BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Al-Fiqh dalam bahasa Arab berarti AI-Fahm (pemahaman). Al-Fiqh bisa berasal dari faqiha-yafqahu yang perubahan katanya sama dengan ‘alima-ya’lamu, artinya memahami baik secara mendalam maupun secara dangkal. Al-Fiqh juga bisa berasal dari faquha-yafqahu yang perubahan katanya sama dengan karuma-yakramu, dengan bentuk seperti ini ia mempunyai arti fikih telah menjadi keahlian seseorang. Bila dikatakan tafaqqaha ar-rajulu tafaqquhan maka artinya laki-laki tersebut mendapatkan/mempunyai ilmu fikih seperti firman Allah Ta’ala, “liyatafaqqahuu fid-din.”
Sebagaimana yang bisa kita pahami dari firman Allah Ta’ala dalam Surah Huud ayat 91 yang artinya: “Mereka berkata, 'Wahai Syu'aib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu....” Dan dalam Surah An-Nisaa’ ayat 48 yang artinya, “…Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami (yafqahuuna) pembicaraan (sedikit pun)?
Adapun menurut terminologi syariah sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam Abu Hanifah (dalam Kitab Mir’atul Ushul jilid 1 halaman 44 dan Kitab At-Taudhih li Matn At-Tanqih jilid 1 halaman 10), Al-Fiqh adalah mengetahui hak dan kewajiban diri. Yang dimaksud dengan mengetahui di sini adalah memahami permasalahan-permasalahan parsial dengan memahami dalilnya (terlebih dahulu). Dengan kata lain, kata mengetahui di sini maksudnya adalah kemampuan pada diri seseorang yang muncul setelah melakukan penelitian-penelitian atas beberapa kaidah.
Definisi ini sangat umum sehingga masalah-masalah keyakinan, akhlak, dan tasawuf serta amal-amal praktis masuk di dalamnya. Sehingga permasalahan seperti kewajiban beriman, membersihkan hati, shalat, puasa, jual beli, dan sebagainya masuk dalam definisi ini. Inilah yang dinamakan Al-Fiqh Al-Akbar (fikih yang besar). Pada masa Abu Hanifah definisi umum seperti ini memang banyak digunakan. Fikih -sebagai disiplin ilmu tersendiri- belum terpisah dari ilmu-ilmu syara' yang lain. Baru pada periode selanjutnya, ilmu-ilmu tersebut terpisah dan menjadi disiplin ilmu-disiplin ilmu tersendiri. Ilmu kalam (tauhid) khusus membahas masalah aqidah. Ilmu akhlak dan tasawuf membahas masalah intuisi dan kerja hati seperti zuhud, sabar, ridha, keterlibatan aktif hati ketika shalat dan lain-lain. Dan akhirnya ilmu fikih hanya membahas masalah hukum-hukum praktis berkenaan dengan kewajiban dan hak manusia.
Oleh sebab itu, para pengikut madzhab Hanafi kemudian menambahi definisi Imam Abu Hanifah di atas dengan “Mengetahui hak dan kewajiban diri dalam masalah amal praktikal,” sehingga pembahasan aqidah dan akhlak tidak lagi masuk dalam definisi fikih tersebut.
Imam Asy-Syafi'i (dalam Kitab Syarh Jam’il Jawaami’, Kitab Syarh Al-Isnawi, Kitab Syarh Al-‘Adhud li Mukhtashar Ibn Hajib, Kitab Mir’atul Ushul dan Kitab Al-Madkhal ilaa Madzhab Ahmad), memberikan definisi lain -yang kemudian masyhur di kalangan ulama-yaitu, “Al-Ilmu bil Ahkaam Asy-Syar'iyyah Al-Amaliyyah Al-Muktasab min Adillatihaa At-Tafshiiliyyah.” Yang diartikan, mengetahui hukum-hukum syara'yang berhubungan dengan amalan praktis, yang diperoleh dari (meneliti) dalil-dalil syara' yang terperinci (dalam Kitab Syarh Jam’il Jawaami’ jilid 1 halaman 32 dan setelahnya, Kitab Syarh Al-Isnawi jilid 1 halaman 24, Kitab Syarh Al-Adhud li Mukhtashar Ibn Hajib jilid 1 halaman 18, Kitab Mir’atul Ushul jilid 1 halaman 50 dan Kitab Al-Madkhal ilaa Madzhab Ahmad halaman 58).
Yang dimaksud dengan Al-'Ilmu (mengetahui) dalam definisi di atas adalah semua jenis kualitas pengetahuan, baik yang mencapai tahap keyakinan ataupun yang hanya sebatas dugaan kuat (zhan). Hal ini disebabkan hukum-hukum amalan praktis kadang disimpulkan dari dalil-dalil yang sangat kuat (qath'i) dan kadang disimpulkan dari dalil-dalil yang zhanni.
Adapun kata Al-Ahkaam (hukum-hukum) merupakan bentuk plural dari Al-Hukmu (hukum). Maksud Al-Ahkaam di sini adalah segala tuntutan Tuhan Yang Membuat aturan syara', atau. dengan kata lain perintah dan larangan Allah (kitaabullah) yang berkenaan dengan perilaku-perilaku manusia mukallaf, baik dalam bentuk keputusan final (iqtidha’), pilihan (takhyiir) ataupun dalam bentuk penetapan satu hubungan (semisal hubungan sebab akibat dan lain-lain) antara satu faktor dengan faktor lain (wadh'i). Dan yang dimaksud dengan kitaabullaah adalah dampak yang wujud dari khithaab tersebut, seperti kewajiban shalat muncul dari satu perintah (khithaab) Allah;
keharaman membunuh muncul dari satu larangan (khithaab) Allah; begitu juga dengan dibolehkannya makan dan disyaratkannya wudhu sebelum melakukan shalat.
Dari definisi di atas juga dapat disimpulkan, bahwa yang hendak diketahui dalam ilmu fikih adalah masalah-masalah hukum bukannya zat, sifat, ataupun pekerjaan itu sendiri.
Sedangkan Asy-Syar’iyyah berasal dari kata Asy-Syar'u. Dengan adanya kata ini, maka hukum benda terindra (seperti matahari terbit), hukum logika, (seperti satu adalah separuh dari dua atau universal lebih luas daripada parsial), hukum lingusitik (seperti subjek dalam bahasa Arab harus dibaca raf’), atau hubungan dua variabel baik positif atau negatif (seperti Zaid berdiri atau Zaid tidak berdiri) tidak termasuk yang dimaksudkan oleh definisi tersebut.
Kata 'amaliyyah (amalan praktikal) dalam definisi di atas maksudnya adalah semua amal baik batiniah maupun lahiriah, sehingga pekerjaan hati seperti niat dan pekerjaan anggota badan seperti membaca dan shalat masuk dalam definisi tersebut. Namun, sebenarnya kajian fikih bukan hanya amal-amal praktikal saja, karena ada sebagian kajiannya yang bersifat teoretikal seperti “perbedaan agama menyebabkan terhalangnya seseorang mendapatkan warisan.” Sehingga, kalimat yang lebih tepat sebenarnya adalah hukum-hukum syara' yang sebagian besar bersifat praktikal. Dengan perkataan ini, maka hukum-hukum teoretis seperti ilmu ushul fikih dan hukum-hukum aqidah yang dibahas dalam ilmu ushuluddin tidak termasuk pembahasan ilmu fikih. Oleh sebab itu, materi tentang Tuhan itu satu, Maha Mendengar dan Maha Melihat, tidak dibahas dalam ilmu fikih ini. Masalah amalan praktikal dalam kajian Islam sering disebut dengan istilah “Al-Far'iyyah” sedangkan masalah aqidah disebut dengan istilah “Al-Ashliyyah.”
Adapun kata “Al-Muktasab” (yang diperoleh) dalam definisi tersebut merupakan keterangan terhadap kata ilmu yang disebut lebih dulu. Maksudnya adalah, ilmu penyimpulan hukum (isthinbaath) yang diperoleh setelah melakukan proses berpikir dan ijtihad. Dengan demikian, maka ilmu Allah Ta’ala, ilmu malaikat tentang hukum-hukum syara', ilmu Rasul yang bersumber dari wahyu (bukan hasil ijtihad), pengetahuan aksiomatik manusia yang tidak memerlukan pemikiran mendalam dan dalil seperti kewajiban shalat lima waktu -tidak dapat dikategorikan sebagai pengetahuan fikih, sebab keberadaan ilmu pengetahuan tersebut tidak diusahakan oleh kerja nalar.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Al-Adillah At-Tafshiililyyah” (dalil-dalil syara' yang terperinci) adalah dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur'an, sunnah, ijma, dan qiyas. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki oleh orang-orang yang bertaklid kepada imam-imam madzhab tidak termasuk kategori ini. Sebab, mereka tidak mengetahui dalil yang terperinci bagi setiap amal yang mereka kerjakan. Mereka hanya mengetahui satu dalil umum, yaitu “keharusan bertanya kepada orang yang pandai (ahludz dzikr) dan setelah bertanya mereka wajib mengamalkan hukum sesuai dengan jawaban imam tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu fikih -sesuai dengan keterangan Imam Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Qawaa'id –didefinisikan dengan, “Mengetahui hukum amalan-amalan yang bersifat atribut (al-hawaadits) berdasarkan nash syara' dan juga penyimpulan hukum (istinbaath) menurut salah satu madzhab dari beberapa madzhab yang ada.”
Adapun objek kajian ilmu fikih adalah semua pekerjaan manusia mukallaf dari perspektif
dituntut atau tidaknya pekerjaan tersebut. Sehingga, menurut kajian fikih pekerjaan tersebut adakalanya dituntut untuk dilakukan oleh seorang mukallaf seperti melakukan shalat, atau dituntut untuk ditinggalkan seperti sikap marah, dan ada juga yang hanya sekadar pilihan seperti pekerjaan
makan.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang mukallaf adalah orang yang sudah baligh, mempunyai akal sehat, dan pekerjaan-pekerjaannya menjadi objek tuntutan syara'.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab


The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)