BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Dalam menganggapi masalah ini, para pakar ushul fiqih terbagi
kepada tiga kelompok pendapat:
(1)
Sebagian mereka mengatakan bahwa mengikuti salah satu imam madzhab secara disiplin
dalam semua permasalahan adalah suatu kewajiban. Hal ini karena orang yang
telah memilih satu madzhab telah berkeyakinan bahwa imam madzhab yang dianutnya
itu adalah yang benar; maka dia wajib melaksanakan keyakinannya itu.
(2) Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa taklid kepada imam tertentu dalam semua permasalahan
dan semua kejadian yang dialami bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh
bertaklid kepada mujtahid mana pun yang dia kehendaki. Kalau seandainya seseorang
mengikuti salah satu madzhab tertentu -umpamanya madzhab Abu Hanifah atau
madzhab Syafi'i atau yang lain, maka dia tidak wajib mengikuti madzhab tersebut
secara berterusan, melainkan ia boleh pindah ke madzhab yang lain. Alasannya
adalah sesuatu akan dihukumi wajib jika memang ada perintah wajib dari Allah
dan Rasul-Nya. Padahal, Allah dan juga Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang
untuk bermadzhab dengan salah satu imam madzhab yang ada. Yang diwajibkan oleh
Allah hanyalah mengikuti ulama secara umum, tanpa ada pengkhususan kepada salah
satu dari ulama tersebut. Allah Ta’ala berfirman da;a, Surah Al-Anbiya’ ayat 7
yang artinya, "...maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu
tidak mengetahui!”
Alasan lainnya adalah bahwa orang-orang yang meminta fatwa pada
zaman sahabat dan tabi'in tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti
madzhab tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapa
pun yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Ini dapat disimpulkan
bahwa mereka semua adalah bersepakat (berijma) bahwa bertaklid hanya
kepada satu imam saja atau mengikuti madzhab tertentu dalam berbagi permasalahan,
bukanlah suatu kewajiban. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa mengikuti
salah satu madzhab adalah wajib, akan menyebabkan kesulitan dan kesempitan.
Padahal, keberadaan madzhab yang beragam sebenarnya adalah suatu kenikmatan,
anugerah, dan juga rahmat bagi umat Islam. Pendapat ini adalah pendapat yang
rajih di kalangan ulama ushul fiqih.
(3)
Imam Al-Amid dan Imam Al-Kamal ibnul Hammam membuat perincian yang lebih detail
dalam masalah ini. Bagi mereka, yang diwajibkan mengikuti aturan madzhab tertentu
adalah ketika seseorang melakukan perbuatan dalam suatu perkara tertentu.
Ketika dia mengamalkan satu madzhab dalam satu perkara tersebut, maka dia tidak
boleh bertaklid kepada madzhab yang lain. Namun ketika dia menghadapi perkara
lain dan dia tidak mengikuti madzhabnya, maka dia boleh mengikuti madzhab yang
lain dalam melaksanakan perkara tersebut. Hal ini disebabkan tidak ada aturan
syara' yang mewajibkan mengikuti satu madzhab yang dianut secara disiplin dalam
semua perkara. Yang diwajibkan oleh syara' adalah mengikuti ulama siapa pun
tanpa ada pengkhususan kepada salah seorang di antara mereka. (Lihat Fawatih
Ar-Rahamut Syarh Musallam Ats-Tsubut karya Ibnu Abdissyakur jilid 2 halaman
402; Musallam Ats-Tsubut jilid 2 halaman 355; Syarh Al-Mahalli ‘ala
Jam’ Al-Jawami’ jilid 2 halaman 328; Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam karya
Al-Amidi jilid 3 halaman 174; At-Taqrir wat Tahrir jilid 3 halaman 344; Syarh
Al-Isnawi jilid 3 halaman 266; Al-Madkhal ila Madzhab Al-Imam Ahmad halaman
193; Irsyad Al-Fuhul halaman 340; Fatawa Asy-Syaikh ‘Ulaisy jilid
1 halaman 60)
Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling shahih dan rajih di
kalangan ulama ushul fiqih adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti
madzhab tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat imam madzhab, juga boleh
mengambil pendapat selain imam madzhab. Hal ini disebabkan konsisten
mengamalkan madzhab tertentu bukanlah suatu kewajiban sebagaimana yang sudah
kami terangkan. (Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa pendapat yang ashah di
kalangan ulama Syafi’iyyah yang hidup pada masa belakangan (muta’akhkhirun)
seperti pendapat Syekh Ibnu Hajar dan lainnya, adalah boleh melakukan
perpindahan dari satu madzhab ke madzhab yang lain, asalkan pendapat-pendapat
madzhab tersebut terpelihara meskipun dengan maksud mencari kemudahan, dan baik
dia berpindah madzhab selamanya atau hanya dalam satu kasus saja. Meskipun
perpindahan (intiqal) itu menyebabkan fatwa, putusan hukuman, atau
amalan yang dilakukan itu, berbeda dengan madzhab yang dianut, selagi perpindahan
tersebut tidak menyebabkan timbulnya talfiq (percampuran antara berbagai
pendapat madzhab dalam satu masalah yang tidak ada satu madzhab pun yang
membolehkan atau yang berpendapat demikian) (Al-Fawa’id Al-Makkiyah fi Ma
Yahtajuhu Thalabah Asy-Syafi’iyyah min Al-Masa’il wa Adh-Dhawabith wal Qawa’id
Al-Kulliyah karya Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqqaf halaman 51 cetakan
Al-Bab Al-Halabi))
Atas dasar ini semua, maka pada masa sekarang ini pada prinsipnya
sama sekali tidak ada larangan untuk memilih sebagian hukum-hukum syara' yang
ditetapkan oleh para ulama madzhab, tanpa membatasi jumlah madzhab tertentu
ataupun membatasi dengan detail-detail madzhab tersebut.
Selain itu, para ahli fiqih juga menetapkan bolehnya mengamalkan
pendapat dhaif dalam satu madzhab, jika seseorang berada dalam kondisi
darurat (adh-dharurah) atau dalam kondisi perlu (al-hajah).
Berikut ini adalah pendapat-pendapat mereka.
(1)
Seorang qadhi boleh mengambil pendapat selain dalam madzhabnya dalam keadaan
darurat (Fatwa Atha' bin Hamzah).
(2)
Seorang qadhi boleh mangamalkan pendapat yang tidak masyhur dalam madzhabnya, jika
memang pemerintah menetapkan hal tersebut (Ad-Durr Al-Mukhtar karya Al-Hishkafi).
(3)
Seorang qadhi boleh menetapkan hukum berdasarkan pendapat yang sudah ditetapkan
sebagai pendapat yang salah (fasad), dan dia tidak perlu membatalkan keputusannya.
Karena dalam hal ini, qadhi merupakan mujtahid kecuali jika keputusan itu dalam
masalah pengambilan harta atau putusan didasarkan pada hawa nafsu dan
kepentingan (Jami' Al-Fushulain wa Ta'liliha).
(4) Boleh
mengamalkan dan berfatwa dengan menggunakan pendapat yang dhaif ketika dalam
kondisi darurat (Al-Mi'raj 'an Fakhr Al-A'immah).
(5) Boleh
mengamalkan pendapat yang dhaif untuk dirinya sendiri, dan juga boleh menggunakan
pendapat yang dhaif ketika memberi fatwa jika memang mufti tersebut berada
dalam keadaan darurat (perkataan Ad-Dasuqi Al-Maliki)
(6) Dilarang
memilih pendapat dhaif apabila pilihan tersebut didorong oleh keinginan hawa
nafsu, kepentingan, atau untuk memperoleh kekayaan dunia. (Syekh Al-Ustadz
Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Al-Ijtihad Fil Islam halaman 36-39, Ibnu
Abidin dalam Hasyiyah Rasm Al-Mufti jilid 1 halaman 69)
(7) Sikap
seorang muqallid untuk tidak mengamalkan pendapat yang masyhur dan beralih
kepada pendapat syadz yang mengandung rukhshah (kemudahan).
Namun, sikap yang tidak didasari keinginan untuk mencari kemudahan-kemudahan
adalah dibenarkan oleh ulama yang tidak mewajibkan taklid kepada
pendapat yang lebih rajih. Ini adalah pendapat sebagian besar pakar ushul
fiqih. Dan muqallid boleh bertaklid kepada pendapat mujtahid siapa saja
yang dia kehendaki. Dan berita yang menyatakan bahwa ada ijma bagi pelarangan
taklid seperti ini, adalah tidak benar (Fatwa Syekh 'Ulaisy, jilid 1, halaman 61).
(8) Seseorang
boleh mengamalkan pendapat yang dhaif untuk dirinya sendiri, kecuali jika
pendapat dhaif itu bertentangan dengan pendapat yang shahih (ash-shahih),
karena biasanya pendapat yang bertentangan dengan pendapat yang shahih adalah
pendapat yang salah (fasid). Dan
juga,
boleh memberi fatwa dengan menggunakan pendapat dhaif seperti ini dengan maksud
untuk memberi petunjuk (Al-Fawa'id Al-Makkiyyah fi Ma Yahtajuhu Thalabah Asy
-Syafityyah, halaman 51).
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########