BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥

Artinya: “Hanya Engkaulah yang kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Menurut bahasa, kata ibadah berarti tunduk patuh. Sedangkan menurut syari’at, ibadah berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan dan ketakutan.

Didahulukannya maf’ul (objek), yaitu kata “Iyyaka” adalah bertujuan untuk mendapatkan perhatian dan juga sebagai pembatasan. Artinya, “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu.” Dan inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan agama itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna di atas. Sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf bahwa Surah Al-Fatihah adalah rahasia Alquran, dan rahasia Al-Fatihah terletak pada ayat kelima ini.

Penggalan pertama yaitu “Hanya kepada-Mu kami beribadah” merupakan pernyataan menjauhi kemusyrikan. Sedangkan penggalan kedua yaitu “Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Ta’ala. Terdapat makna yang sama pada firman Allah Ta’ala lainnya yaitu pada Surah Huud ayat 123 yang artinya: “Maka beribadahlah kepada Allah dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”

Dalam ayat kelima ini terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhatab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf “kaf” pada kata “iyyaka”. Yang demikian itu memang sesuai karena ketika seorang hamba memuji Allah Ta’ala, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman pada ayat kelima ini. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa ayat-ayat awal Surah Al-Fatihah adalah pemberitahuan dari Allah Ta’ala yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.

Dalam kitab sahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bin Abdur Rahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»

Artinya: “Aku telah membagi shalat menjadi dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika ia mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Dan jika ia mengucapkan: “Mahapengasih lagi Mahapenyayang”, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Jika ia mengucapkan: “Yang menguasai hari pembalasan”, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.” Jika ia mengucapkan: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”, maka Allah berfirman: “Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Dan jika ia mengucapkan: “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrasi)”, maka Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta.”

Kata “iyyaka na’budu” didahulukan dari kata “iyyaka nasta’in” karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan merupakan sarana untuk ibadah. Yang terpenting lebih didahulukan dari yang sekedar penting. Sedangkan makna huruf “nun” pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” dimaksudnya sebagai bentuk jama’ bahwasanya untuk memberitahukan mengenai jenis hamba dan orang yang shalat merupakan salah satu darinya. Apalagi jika dilakukan dengan berjama’ah. Atau imam dalam shalat memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang ibadah yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.

Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, karena kecondongannya kepada Allah Ta’ala saja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati kedudukan yang paling mulia sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Isra’ ayat 1 yang artinya: “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”

Allah Ta’ala telah menyebut Muhammad sebagai seorang hamba ketika menurunkan Alquran kepadanya. Ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya. Dia berfirman pada Surah Al-Hijr ayat 97-99 yang artinya: “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”

PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)