Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Pertanyaan yang masyhur di kalangan para pakar ushul fiqih dalam
masalah ini adalah, ”Apakah boleh bertaklid kepada ulama yang tingkat
keutamaannya kurang karena ada ulama yang lebih utama?” Ada dua pendapat dalam
masalah ini (dalam Kitab At-Taqrir wat Tahrir jilid 3 halaman 345 dan
halaman setelahnya; Fawatih Ar-Rahamut jilid 2 halaman 403; Musallam
Ats-Tsubut jilid 2 halaman 354; Asy-Syirazi, Al-Luma’ fil Ushul Al-Fiqh halaman
68; Al-Amidi, Al-Ihkam jilid 3 halaman 173; Al-Madkhal ila Madzhab
Al-Imam Ahmad halaman 194; Fatawa Asy-Syaikh ‘Ulaisy jilid 1 halaman
61, 71; Hasyiyah Ibnu Abidin jilid 1 halaman 45; Ibnu Arabi, Risalah
fi Ushul Fiqh halaman 32; Al-Mustashfa jilid 2 halaman 125; Irsyad
Al-Fuhul halaman 239).
(1)
Sebagian ulama (yaitu satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad, Ibnu Suraij Asy-Syafi'i,
Al-Qaffal Asy-Syafi'i, Abu Ishaq Al-lsfirayini (yang mendapat julukan
al-ustadz), Abul Hasan Ath-Thabari (yang mendapat julukan al-Kiya), pendapat
yang dipilih oleh Imam Al-Ghazali, dan juga
pendapat
yang masyhur dalam madzhab Syi'ah) menyatakan bahwa meminta fatwa (al-istifta)
kepada ulama yang lebih utama dalam ilmu, kewara'an, dan perilaku agamanya,
adalah wajib. Bagi orang yang bertanya wajib mengambil pendapat yang lebih rajih
kemudian mengikutinya, dan dia cukup
berpegang kepada pendapat yang masyhur. Al-Istifta' adalah bertanya
tentang pendapat seorang mujtahid dalam masalah hukum tertentu dengan maksud
untuk diamalkan, baik orang yang ditanya itu adalah mujtahid itu sendiri
ataupun orang yang menukilkan pedapat mujtahid tersebut meskipun antara orang tersebut
dengan mujtahid ada orang yang menjadi perantara (Ahmad Al-Husaini, Tuhfah
Ar-Ra’yul As-Sadid halaman 239.
Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa berkata, "Menurut
pendapat saya, adalah lebih utama untuk dikatakan bahwa orang yang meminta
fatwa, wajib mengikuti ulama yang lebih utama. Barangsiapa berkeyakinan bahwa
Imam Asy-Syafi'i adalah ulama yang lebih pandai dan biasanya
pendapat
madzhabnya adalah benar, maka orang tersebut tidak boleh mengambil pendapat
lain dengan maksud mengikuti selera saja (tasyahhi)."
Dalil mereka adalah, orang kebanyakan melihat bahwa
pendapat-pendapat imam mujtahid laksana dalil-dalil yang mengindikasikan
pertentangan antara satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, orang yang bertanya (mustafti)
wajib melakukan tarjih, dan tarjih yang dapat dilakukan oleh mereka adalah dengan
mempertimbangkan keutamaan dan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh para mujtahid.
Hal ini karena mujtahid yang lebih berilmu adalah lebih kuat bagi orang
tersebut. Adapun cara untuk mengetahui mana ulama yang lebih berilmu adalah
dengan cara pengujian dan pengalaman, atau karena memang mujtahid itu masyhur
keilmuannya, atau melalui kabar dan juga
banyaknya
orang yang merujuk kepada mujtahid tersebut.
(2)
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul Arabi dan kebanyakan ahli fiqih serta ushul fiqih (Ibnu
Abidin dalam Hasyiyah (dikutip dari Kitab At-Tahrir dan
syarahnya) mengatakan, “Madzhab Hanafi, Maliki, sebagian besar Hambali dan juga
Syafi’i juga berpendapat seperti ini.” Fatwa terakhir Ibnu Hajar juga
menyatakan, “Pendapat yang paling shahih di kalangan madzhab Syafi’i adalah
seorang muqallid boleh memilih ulama siapa saja yang dikehendaki, meskipun
ulama tersebut tingkatannya lebih rendah (al-mafdhul) dan meskipun dia
meyakini kerendahan tingkatan ulama yang ditaklidi tersebut. namun dalam
keadaan demikian, orang tersebut tidak boleh berkeyakinan atau berprasangka
kuat, bahwa mujtahid tersebut adalah bernar, melainkan orang tersebut hendaklah
berkeyakinan bahwa pendapat imam yang diikuti itu berkemungkinan untuk benar,”
dalam Hasyiyah Ibnu Abidin jilid 1 halaman 45) mengatakan bahwa orang
yang akan bertanya mengenai hukum dibolehkan memilih ulama siapa saja yang dia
kehendaki, baik tingkat keilmuan ulama yang akan ditanya itu sama dengan
tingkat keilmuan ulama yang lain, ataupun lebih tinggi. Dengan kata lain, orang
tersebut boleh bertaklid kepada ulama yang tingkatan ilmunya lebih rendah,
meskipun ada ulama yang tingkatan ilmunya lebih tinggi. Dasarnya adalah
keumuman firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Anbiyaa ayat 7 ayng artinya "...maka
tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui." dan juga atas dasar ijma sahabat, di mana di
antara para sahabat ada mujtahid yang utama, ada juga mujtahid
yang
lebih rendah tingkatannya, dan juga ada yang awam, Dan tidak ada informasi dari
salah satu mereka, yang mewajibkan orang awam di kalangan mereka untuk
berijtihad memilih mujtahid-mujtahid tertentu yang ada di antara mereka.
Kalau seandainya memilih mujtahid siapa pun adalah suatu larangan,
maka para sahabat tidak akan mungkin bersepakat mendiamkan praktik tersebut
pada masa mereka. Dalam kitab Al-Ihkam jilid 3 halaman 173 dan
setelahnya karangan Imam Al-Amidi menerangkan ijma ini, "Sesungguhnya di
antara sahabat ada mujtahid yang utama dan juga ada mujtahid yang lebih rendah
tingkatannya. Khalifah yang empat adalah sahabat yang paling mengetahui cara
berijtihad bila disbanding dengan yang lain. Oleh sebab itu,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian memegang
teguh sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku, gigitlah sunnah-sunnah
itu dengan gigi geraham (peganglah dengan kuat)!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Orang
yang paling ahli dalam masalah qadha di antara kalian adalah Ali, dan orang
yang paling ahli dalam masalah faraidh (ilmu waris) di antara kalian adalah Zaid,
dan yang paling mengetahui tentang masalah halal dan haram di antara kalian adalah
Mu'adz bin Jabal!”
Di antara sahabat juga ada orang yang awam sehingga mereka harus
mengikuti para mujtahid di kalangan mereka dan mengamalkan pendapat mereka.
Dengan demikian maka tidak ada informasi yang bersumber dari para sahabat dan
juga ulama salaf yang mewajibkan orang awam untuk berijtihad memilih seorang mujtahid
tertentu, dan mereka juga tidak mengingkari sebagian sahabat yang mengikuti
atau meminta fatwa kepada mujtahid yang tingkatannya tidak tinggi (al-mafdhul)
padahal ada mujtahid yang tingkat keilmuannya lebih tinggi (al-afdhal).
Kalau seandainya hal yang demikian adalah tidak boleh maka tidak mungkin para
sahabat bersepakat mendiamkan hal tersebut. Kalau seandainya ijma'
sahabat yang seperti ini tidak ada, maka menggunakan pendapat pertama (yang
tidak membolehkan) adalah lebih baik." Imam Ar-Razi juga mengutarakan
pendapat yang sama.
Maka jelaslah bahwa pendapat yang kedua adalah pendapat yang lebih rajih
berdasarkan
ijma
sahabat dalam hal bolehnya memilih berbagai pendapat ulama dan bertanya kepada ulama
yang dikehendaki. Ibnu Badran Al-Hambali dalam Kitab Al-Madkhal halaman
194 mengatakan, “Yang benar adalah seorang muqallid tidak wajib meminta fatwa
kepada mujtahid yang lebih utama, karena aturan yang seperti ini berarti
menutup pintu taqlid. Namun kita dapat membatasi bahwa mujtahid yang utama
tersebut adalah mujtahid di negerinya saja. Dengan pembatasan ini, maka seorang
muqallid harus mencari mujtahid yang paling utama di negerinya, karena mujtahid
yang utama dalam satu negeri adalah masyhur.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########