BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina," tetapi katakanlah, "Unzhurna," dan, "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa dua orang Yahudi, bernama Malik bin Ash-Shaif dan Rifa’ah bin Zaid, apabila bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengucapkan: “Raa’inaa sam’aka wasma’ ghaira musma’in”. Kaum Muslimin mengira kata-kata itu adalah ucapan ahli kitab untuk menghormati nabi-nabinya. Mereka pun mengucapkan kata-kata itu kepada Rasulullah. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut sebagai larangan untuk meniru perbuatan kaum Yahudi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir yang bersumber dari As-Suddi)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa kata ‘raa’ina’ dalam bahasa Yahudi berarti caci maki yang jelek. Sehubungan dengan itu ada peristiwa sebagai berikut: Ketika kaum Yahudi mendengar sahabat-sahabat memakai perkataan itu, mereka sengaja mengumumkan agar perkataan itu biasa dipergunakan dan ditujukan kepada Rasulullah. Apabila para sahabat menggunakan kata itu, mereka menertawakannya. Maka turunlah ayat ini. Ketika salah seorang sahabat, yaitu tu Sa’d bin Mu’adz mendengar ayat ini, berkatalah ia kepada kaum Yahudi: “Hai musuh-musuk Allah! Jika aku mendengar perkataan itu diucapkan oleh salah seorang di antaramu sesudah pertemuan ini, akan kupenggal batang lehernya.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Kitab Ad-Dala’il, dari As-Suddish Shagir, dari Al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa turunnya ayat ini ketika seorang laki-laki berkata: “Arinii sam’aka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Adh-Dhahhak). Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa pada waktu itu ada beberapa orang Yahudi mengatakan: “Ari’na sam’aka”, yang ditiru oleh beberapa orang Islam. Akan tetapi Allah Ta’ala membencinya dengan menurunkan ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Athiyyah). Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Ketika kaum Muslimin mengucapkan: “Ra’ina sam’aka”, datanglah kaum Yahudi dan mengatakan ucapan seperti itu pula. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah). Asbanun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa turunnya ayat ini sehubungan dengan ucapan ‘ra’ina’ yaitu bahasa yang dipakai kaum Anshar di zaman jahiliyah, dan karenanya dilarang oleh ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Atha’). Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa sesungguhnya orang Arab apabila bercakap-cakap dengan salah seorang temannya suka mengatakan: “Ari’ni sam’aka”. Kemudian mereka dilarang menggunakan kata-kata itu dengan turunnya ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Al-‘Aliyah)
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Karena orang-orang Yahudi (semoga laknat Allah Ta’ala atas mereka) senang bermain kata-kata yang mempunyai arti samar dengan maksud untuk mengurangi makna yang dikandungnya. Jika mereka hendak mengatakan: “Dengarlah kami,” maka mereka mengatakan: “raa’inaa”, padahal yang dimaksudkan adalah ”ru’unah” (sangat bodoh) sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nisaa’ ayat 46 yang artinya: “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya." Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Ra'ina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikan kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.”
Banyak juga hadis yang menceritakan mengenai diri mereka ini. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa jika orang-orang Yahudi itu mengucapkan salam, sebenarnya yang mereka ucapkan adalah (السام عليكم) yang artinya semoga kematian menimpa kalian. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk membalas salam yang mereka sampaikan dengan mengucapkan (وعليكم) dan juga atasmu supaya dengan demikian ucapan kita kepada mereka dikabulkan sedangkan ucapan mereka kepada kita tidak dikabulkan. Maksudnya Allah Ta’ala melarang orang-orang Mukmin menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan maupun perbuatan. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Munib, dari Ibnu Umar, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Aku diutus sebelum hari kiamat dengan membawa pedang hingga hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya; dan rezekiku dijadikan di bawah naungan tombakku, serta kenistaan dan kehinaan dijadikan bagi orang yang menentang perintahku. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud juga meriwayatkan dari Utsman bin Abi Syaibah, dari Abu An-Nahdr Hasyim, Ibnu Qasim memberitahu kami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Hadis tersebut mengandung larangan keras sekaligus ancaman terhadap tindakan menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan hari-hari besar, dan ibadah mereka, maupun hal lainnya yang sama sekali tidak pernah disyariatkan dan tidak kita akui keberadaannya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan menuturkan, ‘Ajarilah aku.’ Maka Ibnu Mas’ud berujar, ‘Jika engkau mendengar Allah Ta’ala berfirman ‘yaa ayyuha al-laadziina aamanuu’ maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah suatu kebaikan yang diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya.”
Firman-Nya (راعنا) berarti sudilah kiranya engkau memperlihatkan kami. Pada saat para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang Yahudi pun memakai pula kata ini dan digunakan seakan-akan menyebut (راعنا), padahal yang mereka maksudkan adalah (وعونة) yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah sebabnya Allah Ta’ala menyuruh supaya para sahabat menukar kata (راعنا) dengan kata (انظرنا) yang mempunyai arti yang sama. Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Maksudnya arahkanlah pendengaranmu kepada kami.” Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi itu mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Pasanglah pendengaranmu baik-baik kepada kami.’ Sesungguhnya ucapan (راعنا) itu sama seperti ungkapan (عاطنا).” “Janganlah kalian mengatakan (راعنا), artinya ‘Janganlah kalian mengatakan sesuatu yang berbeda.” Dalam suatu riwayat disebutkan, Janganlah kalian mengatakan, Dengarlah kami dan kami akan mendengarmu.
As-Suddi mengatakan, “Ada seorang Yahudi dari Banu Qainuqa’ yang dipanggil dengan nama Rifa’ah bin Zaid. Ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika bertemu beliau, ia mengatakan, ‘Pasanglah pendengaranmu dan dengarlah, sesungguhnya kamu tidak mendengar.’” Orang-orang Muslim mengira bahwa para nabi itu diagungkan dengan ucapan itu. Beberapa orang dari mereka mengatakan: “Dengarlah, sebenarnya engkau tidak mendengar dan tidak hina.” Yang demikian itu seperti yang terdapat dalam Surah An-Nisaa’. Kemudian Allah Ta’ala mengemukakan kepada orang-orang Mukmin agar tidak mengatakan (راعنا). Hal senada juga dikatakan oleh Abd Ar-Rahmad bin Zaid bin Aslam. Dari Ibnu Jarir mengemukakan, “Menurut kami, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala melarang orang-orang Mukmin mengatakan kepada nabi-Nya kata (راعنا). Karena hal itu merupakan kata yang tidak disukai Allah Ta’ala untuk diucapkan kepada nabi-Nya.”
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ
وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٠٤
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina," tetapi katakanlah, "Unzhurna," dan, "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa dua orang Yahudi, bernama Malik bin Ash-Shaif dan Rifa’ah bin Zaid, apabila bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengucapkan: “Raa’inaa sam’aka wasma’ ghaira musma’in”. Kaum Muslimin mengira kata-kata itu adalah ucapan ahli kitab untuk menghormati nabi-nabinya. Mereka pun mengucapkan kata-kata itu kepada Rasulullah. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut sebagai larangan untuk meniru perbuatan kaum Yahudi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir yang bersumber dari As-Suddi)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa kata ‘raa’ina’ dalam bahasa Yahudi berarti caci maki yang jelek. Sehubungan dengan itu ada peristiwa sebagai berikut: Ketika kaum Yahudi mendengar sahabat-sahabat memakai perkataan itu, mereka sengaja mengumumkan agar perkataan itu biasa dipergunakan dan ditujukan kepada Rasulullah. Apabila para sahabat menggunakan kata itu, mereka menertawakannya. Maka turunlah ayat ini. Ketika salah seorang sahabat, yaitu tu Sa’d bin Mu’adz mendengar ayat ini, berkatalah ia kepada kaum Yahudi: “Hai musuh-musuk Allah! Jika aku mendengar perkataan itu diucapkan oleh salah seorang di antaramu sesudah pertemuan ini, akan kupenggal batang lehernya.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Kitab Ad-Dala’il, dari As-Suddish Shagir, dari Al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa turunnya ayat ini ketika seorang laki-laki berkata: “Arinii sam’aka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Adh-Dhahhak). Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa pada waktu itu ada beberapa orang Yahudi mengatakan: “Ari’na sam’aka”, yang ditiru oleh beberapa orang Islam. Akan tetapi Allah Ta’ala membencinya dengan menurunkan ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Athiyyah). Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Ketika kaum Muslimin mengucapkan: “Ra’ina sam’aka”, datanglah kaum Yahudi dan mengatakan ucapan seperti itu pula. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah). Asbanun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa turunnya ayat ini sehubungan dengan ucapan ‘ra’ina’ yaitu bahasa yang dipakai kaum Anshar di zaman jahiliyah, dan karenanya dilarang oleh ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Atha’). Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Bahwa sesungguhnya orang Arab apabila bercakap-cakap dengan salah seorang temannya suka mengatakan: “Ari’ni sam’aka”. Kemudian mereka dilarang menggunakan kata-kata itu dengan turunnya ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Al-‘Aliyah)
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Karena orang-orang Yahudi (semoga laknat Allah Ta’ala atas mereka) senang bermain kata-kata yang mempunyai arti samar dengan maksud untuk mengurangi makna yang dikandungnya. Jika mereka hendak mengatakan: “Dengarlah kami,” maka mereka mengatakan: “raa’inaa”, padahal yang dimaksudkan adalah ”ru’unah” (sangat bodoh) sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nisaa’ ayat 46 yang artinya: “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya." Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Ra'ina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikan kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.”
Banyak juga hadis yang menceritakan mengenai diri mereka ini. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa jika orang-orang Yahudi itu mengucapkan salam, sebenarnya yang mereka ucapkan adalah (السام عليكم) yang artinya semoga kematian menimpa kalian. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk membalas salam yang mereka sampaikan dengan mengucapkan (وعليكم) dan juga atasmu supaya dengan demikian ucapan kita kepada mereka dikabulkan sedangkan ucapan mereka kepada kita tidak dikabulkan. Maksudnya Allah Ta’ala melarang orang-orang Mukmin menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan maupun perbuatan. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Munib, dari Ibnu Umar, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"بُعِثْتُ
بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةَ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعبد اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ
لَهُ. وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَتِ الذِّلَّةُ والصَّغارُ
عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ"
Artinya: “Aku diutus sebelum hari kiamat dengan membawa pedang hingga hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya; dan rezekiku dijadikan di bawah naungan tombakku, serta kenistaan dan kehinaan dijadikan bagi orang yang menentang perintahku. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud juga meriwayatkan dari Utsman bin Abi Syaibah, dari Abu An-Nahdr Hasyim, Ibnu Qasim memberitahu kami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ منهم"
Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Hadis tersebut mengandung larangan keras sekaligus ancaman terhadap tindakan menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan hari-hari besar, dan ibadah mereka, maupun hal lainnya yang sama sekali tidak pernah disyariatkan dan tidak kita akui keberadaannya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan menuturkan, ‘Ajarilah aku.’ Maka Ibnu Mas’ud berujar, ‘Jika engkau mendengar Allah Ta’ala berfirman ‘yaa ayyuha al-laadziina aamanuu’ maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah suatu kebaikan yang diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya.”
Firman-Nya (راعنا) berarti sudilah kiranya engkau memperlihatkan kami. Pada saat para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang Yahudi pun memakai pula kata ini dan digunakan seakan-akan menyebut (راعنا), padahal yang mereka maksudkan adalah (وعونة) yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah sebabnya Allah Ta’ala menyuruh supaya para sahabat menukar kata (راعنا) dengan kata (انظرنا) yang mempunyai arti yang sama. Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Maksudnya arahkanlah pendengaranmu kepada kami.” Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi itu mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Pasanglah pendengaranmu baik-baik kepada kami.’ Sesungguhnya ucapan (راعنا) itu sama seperti ungkapan (عاطنا).” “Janganlah kalian mengatakan (راعنا), artinya ‘Janganlah kalian mengatakan sesuatu yang berbeda.” Dalam suatu riwayat disebutkan, Janganlah kalian mengatakan, Dengarlah kami dan kami akan mendengarmu.
As-Suddi mengatakan, “Ada seorang Yahudi dari Banu Qainuqa’ yang dipanggil dengan nama Rifa’ah bin Zaid. Ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika bertemu beliau, ia mengatakan, ‘Pasanglah pendengaranmu dan dengarlah, sesungguhnya kamu tidak mendengar.’” Orang-orang Muslim mengira bahwa para nabi itu diagungkan dengan ucapan itu. Beberapa orang dari mereka mengatakan: “Dengarlah, sebenarnya engkau tidak mendengar dan tidak hina.” Yang demikian itu seperti yang terdapat dalam Surah An-Nisaa’. Kemudian Allah Ta’ala mengemukakan kepada orang-orang Mukmin agar tidak mengatakan (راعنا). Hal senada juga dikatakan oleh Abd Ar-Rahmad bin Zaid bin Aslam. Dari Ibnu Jarir mengemukakan, “Menurut kami, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala melarang orang-orang Mukmin mengatakan kepada nabi-Nya kata (راعنا). Karena hal itu merupakan kata yang tidak disukai Allah Ta’ala untuk diucapkan kepada nabi-Nya.”
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########