BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

وَءَامِنُواْ بِمَآ أَنزَلۡتُ مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُمۡ وَلَا تَكُونُوٓاْ أَوَّلَ كَافِرِۢ بِهِۦۖ وَلَا تَشۡتَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗا وَإِيَّٰيَ فَٱتَّقُونِ ٤١

Artinya: “Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat) dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.”

Firman-Nya (وآمنوا بما أنزلت مصدقا لما معكم) artinya, wahai sekalian ahlul kitab, berimanlah kepada kitab yang telah Aku turunkan, yang membernarkan apa yang ada pada kalian. Yang demikian itu karena mereka mendapatkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tertulis di dalam kitab Taurat dan Injil yang ada pada mereka.

Firman-Nya (و لا تكونوا أول كافر به) menurut sebagian mufasir bahwa satu kelompok yang pertama kali kafir terhadapnya. Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya, janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali kafir terhadapnya sedang kalian memiliki pengetahuan tentang hal itu yang tidak dimiliki oleh orang lain.” Abu Al-‘Aliyah mengatakan, artinya, janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali kafir kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dari golongan ahli kitab setelah kalian mendengar pengutusannya. Demikian juga yang dikemukakan oleh Al-Hasan Al-Bashri, As-Suddi dan Rabi’ bin Anas. Dan yang menjadi pilihan Ibnu Jarir bahwa dhamir (kata ganti) dalam lafaz ‘biihi’ itu kembali kepada Alquran yang telah disebutkan pada firman-Nya sebelumnya. Kedua pendapat tersebut benar, sebab keduanya saling berkaitan. Karena orang kafir terhadap Alquran berarti dia telah kafir kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan orang kafir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berarti telah kafir kepada Alquran.

Ada yang mengartikan, yaitu orang yang pertama kali kafir kepadanya dari Bani Israil. Karena banyak orang yang telah kafir sebelum mereka, yakni orang-orang kafir Quraisy dan suku Arab. Dan yang dimaksud dengan orang yang pertama kali kafir kepadanya adalah orang dari kalangan Bani Israil. Karena orang Yahudi Madinah merupakan Bani Israil yang pertama kali menjadi sasaran Allah Ta’ala dalam Alquran. Maka kekafiran mereka kepadanya menunjukkan bahwa mereka adalah yang pertama kali kafir kepadanya dari bangsa mereka.

Firman-Nya (ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا) artinya, janganlah kalian menukar iman kalian kepada ayat-ayat-Ku dan pembenaran terhadap Rasul-Ku dengan dunia dan segala isinya yang menggiurkan, karena ia merupakan suatu yang sedikit lagi binasa (tidak kekal). Sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Al-Mubarak, dari Abd Ar-Rahman bin Zaid bin Jabir, dari Harun bin Yazid, bahwa Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya mengenai ayat ini, maka ia pun menjawab, “Harga yang murah adalah dunia dan segala isinya.” Abu Ja’far meriwayatkan dari Rabi’ bin Anas, dari Abu Al-‘Aliyah arti ayat ini adalah janganlah kalian mengambil upah dalam mengajarkannya, hal itu telah tertulis di dalam kitab mereka yang terdahulu: “Hai anak Adam ajarkan (ilmu ini) dengan cuma-Cuma sebagaimana diajarkan kepada kalian secara cuma-cuma.” Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَرُحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"

Artinya: “Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya diniatkan untuk memperoleh rida Allah, lalu ia mempelajarinya hanya untuk memperoleh sejumlah harta duniawi, niscaya ia tidak dapat mencium bau surga kelak di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)

Adapun mengajarkan ilmu dengan mengambil upah, jika hal itu merupakan suatu kewajiban bagi dirinya, maka tidak dibolehkan mengambil upah darinya, tetapi dibolehkan baginya menerima dari Baitul Maal guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Tetapi jika ia tidak memperoleh suatu apa pun dari pengajarannya dan hal itu menghalanginya dari mencari penghasilan, maka berarti pengajaran tersebut tidak menjadi kewajiban, dan dengan demikian dibolehkan baginya mengambil upah darinya. Demikian menurut Imam Malik, Imam Syafi’iy, Imam Ahmad dan mayoritas ulama. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id, tentang kisah orang yang tersengat kalajengking, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ"

Artinya: “Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil atas sesuatu jasa adalah Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari)

Demikian juga tentang kisah seorang wanita yang dilamar, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

"زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ"

Artinya: “Aku kawinkan kamu dengan dia dengan imbalan mengajarkan Al-Qur'an yang kamu kuasai (hafalannya).”

Sedangkan hadis Ubadah bin Ash-Shamit, yang mengisahkan bahwa ia pernah mengajarkan kepada salah seorang dari ahli Suffah sesuatu dari Alquran, lalu orang itu memberinya hadiah berupa busur panah. Kemudian ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda:

"إِنْ أَحْبَبْتَ أَنْ تُطَوَّقَ بِقَوْسٍ مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهُ"

Artinya: “Jikalau kamu kelak suka dibelit oleh busur api neraka, maka terimalah. Lalu Ubadah menolak hadiah itu.” (HR. Abu Dawud)

Maka akhirnya ia menolak pemberian busur itu. Hal serupa juga diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab secara mar’fu. Jika sanad hadis ini sahih, menurut kebanyakan para ulama, di antaranya Abu Umar bin Abdul Barr, dapat dipahami bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu yang diajarkan oleh Allah Ta’ala, sehingga tidak diperbolehkan baginya untuk menukar pahala mengajarkannya dengan busur panah. Namun, jika sejak semula ia mengajarkan ilmu dengan mengambil upah, maka hal itu dibenarkan, sebagaimana yang telah diterangkan dalam hadis-hadis sebelumnya.

Firman-Nya (وإياي فاتقون) menurut Thalq bin Habib, Ibnu Abi Hatim mengatakan:

التَّقْوَى أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ رَجَاءَ رَحْمَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ من اللَّهِ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ من الله تخاف عقاب الله

Artinya: “Takwa itu ialah hendaknya kami mengamalkan ketaatan kepada Allah karena mengharapkan rah-mat Allah atas dasar nur (petunjuk) dari Allah. Hendaknya kamu meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah atas dasar nur dari Allah karena takut terhadap siksa Allah.”

Ayat ini juga berarti bahwa Allah Ta’ala mengancam mereka (Bani Israil) atas kesengajaan mereka menyembunyikan kebenaran dan menampakkan yang sebaliknya serta pembangkangan mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)