BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 
أَمۡ تُرِيدُونَ أَن تَسۡ‍َٔلُواْ رَسُولَكُمۡ كَمَا سُئِلَ مُوسَىٰ مِن قَبۡلُۗ وَمَن يَتَبَدَّلِ ٱلۡكُفۡرَ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ١٠٨

Artinya: “Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.”

Asbabun Nuzul ayat ini yaitu: “Bahwa Rafi’ bin Huraimalah dan Wahb bin Zaid berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Hai Muhammad! Cobalah turunkan kepada kami suatu kitab dari langit yang dapat kami baca, atau buatlah sungai yang mengalir airnya, pasti kami akan mengikuti dan mempercayai tuan.” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini sebagai peringatan agar umat Islam tidak meniru Bani Israil dalam mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id atau Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Asbabun Nuzul lainnya yaitu: “Bahwa orang kafir Quraisy meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam supaya Gunung Shafa dijadikan emas. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Baiklah, akan tetapi apabila kamu kufur, gunung ini akan berakibat seperti hidangan yang diminta Bani Israil (sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Maidah ayat 112-115, kaum Hawariyyun meminta kepada Nabi Isa ‘alaihi as-salam agar Allah Ta’ala menurunkan hidangan dari langit. Allah Ta’ala mengabulkannya dengan ancaman siksaan bagi orang yang kufur kepada-Nya). Kaum Quraisy menolak syarat tersebut, kemudian pulang. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa ini. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid)

Asbabun Nuzul lainnya yaitu: “Turunnya ayat ini sehubungan dengan peristiwa ketika orang-orang Arab meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar mendatangkan Allah Ta’ala kepada mereka, sehingga dapat terlihat dengan nyata oleh mata mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari As-Suddi)

Asbabun Nuzul lainnya yaitu: “Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ya Rasulullah, bagaimana kalau kifarat (denda tebusan dosa) kami disamakan saja dengan kifarat Bani Israil?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Maha suci Allah, sungguh aku tidak menghendakinya, karena Allah Ta’ala telah memberikan kepadamu yang lebih baik daripada yang diberikan kepada Bani Israil dahulu. Apabila mereka melakukan kejahatan, tertulislah perbuatan itu beserta kifaratnya di atas pintu rumah mereka. Apabila telah ditunaikan kifaratnya, tinggallah kehinaan baginya di dunia, dan apabila tidak ditunaikan kifaratnya, tinggallah kehinaan baginya di akhirat. Bukankah Allah Ta’ala telah memberikan yang lebih baik kepadamu daripada itu, dengan firman-Nya dalam Surah An-Nisaa’ ayat 110 yang artinya: “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah yang Mahapengampun dan Mahapenyayang.” Dan selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salat lima waktu dan salat jumat sampai salat jumat berikutnya, menjadi kifarat kesalahan yang dikerjakan di antara waktu kesemuanya itu.” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini sebagai teguran terhadap orang yang ingin mengubah ketetapan Allah Ta’ala. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Al-Aliyah)

Ayat ini mempunyai arti bahwa Allah Ta’ala melarang orang-orang mukmin banyak bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal-hal yang belum terjadi, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Maaidah ayat 101 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada ka­lian, niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakan­nya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan di­terangkan kepada kalian.” Artinya, jika kalian menanyakan perinciannya setelah ayat itu diturunkan, niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan janganlah kalian menanyakan suatu perkara yang belum terjadi karena boleh jadi perkara itu akan diharamkan akibat adanya pertanyaan tersebut. Oleh karena itu dalam sebuah hadis sahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ"

Artinya: “Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya ialah se­seorang yang menanyakan sesuatu yang (pada asal mulanya) ti­dak diharamkan, kemudian diharamkan karena pertanyaannya itu.”

Oleh karena itu, di dalam kitab Shahihain ditegaskan melalui sebuah hadis yang diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ

Artinya: “Rasulullah melarang banyak bicara dan membicarakan setiap kabar yang didengarnya, menghambur-hamburkan harta serta banyak bertanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam kitab Sahih Muslim diriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِنْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ"

Artinya: “Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian, ka­rena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian ha­nya karena mereka banyak bertanya dan banyak menentang na­bi-nabi mereka. Oleh karena itu, apabila aku perintahkan suatu perintah kepada kalian, kerjakanlah oleh kalian apa yang kalian mampu darinya. Dan jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia.” (HR. Muslim)

Yang demikian itu dikemukakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah mereka diberitahukan bahwa Allah Ta’ala mewajibkan ibadah haji kepada mereka, lalu seseorang bertanya: “Apakah setiap tahun, Ya Rasulullah?” Maka Rasulullah pun terdiam meskipun telah ditanya sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau pun menjawab: “Tidak, seandainya kujawab, ‘Ya’, maka akan menjadi suatu kewajiban. Dan jika diwajibkan, niscaya kalian tidak sanggup menunaikannya.” Kemudian beliau bersabda dengan hadis sebelumnya (di atas). Oleh karena itu, Anas bin Malik pernah berkata, “Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sesuatu. Hal yang menggembirakan kami adalah jika ada seorang dari penduduk pedalaman yang datang dan bertanya kepada beliau dan kami mendengarkannya.”

Firman-Nya (أم تريدون أن تسألوا رسولكم كما سئل موسى من قبل) maksudnya adalah, bahkan kalian menghendaki untuk itu. Atau dapat juga dikatakan bahwa hal itu termasuk bab istifham (pertanyaan) yang mempunyai makna penolakan. Dan firman-Nya itu berlaku umum, baik orang-orang mukmin dan juga orang-orang kafir. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu diutus kepada umat manusia secara keseluruhan sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nisa ayat 153 yang artinya: “Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka te­lah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka ber­kata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Maka mereka disambar petir karena kezalimannya.” Artinya, Allah Ta’ala mencela orang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sesuatu hal dengan tujuan untuk mempersulit dan mengusulkan pendapat yang lain, sebagaimana yang dinyatakan Bani Israil kepada Musa ‘alaihi as-salam dalam rangka menyulitkan, mendustai dan mengingkarinya.

Firman-Nya (ومن يتبدل الكفر بالإيمان) artinya, baransiapa membeli kekufuran dengan menukarnya (dengan) keimanan maka ia benar-benar tersesat dari jalan yang lurus.

Firman-Nya (فقد ضل سواء السبيل) artinya, ia telah keluar dari jalan yang lurus menuju kebodohan dan kesesatan. Demikian itulah keadaan orang-orang yang menolak untuk membenarkan dan mengikuti para nabi dan berbalik menuju penentangan dan pendustaan serta mengusulkan pendapat yang lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya mereka tidak memerlukannya dan hanya bertujuan untuk menyulitkan dan kufur. Abu Al-‘Aliyah mengatakan: “(Maksud ayat ini adalah) menukar kebahagiaan dengan kesengsaraan.” 


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)