BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ١٠

Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”

Firman-Nya ‘fii quluubihim maradhun’ (Di dalam hati mereka ada penyakit) As-Suddi menceritakan, dari Ibnu Mas’ud dan beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia mengatakan: “Yaitu keraguan, lalu Allah Ta’ala menambah keraguan itu dengan keraguan lagi.” Menurut Ikrimah dan Thawus: “Di dalam hati mereka ada penyakit, yaitu riya’.” Mereka menyandang sifat ragu dan riya’. Sungguh mereka berdusta dan bahkan mereka mendustakan hal-hal yang ghaib.

Imam Al-Qurthubiy dan beberapa orang mufassir pernah ditanya mengenai hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik, padahal beliau mengetahui sendiri tokoh-tokoh mereka itu. Lalu para mufassir itu memberikan beberapa jawaban atas pernyataan tersebut, yang salah satunya adalah apa yang ditetapkan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan kepada ‘Umar bin Al-Khaththab:

«أَكْرَهُ أَنْ يَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ»

Artinya: “Aku tidak suka kalau nanti bangsa Arab ini memperbincangkan, bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.” (HR. Imam Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan terjadinya perubahan pada banyak orang Arab untuk masuk Islam, karena mereka tidak mengetahui hikmah dari pembunuhan tersebut. Padahal pembunuhan yang akan beliau lakukan terhadap orang munafik itu karena kekufuran. Sedang mereka hanya melihat pada yang mereka saksikan, lalu mereka mengatakan, “Muhammad telah membunuh sahabat-sabahatnya.” Hal ini sebagaimana beliau telah memberikan sesuatu kepada orang-orang yang baru masuk Islam, padahal beliau mengetahui buruknya keyakinan mereka.

Imam Athiyyah mengatakan, yang demikian itu merupakan pendapat para sabahat Imam Malik yang telah ditetapkan Muhammad bin Al-Jahm, Al-Qadhi Ismail, Al-Abhari dan Ibnu Al-Majisyun. Di antaranya apa yang dikatakan Imam Malik: “Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan dirinya tidak membunuh orang-orang munafik itu dimaksudkan untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan berdasarkan pengetahuannya semata.” Imam Al-Qurthubiy mengatakan, para ulama telah sepakat bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pengetahuannya semata, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai hukum-hukum lainnya.

Imam Syafi’iy mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik atas tindakan mereka menampakkan keislaman, meskipun beliau mengetahui kemunafikan mereka itu, karena apa yang mereka tampakkan itu mengalahkan apa yang sebelumnya (kemunafikan). Pendapat ini diperkuat dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»

Artinya: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Apabila mereka mengatakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka berada di tangan Allah.” (HR. Imam Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mempunyai arti, barangsiapa telah mengucapkan kalimat tauhid, maka berlaku baginya secara lahir seluruh hukum Islam, dan jika ia meyakininya, ia akan mendapatkan pahala di akhirat kelak. Dan jika tidak meyakininya, maka tidak akan mendatangkan manfaat baginya (di akhirat nanti) pemberlakuan hukum terhadapnya di dunia.

Adapun keadaan mereka yaitu bercampur baur dengan orang-orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hadid ayat 14 yang artinya: “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: ‘Bukanlah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah.” Maksudnya adalah mereka bersama-sama dengan orang-orang mukmin di beberapa tempat di padang mahsyar, dan jika hari yang telah ditetapkan Allah Ta’ala itu tiba, maka perbedaan mereka tampak jelas dan akan terpisah dari orang-orang mukmin, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Saba’ ayat 54 yang artinya: “Dan dihalangi antara mereka dan apa yang mereka inginkan.”

Golongan munafik juga tidak akan dapat bersujud bersama orang-orang mukmin, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa hadis. Di antaranya adalah apa yang dikatakan sebagian ulama, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membunuh orang-orang munafik itu, karena kejahatan mereka tidak dikhawatirkan dan disebabkan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah-tengah mereka, beliau membacakan ayat-ayat Allah Ta’ala yang memberikan penjelasan. Adapun setelah beliau wafat, mereka dibunuh jika mereka menampakkan kemunafikannya dan hal itu diketahui oleh umat Islam.

Imam Malik mengatakan: “Orang munafik pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah zindiq pada hari ini.” Mengenai hal ini, Ibnu Katsir mengatakan bahwa para ulama telah berbeda pendapat mengenai pembunuhan terhadap zindiq. Jika ia menampakkan kekufuran, apakah ia harus diminta bertaubat atau tidak, atau apakah harus dibedakan antara penyeru (kepada kezindikkannya) atau tidak, atau apakah kemurtadan berulang-ulang pada dirinya atau tidak? Ataukah keislaman serta keluarnya dari Islam karena kemauan sendiri atau dipengaruhi orang lain? 


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)