BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِ‍ِٔينَ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”


Asbabun Nuzul ayat ini yaitu: “Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Salman bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Kemudian ia menerangkan cara salat dan ibadahnya. Maka turunlah ayat ini sebagai penegasan bahwa orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir dan berbuat baik akan mendapat pahala Allah Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Al-‘Adni di dalam Musnad-nya, dari Ibnu Abi Najih, yang bersumber dari Mujahid)

Asbabun Nuzul yang lainnya yaitu: “Dalam riwayat dikemukakan, ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kisah teman-temannya, maka Nabi bersabda: ‘Mereka di neraka.’ Salman berkata: ‘Seolah-oleh gelap gulitalah bumi bagiku.’ Akan tetapi setelah turun ayat ini seolah-olah terang benderang dunia bagiku.” (Diriwayatkan oleh Al-Wahidi, dari Abdullah bin Katsir, yang bersumber dari Mujahid)

Asbabun Nuzul yang lainnya yaitu: “Dalam riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan teman-teman Salman Al-Farisi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari As-Suddi)

Setelah Allah Ta’ala menjelaskan keadaan orang-orang yang menyalahi perintah-Nya, melanggar larangan-Nya, mengerjakan hal-hal yang tidak diizinkan-Nya dan melakukan hal-hal yang telah diharamkan serta hukuman yang ditimpakan kepada mereka. Dia mengingatkan bahwa siapa yang berbuat baik dan menaati-Nya dari umat-umat terdahulu akan mendapatkan pahala kebaikan. Demikian itu terus berlanjut sampai hari kiamat tiba. Setiap orang yang mengikuti Rasul, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang buta hurup akan memperoleh kebahagiaan abadi, dan tidak merasa khawatir dalam menghadapi apa yang akan terjadi di masa mendatang, juga tidak bersedih atas apa yang mereka tinggalkan dan terluput dari mereka, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Yunus ayat 62 yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Juga seperti perkataan para malaikat kepada orang-orang mukmin ketika hendak dicabut nyawanya sebagaimana dalam Surah Fushshilat ayat 30 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah,'" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), "Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian."

Dari Mujahid, Ibnu Hatim mengatakan: “Salman bercerita, Aku pernah bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pemeluk suatu agama yang aku pernah bersama mereka. Lalu aku kabarkan mengenai salat dan ibadah mereka, maka turunlah firman Allah Ta’ala ayat ini.” Mengenai hal ini, Ibnu Katsir katakana: “Ini tidak bertentangan dengan riwayat Ali bin Abi Thalib dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Ta’ala dalam ayat ini. Setelah itu, Allah Ta’ala pun menurunkan Surah Ali Imraan ayat 85 yang artinya: ‘Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Karena apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas itu merupakan pemberitahuan bahwa Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu jalan atau amalan dari seseorang kecuali yang sesuai dengan syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau diutus sebagai pembawa risalah. Sedangkan sebelum itu, maka semua orang yang mengikuti Rasul pada zamannya, mereka berada di atas petunjuk dan jalan keselamatan. Yahudi merupakan pengikut Nabi Musa ‘alaihi as-salam, mereka berhukum kepada kitab Taurat pada zamannya.

Kata Yahudi berasal dari kata hawadah, artinya kasih sayang atau tawahhud yang berarti taubat. Seperti ucapan Musa ‘alaihi as-salam dalam Surah Al-A’raaf ayat 156 yang artinya: “Sesungguhnya kami kembali kepada-Mu.” Maksudnya adalah: “Kami bertaubat.” Kemungkinan mereka disebut demikian pada awal mulanya karena taubat mereka dan kecintaan sebagian mereka pada sebagian lainnya. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Yahudi karena hubungan silsilah mereka dengan Yahuda, putra tertua Nabi Ya’qub ‘alaihi as-salam. Menurut Abu Amr bin Al-‘Ala’, disebut Yahudi, karena mereka (يتهودون) yaitu mereka bergerak-gerak ketika membaca kitab Taurat.

Ketika Nabi Isa ‘alaihi as-salam diutus, diwajibkan kepada Bani Israil untuk mengikutinya serta tunduk kepadanya. Para sahabat dan pemeluk agama yang dibawa Isa ‘alaihi as-salam itu disebut Nasrani. Disebut demikian karena mereka saling mendukung di antara mereka. Mereka disebut juga Anshar, sebagaimana dikatakan Isa ‘alaihi as-salam melalui firman-Nya dalam Surah Ali Imraan ayat 52 yang artinya: “Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah! Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah." Ada pula yang mengatakan, disebut demikian karena mereka mendiami daerah bernama Nashirah. Hal itu dikatakan oleh Qatadah dan Ibnu Juraij. Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas. (النصارى) jamak dari kata (نصر) seperti (نشاوى) jamak dari kata (نشوان) dan (سكارى) jamak dari kata (سكران). Dan bagi wanitanya disebut (نصراة). Seorang penyair mengatakan: (نصراة لم تحنف) artinya seorang wanita Nashranah yang belum menempuh jalan yang lurus.

Sedangkan mengenai (الصائبين) para ulama berbeda pendapat. Di antara pendapat yang lebih jelas adalah pendapat Mujahid, para pengikutnya dan Wahab bin Munabbih. Menurutnya, mereka adalah suatu kaum yang tidak memeluk agama Yahudi, tidak juga agama Nasrani, ataupun Majusi dan bukan pula Musyrikin. Tetapi mereka adalah kaum yang masih berada di atas fitrah dan tidak ada agama tertentu yang dianut dan dipeluknya. Oleh karena itu, orang-orang musyrik mengejek orang yang berserah diri dengan sebutan shabi’i. Artinya, ia berada di luar semua agama yang ada di muka bumi pada saat itu. Dan sebagian ulama lainnya mengatakan, shabi’in adalah mereka yang tidak sampai kepadanya dakwah seorang nabi.

Namun setelah Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasul terakhir bagi seluruh anak cucu Adam, maka wajib bagi mereka untuk membenarkan apa yang dibawanya, menaati apa yang diperintahnya, dan menjauhi apa yang dilarangnya. Mereka itulah mukmin yang hak (orang yang benar-benar beriman). Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebut mukminin karena iman mereka yang sungguh-sungguh serta keyakinan mereka yang kuat. Selain itu, karena mereka juga beriman kepada seluruh nabi yang terdahulu dan kepada perkara-perkara ghaib yang akan terjadi. 


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)