BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


PENDAPAT ULAMA MAZHAB HANAFIYAH. Menurut pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Hanafiyah, hukum menggunakan cadar adalah Sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib apabila dikhawatirkan menjadi fitnah. Pendapat sebagian mazhab Hanafiyah, apabila ada perempuan-perempuan muda yang wajahnya sangat begitu menarik perhatian/cantik dan dapat menimbulkan fitnah, maka diwajibkan wajahnya memakai cadar. Dan dalam suatu riwayat menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan menampakkan kedua telapak kaki dalam keadaan tertentu. 



Imam Muhammad Ibn al-Hasan Asy-Syaibaniy dalam kitabnya Al-Asl (Jilid 2 Halaman 235-236) sebagaimana dikutip dari pendapat Imam Hanafi menyatakan bahwa perempuan muslimah yang berada di antara laki-laki yang bukan mahramnya diharuskan menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Tafsir dari ayat ظهر منها adalah eyeliner dan cincin. Eyeliner adalah hiasan untuk wajah, sedangkan cincin adalah perhiasan untuk tangan. Maka dari itu diperbolehkan menampakkan wajah dan kedua telapak tangan. Diperbolehkan juga kepada laki-laki bukan mahram untuk melihat wajah dan kedua telapak tangan seorang perempuan tanpa disertai dengan syahwat. 



Imam Burhan ad-Din al-Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah (Jilid 1 Halaman 258/295) menyatakan bahwa semua tubuh perempuan aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan sebagaimana disebutkan di hadis Rasulullah. Ibnu Mahmud al-Mawshiliy dalam kitabnya al-Ikhtiyar li ta’lili al-Mukhtar bahwa tidak diperbolehkan melihat perempuan (selain mahram) kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Dalam satu riwayat kedua telapak tangan, dalam maupun luar.

Cadar, Adat Budaya atau Syariat dalam Agama



PENDAPAT ULAMA MAZHAB MALIKIYAH. Syeikh Ibnu Khalaf al-Baji dalam kitab Al-Muntaqa Syarhu Al-Muwattha’ bahwa seluruh badan perempuan aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Jadi menurut mazhab Malikiyah, hukum menggunakan cadar adalah Sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib apabila dikhawatirkan menjadi fitnah. Pendapat sebagian mazhab Malikiyah, apabila ada perempuan-perempuan muda yang wajahnya sangat begitu menarik perhatian/cantik dan dapat menimbulkan fitnah, maka diwajibkan wajahnya memakai cadar, bahkan kedua telapak tangannya pun dianjurkan memakai penutup. Ada pendapat sebagian mazhab Malikiyah lainnya yang terdapat dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir Li Asy-Syeikh Ad-Dardiri wa Hasyiyah Ad-Dasuqiy jilid 1 halaman 218 menyatakan bahwa bahwa niqab atau cadar adalah perkara ghuluw atau berlebih-lebihan kecuali pemakaian niqab tersebut sejalan dengan adat di daerah tersebut. Bahkan Syeikh ad-Dasuqi menyebutkan bahwasanya hukumnya makruh. 



كُرِهَ (انْتِقَابُ امْرَأَةٍ) أَيْ تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا بِالنِّقَابِ وَهُوَ مَا يَصِلُ لِلْعُيُونِ فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ مِنْ الْغُلُوِّ وَالرَّجُلُ أَوْلَى مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ )قَوْلُهُ: وَانْتِقَابُ امْرَأَةٍ) أَيْ سَوَاءً كَانَتْ فِي صَلَاةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا كَانَ الِانْتِقَابُ فِيهَا لِأَجْلِهَا أَوْ لَا (قَوْلُهُ: لِأَنَّهُ مِنْ الْغُلُوِّ) أَيْ الزِّيَادَةِ فِي الدِّينِ إذْ لَمْ تَرِدْ بِهِ السُّنَّةُ السَّمْحَةُ (قَوْلُهُ: وَالرَّجُلُ أَوْلَى) أَيْ مِنْ الْمَرْأَةِ بِالْكَرَاهَةِ (قَوْلُهُ: مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ) أَيْ الِانْتِقَابُ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ كَأَهْلِ نَفُوسَةَ بِالْمَغْرِبِ فَإِنَّ النِّقَابَ مِنْ دَأْبِهِمْ وَمِنْ عَادَتِهِمْ لَا يَتْرُكُونَهُ أَصْلًا فَلَا يُكْرَهُ لَهُمْ الِانْتِقَابُ إذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ وَأَمَّا فِيهَا فَيُكْرَهُ وَإِنْ اُعْتِيدَ كَمَا فِي المج (قَوْلُهُ: فَالنِّقَابُ مَكْرُوهٌ مُطْلَقًا) أَيْ كَانَ فِي الصَّلَاةِ أَوْ خَارِجَهَا سَوَاءٌ كَانَ فِيهَا لِأَجْلِهَا أَوْ لِغَيْرِهَا مَا لَمْ يَكُنْ لِعَادَةٍ وَإِلَّا فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ خَارِجَهَا بِخِلَافِ تَشْمِيرِ الْكُمِّ وَضَمِّ الشَّعْرِ فَإِنَّهُ إنَّمَا يُكْرَهُ فِيهَا إذَا كَانَ فِعْلُهُ لِأَجْلِهَا وَأَمَّا فِعْلُهُ خَارِجَهَا أَوْ فِيهَا لَا لِأَجْلِهَا فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ وَمِثْلُ ذَلِكَ تَشْمِيرُ الذَّيْلِ عَنْ السَّاقِ فَإِنْ فَعَلَهُ لِأَجْلِ شُغْلٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الصَّلَاةَ وَهُوَ كَذَلِكَ فَلَا كَرَاهَةَ وَظَاهِرُ الْمُدَوَّنَةِ عَادَ لِشُغْلِهِ أَمْ لَا وَحَمَلَهَا الشَّبِيبِيُّ عَلَى مَا إذَا عَادَ لِشُغْلِهِ وَصَوَّبَهُ ابْنُ نَاجِيٍّ. 


Cadar, Adat Budaya atau Syariat dalam Agama

PENDAPAT ULAMA MAZHAB SYAFI’IYAH. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm (Jilid 1 Halaman 109) mengatakan bahwa aurat lelaki muslim selain dari perut hingga paha, sedangkan aurat bagi perempuan muslimah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab berkata bahwa sesungguhnya aurat bagi perempuan yang merdeka adalah seluruh badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Hal ini juga sependapat dengan Imam Dardiri dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shogir, Imam Shawi dalam Hasyiyahnya, dan Syeikh Abu Ishaq Asy-Syiraziy dalam kitab Al-Mazhab. 

Pendapat yang paling mu’tamad/utama dalam mazhab Syafi’iyyah adalah apabila ada perempuan muslimah hadir di tengah-tengah laki-laki ajnabiy atau selain mahramnya, hukumnya wajib mengenakan cadar. 

Cadar, Adat Budaya atau Syariat dalam Agama

PENDAPAT ULAMA MAZHAB HANABILAH. Al-Imam Ibnu Quddamah dalam kitabnya Al-Mughni (Jilid 1 Halaman 671) bahwa tidak ada perbedaan di antara ulama dalam masalah aurat. Dalam mazhab Hanabilah, apabila ada perempuan-perempuan muda yang wajahnya sangat begitu menarik perhatian/cantik dan dapat menimbulkan fitnah, maka diwajibkan wajahnya memakai cadar, bahkan kedua telapak tangannya pun dianjurkan memakai penutup sampai ke kuku-kukunya. 

PENDAPAT LAINNYA. Dalam buku Tahriru al-Mar’ah fi ‘Ashri ar-Risalah karangan Prof. Abdul Halim Muhammad Abu Suqqah, pendapat ini telah disetujui oleh sebagaian besar ulama ahli tafsir, ahli hadis dan ahli fiqih, sehingga dapat diibaratkan sebagai ijma’. Dikutip juga dalam buku Fatawa Syar’iyyah karangan Syeikh Husnain Muhammad Makhluf: “Wajah perempuan bukan aurat menurut mazhab Hanafiyah dan sebagian besar dari ulama. Oleh karena itu dibolehkan untuk memperlihatkannya, dan dibolehkan untuk laki-laki (selain mahram) untuk melihat wajah perempuan tanpa syahwat.”

Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, menyatakan bahwa cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam Alquran maupun Sunnah. Yang diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab. Fatwa ini sesuai penafsiran Jumhur ulama dalam Surah an-Nur ayat 31 bahwa yang boleh Nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid 6 halaman 51. Ayat tersebut juga dijelaskan oleh hadis riwayat dari Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam kitab hadis riwayat Abu Dawud. Hadits ini dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khalid bin Duraik, yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits tidak pernah bertemu dengan Sayyidah ‘Aisyah dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama kritikus Hadits. Namun ia mempunyai penguat yang ternilai mursal shahih dari jalur-jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil (no. 460, cet. Dar al-Jinan, Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat Khalid bin Duraik dan Said bin Basyir. Juga jalur lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (24/143/378) dan al-Ausath (2/230), al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4/283). Selain itu banyak riwayat-riwayat lain yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat (sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka. Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).
Dalam buku Tahriru al-Mar’ah fi ‘Ashri ar-Risalah karangan Prof. Abdul Halim Muhammad Abu Suqqah, pendapat ini telah disetujui oleh sebagaian besar ulama ahli tafsir, ahli hadis dan ahli fiqih, sehingga dapat diibaratkan sebagai ijma’. 

Terdapat perbedaan bagi ummahat al-mukminin (istri-istri Nabi) yang dikhususkan atas mereka memakai hijab di dalam rumah dan apabila berada di luar rumah, diwajibkan atas mereka menutup seluruh badan serta wajah dan kedua telapak tangannya. 

Dengan demikian, dalam tataran penggunaan cadar tidak dapat dilepaskan pada konteks sosial-budaya masyarakat di tempat muslimah tersebut tinggal. Yakni, apabila pemakaian cadar di sebuah tempat atau daerah yang memiliki kultur budaya yang cocok dengan pakaian tersebut, maka tidak akan menjadi sebuah permasalahan. Sebaliknya, apabila pemakaian cadar di daerah lain dengan kultur berbeda dengan kultur Arab, misalnya di Indonesia, maka menurut sebagian pendapat mazhab Malikiyah termasuk hal yang berlebih-lebihan.

Cadar, Adat Budaya atau Syariat dalam Agama

PERBEDAAN PENDAPAT AURAT PEREMPUAN KETIKA SHALAT. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa kedua telapak kaki bukanlah aurat karena keduanya sering terlihat, sebagaimana wajah. Jika seorang perempuan ketika dia shalat terlihat kurang dari seperempat rambutnya, seperempat kakinya atau seperempat perutnya, tidak membatalkan shalatnya. 

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm (Jilid 1 Halaman 109) mengatakan bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat ketika dia shalat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Jika terlihat keduanya di saat shalat, maka shalatnya batal dan wajib diulang kembali shalatnya, mengetahuinya atau tidak diketahuinya. Kecuali jika terbukanya karena angin atau jatuh. Pendapat ini juga dapat dikutip dalam kitab Al-Mukhtashar karangan Imam Muzani. Begitu juga pendapat Imam Malik dan Imam al-Auza’i. 

Syeikh ad-Dasuqi dalam kitabnya Asy-Syarhu Al-Kabir Li Asy-Syeikh Ad-Dardiri wa Hasyiyah Ad-Dasuqiy jilid 1 halaman 218 menyatakan bahwa makruh hukum menggunakan cadar di dalam shalat. 

PAKAIAN PEREMPUAN MUSLIMAH SESUAI DENGAN SYARIAT ISLAM. Pakaian perempuan muslimah yang sesuai anjuran syariah adalah setiap pakaian yang tidak memperlihatkan bentuk tubuh dan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Dan tidak dilarang bagi seorang perempuan muslimah menggunakan pakaian berwarna dengan syarat tidak eye-catching (menyolok mata) atau menimbulkan fitnah. Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat ini, maka perempuan muslimah tersebut boleh memakainya dan keluar rumah dengan menggunakannya. 

Adapun cadar/niqab yang menutupi wajah, sebenarnya bukan suatu kewajiban dalam agama Islam. Karena sesungguhnya aurat perempuan muslimah adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, maka diperbolehkan membuka keduanya. Ini adalah mazhab jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, al-Auza’iy, Abi Tsur dan para mujtahid salaf. Akan tetapi sebagian pengikut mazhab Malikiyah menyatakan bahwa menggunakan cadar bagi seorang perempuan muslimah hukumnya makruh jika tidak sesuai dengan adat daerah yang ditempatinya. Bahkan mereka menyebutkannya sebagai suatu yang berlebih-lebihan dalam beragama. 

Syeikhul Islam Zakariya al-Anshariy dalam kitabnya Asna al-Mathalib (salah satu rujukan kitab mazhab Syafi’iyyah) menyatakan bahwa aurat perempuan muslimah ketika shalat maupun diluar shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. 

Sebenarnya permasalahan pakaian terikat dengan adat suatu kaum. Sebagaimana fatwa Dar al-Ifta al-Masriyyah, yang menyatakan pendapat sebagian pengikut mazhab Hanabilah bahwa diperbolehkan menutup muka dengan cadar/niqab jika hal tersebut adalah adat di daerah tersebut. Akan tetapi jangan menggunakan cadar/niqab tersebut bertujuan untuk memecah umat, untuk membedakan mana yang taat beragama mana yang tidak.

Cadar, Adat Budaya atau Syariat dalam Agama

KESIMPULAN. Menurut penjelasan di atas, cadar bukan hanya sekedar budaya perempuan Arab, tetapi juga bagian dari ajaran syariah Islam. Sebelum turun ayat yang memerintahkan bagi perempuan muslimah untuk berjilbab, budaya masyarakat Arab Jahiliyah adalah memperlihatkan aurat, berdandan dan bersolek apabila keluar rumah, dan bertabarruj sebagaimana firman Allah dalam Surah Al Ahzab 33 yang artinya: “Hendaklah kalian (perempuan muslimah) berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan perempuan jahiliyah terdahulu.” Ini menunjukkan bahwa Islam datang mengubah budaya ini dengan memerintahkan para perempuan Muslimah untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab adalah budaya yang berasal dari Islam. Bahkan ketika turun ayat tersebut, sebagaimana hadis riwayat Bukhari 4759 oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Wanita-wanita Muhajirin ketika turun ayat ini: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. Mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” 

Terdapat pernyataan bahwa perempuan Arab di masa Jahiliyah bercadar karena di sana panas dan banyak debu, jadi penggunaan cadar untuk menghalangi debu dan wajah terlindung dari cahaya matahari yang panas. Dengan ini maka laki-laki pun kadang menutup wajahnya juga dengan alasan yang sama. Pada masa sekarang, cadar pun sering diidentikkan dengan budaya Arab dikarenakan memang di sana banyak perempuan Muslimah memakai cadar dalam kehidupannya sehari-hari. Namun, apakah dengan alasan ini dapat dikatakan bahwa cadar adalah adat budaya Arab, atau juga terdapat hubungan dalam ajaran syariat Islam? 

Dalam penjelasan ulama dari 4 madzhab, penggunaan cadar ini berkaitan dengan hukum menutup aurat. Hukum memakai cadar menjadi wajib apabila dikhawatirkan ada fitnah yang kemungkinan besar terjadi. Jika fitnah tersebut tidak terjadi, maka hukumnya mubah. Oleh karena itu, hukum memakai cadar kembali pada adat dan kondisi daerah di mana perempuan muslimah tersebut tinggal. Hal ini kembali menjelaskan bahwa cadar bukan sekedar budaya perempuan Arab dari dahulu hingga sekarang, akan tetapi juga merupakan ajaran syariat dalam agama Islam. 

Wallahu Subhanallah wa Ta’ala A’lam Bish Showab

*Penulis adalah lulusan Fakultas Syariah Islamiyyah Universitas Al-Azhar, Mesir & Pascasarjana Konsentrasi Ekonomi & Keuangan Syariah Universitas Indonesia, Jakarta

SEBELUMNYA : BAGIAN PERTAMA ===> klik disini

Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab


The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)