BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ إِلَّا خَآئِفِينَۚ لَهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٞ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١٤

Artinya: “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang mengha­lang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatut­nya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksa yang berat.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa turunnya sehubungan dengan larangan kaum Quraisy kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk salat dekat Ka’bah, di dalam Masjidil Haram.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id atau Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Asbanun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa tentang kaum musyrikin yang menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya datang ke Mekkah untuk mengerjakan umrah pada hari Hudaibiyah tahun 628 M. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada orang yang melarang beribadah di masjid Allah)

Firman-Nya (ومن أظلم ممن منع مساجد الله أن يذكر فيها اسمه), para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai siapakah yang dimaksud dengan orang yang menghalangi masuk masjid Allah Ta’ala dan berusaha merusaknya. Terdapat dua pendapat berkenaan dengan hal tersebut: pertama, apa yang diriwayatkan Al-Aufi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mengatakan: “Yaitu orang-orang Nasrani.” Mujahid juga mengemukakan: “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani. Mereka membuang berbagai kotoran ke Baitul Maqdis dan menghalangi orang-orang agar tidak mengerjakan salat di dalamnya.” Sa’id meriwayatkan dari Qatadah, ia mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani, musuh Allah Ta’ala, yang karena kebenciannya kepada orang-orang Yahudi, mereka membantu Bukhtannashr penguasa Babilonia, penganut agama Majusi, untuk merobohkan Baitul Maqdis.”

Pendapat kedua, apa yang diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Ibnu Zaid mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabatnya untuk masuk ke kota Mekkah pada saat terjadinya peristiwa Hudaibiyah sehingga beliau menyembelih kurbannya di Dzi Thuwa dan mengajak mereka berdamai. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا كَانَ أَحَدٌ يَصُد عَنْ هَذَا الْبَيْتِ، وَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى قَاتِلَ أَبِيهِ وَأَخِيهِ فَلَا يَصُدُّهُ فَقَالُوا: لَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا مَنْ قَتَلَ آبَاءَنَا يَوْمَ بَدْرٍ وَفِينَا بَاقٍ

Artinya: “Tiada seorang pun yang dihalang-halangi untuk memasuki Bai­tullah; dahulu seorang lelaki berjumpa dengan pembunuh ayah­nya dan saudaranya, tetapi dia tidak berani menghalang-ha­langinya (untuk memasuki Baitullah). Maka mereka menjawab,"Tidak boleh masuk ke dalam kota kami orang-orang yang telah membunuh ayah-ayah kami dalam Perang Badar, sedangkan di antara kami masih ada yang hidup.”

Maka mereka menjawab: “Pembunuh ayah-ayah kami pada perang Badar tidak boleh masuk ke kawasan kami, sedang kami masih ada di sini.”

Firman-Nya (وسعى في خرابها), Ibnu Zaid mengatakan, “Mereka itu menghadap orang-orang yang hendak memakmurkan masjid dengan berzikir kepada-Nya dan mendatangi untuk menunaikan haji dan umrah.” Karena itu Allah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 18 yang artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan mas­jid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunai­kan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid itu bukan hanya sekedar menghiasi dan membangun fisiknya saja, tetapi juga dengan berzikir kepada Allah Ta’ala di dalamnya, menegakkan syariat-Nya serta menjauhkannya dari najis dan syirik.

Firman-Nya (وأولئك ما كان لهم أن يدخلواها إلا خائفين), ayat ini berbentuk berita tetapi bermakna perintah. Artinya, “Jangan kalian perkenankan mereka memasuki masjid jika kalian mampu menguasai mereka, kecuali setelah ada perdamaian dan pembayaran jizyah. Oleh karena itu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil membebaskan kota Mekkah pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 9 H beliau langsung berseru di tanah lapang di Mina:

"أَلَّا لَا يَحُجَّن بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفَنَّ بِالْبَيْتِ عُريان، وَمَنْ كَانَ لَهُ أَجْلٌ فَأَجَلُهُ إِلَى مُدَّتِهِ"

Artinya: “ketahuilah, setelah tahun ini, tidak diperbolehkan seorang musyrik pun menunaikan ibadah haji dan mengerjakan tawaf dalam keadaan telanjang. Barangsiapa yang masih mempunyai masa tinggal, maka pengukuhannya itu berakhir sampai habis masanya.”

Yang demikian itu tidak lain untuk menghormati lingkungan Masjidil Haram dan menyucikan negeri yang padanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada umat manusia secara keseluruhan untuk menyampaikan berita gembira sekaligus juga peringatan. Itulah penghinaan bagi mereka di dunia, karena balasan itu sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana mereka telah menghalangi orang-orang mukmin dari Masjidil Haram, maka mereka pun dihalangi darinya. Dan sebagaimana mereka telah mengusir orang-orang Mukmin dari Mekkah, maka mereka pun diusir darinya.

Firman-Nya (ولهم في الآخرة عذاب عظيم) karena mereka telah menginjak-injak kehormatan Masjidil Haram dan menghinakannya dengan menempatkan berhala-berhala di sekitarnya, berdoa kepada selain Allah Ta’ala di dalamnya, serta mengerjakan tawaf di sana dalam keadaan telanjang, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dibenci Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sedangkan ulam yang menafsirkan sebagai Baitul Maqdis, maka Ka’ab Al-Ahbar mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang Nasrani itu ketika berhasil menguasai Baitul Maqdis, maka mereka merobohkannya.” Dan setelah Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Dia pun menurunkan ayat ini.

Oleh karena itu, tidak ada di muka bumi ini seorang Nasrani pun yang berani masuk Baitul Maqdis kecuali dalam keadaan takut. As-Suddi mengatakan: “Sekarang ini, tidak ada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang berani memasuki Baitul Maqdis melainkan dalam keadaan takut dipenggal lehernya atau ditakutkan dengan pembayaran jizyah yang harus dilaksanakannya.” Menurut penafsiran As-Suddi, Ikrimah dan Wa’il bin Dawud, kehinaan mereka di dunia itu akan benar-benar terwujud dengan munculnya Imam Mahdi. Sedangkan Qatadah menafsirkannya dengan pembayaran jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Yang benar bahwa kehinaan di dunia itu lebih umum dari semuanya itu. Dalam sebuah hadis disebutkan mengenai permohonan perlindungan dari kehinaan dunia dan azab akhirat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Bisyir bin Artha’ah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjatkan doa:

"اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"

Artinya: “Ya Allah, perbaikilah akhir dari segala urusan kami seluruhnya, serta jauhkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksa akhirat.” (HR. Imam Ahmad)

Hadis di atas derajatnya hasan, tetapi tidak terdapat dalam Kutub As-Sittah. Dan Bisyir bin Artha’ah tidak pernah meriwayatkan hadis kecuali hadis ini dan satu lagi yaitu hadis: (وتقطع الـأيدي في الغزو) “Tidak ada hukuman potong tangan di dalam peperangan.” 


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)