalah zakat dengan menggunakan pendapat yang paling mudah. Sikap ini diambil untuk membela hak-hak fakir miskin. Keputusan fatwa seharusnya menggunakan pendapat yang dapat merealisasikan kemaslahatan, umpamanya adalah mengeluarkan fatwa dengan berpegang kepada madzhab Malik, Syafi'i, dan jumhur ulama yang menetapkan harta anak kecil dan orang gila wajib dikeluarkan zakatnya, tanah kharajiyyah (tanah
yang berhasil dikuasai umat Islam dengan cara perang) wajib dikeluarkan zakatnya dan juga pajak kharaj, sehingga tanah tersebut wajib dibayar kharaj dan 'usyur-nya, karena 'usyur merupakan kewajiban agama bagi setiap umat Islam, sedangkan kharaj merupakan kewajiban yang ditetapkan
melalui ijtihad. Keputusan ini diambil supaya pemasukan dana bagi negara semakin banyak, untuk memenuhi biaya pengelolaan dan pembiayaan kebutuhan umum.
Dalam memilih pendapat yang paling mudah juga wajib mempertimbangkan tujuan-tujuan utama syariah (maqashid asy-syari'ah), konsisten dengan aturan dan hikmah tasyri'-nya, melindungi kemaslahatan manusia secara umum dalam masalah muamalat, hukuman, harta benda, dan hubungan pernikahan, bukannya hanya mempertimbangkan kemaslahatan khusus sebagian pihak saja. Dalam memilih pendapat yang paling mudah, juga wajib mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih utama. Dan ketika dalam keadaan darurat, hendaknya mempertimbangkan supaya tidak terjadi kerusakan yang besar di dunia. Selain itu, aturan-aturan syara' juga harus dijadikan standar dalam merealisasikan maslahat dan juga dalam menghindari mafsadah.
Yang dimaksud dengan maqashid asy-syari'ah adalah melindungi agama (aqidah dan ibadah); melindungi jiwa; melindungi akal; melindungi keturunan; melindungi harta benda.
Dalam melihat maqashid asy-syari'ah ini juga harus dipertimbangkan tingkatan-tingakatannya, yaitu tingkatan primer (dharuriyyat); tingkatan sekunder (hajiyyat); dan tingkatan komplementer (tahsiniyyat).
Yang dimaksud dengan tingkatan primer (dharurityat) adalah segala sesuatu yang memang diperlukan bagi kehidupan manusia baik kehidupan keagamaan maupun kehidupan keduniaan. Apabila sesuatu tersebut tidak terpenuhi, maka kehidupan di dunia ini akan cacat, kenikmatan akan hilang, dan hukuman di akhirat akan diterima. Dengan kata lain, ia adalah segala sesuatu yang sudah menjadi keharusan bagi manusia untuk melindungi perkara utama yang lima di atas.
Yang dimaksud. dengan tingkatan sekunder (hajjiyyat) adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk menghilangkan kesukaran. Apabila sesuatu tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan merasa kesulitan dan sempit, namun tidak sampai menyebabkan hidupnya cacat. Tanpa sesuatu yang termasuk tingkatan sekunder ini, maka perkara utama yang lima di atas akan terwujud namun disertai dengan kesulitan dan kesempitan.
Adapun yang dimaksud dengan tingkatan komplementer (tahsiniyyat) adalah kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksudkan sebagai pelengkap, seperti supaya ibadah menjadi semakin baik dan akhlak semakin sempurna dengan bersuci dan menutup aurat. Tahsiniyat ini laksana pagar yang menjaga kewujudan perkara-perkara lima utama yang disebut di atas.
(4) Ketika mengambil pendapat yang paling mudah, hendaklah memang dalam keadaan darurat atau dalam kondisi perlu (hajat).
OIeh sebab itu, mengambil pendapat yang paling mudah ini hendaklah tidak dilakukan untuk mempermainkan ajaran agama, mengikuti hawa nafsu, mencari kesenangan, atau memenuhi kepentingan pribadi. Hal ini karena syara' melarang sikap mengikuti hawa nafsu, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Mu’minuun ayat 71 yang artinya, “Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya...”
Allah Ta’ala juga berfirman dalam Surah An-Nisaa’ ayat 59 yang artinya, "... Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (AI-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)....", sehingga mengembalikan pertentangan pendapat kepada hawa nafsu adalah tidak boleh. Selain itu, banyak juga ayat-ayat yang semakna dengan ayat di atas, di antaranya dalam Surah Al-Qashshash ayat 50 yang artinya, "Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu),maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Dan dalam Surah Al-Maa’idah ayat 49 yang artinya, “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka....”. Dan dalam Surah Shaad ayat 26 yang artinya, “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah...!”
Atas dasar ini, maka para ulama mewajibkan seorang mufti untuk tidak mengikuti hawa nafsu manusia (Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 1 halaman 47; Al-Muwafaqat jilid 4 halaman 132 dan setelahnya; Al-I’tisham jilid 2 halaman 176), melainkan hendaklah dia mempertimbangkan kemaslahatan dan juga dalil yang rajih. Sebagaimana telah saya terangkan, yang dimaksud dengan al-mashlahah al-mu'tabarah adalah kemaslahatan yang komperehensif. Allah Ta’ala berfirman kepada utusan-Nya dalam Surah Al-Jaatsiyah ayat 18-19 yang artinya, “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. Sungguh, mereka tidak akan dapat menghindarkan engkau sedikit pun dari (azab) Allah...”.
Imam Al-Qarafi dalam kitab Al-Ihkam dan Syaikh Ulaisy dalam fatwanya (dalam Kitab Fath Al-‘Ali Al-Malik fi Fatwa ‘ala Madzhab Malik jilid 1 halaman 68 dan Kitab Al-Ihkam halaman 79) menyatakan bahwa mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum dan fatwa adalah haram secara ijma.
Ibnul Qayyim dalam Kitab A’lam Al-Muwaqqi’in jilid 4 halaman 222, berkata, “Seorang mufti tidak dibenarkan mencari-cari pendapat yang mudah untuk orang yang dia ada keperluan kepadanya. Jika mufti itu melakukan hal tersebut, maka dia dihukumi fasik dan haram meminta fatwa kepadanya. Sebagaimana telah saya terangkan, keadaan seperti inilah yang mendorong Imam Asy-Syathibi melarang sikap mencari-cari pendapat yang mudah (tatabbu' ar-rukhash). Imam Asy-Syathibi berkata, "Ditinggalkannya prinsip mengutamakan tarjih dalam mengikuti salah satu dari dua dalil atau dua pendapat, menyebabkan kebanyakan fuqaha yang dalam taraf taklid memberi fatwa kepada kawannya atau karibnya, dengan fatwa-fatwa yang tidak pernah difatwakan oleh mufti selain dia, karena mengikuti keinginan nafsu dan syahwat, atau karena dia memerlukan sesuatu dari kawan atau karib tersebut (dalam Kitab Al-Muwafaqat jilid 4 halaman 135).
Hal ini menunjukkan bahwa mengedepankan kemaslahatan pribadi dalam mengambil pendapat yang paling mudah adalah suatu sikap yang tidak dibenarkan secara fiqih dan juga secara syara', melainkan yang dikedepankan haruslah kemaslahatan umum atau kemaslahatan yang komprehensif.
Apabila mengikuti hawa nafsu adalah haram, maka praktik mengambil pendapat yang paling mudah harus dibatasi apabila memang dalam keadaan darurat atau hajat. Hal ini karena ada kaidah fiqih yang menyatakan, “Keadaan darurat menyebabkan perkara yang dilarang menjadi mubah" dan juga "Kondisi perlu (hajat) menempati posisi keadaan darurat, baik hajat tersebut adalah hajat umum ataupun khusus."
Yang dimaksud dengan darurat di sini adalah segala sesuatu yang apabila tidak dipenuhi, maka akan menimbulkan bahaya. Sedangkan yang dimaksud hajat adalah segala sesuatu yang apabila tidak dipenuhi, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dan kesukaran. Yang dimaksud
dengan hajat umum adalah hajat yang memang diperlukan oleh semua masyarakat. Sedangkan hajat khusus adalah hajat yang diperlukan oleh kelompok masyarakat tertentu saja, seperti masyarakat kota atau kampung tertentu. Hajat khusus ini bukan berarti hajat individu (dalam Kitab Al-Madkhal Al-Fiqh halaman 603).
Syeikh Wahbah Zuhaili tidak sependapat dengan Imam Asy-Syathibi dalam Kitab Al-Muwafaqat jilid 4 halaman 145, yang menyatakan bahwa mengamalkan sesuatu dalam keadaan darurat atau hajat berarti mengikuti hawa nafsu, karena keadaan darurat dan hajat akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan masa. Oleh sebab itu, dalam menentukan kondisi darurat dan hajat perlu mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan, yaitu kondisi tersebut memang benar-benar terjadi bukan kondisi yang diprediksikan. Kondisi tersebut memang diyakini terjadi atau diduga kuat terjadi, kondisi tersebut memang mendesah dan lain-lain (Lihat Wahbah Zuhaili, Nazhariyyah Adh-Dharurah halaman 66 dan setelahnya).
(5) Praktik mengambil pendapat yang paling mudah ini hendaknya dibatasi dengan prinsip tarjih. Dengan kata lain, hendaknya tujuan utama pertama seseorang adalah mengamalkan pendapat yang paling kuat atau paling rajih berdasarkan kekuatan dalilnya. Hal ini karena praktik memilih pendapat yang paling mudah merupakan satu bentuk ijtihad, dan seorang mujtahid harus mengikuti dalil kuat yang mengantarnya kepada kebenaran dengan berpedoman pada dugaan yang kuat.
Atas dasar ini, maka para pakar ushul fiqih mewajibkan seorang mufti atau mujtahid untuk mengikuti suatu pendapat karena berdasarkan.dalilnya. Oleh sebab itu, dia tidak boleh memilih pendapat di antara madzhab yang dalilnya paling dhaif melainkan dia harus memilih pendapat yang dalilnya paling kuat. Keputusan ini didasari bahwa para sahabat bersepakat dalam ijtihad mereka, akan wajibnya beramal dengan menggunakan salah satu dari dua dugaan kuat yang paling kuat, bukannya yang paling lemah. Selain itu, akal logis juga mewajibkan seseorang untuk mengamalkan pendapat yang paling kuat, dan pada dasarnya syara' serasi dengan akal.
Imam Al-Qarafi berkata, "Seorang hakim jika mempunyai kemampuan ijtihad tidak boleh menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dengan pendapat yang paling rajih baginya. Namun jika dia masih dalam taraf muqallid maka dia boleh memberi fatwa dan menetapkan hukum dengan menggunakan pendapat yang masyhur dalam madzhabnya, meskipun menurutnya pendapat tersebut tidak kuat. Hal ini dilakukan karena bertaklid kepada keputusan imam -yang ditaklidi yang menetapkan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang rajih, sama seperti ketika seseorang mengikuti suatu fatwa." Dia juga menegaskan, 'Adapun menetapkan hukum atau memberi fatwa dengan pendapat yang lemah (marjuh), maka hal itu termasuk sikap yang tidak sesuai dengan ijma." (dalam Kitab Al-Ihkam fi Tamyiz Al-Fatawa ‘an Al-Ahkam halaman 79-80; Kitab Tabshirah Al-Hukkam jilid 1 halaman 66; Fatawa Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 64, 68)
Namun Syekh Ulaisy menggugat klaim adanya ijma dalam masalah tersebut dengan berkata, "Mungkin yang dimaksud ijma -kalau memang ada- dalam masalah ini adalah ijma dalam kasus seorang qadhi atau mufti yang taklid dengan pendapat syadz karena mengikuti hawa nafsunya. Jika dia sedang marah kepada seseorang atau menghadapi orang yang tidak dikenal, maka dia akan menetapkan hukum yang berat kepadanya dengan mengambil pendapat yang masyhur. Namun jika dia menyenangi seseorang atau dia ada perlu dengan orang tersebut dan orang tersebut adalah kawan atau karibnya, atau dia malu kepada seseorang karena orang tersebut
adalah orang terhormat atau anak orang kaya, maka dia akan memberi fatwa kepada orang-orang tersebut dan menetapkan hukum dengan menggunakan pendapat syadz yang ringan (Kitab Fath Al-‘Ali Al-Malik jilid 1 halaman 62).
Ketika membincangkan masalah memilih berbagai pendapat, Syekh Ulaisy dalam kitab Fatawa-nya berkata, "Pendapat yang benar adalah apabila seorang muqallidtersebut mempunyai kemampuan untuk menimbang-nimbang cara tarjih pendapat dan mengetahui cara menentukan pendapat yang harus didahulukan dan pendapat yang benar maka dalam menghadapi dua pendapat atau lebih jika memang untuk kasus seorang saja, dia tidak boleh mengamalkan atau memberi fatwa atau menetapkan hukum, kecuali dengan menggunakan pendapat yang rajih menurutnya (dalam Kitab Fatawa Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 65).
Imam Al-Qarafi mengatakan bahwa seorang mujtahid dilarang menetapkan hukum dan memberi fatwa, kecuali dengan menggunakan pendapat yang menurutnya rajih. Seorang muqallid boleh memberi fatwa dengan menggunakan pendapat yang masyhur dalam madzhab yang ditaklidi, meskipun menurutnya pendapat tersebut syadz dan lemah (marjuh). Kemudian Syekh Ulaisy (dalam Kitab Fatawa Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 65) mengomentari pendapat Imam Al-Qarafi ini dengan berkata, "Dalam uraian tersebut tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang boleh mengamalkan pendapat yang tidak rajih. Karena, keputusan bolehnya mengamalkan pendapat yang marjuh menurut seseorang namun rajih menurut imam madzhabnya. Atau sebaliknya, hal itu tidaklah menyebabkan munculnya keputusan bahwa mengamalkan pendapat yang marjuh menurut kedua pihak adalah boleh.”
Kesimpulan dari pendapat Imam Al-Qarafi dan Syaikh Ulaisy adalah seorang muqallid apabila mempunyai kemampuan untuk melakukan tarjih, dan dia menghadapi dua pendapat yang satu rajih dan yang satunya lagi marjuh, maka orang tersebut wajib meneliti dan melakukan tarjih. Namun jika yang dihadapi adalah dua pendapat yang sama kuatnya (tidak ada yang rajih menurutnya), maka dia boleh menetapkan hukum dengan menggunakan salah satu dari dua pendapat tersebut, atau melakukan tarjih dengan mempertimbangkan imam yang lebih pandai, atau
pendukung yang lebih banyak atau yang lebih berat dan keras (dalam Kitab Al-Ihkam halaman 80 dan Kitab Fata ‘Ulaisy jilid 1 halaman 65, 69, 79).
Apa yang telah diuraikan tersebut menerangkan pendapat-pendapat ulama dalam hal wajibnya menggunakan pendapat yang rajih dalam menetapkan fatwa, memutuskan hukum, dan dalam amalan, kecuali jika memang ada alasan lain yang dibenarkan oleh syara. Oleh sebab itu, menggunakan pendapat yang marjuh (dhaif atau syadz) adalah dibolehkan jika dalam kondisi darurat atau hajat, atau jika dapat memenuhi kemaslahatan umum dengan menggunakan pendapat itu. Begitu juga, seorang hakim boleh berpegang kepada pendapat marjuh tersebut bila dalam keadaan kondisi di atas, sebagaimana yang telah kami terangkan.
Tidak ada ijma yang menetapkan larangan menggunakan pendapat marjuh, karena pada kenyataannya terdapat bukti yang menunjukkan bahwa ulama berbeda pandangan dalam hal pendapat-pendapat mana yang boleh diambil oleh seorang muqallid. Ada yang mengatakan bahwa pendapat yang diamalkan haruslah pendapat imam yang paling luas ilmunya. Ada iuga yang berpendapat bahwa harus mengikuti pendapat kebanyakan ulama. Ada juga yang berpandangan boleh mengikuti pendapat siapa saja dari ulama yang dikehendaki, meskipun ulama tersebut bukanlah yang paling pandai, dan meskipun pendapat tersebut bukan pendapat kebanyakan ulama, melainkan pendapat tersebut adalah pendapat sebagian kecil ulama, atau perbandingan antara ulama yang mempunyai pendapat tersebut dengan ulama yang tidak berpendapat demikian sama, atau ulama yang berpendapat tersebut pengetahuan ilmunya lebih rendah apabila dibanding dengan yang lain. Pendapat terakhir ini berarti setuju dengan pendapat syadz.
Sebagian ahli tafsir ada yang menerangkan rahasia firman Allah Ta’ala kepada Nabi Dawud dalam Surah Shaad ayat 26 yang artinya, "Dan janganlah mengikuti hawa nafsu", setelah Allah memerintahkan Nabi Dawud untuk menetapkan hukum dengan kebenaran. Tafsiran tersebut adalah, 'Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa yang boleh diikuti bukan hanya hukum yang benar (al-haq) saja. (Maksud mengikuti hawa nafsu dalam ayat tersebut adalah) jika yang mendorong seseorang menetapkan hukum dengan pendapat yang tidak benar itu adalah hawa nafsunya, sehingga yang dituhankan oleh orang tersebut adalah hawa nafsunya, bukan Allah Ta’ala. Bahkan jika pendapat yang benar itu tidak sesuai dengan nafsunya, maka dia juga akan meninggalkannya dan mengikuti selain Allah Ta’ala. Adapun orang yang bertaklid kepada pendapat yang syadz dengan alasan bahwa pendapat syadz ini menurut si empunya dan orang yang bertaklid kepadanya adalah pendapat yang benar, dan orang tersebut memilih pendapat yang syadz ini bukan hanya karena dorongan hawa nafsu, melainkan karena dorongan hajat dan supaya kemudharatan dalam bidang agama dan dunia dapat dihindari, maka orang seperti ini diharapkan termasuk orang yang selamat dengan niat yang membatasinya tersebut.” (Kitab Fatawa Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 62)
Syekh Ulaisy berkata, 'Adapun bertaklid kepada pendapat yang ringan tanpa maksud sengaja mencari-carinya, tetapi karena kondisi perlu, dalam keadaan tertentu dan juga karena takut terjadi fitnah atau yang semacamnya, maka taklid semacam itu adalah boleh.” (Kitab Fatawa Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman 62)
Inilah menurut Syekh Wahbah Zuhaili aturan main dalam mengambil pendapat yang paling mudah. Apabila kita mengikuti aturan ini dengan konsisten dan disiplin, maka kita akan mengamalkan prinsip moderat dan pertengahan (al-i'tidal wat-Tawassuth) yang merupakan pondasi syariah Islam. Ini adalah sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur ketika bertemu dengan Imam Malik pada musim haji. Khalifah berkata kepada Imam Malik, "Sekarang ini orang alim yang masih hidup tinggal saya dan kamu. Saya sibuk dengan urusan politik. Dan saya harap kamu menyusun kitab dalam masalah sunnah dan fiqih yang menghindari kemudahan-kemudahan pendapat lbnu Abbas, kerasnya pendapat Ibnu Umar dan syadz-nya pendapat Ibnu Mas'ud!" Imam Malik berkata, "Kemudian Abu Ja'far memberi tahu cara penulisan seperti itu." Maksudnya adalah memberi tahu cara yang tengah-tengah.
Aturan-aturan di atas dapat diringkas menjadi dua saja. Pertama, pendapat yang diambil adalah dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak ada dalil rajih-nya. Kedua, dilakukan karena dalam kondisi darurat, kondisi hajat atau karena kemaslahatan atau udzur.
Ibnu Hajar dan ulama-ulama madzhab Syafi'i yang lain dalam Kitab Al-Fawa’id Al-Makkiyah fi Ma Yahtajuhu Thalabah Asy-Syafi’iyyah min Al-Masa’il wadh-Dhawabith wal-Qawa’id Al-Kulliyyah dalam Sab’atu Kutubin Mufidah karangan Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqqaf halaman 51, menetapkan beberapa syarat dalam taklid. Syarat-syarat ini sangat tepat apabila ditetapkan untuk mengatur masalah yang kita bincangkan ini, yaitu masalah mengambil pendapat yang paling mudah. Syarat-syarat taklid ada enam.
Pertama, pendapat-pendapat madzhab yang ditaklidi harus terpelihara, supaya dapat diyakini bahwa masalah yang ditaklidi tersebut memang berasal dari madzhab tersebut. Kedua, muqallid harus menjaga (mengamalkan) syarat-syarat yang ditetapkan oleh imam madzhabnya dalam masalah yang diikuti tersebut. Ketiga, taklid tersebut tidak menyebabkan keputusan qadhi terabaikan, selagi keputusan qadhi tersebut tidak bertentangan dengan nash Al-Qur'an, sunnah, ijma, atau qiyas jali. Keempat, tidak mengikuti pendapat yang mudah, yaitu dengan cara mengambil pendapat yang paling mudah dari setiap madzhab dengan maksud menghindari tuntutan-tuntutan. Ibnu Hajar berkata, "Orang yang melakukan seperti ini sangat tepat untuk dihukumi fasiq." Imam Ar-Ramli berkata, "Yang tepat orang seperti ini tidak dihukumi fasiq, meskipun tetap berdosa." Menurut ulama madzhab Syafi'i belakangan (Al-Muta'akhkhirun), syarat
ini bukanlah syarat bagi sahnya taklid, melainkan ia adalah syarat untuk mengelak dari perbuatan dosa, seperti larangan melakukan shalat di tanah ghasab. Kelima, tidak mengamalkan satu pendapat dalam satu masalah kemudian mengamalkan pendapat yang menentangnya juga dalam masalah tersebut. Syarat ini perlu diteliti ulang, karena menyebabkan dilarangnya praktik taklid setelah mengerjakan satu amalan. Yang lebih tepat adalah dihukumi boleh sebagaimana pendapat ulama Syafi'iyah. Keenam, tidak mencampur antara dua pendapat imam yang menyebabkan munculnya satu paket pendapat baru yang tidak diakui keabsahannya oleh dua imam tersebut. Umpamanya adalah bertaklid kepada Imam Asy-Syafi'i dalam masalah cukupnya mengusap sebagian kepala ketika wudhu, dan pada masa yang sama bertaklid kepada Imam Malik dalam masalah sucinya anjing kemudian orang tersebut melakukan shalat. Imam Al-Bulqini berkata, "Penggabungan beberapa pendapat yang dapat menyebabkan rusaknya taklid adalah jika penggabungan itu pada satu masalah tertentu, seperti taklid kepada dua imam dalam amalan bersuci dari hadats. Namun apabila terjadinya penggabungan itu dalam dua amalan yang berbeda seperti amalan bersuci dari hadats dan amalan bersuci dari kotoran, maka penggabungan itu tidaklah merusakkan taklid."
Sebagian ulama madzhab Syafi'i ada yang menambahkan satu syarat lagi, yaitu wajibnya seorang muqallid meyakini keutamaan imamnya atau persamaannya dengan imam yang lain. Tetapi, pendapat yang masyhur sebagaimana yang didukung oleh Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi'i adalah bolehnya bertaklid kepada ulama yang tingkat keutamaannya lebih rendah, meskipun ada ulama yang tingkat keutamaannya lebih tinggi. Ibnu Abidin dalam Kitab Radd Al-Mukhtar berkata, "Dalam Kitab At-Tahrir dan syarahnya disebutkan, boleh bertaklid kepada ulama yang tingkat keutamaannya lebih rendah meskipun ada ulama yang tingkat keutamaannya lebih tinggi. Pendapat ini juga didukung oleh ulama-ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi'i.
Ada juga ulama yang menambah satu syarat lagi, sehingga menjadi delapan syarat. Syarat tersebut adalah imam madzhab yang diikuti harus masih hidup ketika praktik taklid dilakukan. Namun syarat ini ditolak oleh ulama, karena Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi'i sepakat membolehkan bertaklid kepada orang yang sudah mati. Mereka berdua berkata, "lni adalah pendapat yang shahih."
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dua syarat pertama harus dipenuhi dalam mempraktikkan taklid dan mengambil pendapat yang paling mudah. Adapun syarat yang ketujuh dan kedelapan tidak perlu. Syeikh Wahbah Zuhaili juga sepakat dengan syarat yang ketiga, dan ia dijadikan pegangan dalam kajiannya. Beliau juga melarang praktik talfiq apabila ia termasuk talfiq yang dilarang, sehingga syarat yang kelima tidak diperlukan. Beliau mengambil pendapat yang bertentangan dengan syarat keempat jika memang ada keperluan (al-hajat).
Menurut Syeikh Wahbah Zuhaili, proyek penyusunan undang-undang sipil, perdagangan, dan juga hukuman kriminal hendaknya diambil dari sumber-sumber fiqih Islam semuanya (yaitu fiqih sahabat, tabi'in, fiqih madzhab empat, dan madzhab para mujtahid yang lain serta fiqih-fiqih
ulama kontemporer).  
Pada masa sekarang, aktivitas ijtihad sangat mungkin dilakukan dan tidak ada kesulitan dalam melakukannya, dengan syarat kita dapat mengesampingkan khayalan-khayalan serta suara-suara warisan lama yang mengganggu pikiran dan hati, dan juga sangkaan keliru bahwa kita tidak mungkin sampai kepada tingkatan yang telah dicapai oleh ulama-ulama terdahulu. Sehingga, seakan-akan aktivitas ijtihad ini mustahil dilakukan. Apakah ada sesuatu yang mustahil setelah manusia sampai ke angkasa dan diciptanya peralatan dan teknologi modern yang mengagumkan?
Tidaklah sulit untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad setelah berbagai disiplin ilmu telah dikumpulkan dalam tulisan, dan karya-karya tulis dalam berbagai bidang banyak ditulis, serta banyak usaha yang telah dilakukan untuk membersihkannya dari unsur-unsur serapan negatif yang berada di dalamnya.
Ulama yang hidup pada setiap masa selalu melakukan ijtihad. Mereka me-rajih-kan antara satu pendapat fuqaha-fuqaha sebelumnya dengan pendapat yang lainnya, hingga madzhab-madzhab yang ada ini teratur dan hukum-hukumnya tertata rapi.
Dalam kitab Syarh Mukhtashar lbnu Hajib bab "Al-Qadha'i”, Ibnu Abdussalam -salah seorang tokoh madzhab Maliki- berkata, "Tingkatan mujtahid adalah tingkatan yang dapat diusahakan. Ia adalah syarat dalam memberikan fatwa dan dalam menetapkan hukuman (al-qadha). Aktivitas ijtihad akan terus berlangsung hingga masa terputusnya ilmu –seperti yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan pada masa sekarang, masa terputusnya ilmu tersebut belum terjadi. Apabila ijtihad ini tidak dilakukan, maka berarti umat Islam bersepakat dalam kesalahan, dan ini adalah batil.”     
Imam As-Suyuthi mengomentari ungkapan di atas, "Perhatikanlah, bagaimana Ibnu Abdissalam menegaskan bahwa tingkatan ijtihad bukanlah tingkatan yang tidak dapat dicapai, dan tingkatan itu berlangsung hingga zamannya. Dia juga menegaskan bahwa tidak adanya tingkatan ijtihad berarti umat Islam bersepakat dalam kebatilan. Hal ini adalah sesuatu yang mustahil.'' (dalam Kitab Ar-Radd ‘alaa Man Akhlada fil Ardhi halaman 24)
Syekh Al-Maraghi dalam kajiannya tentang al-ijtihad fil Islam berkata, "Meskipun saya menghormati ulama yang berpendapat bahwa ijtihad adalah mustahil, namun saya berbeda pendapat dengan mereka. Dan saya katakan bahwa banyak ulama-ulama yang ada di ma'had-ma'had (sekolah) agama di Mesir yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad dan mereka haram bertaklid.”

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)