BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Artinya: “Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak." Mahasuci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.”
Ayat ini dan yang berikutnya mencakup bantahan terhadap orang-orang Nasrani serta yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab yang menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala mendustakan pengakuan dan pernyataan mereka bahwa Allah Ta’ala mempunyai anak. Maka Dia berfirman (سبحانه) artinya, Allah Mahatinggi, dan bersih dari semuanya itu.
Firman-Nya (بل له ما في السماوات والأرض) artinya, persoalannya tidak seperti yang diada-adakan oleh mereka, tetapi kepunyaan Allah Ta’ala kerajaan langir dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Dialah yang mengendalikan, menciptakan, memberikan rezeki, menentukan takdir dan memperjalankan mereka sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu adalah hamba dan kepunyaan-Nya, dan semua kerajaan adalah milik-Nya. Bagaimana mungkin Dia memiliki anak dari kalangan mereka, padahal seorang anak itu lahir dari dua hal (jenis) yang sama (sebanding), sedang Allah Ta’ala Mahasuci lagi Mahatinggi dan tidak mempunyai tandingan, tidak pula memiliki sekutu dalam keagungan dan kebesaran-Nya, serta tidak pula Dia mempunyai istri, lalu bagaimana Dia memiliki anak? Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Surah Al-An’aam ayat 101 yang artinya: “Dia Pencipta Pencipta tangit dan bumf. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” Melalui ayat-ayat tersebut, Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa Dia Rabb yang Mahaagung, tiada yang setara dan menyerupai-Nya. Dan segala sesuatu selain diri-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya dan berada di bawah pemeliharaan-Nya, lalu bagaimana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka itu? Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Bukahri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
Artinya: “Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yangmengatakan bahwa Aku tidak dapat menghidupkannya kembali seperti semula. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mempunyai istri atau anak.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam Kitab Sahihain terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
Artinya: “Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah alas gangguan yang telah didengarnya; sesungguhnya mereka menganggap-Nya beranak. Akan tetapi, Dia tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Firman-Nya (كل له قانتون), Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya (قانتون) “Yaitu yang mengerjakan salat.” Dan berkenaan dengan firman-Nya ini, Ikrimah dan Abu Malik mengatakan: “Mereka mengakui bahwa Dialah yang berhak diibadahi.” Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid bahwa dimaksud adalah mereka yang senantiasa berbuat taat. Ia mengemukakan: “Taatnya orang kafir adalah dengan sujud bayangannya, sedangkan orang kafir itu sendiri tidak mau sujud.” Pendapat ini bersumber dari Mujahid dan merupakan pilihan Ibnu Jarir. Semua pendapat ini disatukan dalam satu ungkapan, yaitu: Bahwa al-qunut berarti ketaatan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Dan hal itu terbagi dua, yaitu Syar’i (berdasarkan syari’at) dan Qadari (berdasarkan sunnatullah). Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ar-Ra’ad ayat 15 yang artinya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa(dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.”
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
وَقَالُواْ
ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدٗاۗ سُبۡحَٰنَهُۥۖ بَل لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ
كُلّٞ لَّهُۥ قَٰنِتُونَ ١١٦
Artinya: “Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak." Mahasuci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.”
Ayat ini dan yang berikutnya mencakup bantahan terhadap orang-orang Nasrani serta yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab yang menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala mendustakan pengakuan dan pernyataan mereka bahwa Allah Ta’ala mempunyai anak. Maka Dia berfirman (سبحانه) artinya, Allah Mahatinggi, dan bersih dari semuanya itu.
Firman-Nya (بل له ما في السماوات والأرض) artinya, persoalannya tidak seperti yang diada-adakan oleh mereka, tetapi kepunyaan Allah Ta’ala kerajaan langir dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Dialah yang mengendalikan, menciptakan, memberikan rezeki, menentukan takdir dan memperjalankan mereka sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu adalah hamba dan kepunyaan-Nya, dan semua kerajaan adalah milik-Nya. Bagaimana mungkin Dia memiliki anak dari kalangan mereka, padahal seorang anak itu lahir dari dua hal (jenis) yang sama (sebanding), sedang Allah Ta’ala Mahasuci lagi Mahatinggi dan tidak mempunyai tandingan, tidak pula memiliki sekutu dalam keagungan dan kebesaran-Nya, serta tidak pula Dia mempunyai istri, lalu bagaimana Dia memiliki anak? Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Surah Al-An’aam ayat 101 yang artinya: “Dia Pencipta Pencipta tangit dan bumf. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” Melalui ayat-ayat tersebut, Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa Dia Rabb yang Mahaagung, tiada yang setara dan menyerupai-Nya. Dan segala sesuatu selain diri-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya dan berada di bawah pemeliharaan-Nya, lalu bagaimana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka itu? Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Bukahri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
"قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبني ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إيَّاي فَيَزْعُمُ أَنِّي لَا
أَقْدِرُ أَنْ أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لِي
وَلَدٌ. فَسُبْحَانِي أن أتخذ صاحبة أو ولدا"
Artinya: “Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yangmengatakan bahwa Aku tidak dapat menghidupkannya kembali seperti semula. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mempunyai istri atau anak.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam Kitab Sahihain terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
"لَا
أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛ إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ
وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Artinya: “Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah alas gangguan yang telah didengarnya; sesungguhnya mereka menganggap-Nya beranak. Akan tetapi, Dia tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Firman-Nya (كل له قانتون), Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya (قانتون) “Yaitu yang mengerjakan salat.” Dan berkenaan dengan firman-Nya ini, Ikrimah dan Abu Malik mengatakan: “Mereka mengakui bahwa Dialah yang berhak diibadahi.” Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid bahwa dimaksud adalah mereka yang senantiasa berbuat taat. Ia mengemukakan: “Taatnya orang kafir adalah dengan sujud bayangannya, sedangkan orang kafir itu sendiri tidak mau sujud.” Pendapat ini bersumber dari Mujahid dan merupakan pilihan Ibnu Jarir. Semua pendapat ini disatukan dalam satu ungkapan, yaitu: Bahwa al-qunut berarti ketaatan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Dan hal itu terbagi dua, yaitu Syar’i (berdasarkan syari’at) dan Qadari (berdasarkan sunnatullah). Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ar-Ra’ad ayat 15 yang artinya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa(dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.”
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########