BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ ١٢٥

Artinya: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Ber­sihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud."

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Umar menerangkan bahwa pendapatnya bersesuaian dengan firman Allah Ta’ala di dalam tiga perkara, yaitu (1) ketika ia mengemukakan usul: “Wahai Rasulullah, tidakkah sebagainya engkau jadikan maqam Ibrahim ini tempat salat?” Maka turunlah ayat ini; (2) ketika ia mengusulkan: “Telah berkunjung kepada istri-istri engkau orang baik dan orang jahat. Bagaimana sekiranya engkau memerintahkan supaya dipasang hijab (penghalang).” Maka turunlah ayat hijab (QS. Al-Ahzab: 53); (3) ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diboikot oleh istri-istrinya karena cemburu, maka Umar berkata kepada mereka: “Mudah-mudahan Rabb-nya akan menceraikan kamu, dan menggantikanmu dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu.” Maka turunlah Surah At-Tahrim ayat 66 yang membenarkan peringatan Umar terhadap istri-istri Nabi.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-lain, yang bersumber dari Umar)

Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tawaf, berkatakan Umar kepadanya: “Ini adalah maqam bapak kita, Ibrahim.” Nabi bersabda: “Benar.” Umar berkata lagi: “Apakah tidak sebaiknya kita menjadikannya tempat salat?” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan ibnu Mardawaih, yang bersumber dari Jabir)

Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa Umar bin Al-Khaththab lewat di maqam Ibrahim bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Umar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kita tidak berdiri salat di maqam kekasih Allah Ta’ala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Benar.” Kemudian Umar berkata: “Apakah kita tidak menjadikannya tempat salat?” Tidak lama kemudian turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Amr bin Maimun yang bersumber dari Umar Al-Khaththab)

Firman-Nya (وإذ جعلنا البيت مثابة للناس), Al-Aufi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Mereka merasa tidak terpenuhi hajat/keinginannya di sana, mereka datang, lalu pulang ke keluarganya, dan kemudian kembali lagi.”

Firman-Nya (وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا), Abu Ja’far Ar-Razi menceritakan dari Rabi’ bin Anas, dari Abu Al-Aliyah, ia mengemukakan, “Yaitu aman dari musuh dan dari membawa senjata di sana. Padahal dahulu, pada zaman Jahiliyah, orang-orang saling merampas di sekitarnya, sedang di Baitullah mereka aman tidak dirampas.” Dan diriwayatkan dari Mujahid, Atha’, Qatadah dan Rabi’ bin Anas, mereka mengatakan, “Barangsiapa memasuki Baitullah, maka ia aman.” Makna yang terkandung dari penafsiran para ulama di atas adalah, bahwa Allah Ta’ala menyebutkan kemuliaan Baitullah dan beberapa hal yang Dia sifatkan padanya, baik secara syariat maupun sunnatullah, yakni kedudukannya sebagai tempat berkumpulnya manusia. Atau dengan kata lain, menjadi tempat yang dirindukan oleh jiwa-jiwa manusia, dan bukan sekedar untuk memenuhi hajat (keperluan), terhadap Baitullah, meskipun setiap tahun mereka datang ke sana dalam rangkan memenuhi panggilan Allah Ta’ala, semua itu tidak lain adalah berkat doa Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam dalam firman-Nya Surah Ibrahim ayat 37-40 yang artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”

Firman-Nya (مثابة للناس) menurut Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu Abbas artinya tempat mereka berkumpul. Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dalam riwayat lain, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Qatadah dan Atha’ Al-Khurasani mengatakan, “Artinya tempat berkumpul bersama-sama.” Berkenaan dengan makna ini, seorang penyair pernah mengemukakan:

جُعِلَ البيتُ مَثَابًا لَهُمْ ... لَيْسَ مِنْهُ الدَّهْرُ يَقْضُونَ الوَطَرْ

Artinya: “Baitullah dijadikan tempat berkumpul bagi mereka. Tetapi selamanya mereka tetap merasa belum puas akan keperluannya di Baitullah.”

Firman-Nya (وأمنا), menurut Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, “Artinya, keamanan bagi manusia.”

Allah Ta’ala menyifati Baitullah sebagai tempat yang aman. Barangsiapa memasukinya, ia akan aman. Meskipun ia telah berbuat apa pun dan kemudian masuk ke sana, maka ia akan aman. Abd Ar-Rahman bin Zaid bin Aslam pernah menceritakan: “Ada seseorang bertemu dengan pembunuh ayah dan saudaranya di Baitullah, maka orang itu tidak menghadangnya, sebagaimana dikisahkan dalam Surah Al-Maidah ayat 97 yang artinya: “Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.” Artinya Allah Ta’ala melindungi mereka disebabkan pengagungannya dari melakukan perbuatan jahat.

Firman-Nya (واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى), melalui ayat ini juga Allah Ta’ala mengingatkan tentang maqam Ibrahim yang diikuti dengan perintah untuk mengerjakan salat di sana. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan maqam itu. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah tanah suci secara keseluruhan.” Imam Al-Bukhari mengatakan dalam Kitab Sahihnya, ayat ini artinya tempat berkumpul dan kembali. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya, Umar bin Al-Khaththab pernah berkata: “Aku mendapat persetujuan dari Rabb-ku dalam tiga perkara, atau Rabbku menyetujuiku dalam tiga hal. Yaitu ketika aku berkata: “Ya Rasulullah, banyak orang yang masuk menemuimu, ada yang baik dan ada pula yang jahat. Seandainya engkau menyuruh Ummahatu Al-Mukminin untuk berhijab, maka Allah pun menurunkan ayat hijab.” Lebih lanjut Umar bin Al-Khaththab mengatakan, dan aku pernah mendengar mengenai teguran yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebagian istrinya. Lalu aku masuk menemui mereka dan kukatakan, “Kalian berhenti, atau Allah akan memberikan ganti kepada Rasul-Nya wanita-wanita yang lebih baik daripada kalian.” Hingga akhirnya aku mendatangi salah satu istrinya, maka ia pun berkata: “Ya Umar, Rasulullah tidak menegur istri-istrinya sehingga engkau menegur mereka.” Maka Allah Ta’ala pun menurunkan Surah At-Tahrim ayat 5 yang artinya: “Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Rabb-nya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang baik dari kalian, dan yang patuh.” Dan diriwayatkan dalam Kitab Sahih Muslim dari Ibnu Umar, dari Umar bin Al-Khaththab, ia mengatakan, “Aku telah disetujui oleh Rabb-ku dalam tiga hal, yaitu mengenai hijab, tawanan perang Badar, dan maqam Ibrahim.” (HR. Muslim)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Jabir, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap ar-rukn (Hajar Aswad) dengan tangannya, lalu beliau berlari kecil (ketika tawaf) tiga putaran dan berjalan kaki empat putaran. Kemudian beliau menuju ke maqam Ibrahim seraya membaca (واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى). Setelah itu beliau memposisikan maqam Ibrahim di antara dirinya dengan Baitullah, lalu beliau mengerjakan salat dua rakaat. Hadis ini adalah penggalan dari hadis panjang yang diriwayatkan Muslim dalam Kitabnya. Dan Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Amru bin Dinar, katanya: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar bercerita, “Rasulullah ketika tiba, beliau mengerjakan tawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan mengerjakan salat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim.” Hadis-hadis di atas itu semuanya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam di sini adalah batu yang dahulu dijadikan Ibrahim sebagai pijakan untuk membangun Ka’bah ketika temboknya sudah meninggi. Dan bekas telapak kakinya itu tetap tampak dan dikenal oleh masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah. Oleh karena itu, Abu Thalib dalam syairnya berujar:

ومَوطئُ إِبْرَاهِيمَ فِي الصَّخْرِ رَطْبَةٌ ... عَلَى قَدَمَيْهِ حَافِيًا غَيْرَ نَاعِلِ

Artinya: “Dan bekas pijakan kaki Ibrahim di atas batu besar nan keras masih basah. Dengan kedua kakinya yang telanjang tanpa sandal.”

Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Husain Al-Baihaqi, meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa maqam itu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar melekat pada Baitullah (Ka’bah), kemudian Umar bin Al-Khaththab memundurkannya. Sanad hadis ini sahih.

Firman-Nya (وعهدنا إلى إبراهيم وإسماعيل), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah Ta’ala menyuruh keduanya untuk membersihkan Baitullah dari segala macam kotoran dan najis sehingga tidak ada sedikit pun yang mengenai bagiannya.” Ibnu Juraij pernah bertanya kepada ‘Atha: “Apa yang dimaksud dengan (عهده) dalam ayat tersebut?” Atha menjawab: “Maksudnya adalah perintah-Nya.” Secara lahiriyah, kata ini dijadikan muta’addi (transitif) dengan kata (إلى), karena ia bermakna: “Telah Kami kemukakan dan wahyukan.”

Firman-Nya (أن طهرا بيتي للطائفين والعاكفين), Said bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Yaitu dari berhala-berhala.” Mujahid dan Sa’id bin Jubair mengatakan: “Yaitu dibersihkan dari berhala-berhala, ucapan keji, kata dusta dan kotoran.” Lafaz (للطائفين) bahwa tawaf itu dikerjakan di Baitullah. Menurut Said bin Jubair, lafaz (للطائفين) yakni orang yang datang dari luar, sedangkan lafaz (والعاكفين) yaitu orang-orang yang mukim di sana. Demikian juga diriwayatkan dari Qatadah dan Rabi’ bin Anas, kedua menafsirkan lafaz ini dengan penduduk yang menetap di sana, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair. Menurut Yahya Al-Qatthan meriwayatkan dari Abdul Malik (dia adalah Ibnu Abi Sulaiman), dari Atha, bahwa makna (العاكفين) ia mengatakan: “Mereka yang datang dari segala kota lalu bermukim di sana.” Dia pun (Atha) mengatakan kepada kami ketika berdiam di sana: “Kalian termasuk orang-orang yang beri’tikaf.” Waki’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, “Jika seseorang duduk, maka ia sudah termasuk (العاكفين) “Orang yang beri’tikaf.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, Hamad bin Salamah memberitahu kami, Tsabit memberitahu kami, katanya: “Kami pernah mengatakan kepada Abdullah bin Ubaid bin Umair: “Aku harus berbicara kepada Amir (Gubernur) agar dia melarang orang-orang yang tidur di Masjidil Haram, karena mereka itu junub dan berhadas.” Maka ia pun berkata: “Jangan lakukan, karena Ibnu Umar pernah ditanyai mengenai keberadaan mereka itu, maka beliau menjawab bahwa mereka itu termasuk orang-orang yang beri’tikaf.” Berkenaan dengan hal di atas, Ibnu Katsir katakan: “Dalam Kitab Sahih telah ditegaskan, bahwasanya Ibnu Umar pernah tidur di Masjid Nabawi, ketika ia masih bujang.”

Firman-Nya (أن طهرا بيتي), As-Suddi mengatakan, “(Yaitu) hendaklah kalian berdua (Ibrahim dan Ismail) membangun rumah-Ku untuk orang-orang yang mengerjakan tawaf.” Ringkasnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada Ibrahi dan Ismail ‘alaihima as-salam agar membangun Ka’bah atas nama-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi orang-orang yang mengerjakan tawaf dan beri’tikaf di sana serta orang-orang yang mengerjakan rukuk dan sujud dalam salat. Para ahli fiqih berbeda pendapat perihal manakah yang lebih utama, salat atau tawaf di Baitullah. Imam Malik berpendapat, bagi penduduk kota-kota lan, tawaf di Baitulah itu lebih utama. Sedangkan jumhur fuqaha’ berpendapat, secara mutlak bahwa salat di Baitullah lebih uama.

Firman-Nya (والركع السجود), Waki’ menceritakan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Jika ia mengerjakan salat berarti ia termasuk orang-orang yang rukuk dan sujud.” Hal senada juga dikemukakan oleh Atha dan Qatadah.

Maksud ayat ini adalah penolakan terhadap orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah Ta’ala di Baitullah, yang sengaja dibangun sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya semata. Selain itu, orang-orang kafir itu menghalangi orang-orang mukmin darinya, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hajj ayat 25 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikanuntuk semua manusia, balk yang bermukim di situ maupun di pa­dang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” Setelah itu disebutkan bahwa Baitullah itu dibangun bagi orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak menyekutukan-Nya, baik dengan cara tawaf maupun salat. Lalu di dalam Surah Al-Hajj disebutkan tiga dari bagiannya, yaitu qiyam (berdiri), rukuk dan sujud. Dalam Surah itu Allah Ta’ala tidak menyebutkan (العاكفين), karena Dia telah mendahulunya dengan firman-Nya (سواء العاكف فيه والباد). Sedangkan dalam Surah Al-Baqarah ini disebutkan (الطائفين) yang mengerjakan tawaf, (العاكفين) yang beri’tikaf, dan disebutkan pula rukuk dan sujud tanpa disebutkan qiyam (berdiri), karena telah diketahui bahwa tidak ada rukuk dan sujud kecuali setelah qiyam.

Nabi Musa ‘alaihi as-salam dan juga nabi-nabi lainnya pernah menunaikan ibadah haji, sebagaimana diterangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Penyucian masjid itu didasarkan ayat ini dan dalam Surah An-Nur ayat 36 yang artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintah­kan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.” Dan juga berdasarkan sunnah Nabi yaitu beberapa hadis yang memerintahkan penyucian Baitullah, perawatannya dan pemeliharaannya dari segala macam kotoran, najis dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ»

Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu dibangun hanya untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya.” (Diriwayatkan Imam Muslim. Hadis ini permulaannya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam usai mengerjakan salat, ada seseorang yang berdiri seraya berucap, “Siapa yang dapat memberitahukan di mana unta merah.” Maka beliau berujar, “Engkau tidak akan menemukannya, karena ia didirikan…”) 


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)