BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

 

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧


Artinya: “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Firman-Nya (صراط الذين أنعمت عليهم) adalah sebagai tafsir dari firman-Nya, jalan yang lurus. Dan merupakan badal[1] menurut ahli nahwu dan boleh pula sebagai athaf bayan[2]. Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah Ta’ala adalah orang-orang yang disebutkan dalam Surah An-Nisa’ ayat 69-70 yang artinya: “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, pada shiddiqin[3], orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahuinya.”

Firman-Nya (غير المغضوب عليهم ولا الضالين) mempunyai tafsir, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepadanya. Yaitu mereka yang memperoleh hidayah, istiqamah dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Bukan jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak sehingga meskipun mereka mengetahui kebenaran, namun menyimang darinya. Bukan juga jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran. Terdapat hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ سُمَيٍّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا قَالَ الإِمَامُ: {غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] فَقُولُوا آمِينَ، فَمَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "


Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] Telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Sumayya] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah radliallahu ‘anhu] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila imam mengucapkan, ‘Ghairil maghdluubi ‘alaihim walaadl-dlalliin (Bukan orang-orang yang dimurkai dan bukan orang-orang yang sesat) ‘ maka ucapkanlah, ‘Aamiin’, Barangsiapa ucapan aamiin-nya bersamaan dengan aamiin para malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari)


Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata “laa” (bukan), guna menunjukkan bahwa di sana terdapat dua jalan yang rusak, yaitu jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu, agar setiap orang menjauhkan diri darinya. Jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, sementara itu orang-orang Yahudi tidak memiliki amal, sedangkan orang-orang Nasrani tidak memiliki ilmu (agama). Oleh karena itu, kemurkaan bagi orang-orang Yahudi, sedangkan kesesatan bagi orang-orang Nasrani. Karena orang berilmu tetapi tidak mengamalkannya berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu.

Sedangkan orang Nasrani tatkala mereka hendak menuju kepada sesuatu, mereka tidak memperoleh petunjuk kepada jalannya. Hal itu karena mereka tidak menempuhnya melalui jalan yang sebenarnya, yaitu mengikuti kebenaran. Maka mereka pun masing-masing tersesat dan mendapat murka. Namun sifat Yahudi yang paling khusus adalah mendapat kemurkaan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 60 yang artinya: “Yaitu orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” Sedangkan sifat Nasrani yang paling khusus adalah kesesatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 77 yang artinya: “Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” Masalah ini banyak disebutkan dalam hadis dan atsar, maka hal ini cukup jelas kepada mereka, Yahudi dan Nasrani.

[1] Badal adalah kata benda yang mengikuti kata benda sebelumnya dalam hukum bacaannya.
[2] Athaf bayan adalah kata benda yang mengikuti kata benda sebelumnya, berupa isim jamid (isim yang bukan berasal dari kata kerja) yang berfungsi sebagai na’at (sifat/keterangan) dalam menjelaskan makna yang dimaksudkan, kata benda tersebut kedudukannya dari kata benda yang diikuti seperti kedudukan kalimat yang menjelaskan kalimat atau kata asing sebelumnya.
[3] Shiddiqun adalah orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran Rasul dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut pada ayat ketujuh Surah Al-Fatihah.


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)