BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

وَلَوۡ أَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَمَثُوبَةٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ خَيۡرٞۚ لَّوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٣

Artinya: “Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pa­hala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.”

Firman-Nya (ولو أنهم آمنوا واتقوا) maksudnya, seandainya mereka beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, maka pahala Allah Ta’ala atas hal itu lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pilih dan mereka ridhai. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa tukang sihir itu kafir. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama salaf. Ada yang mengatakan, bahwa tukang sihir itu tidak tergolong kafir, tapi hukumannya adalah dipenggal lehernya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, keduanya menceritakan, Sufyan bin Uyainah pernah memberitahu kami, dari Amr bin Dinar, bahwa ia pernah mendengar Bajalah bin Abdah menceritakan: “Umar bin Al-Khaththab pernah mengirimkan surat kepada para gubernur agar menghukum mati setiap tukang sihir, laki-laki maupun perempuan.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Maka kami pun menghukum mati tiga orang tukang sihir.” Imam Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam kitab sahihnya. Dan sahih juga riwayat yang menyebutkan bahwa Hafshah, Ummul Mukminin pernah disihir oleh budak wanitanya. Kemudian ia memerintahkan agar budak itu dihukum mati. Maka budak wanita itupun dibunuh. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Dibenarkan dari tiga orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengenai membunuh tukang sihir.”

Dalam tafsirnya, Abu Abdullah Ar-Razi mengisahkan bahwa kaum Mu’tazilah mengingkari adanya sihir. Bahkan mungkin mereka mengkafirkan orang yang meyakini keberadaannya. Sedangkan Ahlus Sunnah mengakui kemungkinan seorang tukang sihir terbang ke udara atau merubah manusia menjadi keledai dan keledai menjadi manusia. Namun dalam hal itu mereka berpendapat bahwa Allah Ta’ala menciptakan dan menetapkan sesuatu ketika tukang sihir itu membaca mantra atau bacaan-bacaan tertentu. Adapun apabila hal itu dipengaruhi oleh benda angkasa dan bintang-bintang, maka hal itu keliru. Dan itu jelas berbeda dengan pandangan para filosuf, ahli nujum dan kaum Shabi’ah. Mengenai kemungkinan terjadinya sihir tersebut dan bahwa hal itu adalah ciptaan Allah Ta’ala, Ahlus Sunnah beragumen dengan firman-Nya (وماهم بضارين به من أحد إلا بإذن الله) dan juga berdasarkan pada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah disihir. Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa sihir itu ada delapan: pertama, sihir para pendusta, dan kaum Kusydani yang terdiri dari penyembah bintang yang tujuh yang dapat berpindah-pindah, yaitu planet. Mereka ini berkeyakinan bahwa planet-planet itulah yang mengatur alam ini dan yang mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kepada mereka itulah Allah Ta’ala mengutus Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam untuk membatalkan sekaligus menentang pendapat mereka itu.

Kedua, sihir orang-orang yang penuh khayalan (imajinasi) dan memiliki jiwa yang kuat. Mereka menyatakan bahwa khayalan itu memiliki pengaruh dengan argumen bahwa manusia ini dimungkinkan untuk berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas tanah, tetapi tidak mungkin berjalan di atasnya jika jembatan itu diletakkan di atas sungai atau yang semisalnya. Sebagaimana para dokter sepakat melarang orang yang hidungnya berdarah agar tidak melihat kepada segala sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang menderita epilipsi tidak boleh melihat hal-hal yang mempunyai sinar atau putaran yang kuat. Yang demikian itu tidak lain karena jiwa itu diciptakan untuk menaati imajinasi. Menurut mereka ini, para ilmuwan telah sepakat bahwa adanya orang yang terkena (musibah disebabkan pandangan) mata adalah sebuah kenyataan. (Ibnu Katsir) berkata: Dia (Ar-Razi) menjadikan sebagai dasar pendapatnya itu dengan apa yang ditegaskan dalam hadis sahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"الْعَيْنُ حَقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ القَدَرَ سَبَقَت الْعَيْنُ، وَإِذَا اغْتُسلتم فَاغْسِلُوا"

Artinya: “Terkena ‘ain (pandangan mata) adalah benar adanya, seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, maka pastilah ‘ain itu mendahuluinya.”

Ketiga, sihir yang menggunakan bantuan arwah ardhiyyah (arwah bumi), yaitu para jin. Hal itu berbeda dengan pandangan para filosuf dan mu’tazilah. Jin itu terbagi menjadi dua bagian: Jin mukmin dan jin kafir, jin kafir itu adalah setan. Hubungan jiwa manusia dengan para arwah bumi lebih mudah disbanding hubungan mereka dengan arwah langit, karena keduanya mempunyai kesesuaian dan kedekatan. Mereka yang melakukan percobaan dan pengalaman menyatakan bahwa hubungan dengan para arwah bumi ini dapat ditempuh dengan perbuatan-perbuatan yang cukup mudah, berupa mantra, kemenyan dan pengasingan diri. Inilah yang disebut dengan ‘azaim (jampi-jampi) dan ‘amalut taskhir (tindakan menundukkan jin). Keempat, sihir dengan tipuan dan sulap mata. Dasarnya adalah bahwa pandangan mata itu bisa terkecoh karena terfokur pada objek tertentu tanpa memperhatikan yang lainnya. Tidakkah anda melihat orang yang pintar bermain sulap mata memperlihatkan keliahaian menarik perhatian para penonton, hingga apabila mereka asyik memperhatikan hal itu dengan serius, maka ia melakukan hal lain dengan sangat cepat. Dan ketika itu ia memperlihatkan kepada penonton sesuatu yang tidak ditunggu dan diduga, sehingga mereka pun sangat heran. Kelima, sihir yang menakjubkan yang timbul dari penyusunan alat-alat yang tersusun berdasarkan susunan geometri yang berkesuaian. Misalnya, penunggang kuda yang berdiri di atas kuda yang di tangannya terdapat terompet, setiap satu jam, terompet itu berbunyi tanpa ada yang menyentuhnya. Keenam, sihir yang menggunakan bantuan obat-obatan khusus, baik yang berupa obat yang diminum maupun yang dioleskan. Dan ketahuilah bahwasanya tiada jalan untuk mengingkari adanya pengaruh benda-benda khusus tersebut karena terbukti kita dapat menyaksikan adanya pengaruh daya tariknya. Ketujuh, sihir yang berupa penundukan hati. Di mana seorang penyihir mengaku bahwa ia mengetahui Ismul A’dzam (nama yang paling agung). Ia juga mengaku bahwa semua jin tunduk dan patuh kepadanya, dalam banyak urusan. Jika orang yang mendengar pengakuan/pernyataan penyihir seperti itu memiliki otak yang lemah dan daya pembeda yang minim, maka ia akan meyakini bahwa pernyataan seperti itu benar. Kemudian hatinya pun bergantung padanya, selanjutnya muncul rasa takut. Dan jika rasa takut sudah muncul, maka semua kekuatan indrawi menjadi lemah, dan pada saat itu si tukang sihir dapat berbuat sekehendak hatinya. Kedelapan, sihir berupa mengadudomba dengan cara tersembunyi dan lembut. Dan hal ini sudah tersebur luas di tengah-tengah masyarakat. Kemudian Ar-Razi mengatakan: “Demikianlah uraian mengenai macam-macam sihir dan jenis-jenisnya.”

Ibnu Katsir berkata: “Dimasukkannya macam-macam sihir ini ke dalam Ilmu sihir karena kelembutan jangkauannya, sebab menurut bahasa, sihir merupakan ungkapan dari sesuatu yang sebabnya sangat lembut dan tersembunyi. Abu Abdillah Al-Qurthubiy mengatakan: “Menurut kami (Ahlus Sunnah), sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, Allah Ta’ala menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya. Hal itu berbeda dengan paham Mu’tazilah dan Ibnu Ishak Asfarayini, seorang ulama bermazhab Syafi’i, di mana mereka mengatakan bahwa sihir itu adalah kepalsuan dan ilusi belaka.” Imam Al Qurtubiy berkata: “Di antara sihir itu ada yang berupa kelaihaian dan kecepatan tangan, misalnya tukang sulap.” Imam Al-Qurthubiy juga mengatakan, “Di antara sihir ada yang menggunakan ucapan-ucapan yang dihafal dan mantra-mantra yang terdiri dari nama-nama Allah Ta’ala. Ada juga yang berupa perjanjian dengan setan, dan ada pula yang menggunakan ramuan, dupa dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا

Artinya: “Sesungguhnya di antara bayan itu adalah sihir.” (HR. Abu Dawud dengan sanad sahih)

Hal itu bisa jadi sebagai ujian, sebagaimana yang dikemukakan oleh suatu kelompok. Dan mungkin juga merupakan suatu celaan terhadap balaghah, dan ini, menurut Imam Al-Qurthubiy yang lebih tepat, karena balaghah itu membenarkan yang batil sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis:

 وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ؛ فأَقْضِي لَهُ

Artinya: “Mungkin sebagian di antara kalian lebih pandai membuat hujjah daripada sebagian lainnya, lalu aku mengambil keputusan yang menguntungkannya.” (HR. Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah dan Imam An-Nasai)

Dalam Kitab Al-Isyraf ‘Ala Madzahibi Al-Asyraf, Al-Wazir Abu Al-Mudzafar Yahya bin Muhammad bin Hubairah telah membahas suatu bab khusus mengenai sihir. Ia mengemukakan, para ulama telah sepakat bahwa sihir itu mempunyai hakikat (berpengaruh), kecuali Abu Hanifah, yang mengatakan: “Sihir itu sama sekali tidak memiliki hakikat.” Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mempelajari dan mengamalkannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad mengemukakan, “Orang yang mempelajari dan mengamalkannya dapat dikategorikan kafir.” Di antara sahabat Abu Hanifah ada juga yang berpendapat bahwa orang yang mempelajari sihir dengan tujuan untuk menjauhi dan menghindarinya, tidak dapat dianggap kafir. Sedangkan orang yang mempelajarinya dengan keyakinan bahwa hal itu dibolehkan dan dapat memberi manfaat baginya, maka ia sudah termasuk kafir. Demikian halnya orang yang berkeyakinan bahwa setan-setan itu dapat berbuat sehekendak hatinya dalam sihir itu, maka ia juga dapat dikategorikan kafir. Imam Syafi’i mengatakan, “Jika ada seseorang yang mempelajari sihir, maka kami akan katakan kepadanya, ‘Terangkan kepada kami sihir yang engkau maksud.’ Jika ia menyebutkan hal-hal yang mengarah pada kekufuran, seperti misalnya apa yang diyakini oleh penduduk negeri Babil, yaitu pendekatan diri pada bintang yang tujuh dan keyakinan bahwa bintang-bintang itu dapat melakukan apa yang diminta kepadanya, maka ia termasuk kafir. Dan jika apa yang dia sebutkan tidak mengarah kepada kukufuran, tapi jika jika meyakini bahwa sihir itu dibolehkan, maka ia juga termasuk kafir.

Perihal apakah dengan sekedar pengamalan dan penerapan sihir, seorang tukang sihir harus dihukum mati? Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa tukang sihir itu harus dihukum mati. Sedangkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat lain, “Tidak harus dihukum mati.” Tetapi jika dengan sihirnya seorang tukang sihir membunuh seseorang, maka ia harus dihukum mati. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad. Abu Hanifah mengemukakan, “Si tukang sihir itu tidak harus dihukum mati kecuali jika ia telah melakukannya berulang-ulang atau mengakui telah melakukan sihir para orang tertentu.” Menurut keempat imam tersebut kecuali Imam Syafi’i, jika ia dibunuh, maka pembunuhan itu dimaksudkan sebagai hukuman baginya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa ia dibunuh sebagai qishash. Jika sihirnya itu mengandung kekufuran, maka menurut empat imam dan juga ulama lainnya orang itu termasuk kafir sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 102 yang artinya: “Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), karena itu janganlah engkau kafir.” Imam Syafi’i mengatakan, “Jika tukang sihir itu mengatakan, ‘Aku tidak sengaja membunuhnya’, maka ia termasuk pembunuh yang tidak sengaja dan diharuskan baginya membayar diyah.”

Perihal jika seorang tukang sihir bertaubat, apakah diterima taubatnya? Menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad, taubatnya tidak dapat diterima. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad pada riwayat yang lain menyatakan bahwa, taubatnya diterima. Akan tetapi Imam Malik berkata, “Jika sihir itu tampak padanya, tidak diterima taubatnya karena ia seperti seorang Zindiq (kafir). Apabila dia bertaubat sebelum tampak sihir itu padanya dan datang kepada kami dengan bertaubat, kami menerimanya. Dan jika sihirnya membunuh, maka dia dibunuh.”

Perihal tukang sihir dari Ahlul Kitab, menurut Abu Hanifah, “Tukang sihir dari Ahlul Kitab harus dibunuh sebagaimana tukang sihir Muslim.” Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, “Tukang sihir dari Ahlul Kitab tidak dibunuh.” Hal itu didasarkan pada kisah Labid bin Al-A’sham. Abu Bakar Al-Khallal meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa ia mengatakan: “Tukang sihir dari kalangan orang Muslim harus dibunuh, sedangkan penyihir dari kalangan orang musyrik tidak dibunuh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, tetapi beliau tidak membunuhnya.” Imam Al-Qurthubiy pernah menukil dari Imam Malik, ia mengatakan, “Tukang sihir dari orang kafir dzimmi harus dibunuh jika sihirnya itu membunuh orang.” Ibnu Khuwaiz Mindad meriwayatkan dua pendapat dari Imam Malik mengenai orang kafir dzimmi yang melakukan sihir. Pertama, ia diminta bertaubat. Jika ia mau bertaubat dan masuk Islam, maka ia tidak dibunuh, dan jika tidak, maka ia dibunuh. Kedua, ia harus dibunuh meskipun sudah bertaubat dan masuk Islam.

Perihal perbedaan pendapat ulama mengenai wanita muslimah yang menjadi tukang sihir. Menurut Imam Abu Hanifah, “Wanita penyihir itu tidak dibunuh, tetapi hanya dipenjara.” Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, “Hukum yang diterima tukang sihir wanita itu sama dengan hukuman yang diberlakukan bagi tukang sihir laki-laki.”

Hal yang paling ampuh untuk mengusir sihir adalah apa yang telah diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya, yaitu mu’awwidzatain (yaitu An-Nas dan Al-Falaq). Dalam sebuah hadis disebutkan:

"لَمْ يَتَعَوَّذِ الْمُتَعَوِّذُ بِمِثْلِهِما"

Artinya: “Orang yang berlindung tidak berlindung sekokoh berlindung dengannya (An-Nas dan Al-Falaq).”

Demikian juga bacaan ayat Kursi, karena bacaan itu dapat mengusir setan. 


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)