BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ وَإِسۡمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ١٢٧

Artinya: “Dan (ingatlah) ke­tika Ibrahim meninggikan (membina) dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Kata (القواعد) dalam ayat di atas merupakan jamak dari kata (القاعدة) yang berarti tiang dan pondasi. Artinya, Allah Ta’ala berfirman, “Hai Muhammad, katakanlah kepada kaummu mengenai pembangunan Baitullah yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail dan peninggian pondasi oleh keduanya, dan keduanya pun berdoa sebagaimana dalam ayat ini. Dan yang benar bahwa Ibrahim dan Ismail meninggikan pondasi dan mengatakan apa yang akan diterangkan pada pembahasan berikut ini. Mengenai hal ini Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas, ia menuturkan: Wanita yang mula-mula memakai mintaq (ikat pinggang atau kemben) di zaman dahulu adalah ibu Nabi Ismail. Ia sengaja mema­kai kemben untuk menghapus jejak kehamilannya terhadap Siti Sarah (permaisuri Nabi Ibrahim yang belum juga punya anak). Kemudian Nabi Ibrahim membawanya pergi bersama anaknya Is­mail (yang baru lahir), sedangkan ibunya menyusuinya. Lalu Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah, yaitu di bawah sebuah pohon besar di atas Zamzam, bagian dari masjid yang paling tinggi. Saat itu di Mekkah masih belum ada seorang manusia pun, tia­da pula setetes air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di tempat itu dan meletakkan di dekat keduanya sebuah kantong besar yang ber­isikan buah kurma dan sebuah wadah yang berisikan air minum. Kemudian Nabi Ibrahim pulang kembali (ke negerinya). Maka ibu Nabi Ismail mengikutinya dan bertanya, "Hai Ibrahim, ke mana­kah engkau akan pergi, tegakah engkau meninggalkan kami di lem­bah yang tandus dan tak ada seorang pun ini?" Ibu Nabi Ismail mengucapkan kata-kata ini berkali-kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak sekali pun berpaling kepadanya. Maka ibu Nabi Ismail bertanya, "Apakah Allah telah memerintahkan kamu melakukan hal ini?" Nabi Ibrahim barn menjawab, "Ya." Ibu Nabi Ismail berkata, "Kalau demi­kian, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami."

Lalu ibu Nabi Ismail kembali (kepada anaknya), sedangkan Nabi Ibrahim berangkat meneruskan perjalanannya. Ketika ia sampai di se­buah celah (lereng bukit) hingga mereka tidak melihatnya, maka ia menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, kemudian memanjatkan doanya seraya mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ibrahim ayat 37 yang artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” Ibu Ismail menyusui anaknya dan minum dari bekal air tersebut. La­ma-kelamaan habislah bekal air yang ada di dalam wadahnya itu, ma­ka ibu Ismail merasa kehausan, begitu pula dengan Ismail. Ibu Ismail memandang bayinya yang menangis sambil meronta-ronta, lalu ia berangkat karena tidak tega memandang anaknya yang sedang ke­hausan. Ia menjumpai Bukit Safa yang merupakan bukit terdekat yang ada di sebelahnya. Maka ia berdiri di atasnya, kemudian meng­hadapkan dirinya ke arah lembah seraya memandang ke sekitarnya, barangkali ia dapat menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak me­lihat seorang manusia pun di sana. Ia turun dari Bukit Safa. Ketika sampai di lembah bawah, ia mengangkat (menyingsingkan) baju kurungnya dan berlari kecil se­perti berlarinya orang yang kepayahan hingga lembah itu terlewati olehnya, lalu ia sampai di Marwah. Maka ia berdiri di atas Marwah, kemudian menghadap ke arah lembah seraya memandang ke sekelilingnya, barangkali ia menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak melihat seorang manusia pun. Hal ini dilakukannya sebanyak tujuh kali. Ibnu Abbas mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:

«فَلِذَلِكَ سَعَى النَّاسُ بَيْنَهُمَا»

Artinya: “Karena itu, maka manusia melakukan sa'i di antara keduanya (Safa dan Marwah).”

Ketika ibu Ismail sampai di puncak Bukit Marwah, ia mendengar suatu suara, lalu ia berkata kepada dirinya sendiri, "Tenanglah!" Ke­mudian ia memasang pendengarannya baik-baik, dan ternyata ia men­dengar adanya suara, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Se­sungguhnya aku telah mendengar sesuatu, niscaya di sisimu (Ismail) ada seorang penolong." Ternyata dia mendapati malaikat di sumur Zamzam, malaikat itu sedang rnenggali tanah dengan kakinya atau dengan sayapnya hingga muncul air. Maka ibu Ismail membuat kolam dan mengisya­ratkan dengan tangannya, lalu ia menciduk air itu dengan kedua ta­ngannya untuk ia masukkan ke dalam wadah air minumnya, sedang­kan sumur Zamzam terus memancar setelah ibu Ismail selesai menci­duknya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

«يَرْحَمُ اللَّهُ أَمَّ إِسْمَاعِيلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ- أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ- لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِينًا»

Artinya: “Semoga Allah merahmati ibu Ismail. Sekiranya dia membiarkan Zamzam —atau tidak menciduk sebagian dari airnya—, niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir.”

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail minum air Zamzam dan menyusui anaknya. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Janganlah kamu takut tersia-siakan, karena sesungguh­nya di sini terdapat sebuah rumah milik Allah yang kelak akan diba­ngun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan me­nyia-nyiakan penduduk rumah ini." Tersebutlah bahwa rumah itu (Baitullah) masih berupa tanah yang menonjol ke atas mirip dengan gundukan tanah (bukit kecil); bila datang banjir, maka air mengalir ke sebelah kanan dan kirinya. Ibu Ismail tetap dalam keadaan demikian, hingga lewat kepada mereka serombongan orang dari kabilah Jurhum atau salah satu ke­luarga dari kabilah Jurhum yang datang kepadanya melalui jalur Bu­kit Keda’. Mereka turun istirahat di bagian bawah Mekkah, lalu mereka melihat ada burung-burung terbang berkeliling (di suatu tempat), ma­ka mereka berkata, "Sesungguhnya burung-burung ini benar-benar mengitari sumber air. Menurut kebiasaan kami, di lembah ini tidak ada air." Lalu mereka mengirimkan seorang atau dua orang pelari mereka, dan ternyata mereka menemukan adanya air. Kemudian pelari itu kembali dan menceritakan kepada rombongannya bahwa di tempat tersebut memang ada air. Lalu rombongan mereka menuju ke sana. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa ketika itu ibu Is­mail berada di dekat sumur Zamzam. Mereka berkata, "Apakah eng­kau mengizinIcan kami untuk turun istirahat di tempatmu ini?" Ibu Is­mail menjawab, "Ya, tetapi tidak ada hak bagi kalian terhadap air ka­mi ini." Mereka menjawab, "Ya." Kemudian lanjut Ibnu Abbs, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka Ibu Ismail menerima mereka, karena ia memerlukan teman.” Selanjutnya mereka pun singgah di sana dan mengirimkan utusan kepada keluarga mereka, hingga mereka juga datang dan menetap di sana bersama mereka, sehingga berdirilah beberapa rumah.

Ketika di Mekah telah berpenghuni beberapa ahli bait dari ka­langan mereka (orang-orang Jurhum), sedangkan pemuda itu (Ismail) telah dewasa dan belajar bahasa Arab dari mereka, temyata pribadi Ismail memikat mereka di saat dewasanya. Setelah usia Ismail cukup matang untuk kawin, lalu mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Tidak lama kemudian ibu Ismail wafat. Setelah Ismail menikah, Nabi Ibrahim datang menjenguk keluarga yang ditinggalkannya, tetapi ternyata ia tidak menjumpai Ismail. Lalu ia menanyakannya kepada istrinya, maka istri Ismail menjawab, "Sua­miku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Kemudian Nabi Ibra­him bertanya kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan buruk, hidup kami susah dan keras." Ternyata ia mengemukakan keluhannya kepa­da Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menjawab, "Apabila suamimu datang, sampaikan­lah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengganti kusen pintunya." Lalu Ismail datang dengan penampilan seakan-akan sedang me­rindukan sesuatu. Ia berkata, "Apakah telah datang seseorang kepada­mu?" lstrinya menjawab, "Ya, telah datang kepadaku seorang tua yang ciri-cirinya begini dan begitu, lalu ia menanyakan kepadaku tentang keadaan­mu, maka aku ceritakan segalanya kepadanya. Ia menanyakan kepadaku tentang penghidupan kita. Maka aku katakan kepadanya bahwa kita hidup sengsara dan keras." Ismail bertanya, "Apakah dia memesankan sesuatu kepadamu?" lstrinya menjawab, "Ya, dia berpesan kepadaku untuk menyampaikan salamnya kepadamu, dan mengatakan hendaknya engkau mengganti kusen pintumu."

Ismail pun berkata: “Ia adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk menceraikanmu, karena itu kembalilah engkau kepada keluargamu.” Maka Ismail pun menceraikannya, lalu menikahi wanita lain dari Bani Jurhum. Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama beberapa waktu. Setelah itu Ibrahim mendatanginya, namun ia tidak juga mendapatinya. Kemudian ia menemui istrinya dan menanyakan perihal keadaan Ismail. Maka istrinya pun menjawab: “Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” Bagaimana keadaan dan kehidupan kalian?” tanya Ibrahim. Istri Ismail menjawab: “Kami baik-baik saja dan berkecukupan.” Seraya memuji (bersyukur kepada) Allah Ta’ala. Kemudian Ibrahim bertanya: “Apa yang kalian makan?” istri Ismail menjawab: “Kami memakan daging.” “Apa yang kalian minum?” lanjut Ibrahim. Istri Ismail menjawab: “Air.” Kemudian Ibrahim berdoa: “Ya Allah, berkatilah mereka pada daging dan air.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada saat itu, mereka belum mempunyai makanan berupa biji-bijian. Seandainya mereka memilikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya mereka diberikan berkah pada biji-bijian itu.”

Lebih lanjut Ibnu Abbas berkata: “Untuk di luar Mekkah, tidak ada seorang pun sanggup hanya mengkonsumsi kedua jenis makanan itu saja.” Ibrahim berpesan: “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan suruh ia untuk memperkokoh ambang pintunya.” Ketika datang Ismail bertanya: “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” Istrinya menjawab, “Ya, ada orang tua yang berpenampilan sangat bagus seraya memuji Ibrahim, dan ia menanyakan kepadaku perihal dirimu, lalu kuberitahukan. Setelah itupun ia menanyakan perihal kehidupan kita. Maka kujawab bahwa kita baik-baik saja.” “Apakah ia berpesan sesuatu hal kepadamu?” tanya Ismail. Istrinya menjawab: “Ya, ia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh ambang pintu pintumu.” Lalu Ismail berkata: “Ia adalah ayahku. Engkaulah ambang pintu yang dimaksud. Ia menyuruhku untuk tetap hidup rukun bersamamu.” Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Setelah itu, ia datang kembali, sedang Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon besar dekat sumur Zamzam. Ketika melihatnya, Ismail bangkit, hingga keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anak dengan ayahnya dan ayah dengan anaknya jika bertemu. Ibrahim berkata: “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu kepadaku.” “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Rabb-mu itu,” sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya: “Apakah engkau akan membantuku?” “Aku pasti akan membantumu,” jawab Ismail. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruhku untuk membangun sebuah rumah di sini.” Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang lebih tinggi dari sekelilingnya.

Ibnu Abbas pun melanjutkaan ceritanya, pada saat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat batu, sedang Ibrahim memasangnya. Hingga ketika bangunan itu sudah tinggi, dia datangkan sebuah batu, dan dia meletakkannya untuk dijadikan pijakan. Ibrahim pun berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail menyodorkan batu kepadanya. Keduanya pun berdoa. Ibnu Abbas meneruskan, maka keduanya terus membangun hingga keduanya menyelesaikan keseluruhan bangunan Baitullah, seraya keduanya berdoa. Doa mereka berdua adalah sebagaimana di akhir ayat ini yaitu (ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم).

Kata (القواعد) berarti landasan, jamak dari (القاعدة) menurut Imam Al-Bukhari, sedang (القواعد من النساء) adalah perempuan-perempuan yang sudah manupause, adalah jamak dari (القاعدة). Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ حِينَ بَنَوُا الْبَيْتَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ "فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَرُدَّها عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ قَالَ: "لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ"فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: لَئِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ سَمعت هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَرَى رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ اسْتِلَامَ الرُّكنين اللذَين يَلِيان الحِجْر إِلَّا أَنَّ الْبَيْتَ لَمْ يُتَمَّم عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ  .

Artinya: “Tidaklah engkau menyaksikan bahwa kaummu ketika membangun Baitullah telah mengurangi pondasi bangunan Ibrahim. Lalu Aisyah menanyakan: “Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mengembalikannya ke pondasi (yang dibangun oleh) Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya kaummu itu bukan orang-orang yang baru saja melepaskan kekafirannya, (pasti aku akan melakukannya).” Kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Jika benar Aisyah mendengar itu langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentu aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan menyentuh dua rukun yang berada setelah hijir, hanya saja bangunan Ka’bah tidak sempurna menurut asas bangunan Ibrahim ‘alaihi as-salam.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab Haji: 4484, dari Al-Qa’nabi, Muslim: 1333 dan An-Nasai: 5/214)

Riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha lainnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"لولا أن قَوْمَكِ حَدِيثُو عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ -أَوْ قَالَ: بِكُفْرٍ -لَأَنْفَقْتُ كَنْزَ الْكَعْبَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَجَعَلْتُ بَابَهَا بِالْأَرْضِ، وَلَأَدْخَلْتُ فِيهَا الْحِجْرَ"

Artinya: “Seandainya kaummu itu tidak baru saja mengalami masa Jahiliyah –atau beliau mengatakan, kekufuran- niscaya aku akan menginfakkan simpanan Ka’bah di jalan Allah, dan aku jadikan pintunya sejajar dengan tanah, dan aku memasukkan ke dalamnya hijir Ismail.” (HR. Muslim: 1333)

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Aswad, Ibnu Jubair pernah berkata kepadaku, “Aisyah menyampaikan berita rahasia kepadamu, lalu apa yang disampaikannya kepadamu mengenai Ka’bah?” Al-Aswad menjawab: “Aisyah pernah bercerita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Ya Aisyah, kalau seandainya kaummu itu tidak berdekatan dengan masa mereka (Jahiliyah) –Ibnu Zubair mengatakan, dengan kekufuran- niscaya aku akan merobohkan Ka’bah, lalu kubuatkan dua pintu untuknya, satu pintu sebagai jalan masuk bagi orang-orang, dan pintu lainnya menjadi jalan keluar mereka.” Maka Ibnu Zubair pun mengerjakannya.

Dalam Kitab Sahih Muslim, diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Seandainya kaummu itu tidak baru saja melepaskan kekufurannya, maka aku pasti akan membongkar Ka’bah dan akan aku bangun sesuai dengan pondasi Ibrahim. Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika membangun Baitullah ini telah mengurangi pondasinya dan aku juga akan membuatkan untuknya pintu keluar.” Masih menurut Imam Muslim, ia menceritakan, Muhammad bin Hatim memberitahuku dari Sa’id bin Mina’, ia bercerita, aku mendengar Abdullah bin Zubair, ia mengatakan, bibiku, yakni Aisyah radhiallahu ‘anha pernah memberitahuku, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ya Aisyah, seandainya kaummu itu tidak baru saja lepas dari kemusyrikan, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, lalu aku dekankan ke tanah, dan kubuatkan untuknya satu pintu menghadap ke timur dan satu pintu lainnya menghadap ke barat, lalu akan kutambahkan enam hasta dari hijir Ismail. Karena kaum Quraisy telah menguranginya ketika membangun Ka’bah tersebut.”

Terdapat kisah orang-orang Quraisy membangun Ka’bah beberapa lama setelah meninggalnya Ibrahim dan lima tahun sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berusia tiga puluh lima tahun, beliau ikut memindahkan batu bersama orang-orang Quraisy. Dalam kitab As-Sirah, Muhammad bin Ishak bin Yasar menceritakan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berusia tiga puluh lima tahun, orang-orang Quraisy berkumpul untuk merenovasi Ka’bah. Mereka ingin melakukan hal itu untuk memberikan atap pada bangunan Ka’bah tersebut. Sementara mereka takut merobohkannya. Padahal bangunannya ketika itu hanya berupa tumpukan batu yang sedikit lebih tinggi dari ukuran orang sedang berdiri. Lalu mereka bermaksud untuk meninggikannya dan memberinya atap. Hal itu mereka lakukan, karena ada beberapa orang yang mencuri simpanan Ka’bah yang berada di dalam sebuah sumur di dalam Ka’bah. Harta simpanan Ka’bah itu ditemukan pada Duwaik maula Bani Malih bin Amr dari Kabilah Khuza’ah, maka orang-orang Quraisy memotong tangannya.

Pada saat yang sama ada sebuah kapal milik seorang pedagang dari Romawi terdampar di Jeddah. Kayu-kayunya pun mereka ambil untuk dijadikan atap Ka’bah. Dan ketika itu, di Mekkah terdapat seorang tukang kayu dari suku Qibti yang menyediakan berbagai keperluan yang mereka butuhkan untuk memperbaiki Ka’Bah. Selanjutnya, kata Muhammad bin Ishak, beberapa kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Masing-masing kabilah mengumpulkan batu-batu itu untuk mereka masing-masing, lalu mereka membangunnya. Ketika bangunan itu sampai pada bagian rukun, yaitu Hajar Aswad, terjadilah pertengkaran di antara mereka. Masing-masing kabilah ingin mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Sampai akhirnya mereka berdebat, saling adu mulut, dan bahkan bersiap untuk perang. Kemudian Banu Abdiddar medekatkan mangkuk besar yang berisi darah, lalu mereka dan Banu ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay berjanji setia untuk mati, dan memasukkan tangan mereka ke dalam darah yang berada di dalam mangkuk besar tersebut. Dan mereka menamainya dengan sebutan (لعقة الدم).

Orang-orang Quraisy menunggu selama empat atau lima malam. Selanjutnya mereka berkumpul di masjid untuk memusyarahkan dan menyelesaikan persoalan itu secara adil. Sebagian perawi mengatakan bahwa Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, pada saat itu adalah orang tertua di antara orang-orang Quraisy mengatakan: “Hai sekalian kaum Quraisy, serahkanlah persoalan yang kalian perselisihkan itu kepada orang yang pertama masuk dari pintu masjid ini, untuk selanjutnya memberikan keputusan di antara kalian.” Maka mereka pun melakukannya, dan ternyata orang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka pun berkata, “Inilah Al-Amin (orang yang terpercaya), kami menyetujui Muhammad ini.” Setelah beliau bertemu mereka dan mereka pun menceritakannya kepada beliau, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah sehelai kain untukku.” Kemudian beliau dibawakan sehelai kain. Selanjutnya beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkan Hajar Aswad pada kain itu dengan tangannya. Dan setelah itu beliau berujar, “Hendaklah setiap kabilah memegang sisi kain, lalu angkatlah secara bersamaan.” Mereka pun melakukannya sehingga ketika sampai pada tempatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan Hajar Aswad dengan tangannya sendiri pada tempatnya semula. Setelah itu beliau membangun di atasnya. Sebelum diturunkan wahyu, orang-orang Quraisy menyebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebutan Al-Amin, kemudian mereka meneruskan pembangunan Ka’bah seperti yang mereka kehendaki.

Selanjutnya Muhammad bin Ishak menceritakan, pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ka’bah itu berukuran delapan belas dzira’ (hasta), dan ditutupi dengan kain katun dari Mesir, kemudian setelah itu dengan kain wol hitam, dan yang pertama kali menutupinya dengan kain sutra adalah Al-Hajjaj bin Yusuf. Berkenaan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir katakana, bangunan Ka’bah itu tetap seperti yang dibangun oleh orang-orang Quraisy hingga terbakar pada awal kepemimpinan Abdullah bin Zubair, setelah tahun 60 H. dan pada akhir pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, ketika mereka mengepung Ibnu Zubair, maka pada saat itu, Ibnu Zubair merobohkan Ka’bah ke tanah dan membangunnya kembali di atas pondasi yang dulu dibuat oleh Ibrahim ‘alaihi as-salam. Ibnu Zubair memasukkan hijir Ismail ke dalam bangunan Ka’bah dan membuatkan pintu Ka’bah pada bagian timur dan bagian barat yang bersentuhan dengan tanah. Sebagaimana hal itu didengarnya dari bibinya, Aisyah radhiallahu ‘anha.

Bangunan Ka’bah masih tetap demikian selama masa kepemimpinannya hingga akhirnya ia dibunuh oleh Al-Hajjaj. Lalu ia mengembalikan Ka’bah itu ke bentuk semula atas perintah Abdul Malik bin Marwan. Tetapi setelah Ka’bah berada dalam keadaan seperti itu, maka sebagian ulama memakruhkan untuk dirubah dari keadaan itu. Sebagaimana disebutkan dari Amirul Mukminin, Harun Ar-Rasyid atau ayahnya, Al-Mahdi, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Imam Malik mengenai perobohan Ka’bah dan pembangunannya kembali seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Zubair. Maka Imam Malik pun menjawab: “Ya Amirul Mukminin, janganlah engkau menjadikan Ka’bah Allah itu sebagai permainan para penguasa, tidak seorang pun yang bermaksud merobohkannya, melainkan Dia pasti merobohkannya.” Akhirnya Harun Ar-Rasyid tidak melakukan hal tersebut. Hal itu dinukil oleh Iyadh dan An-Nawawi. Ka’bah itu masih terus seperti itu hingga akhir zaman hingga dirusak oleh Dzu suwaiqatain (orang-orang yang berkaki pengkor) dari Habasyah, Ethiopia. Sebagaimana hal itu telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"يُخَرِّبُ الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيقتين مِنَ الْحَبَشَةِ"

Artinya: “Ka’bah itu akan dihancurkan oleh Dzus-Suwaiqatain dari Habasyah.” (HR. Al-Bukhari: 1596 dan Muslim: 2909)

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"كَأَنِّي بِهِ أسودَ أفحَجَ، يَقْلَعُهَا حَجَرًا حَجَرًا"

Artinya: “Seolah-olah aku mengenalnya seperti orang berkulit hitam dan berkaki pengkor yang melepas batu Ka’bah satu persatu.” (HR. Al-Bukhari: 1595)

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"يُخَرِّب الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيْقَتَيْنِ مِنَ الْحَبَشَةِ، وَيَسْلُبُهَا حلْيتها وَيُجَرِّدُهَا مِنْ كُسْوَتِهَا. وَلَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ أُصَيْلِعَ أفَيْدعَ يَضْرِبُ عَلَيْهَا بِمِسْحَاته ومِعْوله"

Artinya: “Kelak Ka'bah akan dirusak oleh orang yang berkaki pengkor da­ri Habsyah; dia merampok perhiasannya dan melucuti kiswah (kain kelambu)nya. Sekarang aku seakan-akan melihat dia ber­kepala botak dan betisnya melengkung, ia sedang memukuli Ka'bah dengan sekop dan linggis.” (HR. Imam Ahmad: 2/220)

Hal ini terjadi setelah Ya’juj dan Ma’juj keluar, berdasarkan riwayat dalam riwayat Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"ليُحَجَّنَّ البيتُ وليُعْتَمَرَنَّ بَعْدَ خُرُوجِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ"

Artinya: “Sesungguhnya Baitullah masih tetap didatangi oleh jamaah yang melakukan haji dan umrah sesudah munculnya Ya-juj dan Ma­juj.” (HR. Al-Bukhari: 1593)


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)