Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
I. Shalat Berjamaah yang Terulang di Sebuah Masjid
Sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya
tentang hal-hal makruh dalam shalat, bahwa pengikut madzhab Hanafi (Ad-Durrul
Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 516) berpendapat, “Dimakruhkan
untuk mengulangi shalat jama'ah dengan adzan dan iqamah dalam masjid mahillah,
kecuali jika adzan dan iqamah pertama itu digunakan oleh orang-orang bukan penduduk
asli setempat, atau juga para digunakan oleh para penduduknya tetapi dengan
mengecilkan suara azan, atau penduduknya mengulangi shalat jama'ah tanpa adzan
dan iqamah, atau masjid itu berada di tengah rute perjalanan, atau masjid itu
tidak memiliki imam ataupun muadzin sehingga orang-orang shalat di masjid itu
dengan berkelompok-kelompok. Dalam keadaan itu semua, hal yang lebih utama
adalah setiap kelompok jama'ah shalat dengan mengumandangkan adzan dan iqamah
sendiri-sendiri.”
Adapun maksud dari masjid mahillah adalah
masjid yang memiliki imam dan jama'ah tertentu. Hukum makruh itu muncul jika
adzan terulang. Seandainya ada satu jamaah yang shalat di masjid mahillah tanpa
memakai adzan maka dibolehkan. Akan tetapi, zhahir teks hadits menurut Hanafi
tetap makruh. Dengan begitu, shalat-shalat yang dilakukan di beberapa masjid
dengan imam yang berbilang dan jamaah yang teratur, maka hukumnya makruh menurut
mereka.
Dalil mereka, bahwa suatu ketika, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam keluar untuk mendamaikan antar kelompok masyarakat, lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali ke masjid. Dan ternyata, para
penduduk di sekitar masjid telah menunaikan shalat. Maka, beliau pun segera
pulang ke rumahnya, lantas mengumpulkan keluarganya dan shalat. Seandainya
boleh untuk mengulang jamaah, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak akan memilih shalat di rumahnya daripada berjamaah di masjid. Karena, dengan
dimakruhkannya pengulangan jamaah, hal ini akan mendorong banyak jamaah pada
shalat pertama. Seandainya pun dibolehkan pengulangan jamaah tanpa makruh, maka
orang-orang tidak akan banyak berkumpul. Karena, mereka tahu bahwa mereka tidak
akan tertinggal shalat jamaah.
Adapun masjid jalanan, orang-orang di masjid
itu adalah sama. Tidak ada perlakukan istimewa untuk satu kelompok dari
kelompok lainnya. Dengan begitu, tidak dimakruhkan untuk mengulang shalat
jamaah di masjid-masjid tengah rute perjalanan, yaitu masjid-masjid yang tidak
memiliki imam dan jamaah tertentu.
Madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 432-442) berpendapat, dimakruhkan mengulang shalat jamaah di masjid
yang memiliki imam tetap. Begitu juga, dimakruhkan melakukan shalat berjamaah
sebelum dipimpin oleh imam tetap, dan diharamkan melakukan shalat berjamaah
bersamaan dengan jamaah imam tetap masjid tersebut. Adapun aturan dasar menurut
mereka, selama bisa dilangsungkannya shalat dengan imam tetap, maka tidak boleh
melangsungkan shalat lainnya berjamaah, baik itu fardhu ataupun sunnah; berjamaah
ataupun sendiri. Sedangkan siapa saja yang ingin shalat berjamaah dengan imam
tetap, maka ia harus keluar dari masjid agar ia tidak mengkhianati imam.
Kemudian jika sekelompok jamaah masuk ke dalam
masjid, lalu mereka mendapatkan bahwa imam tetap masjid setempat telah melaksanakan
shalat, maka dianjurkan kepada mereka untuk keluar agar melakukan shalat berjamaah
di luar masjid, kecuali tiga masjid yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil
Aqsha. Karena, mereka bisa melakukan shalat di ketiga masjid itu dengan sendiri-sendiri,
jika memasukinya. Sebab, shalat sendiri di ketiga masjid itu lebih utama dari
shalat berjamaah di masjid lainnya.
Jika imam tetap itu sampai berbilang, yaitu setiap
orang dari mereka memimpin shalat sendiri-sendiri, maka hal itu dimakruhkan
menurut pendapat yang kuat. Dimakruhkan juga berbilangnya kelompok jamaah dalam
satu waktu, karena bisa menimbulkan kebingungan. Akan tetapi, tidak dimakruhkan
mengulang shalat jamaah dalam masjid yang tidak memiliki imam tetap.
Adapun madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 224; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 95) berpendapat,
dimakruhkan melangsungkan shalat berjamaah di sebuah masjid tanpat izin dari
imam tetap secara mutlak, baik sebelum, sesudah, ataupun bersamanya. Tetapi,
tidak dimakruhkan mengulang shalat berjamaah di masjid jalan yang berada di tempat
jalan manusia, atau di pasar, atau di masjid yang tidak memiliki imam tetap, atau
masjid yang memiliki tempat pojok yang terpisah dari banyak orang atau juga
takut keluar dari waktu, karena pengulangan shalat berjamaahnya tidak mendorong
pada mencari celah saja.
Sedangkan madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’
jilid 1 halaman 526-529; Al-Mughni jilid 1 halaman 180) berpendapat,
diharamkan melangsungkan shalat berjamaah di sebuah masjid sebelum dipimpin oleh
imam tetapnya, kecuali atas seizinnya. Karena, imam tetap itu setara dengan
pemilik rumah dan dia lebih berhak untuk itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, “Tidak boleh seseorang itu mengimami orang lain di dalam
rumahnya sendiri kecuali atas seizinnya.” HR. Abu Dawud, dari Abu Hurairah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Tidak boleh bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengimami sekelompok
orang kecuali atas seizin mereka. Dan tidak boleh pula mengkhususkan dirinya
dalam doa, tanpa menyertai mereka. Jika ia melakukan itu, maka berarti ia telah
mengkhianati mereka." (Nailul Authaar jilid 3 halaman 159).
Dengan begitu, shalat berjamaah di suatu masjid
tanpa memiliki izin dari imam tetapnya, sama saja meremehkannya. Begitu juga, diharamkan
melangsungkan shalat berjamaah lainnya pada saat imam tetap sedang memimpin shalat
berjamaah. Shalat dalam dua keadaan tadi tidak sah. Kesimpulannya, tidak diharamkan
dan tidak pula dimakruhkan shalat berjamaah yang dilangsungkan dengan seizin imam
tetap. Karena, seseorang yang telah diizinkan, maka berarti orang yang diberi izin
itu sebagai wakil dari imam tetap. Tidak diharamkan dan tidak makruhkan juga
jika imam tetapnya terlambat karena udzur atau diperkirakan ketidakhadirannya,
atau diperkirakan kehadirannya. Maka, tidak dimakruhkan bila orang lain
memimpin shalat pada saat ketiadaan imam tetap.
Tidak dimakruhkan mengulang shalat jamaah dengan
imam tidak tetap setelah selesainya imam tetap memimpin shalat, kecuali di dua
masjid saja; Mekah dan Madinah. Karena, dimakruhkan mengulang shalat berjamaah
di kedua masjid tersebut, demi mengumpulkan jamaah. Yaitu, agar orang-orang
tidak meremehkan untuk menghadiri shalat berjamaah bersama imam tetap di kedua masjid
tadi. Hal ini jika memungkin untuk mereka melakukan shalat bersama jamaah.
Kecuali jika ada alasan seperti tidur dan lainnya dari jamaah yang seharusnya,
maka tidak dimakruhkan bagi orang yang tertinggal jamaah pertama untuk
mengulang jamaah lagi di kedua masjid di atas.
Dimakruhkan berbilangnya imam tetap di kedua masjid
yang telah disebutkan di atas, karena hilangnya keutamaan awal waktu bagi orang
yang terlambat dan hilangnya jumlah jamaah yang banyah meski madzhab berbeda pendapat
dalam hal ini.
Dimakruhkan bagi seorang imam untuk mengulang
satu shalat dua kali, yaitu ia memimpin orang-orang dua kali dalam satu shalat,
baik ia berniat pada shalat kedua dari rukun yang tertinggal atau lainnya dan
shalat pertama dengan niat shalat fardhu pada waktunya. Para imam madzhab
sepakat bahwa hal ini adalah bid'ah yang makruh.
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments